Ruang belajar telah dipenuhi anak-anak yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Pafi sedang asyik membaca-baca buku yang beberapa tertumpuk di sebelahnya. Walaupun tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, Pafi sangat menyukai ruang belajar dan sering menghabiskan waktunya di ruang itu kalau tidak sedang bersama Dimas dan Raji. Pafi termasuk agak menjaga jarak dengan teman-teman perempuannya. Dia lebih suka melakukan segala sesuatu sendiri saat tidak bersama dengan Dimas dan Raji. Dimas dan Raji tak lama kemudian muncul di ruang belajar langsung menghampiri Pafi yang sedang asyik membaca.
“kelihatannya masih banyak anak-anak yah” Raji memulai pembicaraan. Pafi masih kelihatan asyik serius membaca seakan bacaan lebih menarik dari pada berbicara dengan kedua sahabatnya.
“Iyah, sepertinya pekerjaan rumah mereka cukup banyak.” Pafi tak menoleh sedikitpun. Matanya terus terpaku pada buku yang sedang dibacanya. Dia hanya menjawab sambil terus melanjutkan bacaannya.
“Buku apa yang sedang kau baca, kelihatannya menarik sekali ?” Kali ini Dimas yang mencoba menarik Pafi dari bukunya. Tetapi hasilnya sama saja.
“Cerita mengenai perjalanan keliling dunia.” jawab Pafi singkat.
Dimas maupun Raji sudah mengerti kalau Pafi sedang asyik membaca pasti tidak ada yang bisa membuatnya mengalihakan perhatian. Dimas dan Raji saling pandang dan seperti sudah saling mengerti mereka berdua bangkit dan mulai berkeliling-keliling di sela-sela rak buku. Seakan sedang mencari-cari buku yang akan dibaca tetapi sebenarnya baik Dimas maupun Raji sesekali memandangi lukisan gunung yang berada di dinding dekat mereka berdiri.
“Hei, bukankah sebaiknya kita menunggu semua yang lain selesai ?” tiba-tiba Pafi sudah berada di dekat Dimas dan Raji. Dimas dan Raji terkejut bukan main saat Pafi menyapa.
“Habisnya kau juga tak bisa meninggalkan bacaanmu itu” Raji merengut tapi belum hilang kagetnya.
“Kami hanya memeriksa keadaan saja sementara kau membaca, sekalian mencari-cari buku yang menarik.” Dimas mencoba menjelaskan. Tampaknya itu cukup memberikan alasan untuk Pafi. Pafi tidak lagi melanjutkan.
“Cobalah baca buku ini, ini sebuah karya cerita yang tidak ada pengarangnya. Aku menemukannya agak tersembunyi. Aku yakin kau tidak akan menggubris siapapun saat membacanya” Pafi menyodorkan sebuah buku berwarna coklat kusam yang sudah kelihatan tua. Dimas menerima buku itu, seakan sekilas matanya buku itu berubah kulit luarnya menjadi keemasan kamudian kembali lagi menjadi coklat kusam.
Dimas merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan buku yang baru saja diterimanya dari Pafi. Kemudian Dimas membuka halaman pertamanya. Raji hanya lebih tertarik mengikuti apa yang sedang dibaca Dimas dari pada mencari buku bacaannya sendiri.
Halaman pertama hanya terdapat sebuah kalimat dengan diakhiri titik-titik panjang.
“Menjadi yang pertama berjalan di atas permukaan bumi sang Manusia Utama ……………..”
Dimas membaca halaman pertama buku yang sedang dipegangnya. Dengan suara yang nyaris mendesis Dimas menyebutkan sebuah kata
“NARAPATI”
Kemudian Dimas membalik ke halaman berikutnya. Sebuah halaman pertama berisi kalimat panjang sebuah karya cerita. Semua tulisan itu tiba-tiba berubah menjadi aksara-aksara yang sangat aneh. Tulisan-tulisan itu bersinar keemasan kemudian seperti terserap seluruh tulisan itu ke dalam telapak tangan Dimas kemudian kembali lagi menjadi aksara-aksara romawi.
“Buku itu bercerita tentang pergelutan seorang anak di tengah keluarga yang semula bahagia kemudian menjadi porak poranda.” kata Pafi.
“Bukan, buku ini bercerita tentang dongeng sebuah negeri yang pernah ng berdiri di bumi ribuan tahun lalu. Negeri yang dipimpin oleh sebuah bangsa yang sangat unggul….. Narapati.” Dimas bicara agak pelan. Masih ragu dengan yang dilihatnya tadi. Dimas membuka-buka kembali buku itu. Ada sebuah dongeng yang tiba-tiba kini bisa diingatnya.
“Bukan, bukan tentang itu ceritanya, pasti kau salah. Aku sudah membacanya sampai dua kali, lihat saja di halaman keduanya. Disitu ada prolognya.” Pafi tetap pada pendapatnya. Tangannya membuka lembaran buku yang masih dipegang Dimas.
“Lihat saja, isinya berubah saat aku membukanya tadi.” Dimas menyorongkan halaman kedua ke hadapan Pafi. Pafi dengan seksama membaca seluruh isi halaman kedua yang merupakan prolog buku itu.
“Lihat saja, prolog buku ini seperti yang aku bilang tadi” Pafi tetap pada pendapatnya. Buku itu disorongkan kembali pada Dimas. Raji bolak balik mengikuti buku pindah dari tangan Pafi ke Dimas lalu kembali lagi dan kembali lagi.
Dimas mengambil kembali buku itu dari pegangan Pafi. “ Buku ini tadi…..” belum sempat menyelesaikan kata-katanya matanya terpaku pada lembaran yang tadi sempat dibacanya. Tetapi dia tidak dapat menemukannya. Dimas hanya menemukan awal cerita seperti yang diceritakan oleh Pafi.
“Tapi, buku ini menceritakan kisah yang sangat hebat tentang sebuah negeri yang sangat indah di lembah Sunda yang didiami oleh sebuah bangsa hebat bernama Narapati.” Dimas menceritakan apa yang dibacanya seolah sudah begitu hafal dan membaca seluruh isi dalam buku tersebut. Raji dan Pafi hanya bengong mendengarkan apa yang diceritakan Dimas. Sesaat kemudian Dimas sadar kemudian berhenti, matanya melihat sekeliling ruangan. Ruang belajar sudah kosong, satu per satu anak-anak asrama yang lain meninggalkan ruangan. Dimas terdiam sesaat, matanya seperti kosong menatap ke arah lukisan di dinding. Seakan sebuah pemandangan lembah terpampang di hadapannya dan cerita yang baru saja dibacanya benar-benar terwujud di hadapannya. Pafi tidak membantah lagi apapun yang dikatakan Dimas. Pafi mulai kembali menangkap hal aneh yang muncul lagi. Demikian pula Raji.
Sesaat kemudian lukisan dinding di hadapan mereka menyala terang. Raji dan Pafi hanya tertegun memandangnya. Antara harapan yang jadi kenyataan dengan rasa takut bercampur di dalam hati mereka. Sementara Dimas menunjukan sikap yang lain. Wajahnya tegang, tangan kanannya tertarik ke arah lukisan di dinding. Selarik cahaya keemasan keluar dari telapak tangannya. Aksara-aksara kuno yang berterbangan menempel pada dinding hingga tiba-tiba saja terbuka seperti sebuah pintu.
“Pintu itu….”Baik Dimas, Raji dan Pafi tertegun melihatnya.
Seakan sebagian seperti tersihir bercampur aduk dengan rasa ingin tahu mendorong kaki Dimas melangkah begitu saja memasuki pintu yang baru terbuka di hadapannya. Raji dan Pafi pun memiliki dorongan yang sama mengikuti langkah Dimas. Sebuah lorong kotak tidak terlalu panjang setinggi orang dewasa berujung pada rimbun pohon. Raji dan Pafi mengikutinya dari belakang. Dimas menyeruak hingga keluar dari rimbunan pohon-pohon perdu itu. Yang terpampang di hadapannya adalah sebuah lembah yang rapat dengan hutan belantara membentang hingga ke ujung kaki cakrawala. Barisan tebing-tebing batu berdiri angkuh mendongak ke langit. Di dataran sempitnya mengalir indah pilar-pilar air mengisi danau di bawahnya kemudian mengalir jauh dalam liukan indah sungai yang memercik indah mentari muda yang baru saja menghangatkan udara. Dimas begitu terpaku dengan keindahan di hadapannya, kemudian memandang balik ke belakang mencoba mengingat arah tempatnya semula keluar, sebuah dinding tebing yang sangat tinggi menjulang yang tidak ada satu pun pohon tumbuh kecuali serimbun tanaman perdu tempatnya tadi keluar. Tak lama kemudian Raji dan Pafi muncul dari rerimbunan pohon perdu itu.
“Dimana kita ?” Pafi memandang takjub seakan terhipnotis dengan apa yang dilihatnya.
“Siapa yang peduli kita berada dimana, yang penting kita bisa bermain sepuasnya.” Raji tak bisa mengungkapkan hal lain kecuali rasa senangnya.
“Ya, tapi bagaimana caranya kita keluar dari tebing sempit ini. Satu-satunya cara hanyalah terjun ke bawah dan mendarat di danau itu.” Dimas menunjuk ke bawah. Raji dan Pafi menengok ke bawah bersamaan.
“Biar aku coba membuat jalan buat kita.” Raji mulai pamer. Tangannya mulai diayun-ayunkan di depan dada. Air dari danau di bawah tebing mereka berdiri tiba-tiba bergetar. Raji kelihatan mulai berkeringat, wajahnya begitu tegang seperti sedang mengeluarkan tenaga yang begitu besar. Sebentar sebuah pilar air terangkat, tetapi belum sampai menyentuh tebing pilar air itu pecah dan menghempas kembali ke dalam danau. Suara debum keras menggema ke seluruh lembah. Raji berusaha lagi, tetapi seakan tenaganya terkuras habis lalu jatuh duduk.
“Sudah…jangan kau kuras tenagamu Raji.” Dimas membantu memapah Raji.
“Lebih baik kita bekerja sama dalam melakukannya.” Tiba-tiba Pafi seakan mendapat ide baru.
“Kau punya ide Pafi ?” Tanya Dimas.
“Iya, dari pada kita membuang tenaga mengangkat sesuatu untuk mencapai kita, lebih baik kita hemat dengan langsung mendekatinya. Kita melompat dari tebing ini ke dalam danau itu, nanti aku akan memperlambat jatuh kita dengan bantuan angin. Setelah cukup dekat ke permukaan Raji harus mengangkat kita dengan air dan mendorong tubuh kita ke tepi danau. Dan kau harus menyiapkan tempat empuk untuk kita mendarat.” Pafi menunjuk daerah dimana mereka akan mendarat.
“Ide yang bagus Pafi, ayo kita coba” Dimas mendekati bibir tebing, melihat tempat yang ditunjuk Pafi.
“Kau siap Raji ?” Dimas memastikan sahabatnya sudah pulih. Raji menggangguk.
“Ya, ayo kita mulai.” Raji bangkit dan bersama-sama Dimas dan Pafi berjalan ke pinggir tebing. Serentak mereka bertiga melompat dari atas tebing meluncur ke dalam danau. Pafi menggerak angin di bawah mereka. Sebuah gerakan angin cukup kuat mendorong kembali mereka bertiga ke atas, kemudian turun kembali dengan kecepatan yang lebih lambat. Beberapa saat sebelum tiba di permukaan Raji menarik air danau dan menangkap tubuh mereka dan mendorongnya ke tepi danau. Begitu menyentuh tepi danau tubuh ketiganya terhempas ke daratan dan Dimas mendapatkan bagian terakhir. Saat tubuh ketiganya terhempas, ranting-ranting pohon seakan tertarik merunduk ke bawah menerima jatuhnya tubuh mereka. Begitu lembut gerakannya seakan seperti seorang dewasa menerima seorang anak yang jatuh ke dalam pelukannya.
Dimas melompat diikuti oleh Raji dan Pafi. Cabang-cabang pohon itu kembali berdiri tegak. Mereka bertiga masih berusaha mengenali dunia baru yang baru saja mereka temui. Dimas merasakan dunia yang sekarang dilihatnya tampak sangat asing sekaligus terasa dekat dengannya. Dimas merasa seakan dirinya adalah bagian dari dunia ini dan ada bagian darinya yang akan memberikan peran penting untuk dunia ini. Mereka bertiga terus berjalan mengikuti tepian danau yang berujung di sebuah sungai yang cukup besar. Di bagian tebing yang lain sebuah telaga mengumpulkan air terjun di atasnya kemudian dilarungkan bersama sungai. Burung-burung terbang melintas, beberapa mendarat di bantaran dangkal sungai mematukan paruhnya ke dalam air. Sesekali seekor ikan meronta-ronta di ujung paruhnya lalu hilang ke dalam kerongkongan. Jelas sekali burung-burung itu belum pernah melihat manusia sebelumnya. Kehadiran Dimas, Raji dan Pafi tidak membuat mereka takut ataupun menghindar.
“Aku masih penasaran bagaimana tadi kau bisa membuka pintu itu.” Tanya Pafi.
“Aku sendiri tidak tahu Pafi, aku hanya membaca halaman pertama buku itu kemudian aku seperti mendapatkan sebuah kata terakhir dari kalimat itu. Setelah aku menyebutnya seluruh aksara dalam buku itu berubah menjadi aksara-aksara yang sangat aneh dan tidak aku kenal. Sesaat kemudian semua cerita yang kau maksud berubah semuanya menjadi cerita dongeng sebuah bangsa di sebuah kerajaan di lembah Sunda.” Dimas menceritakan kembali apa yang dilihatnya.
“Kata terakhir apa yang kau ucapkan saat membaca halaman pertama.” Pafi makin penasaran. Melihat Pafi makin penasaran Raji mulai menaruh perhatian lebih banyak.
“NARAPATI” kata Dimas.
“NARAPATI” Raji dan Pafi bersamaan menyebutkan kata yang disebutkan Dimas.
“Narapati itu apaan ?” Raji berharap itu nama makanan yang ditemukan ditempat ini. Perutnya sudah mulai berkokok.
“Buku itu menceritakan Narapati. Narapati adalah bangsa manusia pertama yang berjalan di bumi. Bangsa Narapati tinggal di sebuah kerajaan di lembah Sunda ribuan tahun sebelum kita. Di sana berdiri kota-kota indah Narapati yang bahkan jauh lebih maju dari pada yang dimiliki manusia sekarang.” Dimas menjawab pertanyaan Raji dengan sesingkat mungkin, karena dirinya tahu tidak mungkin menceritakan detilnya. Tangannya tetap memegang buku yang didapatnya dari Pafi.
Belum jauh mereka bertiga berjalan, tiba-tiba terdengar suara raungan keras dari dalam hutan di ikuti suara jeritan anak kecil meminta tolong. Bukannya ketakutan malahan gerakan refleks ketiganya mendorong mereka bergegas berlari masuk ke dalam hutan mencari sumber suara.Tak berapa lama terlihat seekor harimau berbadan nyaris seukuran kuda dewasa dengan taring atas yang sangat panjang keluar melewati rahang bawahnya. Cakarnya mengais-ais sebuah celah batu sempit seakan sedang berusaha meraih sesuatu dari dalamnya. Suara anak kecil meminta tolong keluar dari dalam celah batu itu.
“Hei…”Pafi langsung menggerakan tangannya melepaskan angin kencang kearah harimau itu. Seketika binatang itu terlempar cukup jauh dari celah batu itu. Raji tak mau ketinggalan, sebuah pilar air menerajang harimau yang baru saja bangkit dan mengguyur seluruh tubuhnya. Harimau itu mengaum keras dan segera lari meninggalkan tempat. Dimas bergegas menghampiri celah batu dan melihat seorang anak kecil berada cukup jauh di dalam celah itu.
“Keluarlah, harimau itu telah pergi” Dimas mengulurkan tangannya.
“Lodaya itu benar telah pergi ?” anak kecil kira-kira dua tahun lebih muda dari Dimas itu tampak masih gemetar. Dimas mengangguk. Tapi belum sempat bergerak banyak badannya terjepit tak bisa bergerak.
“Aku tidak bisa bergerak.” Kata anak kecil itu sambil berusaha menggeser-geser tubuhnya tapi tetap saja tidak cukup untuk melewati celah itu. Padahal tadi dia bisa masuk. Dimas mundur sedikit lalu menjejak kakinya sekali. Perlahan batu itu bergeser sedikit dan akhirnya anak itu berhasil keluar.
“Terima kasih telah menolongku” anak itu begitu kusut dan kotor. Sepertinya tadi sempat jatuh ke tanah dan membuat seluruh tubuhnya kotor. Pakaiannya agak aneh. Lebih mirip pakaian orang-orang pada jaman kerajaan hindu dulu. Gelang dan ikat pinggang emas menunjukan anak itu berasal dari keluarga mampu.
“Namaku Dimas, dan ini sahabatku Raji dan Pafi.” Dimas menyodorkan tangannya bersalaman.
“Siapakah kamu, mengapa sampai di tengah hutan begini sendirian ?” Pafi mulai bertanya. Dia tahu anak itu masih kaget dengan apa yang baru dialaminya. Ada manusia berarti disini ada kehidupan juga pikirnya. Bertanya mengenai asal usulnya akan member mereka pengetahuan awal mengenai dunia yang baru saja mereka kenal.
“Namaku Gandrung Mocopati, aku putra Penasehat Agung Kerajaan Narapati Patih Nara Jalaseva.” Anak itu memperkenalkan dirinya.
“Narapati ?” Dimas memastikan apa yang didengarnya.
“Iya, Narapati. Kerajaan Narapati.” kata Gandrung.
Dimas, Raji dan Pafi saling pandang. Mereka mulai mengerti dimana sekarang mereka berada. Pintu yang mereka temukan telah membawa mereka pada dunia dongeng yang diceritakan dalam buku itu. Tetapi tetap ada sesuatu yang masih belum terjawab yang Dimas sendiri tidak mengerti apa maksud dari perasaan itu.
“Lalu bagaimana kau bisa berada di hutan ini sendirian” Dimas sangat yakin anak ini tidak mungkin sendirian berada di tengah hutan, pasti dia datang bersama sebuah rombongan. Pakaian yang dikenakannya menunjukan bahwa dia bukan orang hutan. Pastilah dia tinggal di sebuah kota dekat tempat ini.
“Aku sedang ikut berburu bersama ayahku. Tadi aku bermain-main, tapi tanpa sadar aku terlalu jauh meninggalkan kemah. Kemudian saat mencari jalan pulang aku makin tersesat jauh dan akhirnya aku bertemu dengan lodaya tadi.” Gandrung dengan bingung menujukan arah yang sudah tidak lagi dia ingat akibat kerapatan hutan.
“Dimana tempat tinggalmu, mungkin kami bisa mengantarmu ke sana.” Kata Raji yang berharap bisa berada di kota untuk menambal perutnya yang mulai mengeluarkan bunyi tak berirama.
“Aku tidak tahu arah pulang, aku tinggal di ibukota” kata Gandrung agak resah menyadari dia tidak mengetahui arah pulang.
“Ibukota apa ?” Tanya Raji.
“Ibukota Kerajaan Narapati, Sunda Buana. Masa kalian tidak tahu ?” Gandrung terheran-heran.
“Kami bukan berasal dari sini, kami sedang mengembara mengunjungi tempat-tempat.” Kata Dimas berusaha menyudahi keheranan Gandrung.
“Kalau kalian bukan berasal dari ibukota, berarti sama saja seperti aku tidak tahu jalan ke sana.” Gandrung agak kecewa. Wajahnya langsung muram.
“Kita tidak perlu mencari dimana letak kemahnya, karena masuk ke dalam hutan berarti lebih banyak bahaya yang harus kita hadapi dan kita belum tahu betul tempat ini. Kita juga tidak perlu mengantarnya pulang karena kita lebih tidak tahu dari pada Gandrung mengenai tempat ini. Cukup kita membuat asap penunjuk ke udara. Aku yakin ayahmu sekarang berusaha mencarimu. Kita tinggal memberinya tanda saja di udara agar mereka mendatangi tempat kita.” Dimas mengusulkan jalan keluar yang cerdik.
“Aku setuju, lebih baik sekarang kita mencari makanan saja.” Raji sudah tidak tahan dengan perut laparnya.
“Aku akan menyiapkan tempat membuat api unggun.” Pafi pergi mencari tempat yang cocok untuk api unggun mereka.
“Aku akan mencari ikan di sungai.” Raji pergi ke pinggir sungai dengan semangat. Memancing tanpa pancing menjadi kegiatan paling disukainya sekarang.
“Aku akan mengumpulkan ranting kering.” Dimas memilih tugas yang belum diambil Raji dan Pafi.
“Aku melakukan apa ?” Gandrung kelihatan bingung.
“Kau ikut aku saja mengumpulkan ranting, kita akan membutuhkan banyak ranting kering untuk membuat tanda asap.” Gandrung mengangguk gembira. Tanpa banyak bicara lagi mereka semua berpisah mengerjakan tugas masing-masing.
Matahari sudah mulai mencapai ubun-ubun. Sebuah tumpukan ranting kering dengan asap yang sangat tebal mengepul ke udara melewati atap-atap hutan. Di sebelahnya api unggun kecil dengan beberapa ikan bakar masih menggantung di atasnya. Semuanya sedang sibuk menikmati makan sambil sesekali bersenda gurau. Tidak ada yang menyadari kecuali Dimas bahwa mereka sedang di awasi beberapa pasang mata. Tetapi Dimas diam saja, membiarkan orang-orang itu mendekat. Tiba-tiba dari dalam kerimbunan pohon-pohon hutan sebuah suara lembut terdengar.
“Gandrung anakku…” kata suara itu. Gandrung serta merta bangkit dan meninggalkan ikan bakarnya. Seorang dewasa berpakaian sangat rapi berwarna coklat tanah muncul dari balik pohon. Wajahnya yang begitu tenang menunjukan tingkat penguasaan diri yang tinggi.
“Ayah….” Gandrung langsung memeluk ayahnya.
“Bocah nakal…” Ayah Gandrung memeluknya.
“Ayah ini teman-teman ku, mereka yang menolongku. Tadi aku nyaris menjadi santapan Lodaya. Untung ada mereka menolongku. Mereka hebat sekali bisa mengalahkan Lodaya itu.” Gandrung begitu bersemangat menceritakan teman-teman barunya. Tidak ada rasa takut sedikitpun dari Gandrung untuk menceritakan kemalangan yang menimpanya. Bahkan Ayah Gandrung pun tidak tampak kaget dengan ceritanya.
“Ah…teman-teman baru. Aku Patih Nara Jalaseva mengucapkan terima kasih atas bantuan anak semua terhadap Gandrung anakku.” Patih Nara Jalaseva mengenalkan dirinya. Dimas, Raji dan Pafi bangkit meninggalkan makanan mereka. Beberapa orang laki-laki dewasa keluar dari balik pohon mengikuti ayah Gandrung.
“Kami kebetulan saja lewat tempat ini dan mendengar Gandrung memerlukan pertolongan. Kami hanya melakukan yang kami bisa saja.” Dimas memberikan salam diikuti Raji dan Pafi.
“Anak baik, adakah yang bisa aku lakukan sebagai bentuk balas budi atas kebaikan kalian.” Pati Nara Jalaseva menawarkan diri.
“Terima kasih tuan, kami hanya kebetulan saja melintas. Kami sedang bermain-main saja.” Dimas menolak halus. Raji dan Pafi tetap diam, karena mereka tahu itu yang terbaik saat ini.
“Jangan panggil aku tuan, panggil saja paman, kalau begitu. Wah ikan bakar, dari tadi aku mencium baunya enak sekali, membuatku menjadi sangat lapar. Boleh aku mencicipinya ?” Patih Nara Jalaseva mendekati beberapa ikan bakar yang tergantung di atas api unggun.
“Silahkan paman, masih ada beberapa yang masih hangat.” Dimas menyodorkan beberapa ikan. Suasana keakraban segera terbangun. Tidak sulit buat Raji untuk kembali menunjukan banyolan-banyolannya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.
“Baiklah, tampaknya kita harus segera pulang. Nak Dimas, Raji dan Pafi ikutlah bersama kami.” Patih Nara Jalaseva bangkit dari duduknya. Raji dan Pafi terdiam sesaat saling pandang. Seakan masing-masing sudah mengerti isyarat bahasa tubuh satu sama lain, dan senyum menandai artinya setuju untuk ikut, tetapi Dimas mengambil sikap yang lain. Kepalanya menggeleng.
“Kita harus kembali.” Kata Dimas. Raji dan Pafi agak kecewa, tapi keduanya akhirnya setuju dengan alasan Dimas. Setelah kedua sahabatnya setuju, Dimas menolak secara halus ajakan Patih Nara Jalaseva.
Akhirnya mereka pun berangkat meninggalkan Dimas, Raji dan Pafi di hutan itu dengan berjalan kaki menyusuri bantaran sungai.
“Apakah mereka tidak mempunyai pesawat terbang, atau paling tidak kereta kuda.” Raji berbisik pelan kepada Dimas saat melepas mereka pergi.
“Aku rasa ini bukan tempat menggunakannya. Menurut cerita itu, Narapati sangatlah maju bahkan memiliki wahana terbang yang mereka sebut pavaratha yang katanya lebih cepat dari suara angin.” Dimas terus memandangi rombongan itu pergi. Kemudian membalikan badannya kembali ke arah dimana pintu gaib tempat mereka masuk. Tidak lama setelah rombongan itu hilang, tampak sebuah wahana mengudara di pinggir sungai. Ukurannya tidak terlalu besar tetapi tidak memiliki dek bagian atas. Bentuknya seperti tanduk kerbau. Kulit permukaannya tidak terlihat terbuat dari kayu, bentuknya yang seperti sisik ular dengan warna kelabu awan mendung. Dimas maupun Raji dan Pafi tidak pernah melihatnya. Mereka bertiga sudah dalam perjalanan pulang dengan arah yang berlawanan. Mereka memandang hingga wahana itu terbang menjauh dan hilang di balik bukit.
“Apakah kita harus kembali sekarang ?” Raji terdengar begitu berat meninggalkan dunia baru ini.
“Aku rasa lebih baik begitu, kita sudah cukup lama berada di tempat ini. Kita tidak tahu jam berapa nanti kita akan berada di asrama kembali.” Dimas mencemaskan mereka yang akan melanggar begitu banyak aturan asrama.
Tanpa kesulitan mereka bisa kembali ke gua di tebing tempat mereka tadi keluar. Kembali masuk menembus rerimbunan tanaman perdu yang menutupi mulut gua. Mereka tiba kembali di ruang perpustakaan asrama. Tak ada seorang pun di sana, anak-anak yang lain telah kembali ke bangsal mereka. Takut kepergok Nyai Janis yang sedang berpatroli malam, Dimas segera bergegas keluar dari ruang belajar. Raji dan Pafi mengambil langkah cepat.
---- *** ----
Pagi saat sarapan menjadi hari pagi yang paling bergairah buat Dimas. Tampaknya Raji pun kelihatan begitu sumringah. Pafi sudah duduk menyantap sarapan paginya tersenyum ceria menyambut kedatangan Dimas dan Raji.
“Apa kabar kalian pagi ini ?” Pafi menyapa tidak seperti biasanya.
“Eh, baik ku rasa” jawab Dimas singkat. Lebih baik, lebih dari yang aku inginkan dalam hati Dimas.
“Aku rasa hari ini sangat menyenangkan” Raji melebarkan tangannya menggembungkan dadanya menarik nafas dalam-dalam. Hidungnya mekar, jantungnya berdebum memompakan kebahagian.
“Aku ingin sekali kembali lagi kesana” Pafi menggeser duduknya memberikan ruang untuk Raji yang duduk di sebelahnya.
“Sepulang dari sekolah saja, biasanya kan ruang belajar kosong.” Dimas memberikan usul. Matanya sesekali memandang ke sekeliling.
“Usul yang bagus, ayo kita selesaikan pagi ini.” Raji kelihatan lebih postif dari biasanya.
“Kalian sadar tidak kalau semalam waktu saat kita masuk pintu itu sama hingga kembali lagi.” Kata Pafi
“Maksudmu ?” Dimas agak bingung.
“Artinya berapa lamapun kita berada di sana, kita akan tetap kembali pada waktu yang sama.” Pafi kelihatan girang.
“Wow, hebat berarti kita bisa berlama-lama disana” Raji lebih semangat lagi. Setelah menghabiskan sarapannya mereka berangkat ke sekolah tanpa gangguan apapun dari Aryo dan gengnya.
Sekolah rakyat tempat Dimas belajar sudah begitu ramai dengan anak-anak pribumi yang diperbolehkan bersekolah. Anak-anak asrama termasuk beruntung masih diperbolehkan bersekolah berkat hubungan kuat Nyai Janis dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alidius Warmoldus.
“Pelajaran apa pagi ini ? hehehe.. aku lupa” Raji cengengesan.
“Sejarah, entah sejarah siapa yang akan kita pelajari kali ini.” Jawab Dimas.
“Mudah-mudahan bukan sejarang wong londo lagi, sudah capek aku mendengarnya.” Raji agak menggerutu.
“Selamat pagi anak-anak” Seorang lelaki tua muncul dari pintu masuk. Semua anak di dalam kelas menjawab salam bersamaan. Guru Kusumo mengajar sejarah. Sebenarnya Guru Kusumo guru yang paling disukai oleh Dimas, hanya pelajaran yang disampaikannya saja terkadang tidak disukai Dimas. Apalagi kalau sudah bercerita sejarah Hindia Belanda.
Pelajaran langsung dimulai oleh Guru Kusumo. Anak-anak memperhatikan semua yang dijelaskan Guru Kusumo dengan tenang. Terlihat rasa hormat yang ditunjukan kepada Guru tua itu. Bahkan tanya jawabpun dilakukan dengan tertib.
“Masih ada yang mau ditanyakan ?” Guru Kusumo mengacungkan tangannya memberikan kesempatan semua siswa untuk bertanya.
“Saya Pak Guru !” Dimas menunjukan jarinya.
“Silahkah Dimas !” Guru Kusumo memfokuskan perhatiannya kepada Dimas. Dia tahu sedang berhadapan dengan murid terpandai di kelasnya.
“Apakah benar dulu ada sebuah kerajaan yang berdiri di atas lembah sunda dengan ibukotanya Sunda Buana dan sekarang adalah sebuah lautan luas di antara pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan ?” Dimas menangkap perubahan raut wajah yang bisa memberinya jawaban. Guru Kusumo terlihat sedikit terkejut, tetapi kembali menunjukan wajah biasa.
“Sepertinya belum ada penelitian mengenai sejarah masa lalu nusantara. Kalaupun ada cerita seperti yang seperti itu, kemungkinan masih berupa cerita dongeng dari mulut ke mulut. Belum ditemukan sebuah bukti tertulis yang bisa dijadikan pegangan. Diperlukan bukti berupa sisa-sisa peradaban tersebut pernah berdiri seperti sebuah candi, kuil atau bangunan sebuah kota. Bahkan belum ada teori yang mengatakah bahwa lautan itu dulunya adalah sebuah daratan.” Kata Guru Kusumo menjelaskan. Dimas merasa tidak puas mendapatkan jawaban itu. Dia tahu ada sesuatu yang seharusnya lebih dari jawaban itu.
“Apakah kemungkinan itu tetap terbuka pak Guru, mengingat letaknya yang sekarang adalah sebuah lautan luas sehingga sangat sulit untuk mendapatkan bukti-buktinya ?” Dimas berusaha agak mendesak. Dia ingin memancing Guru Kusumo agar mengatakan sesuatu yang mungkin sebenarnya dia tahu mengenai sesuatu.
“Ya, sangat terbuka. Hanya perlu banyak teori mengenai bagaimana dulunya wilayah itu dulunya adalah sebuah daratan yang luas dan pernah berdiri sebuah kerajaan.” Jawaban Guru Kusumo tetap singkat. Dimas tak lagi melanjutkan pertanyaanya, dia merasa ada batasan yang sedang dibangun Guru Kusumo dengan dirinya. Guru Kusumo pun tidak melanjutkan lagi, senyumnya hanya kecil mengembang. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang setelah pertanyaan Dimas tadi.
Dimas berpikir keras kenapa kota Sunda Buana tidak ada dalam sejarah. Guru Kusumo tidak mungkin bohong, atau mungkin dia belum mengetahui mengenai sejarah ini. Dimas merasa harus mendapatkan kepastian yang cukup mengenai sejarah kota Sunda Buana. Paling tidak ada yang pernah mengetahuinya sehingga dia bisa yakin dengan semua cerita yang diketahui dari buku misterius itu. Pikirannya mulai menerawang mencari siapakah yang bisa memberinya jawaban. Kemudian pak Narso terlintas di kepalanya. Setelah semua kejadian aneh yang dialaminya dan berkat bantuan Pak Narso lah dirinya bisa mengetahui arti semuanya. Pastilah pak Narso juga paling tidak pernah mendengarnya. Lagi pula pak Narso kan sudah sepuh, pasti dia pernah mendengarnya dari orang tua atau kakek neneknya.
Siang hari terik mencapai puncaknya. Dimas telah kembali ke asrama. Dirinya belum sempat menceritakan rencanya untuk bertemu pak Narso terlebih dahulu sebelum mereka kembali lagi ke ruang belajar.
“Ada yang harus aku katakan pada kalian.” Raji dan Pafi berhenti tepat di depan pintu asrama dan menunggu Dimas mengatakan maksudnya.
“Kita ke tempat pak Narso sebentar, kita tanya padanya mengenai Sunda Buana.” Dimas berharap kedua sahabatnya mau kesana. Tapi matanya Cuma melihat wajah merengut Pafi.
“Bukankah kita akan ke ruang belajar dan langsung ke pintu itu lagi ?” Raji agak keberatan dengan perubahan rencana itu.
“Ini penting sekali. Aku merasa pertanyaan yang tadi siang aku tanyakan kepada Guru Kusumo mungkin ada jawabannya di Pak Narso. Ingat, dia telah membantu kita mengenali kekuatan kita. Aku yakin dia punya jawaban mengenai hal ini juga.” Dimas berusaha meyakinkan kedua sahabatnya. Pafi kelihatan mulai mengerti maksud Dimas.
“Aku rasa Dimas benar Raji, kita harus yakin dunia yang semalam kita masuki adalah dunia yang benar-benar ada. Setelah itu baru kita kembali mengunjungi pintu itu.” Pafi setuju rencana Dimas. Akhirnya Raji juga menyetujuinya dan mereka bergegas ke tempat pak Narso.
Rumah pak Narso sudah kelihatan dari kejauhan. Pak Narso sedang duduk santai di serambi rumahnya yang sederhana. Orang tua itu tersenyum ramah melihat kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.
“Selamat datang anak-anak” sambut pak Narso.
“Selamat siang pak Narso” Dimas membalas salam. Terik siang tidak terlalu mengganggu. Jalan menuju rumah pak Narso rimbun oleh pohon-pohon.
“Sepertinya anak semua langsung dari sekolah ke sini. Tidak makan siang dulu ?” tanya Pak Narso.
“Eh..iya pak. Ada hal yang ingin kami tanyakan kepada bapak.” Jawab Dimas. Pak Narso hanya mengangguk-angguk menunggu pertanyaan datang.
“Begini pak, apakah bapak tahu mengenai sejarah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di lembah Sunda dengan ibukotanya Sunda Buana.” Tanya Dimas perlahan sekali. Pak Narso kelihatan serius dan mengubah duduknya saat mendengar pertanyaan Dimas.
“Dari manakah nak Dimas tahu mengenai hal itu ?” tanya pak Narso ingin tahu.
“Ngg… tadi kami” Dimas agak bingung menjawabnya. Untung saja Pafi langsung menyambungnya.
“Tadi kami belajar mengenai sejarah dan salah satunya tentang dugaan mengenai dulu ada sebuah kerajaan di lembah Sunda dengan ibukotanya Sunda Buana.” Pafi cepat memberikan alasan. Tapi Pafi tidak pandai berbohong. Pak Narso juga merasakannya. Pak Narso ragu sejenak, dia merasakan ketiga anak ini merahasiakan sesuatu. Sesuatu yang dia yakin sebenarnya juga tahu. Tapi pak Narso ingin tetap mereka tidak tahu bahwa dirinya juga mengetahui rahasia itu.
“Baiklah anak-anak. Sebaiknya kita makan siang bersama disini. Nanti setelah makan bapak akan ceritakan semuanya.” Pak Narso mengerti sekali kalau mereka juga sudah sangat lapar. Apalagi gerak tubuh Raji yang amat mudah dibaca kalau sedang kelaparan. Raji langsung sumringah mendapatkan tawaran itu.
Mbok Sinem siang itu masak gudeg. Makanan yang sama dengan yang nanti akan mereka makan di asrama. Biasanya setelah selesai memasak untuk semua penghuni asrama, Mbok Sinem menyisihkan untuk dimakannya bersama pak Narso. Setelah makan siang pak Narso pun menceritakan semua hal yang diketahuinya mengenai Sunda Buana dan Kerajaan Narapati.
“Jadi Kerajaan Narapati benar-benar ada pak ?” Dimas nyaris tidak percaya kalau akhirnya mendapatkan pengesahan atas semua yang dialaminya bersama Raji dan Pafi. Buku dongeng itu bukan cerita rekaan semata, tetapi memang sebuah kisah dari alam yang nyata dan pernah ada. Pafi tersenyum senang mendengar kisah yang disampaikan pak Narso. Hanya Raji yang kelihatan santai dan masih asyik dengan sisa singkong rebus penutup makan.
“Lalu kemana semua penduduknya kalau sekarang hampir semua kota-kota kerajaan Narapati tenggelam di dasar laut ?” Pafi baru mulai ingin menggali lebih dalam. Saking menariknya kisah itu, dirinya lupa akan janji mereka sendiri.
“Entahlah, bapak hanya mendengar kisahnya sampai disitu saja. Tidak jelas apakah rakyat kerajaan Narapati bisa menyelamatkan diri dari bencana dahsyat itu. Tapi menurut bapak sih, pastilah kita juga merupakan keturunan dari rakyat kerajaan Narapati yang selamat dan tinggal di pulau-pulau yang tidak tenggelam.”
Dimas ingat janjinya untuk tidak terlalu lama. “Baiklah pak Narso, kami mau kembali lagi ke asrama. Terima kasih atas penjelasan bapak.” Dimas pamit mewakili kedua sahabatnya.
“Terima kasih juga untuk makan siangnya pak” kata Raji. Pak Narso tersenyum mengangguk. Kemudian Dimas, Raji dan Pafi beranjak dari tempat itu kembali ke asrama.
“Jadi sekarang kita ke ruang belajar ?” Raji begitu bergairah. Untuk orang yang tidak mengenal Raji pasti mengiranya sangat suka belajar atau paling tidak membaca.
“Setelah kita berganti pakaian tentunya. Aku tak mau ke sana dengan wajah kusam seperti ini” Pafi justru tampak lebih santai.
Raji dan Dimas tersenyum melirik Pafi. Tawa terlepas dari bibir mereka. Tangan mereka saling memeluk pundak dan berjalan bersama menuju asrama. Saling meletakan beban di pundak satu sama lain. Meletakan arti persahabatan ke tingkatan yang paling tinggi. Lebih dari sekadar membagi beban, tetapi juga menanggungnya hingga nafas terakhir.
“kelihatannya masih banyak anak-anak yah” Raji memulai pembicaraan. Pafi masih kelihatan asyik serius membaca seakan bacaan lebih menarik dari pada berbicara dengan kedua sahabatnya.
“Iyah, sepertinya pekerjaan rumah mereka cukup banyak.” Pafi tak menoleh sedikitpun. Matanya terus terpaku pada buku yang sedang dibacanya. Dia hanya menjawab sambil terus melanjutkan bacaannya.
“Buku apa yang sedang kau baca, kelihatannya menarik sekali ?” Kali ini Dimas yang mencoba menarik Pafi dari bukunya. Tetapi hasilnya sama saja.
“Cerita mengenai perjalanan keliling dunia.” jawab Pafi singkat.
Dimas maupun Raji sudah mengerti kalau Pafi sedang asyik membaca pasti tidak ada yang bisa membuatnya mengalihakan perhatian. Dimas dan Raji saling pandang dan seperti sudah saling mengerti mereka berdua bangkit dan mulai berkeliling-keliling di sela-sela rak buku. Seakan sedang mencari-cari buku yang akan dibaca tetapi sebenarnya baik Dimas maupun Raji sesekali memandangi lukisan gunung yang berada di dinding dekat mereka berdiri.
“Hei, bukankah sebaiknya kita menunggu semua yang lain selesai ?” tiba-tiba Pafi sudah berada di dekat Dimas dan Raji. Dimas dan Raji terkejut bukan main saat Pafi menyapa.
“Habisnya kau juga tak bisa meninggalkan bacaanmu itu” Raji merengut tapi belum hilang kagetnya.
“Kami hanya memeriksa keadaan saja sementara kau membaca, sekalian mencari-cari buku yang menarik.” Dimas mencoba menjelaskan. Tampaknya itu cukup memberikan alasan untuk Pafi. Pafi tidak lagi melanjutkan.
“Cobalah baca buku ini, ini sebuah karya cerita yang tidak ada pengarangnya. Aku menemukannya agak tersembunyi. Aku yakin kau tidak akan menggubris siapapun saat membacanya” Pafi menyodorkan sebuah buku berwarna coklat kusam yang sudah kelihatan tua. Dimas menerima buku itu, seakan sekilas matanya buku itu berubah kulit luarnya menjadi keemasan kamudian kembali lagi menjadi coklat kusam.
Dimas merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan buku yang baru saja diterimanya dari Pafi. Kemudian Dimas membuka halaman pertamanya. Raji hanya lebih tertarik mengikuti apa yang sedang dibaca Dimas dari pada mencari buku bacaannya sendiri.
Halaman pertama hanya terdapat sebuah kalimat dengan diakhiri titik-titik panjang.
“Menjadi yang pertama berjalan di atas permukaan bumi sang Manusia Utama ……………..”
Dimas membaca halaman pertama buku yang sedang dipegangnya. Dengan suara yang nyaris mendesis Dimas menyebutkan sebuah kata
“NARAPATI”
Kemudian Dimas membalik ke halaman berikutnya. Sebuah halaman pertama berisi kalimat panjang sebuah karya cerita. Semua tulisan itu tiba-tiba berubah menjadi aksara-aksara yang sangat aneh. Tulisan-tulisan itu bersinar keemasan kemudian seperti terserap seluruh tulisan itu ke dalam telapak tangan Dimas kemudian kembali lagi menjadi aksara-aksara romawi.
“Buku itu bercerita tentang pergelutan seorang anak di tengah keluarga yang semula bahagia kemudian menjadi porak poranda.” kata Pafi.
“Bukan, buku ini bercerita tentang dongeng sebuah negeri yang pernah ng berdiri di bumi ribuan tahun lalu. Negeri yang dipimpin oleh sebuah bangsa yang sangat unggul….. Narapati.” Dimas bicara agak pelan. Masih ragu dengan yang dilihatnya tadi. Dimas membuka-buka kembali buku itu. Ada sebuah dongeng yang tiba-tiba kini bisa diingatnya.
“Bukan, bukan tentang itu ceritanya, pasti kau salah. Aku sudah membacanya sampai dua kali, lihat saja di halaman keduanya. Disitu ada prolognya.” Pafi tetap pada pendapatnya. Tangannya membuka lembaran buku yang masih dipegang Dimas.
“Lihat saja, isinya berubah saat aku membukanya tadi.” Dimas menyorongkan halaman kedua ke hadapan Pafi. Pafi dengan seksama membaca seluruh isi halaman kedua yang merupakan prolog buku itu.
“Lihat saja, prolog buku ini seperti yang aku bilang tadi” Pafi tetap pada pendapatnya. Buku itu disorongkan kembali pada Dimas. Raji bolak balik mengikuti buku pindah dari tangan Pafi ke Dimas lalu kembali lagi dan kembali lagi.
Dimas mengambil kembali buku itu dari pegangan Pafi. “ Buku ini tadi…..” belum sempat menyelesaikan kata-katanya matanya terpaku pada lembaran yang tadi sempat dibacanya. Tetapi dia tidak dapat menemukannya. Dimas hanya menemukan awal cerita seperti yang diceritakan oleh Pafi.
“Tapi, buku ini menceritakan kisah yang sangat hebat tentang sebuah negeri yang sangat indah di lembah Sunda yang didiami oleh sebuah bangsa hebat bernama Narapati.” Dimas menceritakan apa yang dibacanya seolah sudah begitu hafal dan membaca seluruh isi dalam buku tersebut. Raji dan Pafi hanya bengong mendengarkan apa yang diceritakan Dimas. Sesaat kemudian Dimas sadar kemudian berhenti, matanya melihat sekeliling ruangan. Ruang belajar sudah kosong, satu per satu anak-anak asrama yang lain meninggalkan ruangan. Dimas terdiam sesaat, matanya seperti kosong menatap ke arah lukisan di dinding. Seakan sebuah pemandangan lembah terpampang di hadapannya dan cerita yang baru saja dibacanya benar-benar terwujud di hadapannya. Pafi tidak membantah lagi apapun yang dikatakan Dimas. Pafi mulai kembali menangkap hal aneh yang muncul lagi. Demikian pula Raji.
Sesaat kemudian lukisan dinding di hadapan mereka menyala terang. Raji dan Pafi hanya tertegun memandangnya. Antara harapan yang jadi kenyataan dengan rasa takut bercampur di dalam hati mereka. Sementara Dimas menunjukan sikap yang lain. Wajahnya tegang, tangan kanannya tertarik ke arah lukisan di dinding. Selarik cahaya keemasan keluar dari telapak tangannya. Aksara-aksara kuno yang berterbangan menempel pada dinding hingga tiba-tiba saja terbuka seperti sebuah pintu.
“Pintu itu….”Baik Dimas, Raji dan Pafi tertegun melihatnya.
Seakan sebagian seperti tersihir bercampur aduk dengan rasa ingin tahu mendorong kaki Dimas melangkah begitu saja memasuki pintu yang baru terbuka di hadapannya. Raji dan Pafi pun memiliki dorongan yang sama mengikuti langkah Dimas. Sebuah lorong kotak tidak terlalu panjang setinggi orang dewasa berujung pada rimbun pohon. Raji dan Pafi mengikutinya dari belakang. Dimas menyeruak hingga keluar dari rimbunan pohon-pohon perdu itu. Yang terpampang di hadapannya adalah sebuah lembah yang rapat dengan hutan belantara membentang hingga ke ujung kaki cakrawala. Barisan tebing-tebing batu berdiri angkuh mendongak ke langit. Di dataran sempitnya mengalir indah pilar-pilar air mengisi danau di bawahnya kemudian mengalir jauh dalam liukan indah sungai yang memercik indah mentari muda yang baru saja menghangatkan udara. Dimas begitu terpaku dengan keindahan di hadapannya, kemudian memandang balik ke belakang mencoba mengingat arah tempatnya semula keluar, sebuah dinding tebing yang sangat tinggi menjulang yang tidak ada satu pun pohon tumbuh kecuali serimbun tanaman perdu tempatnya tadi keluar. Tak lama kemudian Raji dan Pafi muncul dari rerimbunan pohon perdu itu.
“Dimana kita ?” Pafi memandang takjub seakan terhipnotis dengan apa yang dilihatnya.
“Siapa yang peduli kita berada dimana, yang penting kita bisa bermain sepuasnya.” Raji tak bisa mengungkapkan hal lain kecuali rasa senangnya.
“Ya, tapi bagaimana caranya kita keluar dari tebing sempit ini. Satu-satunya cara hanyalah terjun ke bawah dan mendarat di danau itu.” Dimas menunjuk ke bawah. Raji dan Pafi menengok ke bawah bersamaan.
“Biar aku coba membuat jalan buat kita.” Raji mulai pamer. Tangannya mulai diayun-ayunkan di depan dada. Air dari danau di bawah tebing mereka berdiri tiba-tiba bergetar. Raji kelihatan mulai berkeringat, wajahnya begitu tegang seperti sedang mengeluarkan tenaga yang begitu besar. Sebentar sebuah pilar air terangkat, tetapi belum sampai menyentuh tebing pilar air itu pecah dan menghempas kembali ke dalam danau. Suara debum keras menggema ke seluruh lembah. Raji berusaha lagi, tetapi seakan tenaganya terkuras habis lalu jatuh duduk.
“Sudah…jangan kau kuras tenagamu Raji.” Dimas membantu memapah Raji.
“Lebih baik kita bekerja sama dalam melakukannya.” Tiba-tiba Pafi seakan mendapat ide baru.
“Kau punya ide Pafi ?” Tanya Dimas.
“Iya, dari pada kita membuang tenaga mengangkat sesuatu untuk mencapai kita, lebih baik kita hemat dengan langsung mendekatinya. Kita melompat dari tebing ini ke dalam danau itu, nanti aku akan memperlambat jatuh kita dengan bantuan angin. Setelah cukup dekat ke permukaan Raji harus mengangkat kita dengan air dan mendorong tubuh kita ke tepi danau. Dan kau harus menyiapkan tempat empuk untuk kita mendarat.” Pafi menunjuk daerah dimana mereka akan mendarat.
“Ide yang bagus Pafi, ayo kita coba” Dimas mendekati bibir tebing, melihat tempat yang ditunjuk Pafi.
“Kau siap Raji ?” Dimas memastikan sahabatnya sudah pulih. Raji menggangguk.
“Ya, ayo kita mulai.” Raji bangkit dan bersama-sama Dimas dan Pafi berjalan ke pinggir tebing. Serentak mereka bertiga melompat dari atas tebing meluncur ke dalam danau. Pafi menggerak angin di bawah mereka. Sebuah gerakan angin cukup kuat mendorong kembali mereka bertiga ke atas, kemudian turun kembali dengan kecepatan yang lebih lambat. Beberapa saat sebelum tiba di permukaan Raji menarik air danau dan menangkap tubuh mereka dan mendorongnya ke tepi danau. Begitu menyentuh tepi danau tubuh ketiganya terhempas ke daratan dan Dimas mendapatkan bagian terakhir. Saat tubuh ketiganya terhempas, ranting-ranting pohon seakan tertarik merunduk ke bawah menerima jatuhnya tubuh mereka. Begitu lembut gerakannya seakan seperti seorang dewasa menerima seorang anak yang jatuh ke dalam pelukannya.
Dimas melompat diikuti oleh Raji dan Pafi. Cabang-cabang pohon itu kembali berdiri tegak. Mereka bertiga masih berusaha mengenali dunia baru yang baru saja mereka temui. Dimas merasakan dunia yang sekarang dilihatnya tampak sangat asing sekaligus terasa dekat dengannya. Dimas merasa seakan dirinya adalah bagian dari dunia ini dan ada bagian darinya yang akan memberikan peran penting untuk dunia ini. Mereka bertiga terus berjalan mengikuti tepian danau yang berujung di sebuah sungai yang cukup besar. Di bagian tebing yang lain sebuah telaga mengumpulkan air terjun di atasnya kemudian dilarungkan bersama sungai. Burung-burung terbang melintas, beberapa mendarat di bantaran dangkal sungai mematukan paruhnya ke dalam air. Sesekali seekor ikan meronta-ronta di ujung paruhnya lalu hilang ke dalam kerongkongan. Jelas sekali burung-burung itu belum pernah melihat manusia sebelumnya. Kehadiran Dimas, Raji dan Pafi tidak membuat mereka takut ataupun menghindar.
“Aku masih penasaran bagaimana tadi kau bisa membuka pintu itu.” Tanya Pafi.
“Aku sendiri tidak tahu Pafi, aku hanya membaca halaman pertama buku itu kemudian aku seperti mendapatkan sebuah kata terakhir dari kalimat itu. Setelah aku menyebutnya seluruh aksara dalam buku itu berubah menjadi aksara-aksara yang sangat aneh dan tidak aku kenal. Sesaat kemudian semua cerita yang kau maksud berubah semuanya menjadi cerita dongeng sebuah bangsa di sebuah kerajaan di lembah Sunda.” Dimas menceritakan kembali apa yang dilihatnya.
“Kata terakhir apa yang kau ucapkan saat membaca halaman pertama.” Pafi makin penasaran. Melihat Pafi makin penasaran Raji mulai menaruh perhatian lebih banyak.
“NARAPATI” kata Dimas.
“NARAPATI” Raji dan Pafi bersamaan menyebutkan kata yang disebutkan Dimas.
“Narapati itu apaan ?” Raji berharap itu nama makanan yang ditemukan ditempat ini. Perutnya sudah mulai berkokok.
“Buku itu menceritakan Narapati. Narapati adalah bangsa manusia pertama yang berjalan di bumi. Bangsa Narapati tinggal di sebuah kerajaan di lembah Sunda ribuan tahun sebelum kita. Di sana berdiri kota-kota indah Narapati yang bahkan jauh lebih maju dari pada yang dimiliki manusia sekarang.” Dimas menjawab pertanyaan Raji dengan sesingkat mungkin, karena dirinya tahu tidak mungkin menceritakan detilnya. Tangannya tetap memegang buku yang didapatnya dari Pafi.
Belum jauh mereka bertiga berjalan, tiba-tiba terdengar suara raungan keras dari dalam hutan di ikuti suara jeritan anak kecil meminta tolong. Bukannya ketakutan malahan gerakan refleks ketiganya mendorong mereka bergegas berlari masuk ke dalam hutan mencari sumber suara.Tak berapa lama terlihat seekor harimau berbadan nyaris seukuran kuda dewasa dengan taring atas yang sangat panjang keluar melewati rahang bawahnya. Cakarnya mengais-ais sebuah celah batu sempit seakan sedang berusaha meraih sesuatu dari dalamnya. Suara anak kecil meminta tolong keluar dari dalam celah batu itu.
“Hei…”Pafi langsung menggerakan tangannya melepaskan angin kencang kearah harimau itu. Seketika binatang itu terlempar cukup jauh dari celah batu itu. Raji tak mau ketinggalan, sebuah pilar air menerajang harimau yang baru saja bangkit dan mengguyur seluruh tubuhnya. Harimau itu mengaum keras dan segera lari meninggalkan tempat. Dimas bergegas menghampiri celah batu dan melihat seorang anak kecil berada cukup jauh di dalam celah itu.
“Keluarlah, harimau itu telah pergi” Dimas mengulurkan tangannya.
“Lodaya itu benar telah pergi ?” anak kecil kira-kira dua tahun lebih muda dari Dimas itu tampak masih gemetar. Dimas mengangguk. Tapi belum sempat bergerak banyak badannya terjepit tak bisa bergerak.
“Aku tidak bisa bergerak.” Kata anak kecil itu sambil berusaha menggeser-geser tubuhnya tapi tetap saja tidak cukup untuk melewati celah itu. Padahal tadi dia bisa masuk. Dimas mundur sedikit lalu menjejak kakinya sekali. Perlahan batu itu bergeser sedikit dan akhirnya anak itu berhasil keluar.
“Terima kasih telah menolongku” anak itu begitu kusut dan kotor. Sepertinya tadi sempat jatuh ke tanah dan membuat seluruh tubuhnya kotor. Pakaiannya agak aneh. Lebih mirip pakaian orang-orang pada jaman kerajaan hindu dulu. Gelang dan ikat pinggang emas menunjukan anak itu berasal dari keluarga mampu.
“Namaku Dimas, dan ini sahabatku Raji dan Pafi.” Dimas menyodorkan tangannya bersalaman.
“Siapakah kamu, mengapa sampai di tengah hutan begini sendirian ?” Pafi mulai bertanya. Dia tahu anak itu masih kaget dengan apa yang baru dialaminya. Ada manusia berarti disini ada kehidupan juga pikirnya. Bertanya mengenai asal usulnya akan member mereka pengetahuan awal mengenai dunia yang baru saja mereka kenal.
“Namaku Gandrung Mocopati, aku putra Penasehat Agung Kerajaan Narapati Patih Nara Jalaseva.” Anak itu memperkenalkan dirinya.
“Narapati ?” Dimas memastikan apa yang didengarnya.
“Iya, Narapati. Kerajaan Narapati.” kata Gandrung.
Dimas, Raji dan Pafi saling pandang. Mereka mulai mengerti dimana sekarang mereka berada. Pintu yang mereka temukan telah membawa mereka pada dunia dongeng yang diceritakan dalam buku itu. Tetapi tetap ada sesuatu yang masih belum terjawab yang Dimas sendiri tidak mengerti apa maksud dari perasaan itu.
“Lalu bagaimana kau bisa berada di hutan ini sendirian” Dimas sangat yakin anak ini tidak mungkin sendirian berada di tengah hutan, pasti dia datang bersama sebuah rombongan. Pakaian yang dikenakannya menunjukan bahwa dia bukan orang hutan. Pastilah dia tinggal di sebuah kota dekat tempat ini.
“Aku sedang ikut berburu bersama ayahku. Tadi aku bermain-main, tapi tanpa sadar aku terlalu jauh meninggalkan kemah. Kemudian saat mencari jalan pulang aku makin tersesat jauh dan akhirnya aku bertemu dengan lodaya tadi.” Gandrung dengan bingung menujukan arah yang sudah tidak lagi dia ingat akibat kerapatan hutan.
“Dimana tempat tinggalmu, mungkin kami bisa mengantarmu ke sana.” Kata Raji yang berharap bisa berada di kota untuk menambal perutnya yang mulai mengeluarkan bunyi tak berirama.
“Aku tidak tahu arah pulang, aku tinggal di ibukota” kata Gandrung agak resah menyadari dia tidak mengetahui arah pulang.
“Ibukota apa ?” Tanya Raji.
“Ibukota Kerajaan Narapati, Sunda Buana. Masa kalian tidak tahu ?” Gandrung terheran-heran.
“Kami bukan berasal dari sini, kami sedang mengembara mengunjungi tempat-tempat.” Kata Dimas berusaha menyudahi keheranan Gandrung.
“Kalau kalian bukan berasal dari ibukota, berarti sama saja seperti aku tidak tahu jalan ke sana.” Gandrung agak kecewa. Wajahnya langsung muram.
“Kita tidak perlu mencari dimana letak kemahnya, karena masuk ke dalam hutan berarti lebih banyak bahaya yang harus kita hadapi dan kita belum tahu betul tempat ini. Kita juga tidak perlu mengantarnya pulang karena kita lebih tidak tahu dari pada Gandrung mengenai tempat ini. Cukup kita membuat asap penunjuk ke udara. Aku yakin ayahmu sekarang berusaha mencarimu. Kita tinggal memberinya tanda saja di udara agar mereka mendatangi tempat kita.” Dimas mengusulkan jalan keluar yang cerdik.
“Aku setuju, lebih baik sekarang kita mencari makanan saja.” Raji sudah tidak tahan dengan perut laparnya.
“Aku akan menyiapkan tempat membuat api unggun.” Pafi pergi mencari tempat yang cocok untuk api unggun mereka.
“Aku akan mencari ikan di sungai.” Raji pergi ke pinggir sungai dengan semangat. Memancing tanpa pancing menjadi kegiatan paling disukainya sekarang.
“Aku akan mengumpulkan ranting kering.” Dimas memilih tugas yang belum diambil Raji dan Pafi.
“Aku melakukan apa ?” Gandrung kelihatan bingung.
“Kau ikut aku saja mengumpulkan ranting, kita akan membutuhkan banyak ranting kering untuk membuat tanda asap.” Gandrung mengangguk gembira. Tanpa banyak bicara lagi mereka semua berpisah mengerjakan tugas masing-masing.
Matahari sudah mulai mencapai ubun-ubun. Sebuah tumpukan ranting kering dengan asap yang sangat tebal mengepul ke udara melewati atap-atap hutan. Di sebelahnya api unggun kecil dengan beberapa ikan bakar masih menggantung di atasnya. Semuanya sedang sibuk menikmati makan sambil sesekali bersenda gurau. Tidak ada yang menyadari kecuali Dimas bahwa mereka sedang di awasi beberapa pasang mata. Tetapi Dimas diam saja, membiarkan orang-orang itu mendekat. Tiba-tiba dari dalam kerimbunan pohon-pohon hutan sebuah suara lembut terdengar.
“Gandrung anakku…” kata suara itu. Gandrung serta merta bangkit dan meninggalkan ikan bakarnya. Seorang dewasa berpakaian sangat rapi berwarna coklat tanah muncul dari balik pohon. Wajahnya yang begitu tenang menunjukan tingkat penguasaan diri yang tinggi.
“Ayah….” Gandrung langsung memeluk ayahnya.
“Bocah nakal…” Ayah Gandrung memeluknya.
“Ayah ini teman-teman ku, mereka yang menolongku. Tadi aku nyaris menjadi santapan Lodaya. Untung ada mereka menolongku. Mereka hebat sekali bisa mengalahkan Lodaya itu.” Gandrung begitu bersemangat menceritakan teman-teman barunya. Tidak ada rasa takut sedikitpun dari Gandrung untuk menceritakan kemalangan yang menimpanya. Bahkan Ayah Gandrung pun tidak tampak kaget dengan ceritanya.
“Ah…teman-teman baru. Aku Patih Nara Jalaseva mengucapkan terima kasih atas bantuan anak semua terhadap Gandrung anakku.” Patih Nara Jalaseva mengenalkan dirinya. Dimas, Raji dan Pafi bangkit meninggalkan makanan mereka. Beberapa orang laki-laki dewasa keluar dari balik pohon mengikuti ayah Gandrung.
“Kami kebetulan saja lewat tempat ini dan mendengar Gandrung memerlukan pertolongan. Kami hanya melakukan yang kami bisa saja.” Dimas memberikan salam diikuti Raji dan Pafi.
“Anak baik, adakah yang bisa aku lakukan sebagai bentuk balas budi atas kebaikan kalian.” Pati Nara Jalaseva menawarkan diri.
“Terima kasih tuan, kami hanya kebetulan saja melintas. Kami sedang bermain-main saja.” Dimas menolak halus. Raji dan Pafi tetap diam, karena mereka tahu itu yang terbaik saat ini.
“Jangan panggil aku tuan, panggil saja paman, kalau begitu. Wah ikan bakar, dari tadi aku mencium baunya enak sekali, membuatku menjadi sangat lapar. Boleh aku mencicipinya ?” Patih Nara Jalaseva mendekati beberapa ikan bakar yang tergantung di atas api unggun.
“Silahkan paman, masih ada beberapa yang masih hangat.” Dimas menyodorkan beberapa ikan. Suasana keakraban segera terbangun. Tidak sulit buat Raji untuk kembali menunjukan banyolan-banyolannya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.
“Baiklah, tampaknya kita harus segera pulang. Nak Dimas, Raji dan Pafi ikutlah bersama kami.” Patih Nara Jalaseva bangkit dari duduknya. Raji dan Pafi terdiam sesaat saling pandang. Seakan masing-masing sudah mengerti isyarat bahasa tubuh satu sama lain, dan senyum menandai artinya setuju untuk ikut, tetapi Dimas mengambil sikap yang lain. Kepalanya menggeleng.
“Kita harus kembali.” Kata Dimas. Raji dan Pafi agak kecewa, tapi keduanya akhirnya setuju dengan alasan Dimas. Setelah kedua sahabatnya setuju, Dimas menolak secara halus ajakan Patih Nara Jalaseva.
Akhirnya mereka pun berangkat meninggalkan Dimas, Raji dan Pafi di hutan itu dengan berjalan kaki menyusuri bantaran sungai.
“Apakah mereka tidak mempunyai pesawat terbang, atau paling tidak kereta kuda.” Raji berbisik pelan kepada Dimas saat melepas mereka pergi.
“Aku rasa ini bukan tempat menggunakannya. Menurut cerita itu, Narapati sangatlah maju bahkan memiliki wahana terbang yang mereka sebut pavaratha yang katanya lebih cepat dari suara angin.” Dimas terus memandangi rombongan itu pergi. Kemudian membalikan badannya kembali ke arah dimana pintu gaib tempat mereka masuk. Tidak lama setelah rombongan itu hilang, tampak sebuah wahana mengudara di pinggir sungai. Ukurannya tidak terlalu besar tetapi tidak memiliki dek bagian atas. Bentuknya seperti tanduk kerbau. Kulit permukaannya tidak terlihat terbuat dari kayu, bentuknya yang seperti sisik ular dengan warna kelabu awan mendung. Dimas maupun Raji dan Pafi tidak pernah melihatnya. Mereka bertiga sudah dalam perjalanan pulang dengan arah yang berlawanan. Mereka memandang hingga wahana itu terbang menjauh dan hilang di balik bukit.
“Apakah kita harus kembali sekarang ?” Raji terdengar begitu berat meninggalkan dunia baru ini.
“Aku rasa lebih baik begitu, kita sudah cukup lama berada di tempat ini. Kita tidak tahu jam berapa nanti kita akan berada di asrama kembali.” Dimas mencemaskan mereka yang akan melanggar begitu banyak aturan asrama.
Tanpa kesulitan mereka bisa kembali ke gua di tebing tempat mereka tadi keluar. Kembali masuk menembus rerimbunan tanaman perdu yang menutupi mulut gua. Mereka tiba kembali di ruang perpustakaan asrama. Tak ada seorang pun di sana, anak-anak yang lain telah kembali ke bangsal mereka. Takut kepergok Nyai Janis yang sedang berpatroli malam, Dimas segera bergegas keluar dari ruang belajar. Raji dan Pafi mengambil langkah cepat.
---- *** ----
Pagi saat sarapan menjadi hari pagi yang paling bergairah buat Dimas. Tampaknya Raji pun kelihatan begitu sumringah. Pafi sudah duduk menyantap sarapan paginya tersenyum ceria menyambut kedatangan Dimas dan Raji.
“Apa kabar kalian pagi ini ?” Pafi menyapa tidak seperti biasanya.
“Eh, baik ku rasa” jawab Dimas singkat. Lebih baik, lebih dari yang aku inginkan dalam hati Dimas.
“Aku rasa hari ini sangat menyenangkan” Raji melebarkan tangannya menggembungkan dadanya menarik nafas dalam-dalam. Hidungnya mekar, jantungnya berdebum memompakan kebahagian.
“Aku ingin sekali kembali lagi kesana” Pafi menggeser duduknya memberikan ruang untuk Raji yang duduk di sebelahnya.
“Sepulang dari sekolah saja, biasanya kan ruang belajar kosong.” Dimas memberikan usul. Matanya sesekali memandang ke sekeliling.
“Usul yang bagus, ayo kita selesaikan pagi ini.” Raji kelihatan lebih postif dari biasanya.
“Kalian sadar tidak kalau semalam waktu saat kita masuk pintu itu sama hingga kembali lagi.” Kata Pafi
“Maksudmu ?” Dimas agak bingung.
“Artinya berapa lamapun kita berada di sana, kita akan tetap kembali pada waktu yang sama.” Pafi kelihatan girang.
“Wow, hebat berarti kita bisa berlama-lama disana” Raji lebih semangat lagi. Setelah menghabiskan sarapannya mereka berangkat ke sekolah tanpa gangguan apapun dari Aryo dan gengnya.
Sekolah rakyat tempat Dimas belajar sudah begitu ramai dengan anak-anak pribumi yang diperbolehkan bersekolah. Anak-anak asrama termasuk beruntung masih diperbolehkan bersekolah berkat hubungan kuat Nyai Janis dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alidius Warmoldus.
“Pelajaran apa pagi ini ? hehehe.. aku lupa” Raji cengengesan.
“Sejarah, entah sejarah siapa yang akan kita pelajari kali ini.” Jawab Dimas.
“Mudah-mudahan bukan sejarang wong londo lagi, sudah capek aku mendengarnya.” Raji agak menggerutu.
“Selamat pagi anak-anak” Seorang lelaki tua muncul dari pintu masuk. Semua anak di dalam kelas menjawab salam bersamaan. Guru Kusumo mengajar sejarah. Sebenarnya Guru Kusumo guru yang paling disukai oleh Dimas, hanya pelajaran yang disampaikannya saja terkadang tidak disukai Dimas. Apalagi kalau sudah bercerita sejarah Hindia Belanda.
Pelajaran langsung dimulai oleh Guru Kusumo. Anak-anak memperhatikan semua yang dijelaskan Guru Kusumo dengan tenang. Terlihat rasa hormat yang ditunjukan kepada Guru tua itu. Bahkan tanya jawabpun dilakukan dengan tertib.
“Masih ada yang mau ditanyakan ?” Guru Kusumo mengacungkan tangannya memberikan kesempatan semua siswa untuk bertanya.
“Saya Pak Guru !” Dimas menunjukan jarinya.
“Silahkah Dimas !” Guru Kusumo memfokuskan perhatiannya kepada Dimas. Dia tahu sedang berhadapan dengan murid terpandai di kelasnya.
“Apakah benar dulu ada sebuah kerajaan yang berdiri di atas lembah sunda dengan ibukotanya Sunda Buana dan sekarang adalah sebuah lautan luas di antara pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan ?” Dimas menangkap perubahan raut wajah yang bisa memberinya jawaban. Guru Kusumo terlihat sedikit terkejut, tetapi kembali menunjukan wajah biasa.
“Sepertinya belum ada penelitian mengenai sejarah masa lalu nusantara. Kalaupun ada cerita seperti yang seperti itu, kemungkinan masih berupa cerita dongeng dari mulut ke mulut. Belum ditemukan sebuah bukti tertulis yang bisa dijadikan pegangan. Diperlukan bukti berupa sisa-sisa peradaban tersebut pernah berdiri seperti sebuah candi, kuil atau bangunan sebuah kota. Bahkan belum ada teori yang mengatakah bahwa lautan itu dulunya adalah sebuah daratan.” Kata Guru Kusumo menjelaskan. Dimas merasa tidak puas mendapatkan jawaban itu. Dia tahu ada sesuatu yang seharusnya lebih dari jawaban itu.
“Apakah kemungkinan itu tetap terbuka pak Guru, mengingat letaknya yang sekarang adalah sebuah lautan luas sehingga sangat sulit untuk mendapatkan bukti-buktinya ?” Dimas berusaha agak mendesak. Dia ingin memancing Guru Kusumo agar mengatakan sesuatu yang mungkin sebenarnya dia tahu mengenai sesuatu.
“Ya, sangat terbuka. Hanya perlu banyak teori mengenai bagaimana dulunya wilayah itu dulunya adalah sebuah daratan yang luas dan pernah berdiri sebuah kerajaan.” Jawaban Guru Kusumo tetap singkat. Dimas tak lagi melanjutkan pertanyaanya, dia merasa ada batasan yang sedang dibangun Guru Kusumo dengan dirinya. Guru Kusumo pun tidak melanjutkan lagi, senyumnya hanya kecil mengembang. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang setelah pertanyaan Dimas tadi.
Dimas berpikir keras kenapa kota Sunda Buana tidak ada dalam sejarah. Guru Kusumo tidak mungkin bohong, atau mungkin dia belum mengetahui mengenai sejarah ini. Dimas merasa harus mendapatkan kepastian yang cukup mengenai sejarah kota Sunda Buana. Paling tidak ada yang pernah mengetahuinya sehingga dia bisa yakin dengan semua cerita yang diketahui dari buku misterius itu. Pikirannya mulai menerawang mencari siapakah yang bisa memberinya jawaban. Kemudian pak Narso terlintas di kepalanya. Setelah semua kejadian aneh yang dialaminya dan berkat bantuan Pak Narso lah dirinya bisa mengetahui arti semuanya. Pastilah pak Narso juga paling tidak pernah mendengarnya. Lagi pula pak Narso kan sudah sepuh, pasti dia pernah mendengarnya dari orang tua atau kakek neneknya.
Siang hari terik mencapai puncaknya. Dimas telah kembali ke asrama. Dirinya belum sempat menceritakan rencanya untuk bertemu pak Narso terlebih dahulu sebelum mereka kembali lagi ke ruang belajar.
“Ada yang harus aku katakan pada kalian.” Raji dan Pafi berhenti tepat di depan pintu asrama dan menunggu Dimas mengatakan maksudnya.
“Kita ke tempat pak Narso sebentar, kita tanya padanya mengenai Sunda Buana.” Dimas berharap kedua sahabatnya mau kesana. Tapi matanya Cuma melihat wajah merengut Pafi.
“Bukankah kita akan ke ruang belajar dan langsung ke pintu itu lagi ?” Raji agak keberatan dengan perubahan rencana itu.
“Ini penting sekali. Aku merasa pertanyaan yang tadi siang aku tanyakan kepada Guru Kusumo mungkin ada jawabannya di Pak Narso. Ingat, dia telah membantu kita mengenali kekuatan kita. Aku yakin dia punya jawaban mengenai hal ini juga.” Dimas berusaha meyakinkan kedua sahabatnya. Pafi kelihatan mulai mengerti maksud Dimas.
“Aku rasa Dimas benar Raji, kita harus yakin dunia yang semalam kita masuki adalah dunia yang benar-benar ada. Setelah itu baru kita kembali mengunjungi pintu itu.” Pafi setuju rencana Dimas. Akhirnya Raji juga menyetujuinya dan mereka bergegas ke tempat pak Narso.
Rumah pak Narso sudah kelihatan dari kejauhan. Pak Narso sedang duduk santai di serambi rumahnya yang sederhana. Orang tua itu tersenyum ramah melihat kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.
“Selamat datang anak-anak” sambut pak Narso.
“Selamat siang pak Narso” Dimas membalas salam. Terik siang tidak terlalu mengganggu. Jalan menuju rumah pak Narso rimbun oleh pohon-pohon.
“Sepertinya anak semua langsung dari sekolah ke sini. Tidak makan siang dulu ?” tanya Pak Narso.
“Eh..iya pak. Ada hal yang ingin kami tanyakan kepada bapak.” Jawab Dimas. Pak Narso hanya mengangguk-angguk menunggu pertanyaan datang.
“Begini pak, apakah bapak tahu mengenai sejarah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di lembah Sunda dengan ibukotanya Sunda Buana.” Tanya Dimas perlahan sekali. Pak Narso kelihatan serius dan mengubah duduknya saat mendengar pertanyaan Dimas.
“Dari manakah nak Dimas tahu mengenai hal itu ?” tanya pak Narso ingin tahu.
“Ngg… tadi kami” Dimas agak bingung menjawabnya. Untung saja Pafi langsung menyambungnya.
“Tadi kami belajar mengenai sejarah dan salah satunya tentang dugaan mengenai dulu ada sebuah kerajaan di lembah Sunda dengan ibukotanya Sunda Buana.” Pafi cepat memberikan alasan. Tapi Pafi tidak pandai berbohong. Pak Narso juga merasakannya. Pak Narso ragu sejenak, dia merasakan ketiga anak ini merahasiakan sesuatu. Sesuatu yang dia yakin sebenarnya juga tahu. Tapi pak Narso ingin tetap mereka tidak tahu bahwa dirinya juga mengetahui rahasia itu.
“Baiklah anak-anak. Sebaiknya kita makan siang bersama disini. Nanti setelah makan bapak akan ceritakan semuanya.” Pak Narso mengerti sekali kalau mereka juga sudah sangat lapar. Apalagi gerak tubuh Raji yang amat mudah dibaca kalau sedang kelaparan. Raji langsung sumringah mendapatkan tawaran itu.
Mbok Sinem siang itu masak gudeg. Makanan yang sama dengan yang nanti akan mereka makan di asrama. Biasanya setelah selesai memasak untuk semua penghuni asrama, Mbok Sinem menyisihkan untuk dimakannya bersama pak Narso. Setelah makan siang pak Narso pun menceritakan semua hal yang diketahuinya mengenai Sunda Buana dan Kerajaan Narapati.
“Jadi Kerajaan Narapati benar-benar ada pak ?” Dimas nyaris tidak percaya kalau akhirnya mendapatkan pengesahan atas semua yang dialaminya bersama Raji dan Pafi. Buku dongeng itu bukan cerita rekaan semata, tetapi memang sebuah kisah dari alam yang nyata dan pernah ada. Pafi tersenyum senang mendengar kisah yang disampaikan pak Narso. Hanya Raji yang kelihatan santai dan masih asyik dengan sisa singkong rebus penutup makan.
“Lalu kemana semua penduduknya kalau sekarang hampir semua kota-kota kerajaan Narapati tenggelam di dasar laut ?” Pafi baru mulai ingin menggali lebih dalam. Saking menariknya kisah itu, dirinya lupa akan janji mereka sendiri.
“Entahlah, bapak hanya mendengar kisahnya sampai disitu saja. Tidak jelas apakah rakyat kerajaan Narapati bisa menyelamatkan diri dari bencana dahsyat itu. Tapi menurut bapak sih, pastilah kita juga merupakan keturunan dari rakyat kerajaan Narapati yang selamat dan tinggal di pulau-pulau yang tidak tenggelam.”
Dimas ingat janjinya untuk tidak terlalu lama. “Baiklah pak Narso, kami mau kembali lagi ke asrama. Terima kasih atas penjelasan bapak.” Dimas pamit mewakili kedua sahabatnya.
“Terima kasih juga untuk makan siangnya pak” kata Raji. Pak Narso tersenyum mengangguk. Kemudian Dimas, Raji dan Pafi beranjak dari tempat itu kembali ke asrama.
“Jadi sekarang kita ke ruang belajar ?” Raji begitu bergairah. Untuk orang yang tidak mengenal Raji pasti mengiranya sangat suka belajar atau paling tidak membaca.
“Setelah kita berganti pakaian tentunya. Aku tak mau ke sana dengan wajah kusam seperti ini” Pafi justru tampak lebih santai.
Raji dan Dimas tersenyum melirik Pafi. Tawa terlepas dari bibir mereka. Tangan mereka saling memeluk pundak dan berjalan bersama menuju asrama. Saling meletakan beban di pundak satu sama lain. Meletakan arti persahabatan ke tingkatan yang paling tinggi. Lebih dari sekadar membagi beban, tetapi juga menanggungnya hingga nafas terakhir.