Tuesday 29 January 2008

BAGIAN 2 - GERBANG MATAHARI

Ruang belajar telah dipenuhi anak-anak yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Pafi sedang asyik membaca-baca buku yang beberapa tertumpuk di sebelahnya. Walaupun tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, Pafi sangat menyukai ruang belajar dan sering menghabiskan waktunya di ruang itu kalau tidak sedang bersama Dimas dan Raji. Pafi termasuk agak menjaga jarak dengan teman-teman perempuannya. Dia lebih suka melakukan segala sesuatu sendiri saat tidak bersama dengan Dimas dan Raji. Dimas dan Raji tak lama kemudian muncul di ruang belajar langsung menghampiri Pafi yang sedang asyik membaca.

“kelihatannya masih banyak anak-anak yah” Raji memulai pembicaraan. Pafi masih kelihatan asyik serius membaca seakan bacaan lebih menarik dari pada berbicara dengan kedua sahabatnya.

“Iyah, sepertinya pekerjaan rumah mereka cukup banyak.” Pafi tak menoleh sedikitpun. Matanya terus terpaku pada buku yang sedang dibacanya. Dia hanya menjawab sambil terus melanjutkan bacaannya.

“Buku apa yang sedang kau baca, kelihatannya menarik sekali ?” Kali ini Dimas yang mencoba menarik Pafi dari bukunya. Tetapi hasilnya sama saja.

“Cerita mengenai perjalanan keliling dunia.” jawab Pafi singkat.

Dimas maupun Raji sudah mengerti kalau Pafi sedang asyik membaca pasti tidak ada yang bisa membuatnya mengalihakan perhatian. Dimas dan Raji saling pandang dan seperti sudah saling mengerti mereka berdua bangkit dan mulai berkeliling-keliling di sela-sela rak buku. Seakan sedang mencari-cari buku yang akan dibaca tetapi sebenarnya baik Dimas maupun Raji sesekali memandangi lukisan gunung yang berada di dinding dekat mereka berdiri.

“Hei, bukankah sebaiknya kita menunggu semua yang lain selesai ?” tiba-tiba Pafi sudah berada di dekat Dimas dan Raji. Dimas dan Raji terkejut bukan main saat Pafi menyapa.

“Habisnya kau juga tak bisa meninggalkan bacaanmu itu” Raji merengut tapi belum hilang kagetnya.

“Kami hanya memeriksa keadaan saja sementara kau membaca, sekalian mencari-cari buku yang menarik.” Dimas mencoba menjelaskan. Tampaknya itu cukup memberikan alasan untuk Pafi. Pafi tidak lagi melanjutkan.

“Cobalah baca buku ini, ini sebuah karya cerita yang tidak ada pengarangnya. Aku menemukannya agak tersembunyi. Aku yakin kau tidak akan menggubris siapapun saat membacanya” Pafi menyodorkan sebuah buku berwarna coklat kusam yang sudah kelihatan tua. Dimas menerima buku itu, seakan sekilas matanya buku itu berubah kulit luarnya menjadi keemasan kamudian kembali lagi menjadi coklat kusam.




Dimas merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan buku yang baru saja diterimanya dari Pafi. Kemudian Dimas membuka halaman pertamanya. Raji hanya lebih tertarik mengikuti apa yang sedang dibaca Dimas dari pada mencari buku bacaannya sendiri.

Halaman pertama hanya terdapat sebuah kalimat dengan diakhiri titik-titik panjang.

“Menjadi yang pertama berjalan di atas permukaan bumi sang Manusia Utama ……………..”

Dimas membaca halaman pertama buku yang sedang dipegangnya. Dengan suara yang nyaris mendesis Dimas menyebutkan sebuah kata

“NARAPATI”

Kemudian Dimas membalik ke halaman berikutnya. Sebuah halaman pertama berisi kalimat panjang sebuah karya cerita. Semua tulisan itu tiba-tiba berubah menjadi aksara-aksara yang sangat aneh. Tulisan-tulisan itu bersinar keemasan kemudian seperti terserap seluruh tulisan itu ke dalam telapak tangan Dimas kemudian kembali lagi menjadi aksara-aksara romawi.

“Buku itu bercerita tentang pergelutan seorang anak di tengah keluarga yang semula bahagia kemudian menjadi porak poranda.” kata Pafi.

“Bukan, buku ini bercerita tentang dongeng sebuah negeri yang pernah ng berdiri di bumi ribuan tahun lalu. Negeri yang dipimpin oleh sebuah bangsa yang sangat unggul….. Narapati.” Dimas bicara agak pelan. Masih ragu dengan yang dilihatnya tadi. Dimas membuka-buka kembali buku itu. Ada sebuah dongeng yang tiba-tiba kini bisa diingatnya.

“Bukan, bukan tentang itu ceritanya, pasti kau salah. Aku sudah membacanya sampai dua kali, lihat saja di halaman keduanya. Disitu ada prolognya.” Pafi tetap pada pendapatnya. Tangannya membuka lembaran buku yang masih dipegang Dimas.

“Lihat saja, isinya berubah saat aku membukanya tadi.” Dimas menyorongkan halaman kedua ke hadapan Pafi. Pafi dengan seksama membaca seluruh isi halaman kedua yang merupakan prolog buku itu.

“Lihat saja, prolog buku ini seperti yang aku bilang tadi” Pafi tetap pada pendapatnya. Buku itu disorongkan kembali pada Dimas. Raji bolak balik mengikuti buku pindah dari tangan Pafi ke Dimas lalu kembali lagi dan kembali lagi.

Dimas mengambil kembali buku itu dari pegangan Pafi. “ Buku ini tadi…..” belum sempat menyelesaikan kata-katanya matanya terpaku pada lembaran yang tadi sempat dibacanya. Tetapi dia tidak dapat menemukannya. Dimas hanya menemukan awal cerita seperti yang diceritakan oleh Pafi.

“Tapi, buku ini menceritakan kisah yang sangat hebat tentang sebuah negeri yang sangat indah di lembah Sunda yang didiami oleh sebuah bangsa hebat bernama Narapati.” Dimas menceritakan apa yang dibacanya seolah sudah begitu hafal dan membaca seluruh isi dalam buku tersebut. Raji dan Pafi hanya bengong mendengarkan apa yang diceritakan Dimas. Sesaat kemudian Dimas sadar kemudian berhenti, matanya melihat sekeliling ruangan. Ruang belajar sudah kosong, satu per satu anak-anak asrama yang lain meninggalkan ruangan. Dimas terdiam sesaat, matanya seperti kosong menatap ke arah lukisan di dinding. Seakan sebuah pemandangan lembah terpampang di hadapannya dan cerita yang baru saja dibacanya benar-benar terwujud di hadapannya. Pafi tidak membantah lagi apapun yang dikatakan Dimas. Pafi mulai kembali menangkap hal aneh yang muncul lagi. Demikian pula Raji.

Sesaat kemudian lukisan dinding di hadapan mereka menyala terang. Raji dan Pafi hanya tertegun memandangnya. Antara harapan yang jadi kenyataan dengan rasa takut bercampur di dalam hati mereka. Sementara Dimas menunjukan sikap yang lain. Wajahnya tegang, tangan kanannya tertarik ke arah lukisan di dinding. Selarik cahaya keemasan keluar dari telapak tangannya. Aksara-aksara kuno yang berterbangan menempel pada dinding hingga tiba-tiba saja terbuka seperti sebuah pintu.

“Pintu itu….”Baik Dimas, Raji dan Pafi tertegun melihatnya.

Seakan sebagian seperti tersihir bercampur aduk dengan rasa ingin tahu mendorong kaki Dimas melangkah begitu saja memasuki pintu yang baru terbuka di hadapannya. Raji dan Pafi pun memiliki dorongan yang sama mengikuti langkah Dimas. Sebuah lorong kotak tidak terlalu panjang setinggi orang dewasa berujung pada rimbun pohon. Raji dan Pafi mengikutinya dari belakang. Dimas menyeruak hingga keluar dari rimbunan pohon-pohon perdu itu. Yang terpampang di hadapannya adalah sebuah lembah yang rapat dengan hutan belantara membentang hingga ke ujung kaki cakrawala. Barisan tebing-tebing batu berdiri angkuh mendongak ke langit. Di dataran sempitnya mengalir indah pilar-pilar air mengisi danau di bawahnya kemudian mengalir jauh dalam liukan indah sungai yang memercik indah mentari muda yang baru saja menghangatkan udara. Dimas begitu terpaku dengan keindahan di hadapannya, kemudian memandang balik ke belakang mencoba mengingat arah tempatnya semula keluar, sebuah dinding tebing yang sangat tinggi menjulang yang tidak ada satu pun pohon tumbuh kecuali serimbun tanaman perdu tempatnya tadi keluar. Tak lama kemudian Raji dan Pafi muncul dari rerimbunan pohon perdu itu.

“Dimana kita ?” Pafi memandang takjub seakan terhipnotis dengan apa yang dilihatnya.

“Siapa yang peduli kita berada dimana, yang penting kita bisa bermain sepuasnya.” Raji tak bisa mengungkapkan hal lain kecuali rasa senangnya.

“Ya, tapi bagaimana caranya kita keluar dari tebing sempit ini. Satu-satunya cara hanyalah terjun ke bawah dan mendarat di danau itu.” Dimas menunjuk ke bawah. Raji dan Pafi menengok ke bawah bersamaan.

“Biar aku coba membuat jalan buat kita.” Raji mulai pamer. Tangannya mulai diayun-ayunkan di depan dada. Air dari danau di bawah tebing mereka berdiri tiba-tiba bergetar. Raji kelihatan mulai berkeringat, wajahnya begitu tegang seperti sedang mengeluarkan tenaga yang begitu besar. Sebentar sebuah pilar air terangkat, tetapi belum sampai menyentuh tebing pilar air itu pecah dan menghempas kembali ke dalam danau. Suara debum keras menggema ke seluruh lembah. Raji berusaha lagi, tetapi seakan tenaganya terkuras habis lalu jatuh duduk.

“Sudah…jangan kau kuras tenagamu Raji.” Dimas membantu memapah Raji.

“Lebih baik kita bekerja sama dalam melakukannya.” Tiba-tiba Pafi seakan mendapat ide baru.

“Kau punya ide Pafi ?” Tanya Dimas.

“Iya, dari pada kita membuang tenaga mengangkat sesuatu untuk mencapai kita, lebih baik kita hemat dengan langsung mendekatinya. Kita melompat dari tebing ini ke dalam danau itu, nanti aku akan memperlambat jatuh kita dengan bantuan angin. Setelah cukup dekat ke permukaan Raji harus mengangkat kita dengan air dan mendorong tubuh kita ke tepi danau. Dan kau harus menyiapkan tempat empuk untuk kita mendarat.” Pafi menunjuk daerah dimana mereka akan mendarat.

“Ide yang bagus Pafi, ayo kita coba” Dimas mendekati bibir tebing, melihat tempat yang ditunjuk Pafi.

“Kau siap Raji ?” Dimas memastikan sahabatnya sudah pulih. Raji menggangguk.

“Ya, ayo kita mulai.” Raji bangkit dan bersama-sama Dimas dan Pafi berjalan ke pinggir tebing. Serentak mereka bertiga melompat dari atas tebing meluncur ke dalam danau. Pafi menggerak angin di bawah mereka. Sebuah gerakan angin cukup kuat mendorong kembali mereka bertiga ke atas, kemudian turun kembali dengan kecepatan yang lebih lambat. Beberapa saat sebelum tiba di permukaan Raji menarik air danau dan menangkap tubuh mereka dan mendorongnya ke tepi danau. Begitu menyentuh tepi danau tubuh ketiganya terhempas ke daratan dan Dimas mendapatkan bagian terakhir. Saat tubuh ketiganya terhempas, ranting-ranting pohon seakan tertarik merunduk ke bawah menerima jatuhnya tubuh mereka. Begitu lembut gerakannya seakan seperti seorang dewasa menerima seorang anak yang jatuh ke dalam pelukannya.

Dimas melompat diikuti oleh Raji dan Pafi. Cabang-cabang pohon itu kembali berdiri tegak. Mereka bertiga masih berusaha mengenali dunia baru yang baru saja mereka temui. Dimas merasakan dunia yang sekarang dilihatnya tampak sangat asing sekaligus terasa dekat dengannya. Dimas merasa seakan dirinya adalah bagian dari dunia ini dan ada bagian darinya yang akan memberikan peran penting untuk dunia ini. Mereka bertiga terus berjalan mengikuti tepian danau yang berujung di sebuah sungai yang cukup besar. Di bagian tebing yang lain sebuah telaga mengumpulkan air terjun di atasnya kemudian dilarungkan bersama sungai. Burung-burung terbang melintas, beberapa mendarat di bantaran dangkal sungai mematukan paruhnya ke dalam air. Sesekali seekor ikan meronta-ronta di ujung paruhnya lalu hilang ke dalam kerongkongan. Jelas sekali burung-burung itu belum pernah melihat manusia sebelumnya. Kehadiran Dimas, Raji dan Pafi tidak membuat mereka takut ataupun menghindar.

“Aku masih penasaran bagaimana tadi kau bisa membuka pintu itu.” Tanya Pafi.

“Aku sendiri tidak tahu Pafi, aku hanya membaca halaman pertama buku itu kemudian aku seperti mendapatkan sebuah kata terakhir dari kalimat itu. Setelah aku menyebutnya seluruh aksara dalam buku itu berubah menjadi aksara-aksara yang sangat aneh dan tidak aku kenal. Sesaat kemudian semua cerita yang kau maksud berubah semuanya menjadi cerita dongeng sebuah bangsa di sebuah kerajaan di lembah Sunda.” Dimas menceritakan kembali apa yang dilihatnya.

“Kata terakhir apa yang kau ucapkan saat membaca halaman pertama.” Pafi makin penasaran. Melihat Pafi makin penasaran Raji mulai menaruh perhatian lebih banyak.

“NARAPATI” kata Dimas.

“NARAPATI” Raji dan Pafi bersamaan menyebutkan kata yang disebutkan Dimas.

“Narapati itu apaan ?” Raji berharap itu nama makanan yang ditemukan ditempat ini. Perutnya sudah mulai berkokok.

“Buku itu menceritakan Narapati. Narapati adalah bangsa manusia pertama yang berjalan di bumi. Bangsa Narapati tinggal di sebuah kerajaan di lembah Sunda ribuan tahun sebelum kita. Di sana berdiri kota-kota indah Narapati yang bahkan jauh lebih maju dari pada yang dimiliki manusia sekarang.” Dimas menjawab pertanyaan Raji dengan sesingkat mungkin, karena dirinya tahu tidak mungkin menceritakan detilnya. Tangannya tetap memegang buku yang didapatnya dari Pafi.

Belum jauh mereka bertiga berjalan, tiba-tiba terdengar suara raungan keras dari dalam hutan di ikuti suara jeritan anak kecil meminta tolong. Bukannya ketakutan malahan gerakan refleks ketiganya mendorong mereka bergegas berlari masuk ke dalam hutan mencari sumber suara.Tak berapa lama terlihat seekor harimau berbadan nyaris seukuran kuda dewasa dengan taring atas yang sangat panjang keluar melewati rahang bawahnya. Cakarnya mengais-ais sebuah celah batu sempit seakan sedang berusaha meraih sesuatu dari dalamnya. Suara anak kecil meminta tolong keluar dari dalam celah batu itu.

“Hei…”Pafi langsung menggerakan tangannya melepaskan angin kencang kearah harimau itu. Seketika binatang itu terlempar cukup jauh dari celah batu itu. Raji tak mau ketinggalan, sebuah pilar air menerajang harimau yang baru saja bangkit dan mengguyur seluruh tubuhnya. Harimau itu mengaum keras dan segera lari meninggalkan tempat. Dimas bergegas menghampiri celah batu dan melihat seorang anak kecil berada cukup jauh di dalam celah itu.

“Keluarlah, harimau itu telah pergi” Dimas mengulurkan tangannya.

“Lodaya itu benar telah pergi ?” anak kecil kira-kira dua tahun lebih muda dari Dimas itu tampak masih gemetar. Dimas mengangguk. Tapi belum sempat bergerak banyak badannya terjepit tak bisa bergerak.

“Aku tidak bisa bergerak.” Kata anak kecil itu sambil berusaha menggeser-geser tubuhnya tapi tetap saja tidak cukup untuk melewati celah itu. Padahal tadi dia bisa masuk. Dimas mundur sedikit lalu menjejak kakinya sekali. Perlahan batu itu bergeser sedikit dan akhirnya anak itu berhasil keluar.

“Terima kasih telah menolongku” anak itu begitu kusut dan kotor. Sepertinya tadi sempat jatuh ke tanah dan membuat seluruh tubuhnya kotor. Pakaiannya agak aneh. Lebih mirip pakaian orang-orang pada jaman kerajaan hindu dulu. Gelang dan ikat pinggang emas menunjukan anak itu berasal dari keluarga mampu.

“Namaku Dimas, dan ini sahabatku Raji dan Pafi.” Dimas menyodorkan tangannya bersalaman.

“Siapakah kamu, mengapa sampai di tengah hutan begini sendirian ?” Pafi mulai bertanya. Dia tahu anak itu masih kaget dengan apa yang baru dialaminya. Ada manusia berarti disini ada kehidupan juga pikirnya. Bertanya mengenai asal usulnya akan member mereka pengetahuan awal mengenai dunia yang baru saja mereka kenal.

“Namaku Gandrung Mocopati, aku putra Penasehat Agung Kerajaan Narapati Patih Nara Jalaseva.” Anak itu memperkenalkan dirinya.

“Narapati ?” Dimas memastikan apa yang didengarnya.

“Iya, Narapati. Kerajaan Narapati.” kata Gandrung.

Dimas, Raji dan Pafi saling pandang. Mereka mulai mengerti dimana sekarang mereka berada. Pintu yang mereka temukan telah membawa mereka pada dunia dongeng yang diceritakan dalam buku itu. Tetapi tetap ada sesuatu yang masih belum terjawab yang Dimas sendiri tidak mengerti apa maksud dari perasaan itu.

“Lalu bagaimana kau bisa berada di hutan ini sendirian” Dimas sangat yakin anak ini tidak mungkin sendirian berada di tengah hutan, pasti dia datang bersama sebuah rombongan. Pakaian yang dikenakannya menunjukan bahwa dia bukan orang hutan. Pastilah dia tinggal di sebuah kota dekat tempat ini.

“Aku sedang ikut berburu bersama ayahku. Tadi aku bermain-main, tapi tanpa sadar aku terlalu jauh meninggalkan kemah. Kemudian saat mencari jalan pulang aku makin tersesat jauh dan akhirnya aku bertemu dengan lodaya tadi.” Gandrung dengan bingung menujukan arah yang sudah tidak lagi dia ingat akibat kerapatan hutan.

“Dimana tempat tinggalmu, mungkin kami bisa mengantarmu ke sana.” Kata Raji yang berharap bisa berada di kota untuk menambal perutnya yang mulai mengeluarkan bunyi tak berirama.

“Aku tidak tahu arah pulang, aku tinggal di ibukota” kata Gandrung agak resah menyadari dia tidak mengetahui arah pulang.

“Ibukota apa ?” Tanya Raji.

“Ibukota Kerajaan Narapati, Sunda Buana. Masa kalian tidak tahu ?” Gandrung terheran-heran.

“Kami bukan berasal dari sini, kami sedang mengembara mengunjungi tempat-tempat.” Kata Dimas berusaha menyudahi keheranan Gandrung.

“Kalau kalian bukan berasal dari ibukota, berarti sama saja seperti aku tidak tahu jalan ke sana.” Gandrung agak kecewa. Wajahnya langsung muram.

“Kita tidak perlu mencari dimana letak kemahnya, karena masuk ke dalam hutan berarti lebih banyak bahaya yang harus kita hadapi dan kita belum tahu betul tempat ini. Kita juga tidak perlu mengantarnya pulang karena kita lebih tidak tahu dari pada Gandrung mengenai tempat ini. Cukup kita membuat asap penunjuk ke udara. Aku yakin ayahmu sekarang berusaha mencarimu. Kita tinggal memberinya tanda saja di udara agar mereka mendatangi tempat kita.” Dimas mengusulkan jalan keluar yang cerdik.

“Aku setuju, lebih baik sekarang kita mencari makanan saja.” Raji sudah tidak tahan dengan perut laparnya.

“Aku akan menyiapkan tempat membuat api unggun.” Pafi pergi mencari tempat yang cocok untuk api unggun mereka.

“Aku akan mencari ikan di sungai.” Raji pergi ke pinggir sungai dengan semangat. Memancing tanpa pancing menjadi kegiatan paling disukainya sekarang.

“Aku akan mengumpulkan ranting kering.” Dimas memilih tugas yang belum diambil Raji dan Pafi.

“Aku melakukan apa ?” Gandrung kelihatan bingung.

“Kau ikut aku saja mengumpulkan ranting, kita akan membutuhkan banyak ranting kering untuk membuat tanda asap.” Gandrung mengangguk gembira. Tanpa banyak bicara lagi mereka semua berpisah mengerjakan tugas masing-masing.

Matahari sudah mulai mencapai ubun-ubun. Sebuah tumpukan ranting kering dengan asap yang sangat tebal mengepul ke udara melewati atap-atap hutan. Di sebelahnya api unggun kecil dengan beberapa ikan bakar masih menggantung di atasnya. Semuanya sedang sibuk menikmati makan sambil sesekali bersenda gurau. Tidak ada yang menyadari kecuali Dimas bahwa mereka sedang di awasi beberapa pasang mata. Tetapi Dimas diam saja, membiarkan orang-orang itu mendekat. Tiba-tiba dari dalam kerimbunan pohon-pohon hutan sebuah suara lembut terdengar.

“Gandrung anakku…” kata suara itu. Gandrung serta merta bangkit dan meninggalkan ikan bakarnya. Seorang dewasa berpakaian sangat rapi berwarna coklat tanah muncul dari balik pohon. Wajahnya yang begitu tenang menunjukan tingkat penguasaan diri yang tinggi.

“Ayah….” Gandrung langsung memeluk ayahnya.

“Bocah nakal…” Ayah Gandrung memeluknya.

“Ayah ini teman-teman ku, mereka yang menolongku. Tadi aku nyaris menjadi santapan Lodaya. Untung ada mereka menolongku. Mereka hebat sekali bisa mengalahkan Lodaya itu.” Gandrung begitu bersemangat menceritakan teman-teman barunya. Tidak ada rasa takut sedikitpun dari Gandrung untuk menceritakan kemalangan yang menimpanya. Bahkan Ayah Gandrung pun tidak tampak kaget dengan ceritanya.

“Ah…teman-teman baru. Aku Patih Nara Jalaseva mengucapkan terima kasih atas bantuan anak semua terhadap Gandrung anakku.” Patih Nara Jalaseva mengenalkan dirinya. Dimas, Raji dan Pafi bangkit meninggalkan makanan mereka. Beberapa orang laki-laki dewasa keluar dari balik pohon mengikuti ayah Gandrung.

“Kami kebetulan saja lewat tempat ini dan mendengar Gandrung memerlukan pertolongan. Kami hanya melakukan yang kami bisa saja.” Dimas memberikan salam diikuti Raji dan Pafi.

“Anak baik, adakah yang bisa aku lakukan sebagai bentuk balas budi atas kebaikan kalian.” Pati Nara Jalaseva menawarkan diri.

“Terima kasih tuan, kami hanya kebetulan saja melintas. Kami sedang bermain-main saja.” Dimas menolak halus. Raji dan Pafi tetap diam, karena mereka tahu itu yang terbaik saat ini.

“Jangan panggil aku tuan, panggil saja paman, kalau begitu. Wah ikan bakar, dari tadi aku mencium baunya enak sekali, membuatku menjadi sangat lapar. Boleh aku mencicipinya ?” Patih Nara Jalaseva mendekati beberapa ikan bakar yang tergantung di atas api unggun.

“Silahkan paman, masih ada beberapa yang masih hangat.” Dimas menyodorkan beberapa ikan. Suasana keakraban segera terbangun. Tidak sulit buat Raji untuk kembali menunjukan banyolan-banyolannya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.

“Baiklah, tampaknya kita harus segera pulang. Nak Dimas, Raji dan Pafi ikutlah bersama kami.” Patih Nara Jalaseva bangkit dari duduknya. Raji dan Pafi terdiam sesaat saling pandang. Seakan masing-masing sudah mengerti isyarat bahasa tubuh satu sama lain, dan senyum menandai artinya setuju untuk ikut, tetapi Dimas mengambil sikap yang lain. Kepalanya menggeleng.

“Kita harus kembali.” Kata Dimas. Raji dan Pafi agak kecewa, tapi keduanya akhirnya setuju dengan alasan Dimas. Setelah kedua sahabatnya setuju, Dimas menolak secara halus ajakan Patih Nara Jalaseva.

Akhirnya mereka pun berangkat meninggalkan Dimas, Raji dan Pafi di hutan itu dengan berjalan kaki menyusuri bantaran sungai.

“Apakah mereka tidak mempunyai pesawat terbang, atau paling tidak kereta kuda.” Raji berbisik pelan kepada Dimas saat melepas mereka pergi.

“Aku rasa ini bukan tempat menggunakannya. Menurut cerita itu, Narapati sangatlah maju bahkan memiliki wahana terbang yang mereka sebut pavaratha yang katanya lebih cepat dari suara angin.” Dimas terus memandangi rombongan itu pergi. Kemudian membalikan badannya kembali ke arah dimana pintu gaib tempat mereka masuk. Tidak lama setelah rombongan itu hilang, tampak sebuah wahana mengudara di pinggir sungai. Ukurannya tidak terlalu besar tetapi tidak memiliki dek bagian atas. Bentuknya seperti tanduk kerbau. Kulit permukaannya tidak terlihat terbuat dari kayu, bentuknya yang seperti sisik ular dengan warna kelabu awan mendung. Dimas maupun Raji dan Pafi tidak pernah melihatnya. Mereka bertiga sudah dalam perjalanan pulang dengan arah yang berlawanan. Mereka memandang hingga wahana itu terbang menjauh dan hilang di balik bukit.

“Apakah kita harus kembali sekarang ?” Raji terdengar begitu berat meninggalkan dunia baru ini.

“Aku rasa lebih baik begitu, kita sudah cukup lama berada di tempat ini. Kita tidak tahu jam berapa nanti kita akan berada di asrama kembali.” Dimas mencemaskan mereka yang akan melanggar begitu banyak aturan asrama.

Tanpa kesulitan mereka bisa kembali ke gua di tebing tempat mereka tadi keluar. Kembali masuk menembus rerimbunan tanaman perdu yang menutupi mulut gua. Mereka tiba kembali di ruang perpustakaan asrama. Tak ada seorang pun di sana, anak-anak yang lain telah kembali ke bangsal mereka. Takut kepergok Nyai Janis yang sedang berpatroli malam, Dimas segera bergegas keluar dari ruang belajar. Raji dan Pafi mengambil langkah cepat.

---- *** ----

Pagi saat sarapan menjadi hari pagi yang paling bergairah buat Dimas. Tampaknya Raji pun kelihatan begitu sumringah. Pafi sudah duduk menyantap sarapan paginya tersenyum ceria menyambut kedatangan Dimas dan Raji.

“Apa kabar kalian pagi ini ?” Pafi menyapa tidak seperti biasanya.

“Eh, baik ku rasa” jawab Dimas singkat. Lebih baik, lebih dari yang aku inginkan dalam hati Dimas.

“Aku rasa hari ini sangat menyenangkan” Raji melebarkan tangannya menggembungkan dadanya menarik nafas dalam-dalam. Hidungnya mekar, jantungnya berdebum memompakan kebahagian.

“Aku ingin sekali kembali lagi kesana” Pafi menggeser duduknya memberikan ruang untuk Raji yang duduk di sebelahnya.

“Sepulang dari sekolah saja, biasanya kan ruang belajar kosong.” Dimas memberikan usul. Matanya sesekali memandang ke sekeliling.

“Usul yang bagus, ayo kita selesaikan pagi ini.” Raji kelihatan lebih postif dari biasanya.

“Kalian sadar tidak kalau semalam waktu saat kita masuk pintu itu sama hingga kembali lagi.” Kata Pafi

“Maksudmu ?” Dimas agak bingung.

“Artinya berapa lamapun kita berada di sana, kita akan tetap kembali pada waktu yang sama.” Pafi kelihatan girang.

“Wow, hebat berarti kita bisa berlama-lama disana” Raji lebih semangat lagi. Setelah menghabiskan sarapannya mereka berangkat ke sekolah tanpa gangguan apapun dari Aryo dan gengnya.

Sekolah rakyat tempat Dimas belajar sudah begitu ramai dengan anak-anak pribumi yang diperbolehkan bersekolah. Anak-anak asrama termasuk beruntung masih diperbolehkan bersekolah berkat hubungan kuat Nyai Janis dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alidius Warmoldus.

“Pelajaran apa pagi ini ? hehehe.. aku lupa” Raji cengengesan.

“Sejarah, entah sejarah siapa yang akan kita pelajari kali ini.” Jawab Dimas.

“Mudah-mudahan bukan sejarang wong londo lagi, sudah capek aku mendengarnya.” Raji agak menggerutu.

“Selamat pagi anak-anak” Seorang lelaki tua muncul dari pintu masuk. Semua anak di dalam kelas menjawab salam bersamaan. Guru Kusumo mengajar sejarah. Sebenarnya Guru Kusumo guru yang paling disukai oleh Dimas, hanya pelajaran yang disampaikannya saja terkadang tidak disukai Dimas. Apalagi kalau sudah bercerita sejarah Hindia Belanda.
Pelajaran langsung dimulai oleh Guru Kusumo. Anak-anak memperhatikan semua yang dijelaskan Guru Kusumo dengan tenang. Terlihat rasa hormat yang ditunjukan kepada Guru tua itu. Bahkan tanya jawabpun dilakukan dengan tertib.

“Masih ada yang mau ditanyakan ?” Guru Kusumo mengacungkan tangannya memberikan kesempatan semua siswa untuk bertanya.

“Saya Pak Guru !” Dimas menunjukan jarinya.

“Silahkah Dimas !” Guru Kusumo memfokuskan perhatiannya kepada Dimas. Dia tahu sedang berhadapan dengan murid terpandai di kelasnya.

“Apakah benar dulu ada sebuah kerajaan yang berdiri di atas lembah sunda dengan ibukotanya Sunda Buana dan sekarang adalah sebuah lautan luas di antara pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan ?” Dimas menangkap perubahan raut wajah yang bisa memberinya jawaban. Guru Kusumo terlihat sedikit terkejut, tetapi kembali menunjukan wajah biasa.

“Sepertinya belum ada penelitian mengenai sejarah masa lalu nusantara. Kalaupun ada cerita seperti yang seperti itu, kemungkinan masih berupa cerita dongeng dari mulut ke mulut. Belum ditemukan sebuah bukti tertulis yang bisa dijadikan pegangan. Diperlukan bukti berupa sisa-sisa peradaban tersebut pernah berdiri seperti sebuah candi, kuil atau bangunan sebuah kota. Bahkan belum ada teori yang mengatakah bahwa lautan itu dulunya adalah sebuah daratan.” Kata Guru Kusumo menjelaskan. Dimas merasa tidak puas mendapatkan jawaban itu. Dia tahu ada sesuatu yang seharusnya lebih dari jawaban itu.

“Apakah kemungkinan itu tetap terbuka pak Guru, mengingat letaknya yang sekarang adalah sebuah lautan luas sehingga sangat sulit untuk mendapatkan bukti-buktinya ?” Dimas berusaha agak mendesak. Dia ingin memancing Guru Kusumo agar mengatakan sesuatu yang mungkin sebenarnya dia tahu mengenai sesuatu.

“Ya, sangat terbuka. Hanya perlu banyak teori mengenai bagaimana dulunya wilayah itu dulunya adalah sebuah daratan yang luas dan pernah berdiri sebuah kerajaan.” Jawaban Guru Kusumo tetap singkat. Dimas tak lagi melanjutkan pertanyaanya, dia merasa ada batasan yang sedang dibangun Guru Kusumo dengan dirinya. Guru Kusumo pun tidak melanjutkan lagi, senyumnya hanya kecil mengembang. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang setelah pertanyaan Dimas tadi.

Dimas berpikir keras kenapa kota Sunda Buana tidak ada dalam sejarah. Guru Kusumo tidak mungkin bohong, atau mungkin dia belum mengetahui mengenai sejarah ini. Dimas merasa harus mendapatkan kepastian yang cukup mengenai sejarah kota Sunda Buana. Paling tidak ada yang pernah mengetahuinya sehingga dia bisa yakin dengan semua cerita yang diketahui dari buku misterius itu. Pikirannya mulai menerawang mencari siapakah yang bisa memberinya jawaban. Kemudian pak Narso terlintas di kepalanya. Setelah semua kejadian aneh yang dialaminya dan berkat bantuan Pak Narso lah dirinya bisa mengetahui arti semuanya. Pastilah pak Narso juga paling tidak pernah mendengarnya. Lagi pula pak Narso kan sudah sepuh, pasti dia pernah mendengarnya dari orang tua atau kakek neneknya.

Siang hari terik mencapai puncaknya. Dimas telah kembali ke asrama. Dirinya belum sempat menceritakan rencanya untuk bertemu pak Narso terlebih dahulu sebelum mereka kembali lagi ke ruang belajar.

“Ada yang harus aku katakan pada kalian.” Raji dan Pafi berhenti tepat di depan pintu asrama dan menunggu Dimas mengatakan maksudnya.

“Kita ke tempat pak Narso sebentar, kita tanya padanya mengenai Sunda Buana.” Dimas berharap kedua sahabatnya mau kesana. Tapi matanya Cuma melihat wajah merengut Pafi.

“Bukankah kita akan ke ruang belajar dan langsung ke pintu itu lagi ?” Raji agak keberatan dengan perubahan rencana itu.

“Ini penting sekali. Aku merasa pertanyaan yang tadi siang aku tanyakan kepada Guru Kusumo mungkin ada jawabannya di Pak Narso. Ingat, dia telah membantu kita mengenali kekuatan kita. Aku yakin dia punya jawaban mengenai hal ini juga.” Dimas berusaha meyakinkan kedua sahabatnya. Pafi kelihatan mulai mengerti maksud Dimas.

“Aku rasa Dimas benar Raji, kita harus yakin dunia yang semalam kita masuki adalah dunia yang benar-benar ada. Setelah itu baru kita kembali mengunjungi pintu itu.” Pafi setuju rencana Dimas. Akhirnya Raji juga menyetujuinya dan mereka bergegas ke tempat pak Narso.

Rumah pak Narso sudah kelihatan dari kejauhan. Pak Narso sedang duduk santai di serambi rumahnya yang sederhana. Orang tua itu tersenyum ramah melihat kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.

“Selamat datang anak-anak” sambut pak Narso.

“Selamat siang pak Narso” Dimas membalas salam. Terik siang tidak terlalu mengganggu. Jalan menuju rumah pak Narso rimbun oleh pohon-pohon.

“Sepertinya anak semua langsung dari sekolah ke sini. Tidak makan siang dulu ?” tanya Pak Narso.

“Eh..iya pak. Ada hal yang ingin kami tanyakan kepada bapak.” Jawab Dimas. Pak Narso hanya mengangguk-angguk menunggu pertanyaan datang.

“Begini pak, apakah bapak tahu mengenai sejarah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di lembah Sunda dengan ibukotanya Sunda Buana.” Tanya Dimas perlahan sekali. Pak Narso kelihatan serius dan mengubah duduknya saat mendengar pertanyaan Dimas.

“Dari manakah nak Dimas tahu mengenai hal itu ?” tanya pak Narso ingin tahu.

“Ngg… tadi kami” Dimas agak bingung menjawabnya. Untung saja Pafi langsung menyambungnya.

“Tadi kami belajar mengenai sejarah dan salah satunya tentang dugaan mengenai dulu ada sebuah kerajaan di lembah Sunda dengan ibukotanya Sunda Buana.” Pafi cepat memberikan alasan. Tapi Pafi tidak pandai berbohong. Pak Narso juga merasakannya. Pak Narso ragu sejenak, dia merasakan ketiga anak ini merahasiakan sesuatu. Sesuatu yang dia yakin sebenarnya juga tahu. Tapi pak Narso ingin tetap mereka tidak tahu bahwa dirinya juga mengetahui rahasia itu.

“Baiklah anak-anak. Sebaiknya kita makan siang bersama disini. Nanti setelah makan bapak akan ceritakan semuanya.” Pak Narso mengerti sekali kalau mereka juga sudah sangat lapar. Apalagi gerak tubuh Raji yang amat mudah dibaca kalau sedang kelaparan. Raji langsung sumringah mendapatkan tawaran itu.

Mbok Sinem siang itu masak gudeg. Makanan yang sama dengan yang nanti akan mereka makan di asrama. Biasanya setelah selesai memasak untuk semua penghuni asrama, Mbok Sinem menyisihkan untuk dimakannya bersama pak Narso. Setelah makan siang pak Narso pun menceritakan semua hal yang diketahuinya mengenai Sunda Buana dan Kerajaan Narapati.

“Jadi Kerajaan Narapati benar-benar ada pak ?” Dimas nyaris tidak percaya kalau akhirnya mendapatkan pengesahan atas semua yang dialaminya bersama Raji dan Pafi. Buku dongeng itu bukan cerita rekaan semata, tetapi memang sebuah kisah dari alam yang nyata dan pernah ada. Pafi tersenyum senang mendengar kisah yang disampaikan pak Narso. Hanya Raji yang kelihatan santai dan masih asyik dengan sisa singkong rebus penutup makan.

“Lalu kemana semua penduduknya kalau sekarang hampir semua kota-kota kerajaan Narapati tenggelam di dasar laut ?” Pafi baru mulai ingin menggali lebih dalam. Saking menariknya kisah itu, dirinya lupa akan janji mereka sendiri.

“Entahlah, bapak hanya mendengar kisahnya sampai disitu saja. Tidak jelas apakah rakyat kerajaan Narapati bisa menyelamatkan diri dari bencana dahsyat itu. Tapi menurut bapak sih, pastilah kita juga merupakan keturunan dari rakyat kerajaan Narapati yang selamat dan tinggal di pulau-pulau yang tidak tenggelam.”

Dimas ingat janjinya untuk tidak terlalu lama. “Baiklah pak Narso, kami mau kembali lagi ke asrama. Terima kasih atas penjelasan bapak.” Dimas pamit mewakili kedua sahabatnya.

“Terima kasih juga untuk makan siangnya pak” kata Raji. Pak Narso tersenyum mengangguk. Kemudian Dimas, Raji dan Pafi beranjak dari tempat itu kembali ke asrama.

“Jadi sekarang kita ke ruang belajar ?” Raji begitu bergairah. Untuk orang yang tidak mengenal Raji pasti mengiranya sangat suka belajar atau paling tidak membaca.

“Setelah kita berganti pakaian tentunya. Aku tak mau ke sana dengan wajah kusam seperti ini” Pafi justru tampak lebih santai.

Raji dan Dimas tersenyum melirik Pafi. Tawa terlepas dari bibir mereka. Tangan mereka saling memeluk pundak dan berjalan bersama menuju asrama. Saling meletakan beban di pundak satu sama lain. Meletakan arti persahabatan ke tingkatan yang paling tinggi. Lebih dari sekadar membagi beban, tetapi juga menanggungnya hingga nafas terakhir.





BAGIAN 1 - ASRAMA DAN PERSAHABATAN

Kota Jogjakarta masih sangat sejuk walaupun siang sudah begitu terik. Kota peninggalan Kerajaan Mataram itu sudah banyak mengalami perubahan. Bangunan-bangunan bergaya eropa dibangun pemerintah Hinda Belanda ataupun swasta telah berjajar di sepanjang jalan Malioboro hingga alun-alun utara Keraton. Mobil modern sudah berlalu lalang menggantikan kereta-kereta kuda. Jogja sudah tampak menjadi kota modern dengan budaya yang kental. Para pemuda sedang sibuk membangun gerakan setelah petisi Sutarjo ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda. Gerakan-gerakan di tahun 1939 menuntut pembangunan politik dan ekonomi yang lebih baik terus digaungkan. Dunia tampaknya sedang bersiap untuk berubah. Tetapi kesiapan itu belum terlihat di tempat yang lain di ujung luar kesibukan kota Jogjakarta. Di sudut tenang sebuah bangunan setinggi tiga lantai dengan dinding-dinding semen bercat putih yang dicampur dengan batu kali berwarna hitam pada bagian pilar-pilarnya masih tenang berdiri. Siapapun yang melihatnya tidak akan percaya kalau bangunan semegah itu adalah sebuah asrama panti asuhan. Terlalu bagus untuk tempat tinggal anak-anak yatim piatu. Tapi itu bukan panti asuhan biasa. Bangunan itu sebenarnya adalah sebuah rumah seorang wanita Belanda yang mengubahnya menjadi tempat berteduh anak-anak terlantar. Nyai Janis membangunan sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Atap genteng tanah liat berwarna merah yang sudah kecoklatan menjulang tinggi di atas bangunan yang membentuk piramida melengkung seperti arsitektur bangunan Jawa. Tidak ada bangunan lain berdiri di sekitarnya, hanya dikelilingi hamparan sawah dan ladang. Tanah berbukit tampak di kejauhan memberikan latar belakang yang sangat indah.Gedung asrama itu berdiri di atas tanah yang cukup luas. Tepat ditengahnya terdapat dua buah bangunan joglo terbuat dari kayu berukuran tidak terlalu besar dan saling terpisah yang berbeda dari bangunan utama yang mengelilinginya berbentuk aksara U dengan genteng tanah liat dengan bentuk atap joglo. Dikelilingi pagar batu kali yang telah dipahat kotak-kotak seperti bangunan candi-candi jaman kuno yang hanya dihalangi oleh hamparan tanaman bunga-bunga herbras berwarna-warni. Pada pintu gerbang terdapat dua gapura gaya Majapahit selebar empat meter menjulang tinggi satu garis lurus dengan pintu utama bangunan asrama yang tampak kosong tanpa ada tanda-tanda kegiatan penghuninya.

Dari arah jalan di depan pagar asrama wajah polos tiga orang anak sedang berlari adu cepat menuju gerbang. Seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki berusia tigabelasan lebih dahulu masuk melewati gerbang asrama, kemudian di susul seorang anak laki-laki yang lain. Dari kejauhan tampak gerombolan anak-anak yang lain sedang berjalan santai menuju arah yang sama. Dengan seragam celana pendek berwarna krem dan baju berwarna yang sama jelas menunjukan bahwa semuanya adalah siswa sekolah.

“Ah..ah…aku mengalahkanmu lagi Raji” seru anak perempuan yang ikut berlari tadi. Wajahnya mengejek kepada anak laki-laki yang larinya tiba belakangan. Wajah merah kepanasan dengan aliran darah yang terus berdenyut kencang dari degupan jantungnya yang terpompa dengan cepat. Rambutnya yang dikuncir kuda dikibas-kibaskan berusaha mendapatkan angin segar yang silir menyentuh seluruh permukaan tengkuknya. Hidung yang mancung, kulit putih, dengan rambut berwarna coklat terlihat kontras dengan kedua teman laki-laki sebayanya yang berwarna kulit coklat.

Si anak laki-laki bernama Raji tadi tidak menyahuti ejekannya. Dia terlalu lelah untuk melayani ejekan teman perempuannya. Mulutnya terus terbuka lebar menghirup sebanyak mungkin udara untuk mendinginkan isi dadanya yang panas terbakar oleh denyutan jantungnya sendiri. Kulitnya yang berwarna coklat muda kemerahan tersengat sinar matahari.

“Kau berlaku curang Pafi, mencuri waktu mulai lebih awal. Hitungan Dimas belum selesai tapi kau sudah lari duluan” matanya yang bulat menyipit menjawab ejekan Pafi. Hembusan nafas di dadanya mulai teratur dan lebih lambat. Udara segar mendinginkan seluruh rongga dan kulitnya. Desir angin di atas telinga begitu menyegarkan.

“Tidak ada larangan mulai lebih awal kan ? kau saja yang terlalu lamban untuk bereaksi, betul kan Dimas ?” Pafi mendengus tidak terima kemenangannya dianggap sebuah kecurangan. Wajahnya beralih kepada anak laki-laki yang bernama Dimas. Kakinya diluruskan di atas rumput. Kemudian digoyang-goyangkan. Matanya yang berwarna biru laut menatap Dimas dengan lekat seakan menunggu jawaban. Raji pun menatap Dimas sambil menggaruk garuk kepalanya yang mulai terasa gatal akibat ketombenya menggeliat kepanasan. Seakan Dimas menjadi penentu siapa yang menang. Terlihat jelas sekali bahwa anak laki-laki yang bernama Dimas itu benar-benar memimpin kedua temannya. Setiap percakapan seakan selalu diarahkan dan menunggu jawaban serta persetujuan Dimas.

Dimas nyengir mendengar keributan dua rekannya, giginya yang berbaris rapi dengan lesung pipit di sebelah kanan membuatnya tampak sangat menarik walaupun dalam cucuran bulir-bulir keringat yang deras mengalir meluncur di kedua keningnya. Kalung hitam terbuat dari kain dengan sebuah bungkus kotak menggantung di lehernya. Seperti sudah terbiasa dengan keributan kecil itu dan juga terbiasa menjadi penengah bagi keduanya. Dimas memandang bergantian kepada kedua temannya. Wajahnya terlihat kental dengan wajah orang Jawa, berbeda dengan kedua temannya yang memiliki wajah tidak sama dengan kebanyakan penghuni asrama.

“Kau memang mencuri waktu mulai lebih awal Pafi, tapi kau juga memang masih terlalu lambat Raji. Sebenarnya kau tidak tertinggal jauh pada saat awal, tapi kau sempat berhenti tadi, dan itu yang membuat Pafi bisa mengalahkanmu” Dimas seperti tahu cara membuat dirinya tidak berpihak kepada siapapun diantara kedua temannya. Matanya kembali menatap kedua temannya yang sudah siap kembali saling menyerang. Tetapi aksi mereka tiba-tiba saja terhenti oleh langkah tiga orang anak laki-laki yang lebih besar dan lebih tinggi dari mereka. Satu anak laki-laki berjalan paling depan diikuti dua lainnya. Wajah mereka terlihat angkuh dan menatap merendahkan. Langkah mereka berhenti persis di hadapan Dimas yang sedang duduk bersebelahan dengan Raji dan Pafi yang berdiri di sampingnya. Tangannya yang bertolak pinggang dengan tatapan yang seakan menjijikan, tersenyum sinis kepada kedua temannya yang berdiri di belakangnya.

“Ah…kumpulan Belanda kampung rupanya.” seorang yang paling besar menyapu pandangannya bergantian kepada Dimas, Raji dan Pafi.

“Bagaimana kalau kau menambal hidungmu saja biar kau lebih mirip Belanda, Dimas, atau ganti saja namamu dulu menjadi Van Se Poer ha..ha..ha..” Ketiga anak-laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Dimas tetap tenang, tetapi Pafi sudah mulai mengerutkan alisnya. Matanya mulai melotot seakan sudah siap mencerna tiga orang di depannya yang dua kali lebih besar darinya. Raji sendiri menunjukan ekspresi wajah yang sangat membenci ketiga anak laki-laki di depannya. Kertakan rahangnya sudah begitu mengeras menahan amarah yang amat sangat.

“Dan kau Raji, kau tinggal mewarnai rambutmu saja dengan tahi burung dan membaluri kulitmu dengan sagu, ha..ha..ha…” anak lelaki yang bertubuh paling besar mengusap-usap rambutnya sambil mengejek Raji. Raji yang sejak tadi sudah begitu merah padam tak mampu lagi menahan ledakan amarahnya. Aliran darahnya kembali memenuhi kepalanya, wajahnya makin merah padam, tak lagi dipikirkan badan lawannya yang lebih besar dari dirinya. Berusaha bangkit tetapi Dimas yang menyadari keadaan segera menariknya kembali duduk dan Raji menoleh ke Dimas dengan wajah kesal.

“Jangan Raji, tidak ada gunanya dan kita punya hal yang lebih penting daripada berkelahi dengan mereka” Dimas berbisik kepada Raji mencoba meredam amarah Raji yang tampak sudah berasap di kepalanya.

“Ayo..Raji, kau ingin berkelahi, kenapa Raji…kau takut ? ha..ha.ha. Lihat Mik, Nip, Raji ketakutan ha..ha…”

“Raji…petok…petok…petok…Dia tidak akan berani kepadamu Aryo, ha…ha..ha..” Sahut kedua temannya

“Kami tidak ingin membuat keributan Aryo” Dimas mencoba menyudahi acara ejekan itu.

“Kami tidak ingin membuat keributan Aryo” Anak lelaki yang dipanggil Aryo menirukan kalimat Dimas dengan nada mengejek.

Sesaat sebelum Aryo mulai melakukan aksi fisiknya, dari arah dalam ruangan seorang wanita tua berambut pirang dengan kacamata nangkring di ujung hidungnya yang bangir menatap tajam sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada. Menyadari ada yang mengawasinya Aryo mengurungkan niatnya lalu bergerak mundur.

“Saatnya nanti, giliranmu Dimas, Ayo kita tinggalkan Belanda kampung ini” Aryo menunjukan telunjuknya kemudian terus berlalu yang diikuti oleh kedua temannya.

Berjarak lima meter setelah ketiga anak laki-laki itu berlalu, sebelum mereka memasuki pintu gedung asrama, tangan Pafi bergerak membuat sebuah lambaian ke arah mereka dengan wajah mengejek. Tiba-tiba anak laki-laki yang berada di belakang Aryo menggerakan tangannya dan menepak kepala belakang Aryo.

“PLAAAKKK”

Aryo membalikan wajahnya dengan wajah merah padam, “Kau sengaja memukulku Nip, kau ingin aku hajar” Anip yang tidak sadar akan gerakan tangannya sendiri menggigil ketakutan.

“Ah..a..aku tidak sengaja Yo, aku tidak tidak sengaja, maafkan aku” Tangan Aryo mencengkram kerah baju Anip yang berusaha menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya agar tidak terkena bogem mentah Aryo. Sesaat kemudian Aryo melepaskan cengkramannya dan balas menepak kepala Anip yang merengkut ketakutan. Aryo menatap balik ke arah Dimas, Pafi dan Raji yang tertawa cekikikan dan kemudian tiba-tiba berhenti saat melihat tatapan Aryo yang penuh marah. Aryo dan kedua temannya berlalu, sementara Raji tak kuasa menahan tawa mereka langsung meledak terbahak-bahak.

“Bagaimana kau melakukannya Pafi ?” Raji bertanya apakah yang dilihatnya hanya sebuah kebetulan atau karena ulah Pafi. Dimas menatap Pafi menegaskan pertanyaan yang sama yang ditanyakan Raji kepadanya. Pafi hanya mengangkat bahunya mendapatkan tatapan seperti itu dari Dimas dan Raji.

“Entahlah, tadi aku hanya bermaksud mengejek, mungkin gerakan si Anip itu hanya kebetulan saja” Pafi mengangkat pundaknya. Dimas sedikit mengernyitkan dahinya. Dirinya yakin sekali bahwa gerakan yang dilakukan Pafi tadi mengakibatkan tangan Anip memukul kepala belakang Aryo.

“Bisakah kau melakukannya lagi ?” Raji tersenyum yang terlihat puas setelah melihat kejadian tadi. Pafi tidak bisa menjawabnya.

“Sudahlah, aku yakin Pafi pun tidak tahu jawabannya, lebih baik jangan kita bicarakan lagi masalah tadi” Dimas berusaha menyudahi pembicaraan yang membuat Pafi sendiri kebingungan. Dimas tahu apa yang dirasakan Pafi seperti ketika dia merasa seperti mengetahui sesuatu tetapi tidak menjelaskannya. Walaupun banyak pertanyaan yang mungkin sama dengan yang dipikirkan oleh Raji tetapi akhirnya pertanyaan yang bermunculan di kepalanya tidak dilanjutkannya. Dimas kembali larut ke dalam suasana keakraban yang kembali tercipta setelah sejak tadi Raji dan Pafi hanya bertengkar mengenai perlombaan lari mereka. Kejadian tadi membawa hikmah juga rupanya kepada persahabatan mereka, kalau dalam urusan berhadapan dengan gengnya Aryo, mereka berdua menjadi kompak.

Memasuki ruang tengah asrama suasana disambut oleh langit-langit yang menjulang tinggi yang ditopang enam pilar batu segi empat yang penuh dengan ukiran dengan kubah di atasnya. Dikelilingi dinding-dinding batu-batu hitam dengan relief-relief dan ukiran seni. Pada langit-langit yang melengkung setengah bulat tampak barisan bintang-bintang berwarna keemasan berjajar seperti lengkung busur. Di kedua sisi ruangan terdapat dua tangga batu menuju lantai dua yang dibawahnya terdapat koridor ke ruangan-ruangan lain. Mulai lantai dua sampai lantai empat merupakan bangsal tempat tidur para penghuni asrama. Sebelah kiri adalah bangsal khusus putra sedangkan di sebelah kanan adalah bangsal putri. Lantai dua diperuntukan penghuni asrama yang berusia di bawah 10 tahun, Lantai tiga untuk yang berusia 11 – 15 tahun, lantai empat untuk yang di atas 15 tahun.

Puluhan anak-anak tiba dan dalam sekejap memenuhi ruangan. Semua berjalan menuju kamar masing-masing. Dimas, Raji dan Pafi pun ikut bersama-sama menuju kamar mereka. Dimas dan Raji berbelok ke kiri ke bangsal putra berpisah dengan Pafi yang mengambil arah ke kanan di bagian bangsal putri. Kemudian Dimas dan Raji menaiki tangga menuju lantai dua dan tiga dimana letak bangsal mereka berada pada lantai tiga.

Kamar menjadi tempat paling disukai Dimas. Bagi Dimas kamar menjadi tempat yang begitu nyaman untuk membebaskan diri dari semuanya. Berbeda dengan Raji yang langsung tergeletak setiap melihat kasur dan bantal, Dimas lebih suka memilih memandang hamparan ladang di belakang asrama.

“Aku senang sekali sewaktu tadi melihat Anip menepuk kepala Aryo, hahaha…apalagi saat Anip begitu ketakutan kena bogemnya Aryo. Jarang-jarang kita dapat kesenangan seperti itu.” Raji meninjukan kepalannya ke udara kosong dengan wajah yang begitu gembira di atas tempat tidurnya. Dimas hanya tersenyum tetapi diam saja tak menyahut. Dimas tidak suka berkelahi. Baginya mengalah tidak membuang banyak waktu. Dimas amat tertutup dan pendiam. Dia lebih suka menyimpan semuanya sendiri walaupun kadang-kadang suka diceritakan juga pada Raji. Tetapi hatinya seperti selalu kurang yakin dengan dirinya sendiri. Dimas anak yang penuh perhitungan dan pemikir. Tindakannya lebih dewasa dari pada Raji. Sedangkan Raji sangat periang dan kadang tidak terlalu memikirkan hal-hal sulit yang pernah menimpanya. Baginya dunia tetap menyenangkan walaupun sedang dihukum Nyai Janis. Sifatnya yang periang banyak disukai teman-teman perempuan sebayanya. Karena itu sering kali sifat genitnya muncul menjadi-jadi. Raji anak yang pemberani seperti halnya Dimas. Tetapi sifat pemalasnya membuatnya lebih sering terlihat meringkuk di tempat tidur dari pada bermain. Raji jarang sekali cocok dengan Pafi yang selalu menganggap semua hal didunia ini dengan serius. Pafi sangat cerdas dan rajin. Kebiasaannya sangat bertolak belakang dengan Raji.

Anak-anak yang lain satu per satu keluar dari bangsal. Setiap siang setelah pulang sekolah, semua anak-anak asrama makan siang bersama. Setelah yakin semua anak-anak lain telah meninggalkan bangsal, Dimas bergerak pindah dari pinggir jendela. Raji sangat paham dengan kebiasaan sahabatnya ini kalau dia merasa ada hal yang tidak ingin orang lain mendengarnya selain mereka berdua.

“Aku melihat yang terjadi terhadap Aryo tadi menambah deretan keanehan yang mulai kita temui dan rasakan sejak bulan purnama seminggu yang lalu.” Dimas mengusap-usap kaca yang agak buram oleh debu yang kian tebal. Pemandangan menjadi lebih jelas sekarang, tetapi telapak tangannya bersemu hitam.

“Purnama kemarin itu bertepatan dengan hari kelahiran kita menurut kalender bulan.” Raji melipat-lipat jari tangannya bergantian seperti menghitung sesuatu. Kepala mengangguk setelah yakin hitungannya benar.

“Kita tidak boleh menceritakan kejadian aneh yang kita alami belakangan ini sampai kita bisa memahami apa yang sedang terjadi.” Dimas berbalik menatap Raji yang sedang berdiri di belakangnya. Raji mengangguk setuju. Dia tahu betul Dimas tidak suka menjadi pusat perhatian. Baginya lebih baik berada di lubang marmut. Walaupun Dimas termasuk begitu popular di sekolah tetapi ketidaksukaannya akan perhatian membuatnya menjadi rendah hati.

“Apa yang harus kita lakukan kalau keanehan-keanehan itu terus muncul ?” Wajah Raji agak khawatir kalau mereka tidak akan mendapatkan jawaban apapun, bahkan mungkin nanti akan mengganggu mereka.

“Entahlah, aku sendiri belum tahu. Kita harus mencari cara”

“Cara pertama aku yakin isi perut dulu deh” Suara aneh keluar dari perut Raji.

“Weker ku sudah bunyi nih.” Raji segera bangkit dari tempat tidurnya.

“Ayolah” Dimas juga sudah merasakan perutnya begitu keroncongan mengangguk setuju.

Ruang makan telah penuh dengan anak-anak asrama saat Dimas dan Raji berjalan masuk menuju meja perasmanan yang sebagian besar sudah nyaris kosong. Raji dengan sigap mengambil semua sekenanya, tetapi gerakannya melambat setelah melihat tatapan mata Ibu Asrama yang melotot melihat gerakan sapu jagatnya Raji. Dimas hanya tersenyum ringan melihat kelakukan sahabatnya. Setelah cukup mengambil makanan ke dalam piring, mereka berdua pun bergerak menuju sebuah deretan meja panjang sambil mencari-cari tempat yang masih kosong. Sebuah tangan melambai memberi arah kepada mereka berdua, ternyata Pafi telah menyiapkan dua tempat kosong untuk mereka.

“Kalian terlambat, kemana saja kalian ?” Pafi menggeser duduknya sambil terus mengunyah makanannya. Dimas segera duduk di samping Pafi diikuti oleh Raji.

“Kami tadinya mau langsung ke ruang makan, tetapi ada sesuatu yang menahan kami” kata Dimas setengah berbisik sementara Raji langsung menyantap makananannya dengan lahap. Pafi berhenti mengunyah dan mengernyitkan wajahnya. Tetapi sebelum sempat bertanya lagi, Dimas sudah melanjutkan ceritanya.

“Kau tahu pintu yang tiba-tiba muncul di dinding di dalam ruang belajar, tadi kami mencoba melihatnya lagi. Herannya tidak ada satu tanda pun menunjukan adanya sebuah pintu tambahan. Kami berusaha mencari tahu bagaimana caranya agar pintu itu bisa muncul kembali, karena itu kami agak terlambat kesini.” Dimas mendekatkan kepalanya sambil tetap berbisik. Pafi memasang telinganya lebih dekat.

Mereka berusaha agar pembicaraan tidak terdengar oleh yang lain. Tetapi pembicaraan segera berhenti jika ibu asrama sudah mulai memperhatikan gerak gerik mereka. Nyai Janis kepala asrama tampak sangat penuh curiga melihat pembicaraan mereka bertiga yang begitu tertutup. Nyai Janis adalah seorang berkebangsaan Belanda. Nama aslinya adalah Madame Janice tetapi dia lebih suka dipanggil Nyai Janis, seorang perawan tua berumur 45 tahun. Nyai Janis sangat baik terhadap semua anak-anak tapi sangat tegas terhadap pelanggaran peraturan asrama. Selain kepala asrama ada pegawai lain yang tinggal bersama mereka yaitu pengurus kebun pak Narso, juru masak mbok Sirah, mbok Sinem, mbok Sinten, dan mbok Sirem. Selain urusan masak dan kebun, semua kegiatan perawatan asrama dilakukan sendiri oleh seluruh penghuni asrama.

Dimas menghentikan pembicaraannya dan segera menyantap makan siang mereka yang sudah mulai kelihatan kering. Segera setelah menghabiskan makanan mereka segera meninggalkan ruangan makan. Berusaha menyelinap agar keluarnya tidak diawasi oleh Nyai Janis. Dimas, Raji dan Pafi berjalan menyelinap ke koridor di lantai satu dimana letak ruang belajar berada. Ruangan tersebut dihubungkan oleh lorong yang langsung menuju bangunan kantor yang terpisah dari bangunan utama. Pada ruang belajar terdapat dinding yang satu-satunya tidak memiliki jendela.

Ketiganya bergerak menuju ruang belajar dengan menampakan tingkah yang wajar agar tidak dicurigai oleh orang lain. Sesampainya di dalam ruang belajar yang juga termasuk ruang perpustakaan terdapat sebuah dinding. Pada dinding tersebut hanya terdapat lukisan setinggi pintu bergambarkan sebuah pemandangan gunung kembar Bromo dan Semeru. Dimas terus memandangi lukisan. Matanya mencari celah-celah yang memberikan petunjuk adanya sebuah pintu. Tetapi tidak ada satupun petunjuk yang dapat ditemukan.

“Kenapa pintu itu tidak muncul ya….” Dimas berpikir keras mencari perbedaan yang mungkin terlewat antara situasi saat dirinya bisa melihat pintu tersebut muncul dengan keadaan sekarang.

“Ada orang menuju kemari, ayo segera pergi dari tempat ini” Pafi segera bergerak menuju rak buku berpura-pura mencari buku. Dari arah pintu muncul beberapa anak perempuan yang segera menyapa Dimas begitu melihatnya. Dimas hanya tersenyum dan segera mengalihkan perhatiannya kepada buku-buku yang tersusun rapi di raknya. Ruang perpustakaan segera saja ramai dengan anak-anak asrama yang akan mengerjakan tugas sekolah mereka. Dimas, Raji dan Pafi segera meninggalkan tempat. Tetapi ketika baru beranjak keluar dari ruangan, Raji yang lebih awal bergegas keluar menabrak sesuatu yang lebih besar di depannya. Raji terpental balik ke belakang hingga terduduk di lantai, sementara yang di tabraknya tetap tegak berdiri. Dimas dan Pafi segera berhenti menyadari apa yang terjadi.

“Kau ingin berkelahi denganku Raji ?” Aryo maju satu langkah di hadapan Raji yang sedang terduduk di lantai meringis.

“Dia tidak sengaja menabrakmu Aryo,” Dimas berusaha menjelaskan sambil menghalangi Aryo dari Raji. Tetapi Aryo yang sejak lama menanti kesempatan untuk mendapat alasan untuk berkelahi tidak mau mendengar alasan yang diberikan oleh Dimas. Sementara Pafi membantu Raji bangkit.

“Kau ingin mengantikan dia untuk berkelahi denganku Dimas ?” Aryo menarik kerah baju Dimas yang berukuran lebih kecil dari Aryo. Dengan reflek Dimas mencengkram tangan Aryo berusaha menahan badannya yang ikut terangkat oleh tarikan tangan Aryo. Baru kali ini wajah Aryo begitu dekat dengan wajahnya. Matanya beradu pandang dengan Aryo. Sesaat kemudian Aryo tidak melanjutkan gerakannya, tubuhnya diam tak bergerak seperti patung. Dimas dengan leluasa melepaskan diri. Anip dan Amik yang berada di belakang Aryo langsung petantang-petenteng tanpa sadar dengan apa yang terjadi dengan Aryo.

“Mampus kau sekarang, mau lari kemana lagi ?” Anip berkacak pinggang sambil tersenyum penuh kemenangan menatap Dimas. Tetapi dia menjadi heran ketika menoleh ke wajah Aryo yang terdiam kaku dengan tatapan mata yang kosong. Dimas mundur selangkah. Kemudian membantu Raji berdiri.

“Yo….yo…” Anip mengguncang-guncang pundak Aryo. Tetapi Aryo tetap diam tak bergerak. Amik dan Anip terlihat panik, mata mereka segera saja beralih kepada Dimas yang sudah mundur satu langkah dari tempatnya. Tiba-tiba Aryo seperti ketakutan, ekspresi wajahnya begitu tegang.

“Ah…. Jangan…jangan…” Aryo tersadar dengan sebelumnya mengigau, tangannya menepis-nepis udara kosong di atas kepalanya seakan sedang menghalau sesuatu. Dimas, Raji dan Pafi melihat Aryo seperti orang yang sedang ketakutan. Bayangan Nyai Janis tampak melintas di ujung koridor. Menyadari bakal panjang urusannya tanpa banyak bicara lagi Dimas pergi diikuti Raji dan Pafi yang masih penuh tanda tanya dengan yang terjadi pada Aryo. Sepanjang mereka berjalan mereka bertiga membicarakan yang baru saja terjadi pada Aryo. Mereka berhasil menghindari Nyai Janis.

“Apa yang telah terjadi padanya tadi ?” Pafi bertanya tanpa mengarahkan kepada siapa dia mengajukannya.

“Aku sendiri tidak tahu, dia tiba-tiba saja dia terdiam membeku setelah aku berusaha melepaskan cengkramannya” Dimas juga tampak bingung.

“Hal tadi mirip dengan yang terjadi tadi siang sewaktu kita baru pulang sekolah” kata Raji yang cukup mengamati.

“Maksudmu mirip ?” Pafi juga mulai bingung

“Iya, Pafi menggerakan tangan yang secara otomatis juga menggerakan tangan Anip, tapi Pafi sendiri tidak merasa melakukan apapun yang membuat Anip menggerakan tangannya. Begitu pula dengan Dimas, tidak merasa melakukan apapun sehingga Aryo begitu ketakutan.” Raji menirukan gerakan-gerakan guru saat mengajar. Matanya mendelik dengan jenaka. Pafi nyaris tertawa kalau tidak ingat apa yang sedang mereka bicarakan sangat serius.

Ketiganya kembali terdiam merenungkan apa yang baru saja terjadi kepada mereka. Semua kejadian aneh ini mulai terjadi sejak 2 pekan lalu termasuk pintu misterius yang tiba-tiba muncul di dalam dinding ruang belajar.

“Lebih baik kita kembali melanjutkan rencana kita hari ini.Memanen jagung bersama pak Narso!” Dimas memecah keheningan mereka. Kedua sahabatnya segera saja menyetujui dan bergegas menuju kebun di belakang asrama. Hamparan ladang yang sering dipandangi Dimas dari balik jendela bangsal. Barisan tanaman jagung yang masih muda tapi siap panen untuk jadi jagung bakar sangat menggoda siapapun. Dimas berjalan santai di antara tanaman-tanaman sayur yang mengelilingi huma di pinggir ladang.

“Selamat sore pak Narso” Pafi menyapa seorang lelaki tua yang sedang duduk di tengah huma. Pak Narso sedang asyik menghisap cangklong tembakaunya tersenyum melihat kehadiran tiga anak yang sudah sangat dikenalnya.

“Selamat sore anak-anak, ayo duduk dulu disini” Pak Narso menggeser duduknya dengan tangan yang tetap memegang cangklongnya. Dimas, Pafi dan Raji segera mengambil duduk di sebelah pak Narso. Tak lama kemudian datang beberapa anak-anak asrama lainnya yang ikut serta panen itu.

“Wah nak Inung bawa pasukan rupanya ya” Pak Narso menyapa seorang gadis kecil berkulit coklat dengan mata yang agak besar dan rambut yang dikepang kuda.

“Iya nih pak, siapa yang bisa menolak undangan panen jagung dari pak Narso.” Kata Inung. Satu per satu anak-anak yang datang bersama Inung menyapa pak Narso.

“Baiklah langit sore tampaknya sudah mulai sejuk, kita bisa mulai panen hari ini” Pak Narso bangkit dan mengambil beberapa ani-ani dan bakul.

“Kita harus berbagi tugas, yang laki-laki memotong bongkol jagung dengan ani-ani, sedangkan anak perempuan mengumpulkan jagung yang telah terjatuh ke dalam bakul-bakul ini, dan perlu dua orang untuk menjadi pengumpul jagung di huma” Pak Narso kemudian menjelaskan bagaimana cara kerja panen dan tanpa banyak kesulitan semuanya sudah mulai bekerja memanen jagung. Suasana begitu ceria, anak-anak begitu menikmati pekerjaan panen jagung itu sehingga tak terasa keringat telah membasahi tubuh mereka. Raji begitu bersemangat memotong bongkol jagung sehingga kurang berhati-hati dalam mengayunkan ani-aninya. Tangannya tanpa sengaja tergores daun jagung yang cukup tajam sehingga memberikan luka yang cukup dalam di telapak tangan kirinya.

“Aduh, tanganku berdarah” Raji mengeluh, Dimas dan Pafi yang berada di sebelahnya segera menghampiri.

“Kenapa kau Ji, waduh tanganmu berdarah” Pafi sibuk mencari sesuatu untuk menutup luka pada tangan raji. Pafi dengan cekatan merobek pinggir kain dari rok yang sedang dipakainya. Tapi sebelum sempat mengikatkannya pada tangan Raji, tiba-tiba saja darah yang mengucur deras dari telapak tangan Raji berhenti dan kembali terhisap ke dalam lukanya. Dimas dan Pafi terbengong melihat telapak tangan Raji kembali bersih dan lukanya kembali merapat tanpa bekas. Raji sendiri tidak percaya dengan terjadi dengannya.Sebelum sempat bertanya-tanya dengan keanehan yang terjadi pada Raji, seorang anak datang memberitahu mereka bertiga kalau waktu panen telah habis. Dimas, Raji dan Pafi segera saja meninggalkan tempat dengan membawa jagung yang sempat mereka petik. Di dalam huma pak Narso sudah menunggu dengan beberapa anak-anak lainnya sedang menimbang jagung dan memasukannya ke dalam karung-karung.

“Ini sisa panen yang terakhir kami ambil pak Narso” Pafi menyerahkan bakul yang berisi penuh dengan jagung. Bersamaan dengan timbangan terakhir datang mbok Sinem dengan mbok Sinten membawa bakul makanan. Anak-anak bersorak sorai dan tanpa dikomando segera menyantap makanan sebelum menyentuh meja. Semua bergembira, pak Narso hanya tersenyum melihat tingkah anak-anak yang saling berebutan makanan di dalam bakul, membuat mbo Sinem dan mbok Sinten nyaris jatuh terdorong ke sana kemari.

“Eihh…eih…pelan-pelan nak…..jangan berebut” Mbok Sinem berusaha memegang bakulnya dengan erat. Dimas, Pafi dan Raji tak kalah gesit menyerbu makanan yang dipegang mbok Sinem.

“Mmmmhhh, memang pisang goreng buatan mbok Sinem paling enak” Raji memuji sambil mengunyah pisang goreng yang berada di genggaman tangan kanan dan kiri.

Suasana canda tawa mengiringi setiap kelakar yang dikeluarkan oleh Raji. Pak Narso membuka beberapa bongkol jagung muda dan memanggangnya di atas bara api yang sudah dinyalakan sebelumnya. Tak perlu memakan waktu lama jagung-jagung bakar tersebut habis dilalap anak-anak yang begitu gambira. Langit senja sudah mengembang jingga keunguan. Pak Narso meminta semua anak-anak untuk kembali ke asrama.

“Ayo kita kembali ke asrama” Dimas berjalan menuju bangsal utama diikuti oleh Pafi dan Raji di belakangnya. Sementara anak-anak yang lain juga akhirnya membubarkan diri setelah meninggalkan huma pak Narso hanya dengan sisa bakul kosong Mbok Sinem dan Mbok Sinten.

Malam mulai merayap bersama udara dingin. Suasana asrama amat lengang, sebagian besar anak-anak sudah berada di bangsal masing-masing. Dimas kembali ke kamarnya dan menemui beberapa anak sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Dimas merasa serba salah, pikirannya terus teringat dengan hal-hal aneh yang terjadi belakangan ini. Merasa tidak betah dengan situasi kamar yang terlalu ramai, Dimas mengajak Raji untuk keluar dari bangsal. Taman halaman depan adalah pilihan yang paling menyenangkan baik saat di dalam asrama terlalu ramai dengan kegiatan. Karena saat malam biasanya tidak ada anak-anak yang mau bermain di halaman depan. Anak-anak asrama yang lainnya cenderung bermain di halaman tengah.

Bulan purnama tinggal separuh tampak begitu indah menggantung di antara dua gerbang masuk. Di bale di tengah taman tempat yang akan dituju oleh Dimas dan Raji ternyata telah duduk seseorang. Sinar bulan yang tidak penuh menyamarkan bayangan orang tersebut. Dimas agak ragu mendekatinya, tangannya menahan gerak Raji yang nyaris melewatinya. Orang tersebut membalikan badannya dan sebelum Dimas dan Raji sempat menilik-nilik wajah yang samar itu, sebuah suara yang mereka kenal memanggil.

“Hai Dimas, Raji, rupanya kalian tidak betah juga di bangsal.” Kata suara itu yang tak lain adalah Pafi.

“Eh, ternyata kau Pafi, kami pikir orang lain.” Dimas membalik badannya mengarah kepada Pafi yang baru saja datang.

“Ehehehe iya aku berpikir tadinya itu kuntilanak, ternyata gak terlalu meleset, hikhikhik.” Raji cengengesan. Pafi mendelik mendengar perkataan Raji, wajahnya dalam bayangan sinar bulan yang samar kini malah nampak lebih menyeramkan. Bersamaan itu sekelebat angin mendesir kencang nyaris mendorong jatuh Raji dan Dimas ke belakang.

“Wow, angin apa itu.” Kata Raji.

“Sepertinya kita baru saja menyaksikan hal aneh yang baru lagi. Rasanya hal itu sejak tadi sangat mengganjal pikiranku, makanya aku tak bisa tenang di bangsal.” Dimas mengambil tempat duduk di bale-bale yang kemudian diikuti Raji.

“Aku juga merasakan kegelisahan yang sama, aku merasa ada hal yang sangat besar dan kita sama sekali tidak tahu apa yang sedang kita hadapi.” Pafi yang mulai kelihatan wajah pintarnya. Sangat berbeda dari wajah murka yang tadi ditunjukannya pada Raji.

“Ya, termasuk yang barusan saja kau tunjukan Pafi. Sepertinya kita harus cari seseorang yang bisa membantu kita untuk menyingkap tabir ini.” Raji kali ini agak lebih serius.

“Kira-kira siapa yang bisa membantu kita ?” tanya Pafi

“Seseorang yang bisa membantu dan juga bisa merahasiakannya. Orang itu harus orang yang begitu mengenal kita dan kita mengenalnya sangat dekat.” Dimas memandang bintang di langit, seakan ada jawabannya di sana.

“Siapa ya, Nyai Janis ? ah dia terlalu tidak peduli, Guru Kusumo tidak mungkin…” Pafi berpikir keras menyebutkan nama-nama orang yang dikenalnya.

“Pak Narso” kata Raji singkat. Awalnya Raji hanya ingin memulai lagi candaannya, karena menurutnya Pak Narso hanyalah seorang pembantu asrama saja. Tetapi Dimas dan Pafi berpikir sebaliknya.

“Ya betul, pak Narso adalah orang yang tepat yang bisa kita minta bantuan, pengetahuannya banyak mengenai hal gaib. Dia juga orang yang sangat bisa kita percaya untuk bisa merahasiakannya.” Dimas menatap Raji dan Pafi bergantian sambil menganggukan kepalanya seakan mengatakan itulah jawabannya. Pafi menangkap apa yang dimaksud oleh Dimas.

“Betul sekali, dan tidak ada seorangpun akan curiga bila kita sering mengunjunginya, karena kita sudah sering mengunjunginya sebelum ini.” Kata Pafi.

“Lho, jadi kalian sungguh-sungguh ? aku pikir tadinya cuma becanda” Raji nyengir kecil. Dimas dan Pafi maklum dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.

“Kapan kita akan menemui pak Narso ?” tanya Raji

“Sebaiknya malam ini juga, semakin cepat kita tahu semakin baik.” Dimas bangkit dari duduknya memberi isyarat kepada kedua sahabatnya.

“Ayolah kalau begitu! Siapa tahu ada ubi goring disana” Raji mengusap-usap perutnya bangkit dari bale-bale dengan semangat teringat ubi gorengnya. Pafi segera menyusul.

Mereka berjalan mengitari asrama, terkadang mereka menahan suara agar tidak sampai terdengar ke ruangan Nyai Janis. Bila Nyai Janis sampai terbangun, maka akibatnya berakhirlah rencana mereka malam ini. Terus berjalan mengendap-endap menuju sebuah rumah kayu sederhana berbentuk panggung yang terletak di pinggir ladang. Berkas-berkas cahaya tampak keluar dari sela-sela bilik. Samar-samar terdengar suara dua orang sedang bercakap-cakap dari dalam rumah. Dimas, Raji dan Pafi berjalan menaiki tangga dan mengetuk pintu.

“tok..tok..tok…”

“Siapa ya…?” tanya suara seorang perempuan yang terdengar sudah tua. Tak mendengar sahutan dari pengetuk pintu, terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka dan cahaya lampu teplok menyeruak keluar menyinari wajah Dimas, Raji dan Pafi.

“Selamat malam pak Narso” Dimas menutupi matanya yang silau oleh cahaya lampu teplok yang di bawa pak Narso.

“Selamat malam, oh nak Dimas, nak Raji, nak Pafi silahkan…silahkan masuk.” Pak Narso mempersilahkan masuk ke dalam ruangan yang sangat sederhana dan meletakan lampu teplok yang dibawanya di dinding bilik. Di dalam ruangan Mbok Sinem istri pak Narso sedang duduk di bale-bale melongokan kepalanya. Wanita tua itu tersenyum dengan sangat ramah mengenali siapa yang datang dan segera menyambut kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.

“Wah malam-malam seperti ini berkunjung, ada keperluan apakah ?” tanya Mbok Sinem. Tapi sebelum mendapatkan jawaban Pak Narso memberi isyarat kepada Mbok Sinem yang dimengerti Mbok Sinem sebagai sebuah permintaan menyiapkan makanan. “Kami ada yang ingin dibicarakan dengan pak Narso, Mbok”. Dimas menjawab singkat demi menghormati perempuan tua itu. Mbok Sinem mengerti bahasa tubuh yang dilakukan oleh Pak Narso. Perempuan itu bangkit dari bale-balenya berjalan menuju dapur.

“Silahkan duduk Nak Dimas, Nak Raji, Nak Pafi. Apakah ada sesuatu yang bisa saya bantu ?” Tatapan mata Pak Narso begitu lemah tapi sangat dalam menembus masuk kalbu Dimas. Sejenak Dimas tampak agak ragu-ragu, apa yang tadi telah disepakatinya bersama Raji dan Pafi di bale-bale depan asrama menjadi sebuah keraguan yang begitu besar. Membayangkan sosok lelaki tua yang didepannya yang akan dimintainya pertolongan mengenai hal-hal yang sampai sekarang pun dia belum bisa menyebutkan peristiwanya. Tapi pikirnya kembali mengarahkan matanya kepada pak Narso, toh saat ini memang tujuannya untuk mengetahui hal apa yang sedang mereka alami. Sikutan Raji mendorongnya untuk segera mengambil tempat duduk di sebelah pak Narso. Meja tamu yang sederhana itu Cuma berisi dua kursi sehingga Raji dan Pafi terpaksa mengambil duduk di bale-bale yang tadi diduduki oleh Mbok Sinem.

Pak Narso diam menunggu Dimas menyampaikan maksud kedatangannya. Wajahnya menatap dengan lekat ke arah Dimas yang mulai kebingungan mencari kata untuk memulainya.

“Eh…engg….kami ingin meminta bantuan…. pada Pak Narso.” Dimas dengan susah payah mengeluarkan kata-kata pertamanya.

“Hmm… bantuan apakah yang bisa berikan buat anak semua.” Pak Narso dengan pelan dan lembut menanyakan kembali. Dimas kebingungan lagi mendapatkan kata-kata yang harus diucapkannya. Pikirannya antara ragu dan ingin langsung menceritakannya. Tetapi belum sempat keluar kata-kata dari mulutnya, Mbok Sinem telah datang dengan senampan minuman dan jagung rebus. Rasanya saat itu Dimas merasa terselamatkan sehingga mendapatkan waktu lagi berpikir untuk memulai kalimatnya.

“Silahkan diminum nak tehnya, ayo nak Raji jagung rebusnya diambil ayo.” Pak Narso kelihatan sangat mengerti kebiasaan Raji.

“Begini pak Narso, saya, maksudnya kami beberapa hari belakangan ini menemui beberapa keganjilan.” Dimas yang berhenti untuk menunggu reaksi air muka pak Narso tentang kalimat awalnya. Tetapi Dimas mendapatkan reaksi yang diharapkannya. Wajah Pak Narso tetap datar tapi lembut.

“Keganjilan ? yang seperti apa bentuk keganjilan itu nak Dimas.” Tanya pak Narso. Melihat Dimas yang begitu lambat menyampaikan maksud kedatangannya, Raji menjadi tidak sabar. Mulutnya langsung terbuka hendak mengeluarkan kata-kata. Tetapi belum lengkap kata pertamanya keluar dari mulutnya, Pafi membekapnya dengan tangan kirinya. Raji membuka bekapan tangan Pafi yang sudah lebih dulu memberikan gerakan telunjuk di depan bibirnya agar Raji diam. Melihat air muka pak Narso yang begitu tenang dan tidak terlalu kaget memberikan keberanian kepada Dimas untuk meneruskan kata-katanya.

“Keganjilan ini terjadi pada kami pak Narso. Kami tidak tahu bagaimana menyebutnya. Tapi keganjilan antara kami berbeda satu sama lain. Saya tiba-tiba seperti bisa mendengar apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain, Pafi seperti bisa menggerakan benda dari jarak jauh, sedangkan Raji tadi sore sewaktu memetik jagung tangannya tergores daun jagung dan berdarah, tetapi luka itu langsung menutup tanpa bekas termasuk darah yang keluar terhisap kembali.” Dimas berhenti memastikan pak Narso memahami apa yang barusan di jelaskannya. Wajah pak Narso tampak berkerut memandang secara bergantian ke arah Dimas, Raji dan Pafi. Seakan sedang menyelami alam pikirannya dan mencoba menembus pandang dengan tatapan mata batinnya.

“Sejak kapan kejadian ini berlangsung nak.” Tanya Pak Narso perlahan.

“Sejak dua pekan yang lalu.” Jawab Dimas singkat.

Pak Narso menghitung-hitung dengan kedua jari tangannya seakan sedang menghitung suatu angka. Gerakan jari-jarinya yang cepat menutup dan membuka perlahan berhenti diikuti dengan tatapan yang kaget ke arah Dimas kemudian bergantian kepada Raji dan Pafi. Dimas merasakan dadanya berdegup keras. Raji dan Pafi bangkit dari bale-bale mendekati Dimas. Mbok Sinem memegang pundak pak Narso, mulutnya bergetar menganga menatap Dimas. Tetapi baik Dimas, Raji ataupun Pafi tidak mengerti isyarat antara Mbok Sinem dengan Pak Narso.

“Pak…..” Mbok Sinem bergetar menahan desakan dari dalam dadanya.

“Tenang Mbok.” Pak Narso memegang tangan Mbok Sinem yang berada di pundaknya.

“Kenapa pak Narso ?” Pafi bangkit dari bale-bale berdiri di sebelah Dimas. Pak Narso sejenak menatap wajah Dimas dengan tatapan haru, tetapi kemudian matanya ditundukan ke meja. Pak Narso menarik nafas dalam-dalam seakan ada tekanan besar menyesakan dadanya.

“Nak Dimas, Nak Raji dan Nak Pafi telah diberi hadiah istimewa oleh Yang Maha Kuasa. Tidak semua orang mendapatkan berkah seperti yang Anak semua terima. Menurut ciri-ciri yang Nak Dimas sebutkan, Nak Dimas mempunyai kekuatan yang memberikan kemampuan membaca pikiran dan menguasai pikiran orang lain. Nak Raji mempunyai kemampuan menyembuhkan sedangkan Nak Pafi mempunyai kemampuan menggerakan benda. Semuanya karena sifat anak masing-masing yang menunjukan kesamaan pada empat unsur sumber kekuatan, Bumi, Api, Air dan Angin.” Pak Narso mulai terlihat serius, wajahnya yang tadi datar mulai menunjukan garis-garisnya.

“Kami masih belum mengerti pak Narso” Pafi terbawa suasana serius yang dibangun Pak Narso. Pak Narso tersenyum, matanya menatap mata Pafi yang memancarkan sinar serius. Kemudian matanya kembali kepada Dimas. Tampak sekali ada tatapan haru yang berusaha disembunyikannya. Dimas bukan saja tidak mengerti apa yang diterangkan oleh pak Narso, tetapi juga makin tidak mengerti dengan tatapan pak Narso.

“Kekuatan manusia tidaklah seberapa, manusia-manusia sakti tidaklah menggunakan kekuatannya sendiri tetapi meminjamnya dari alam. Alam lah sumber kekuatan itu. Bumi, Air, Api, dan Angin adalah empat unsur utama dari wujud kekuatan tersebut. Kemampuan yang dimiliki nak Dimas sesungguhnya mengambil kekuatan yang bersumber dari bumi, sedangkan nak Raji berasal dari Air dan nak Pafi berasal dari Angin. Bagaimana sumber kekuatan tersebut dipilih sangat tergantung dari sifat-sifat alami anak sendiri.” Pak Narso berusaha menjelaskan dengan perlahan hal yang masih baru itu kepada ketiga anak di hadapannya.

“Tapi anak semua belum bisa mengendalikannya karena tiap kejadian hanya sebuah kebetulan saja. Belum ada yang benar-benar dilakukan atas kemauan sendiri. Untuk bisa mengendalikannya harus dilatih selayaknya olah kanuragan.” Pak Narso berhenti. Raji mulai tampak makin tertarik dengan penjelasan pak Narso. Kalau urusan melatih kemampuan berkelahi, Raji sangat tertarik. Apalagi kalau ingat gengnya Aryo dia makin semangat. Matanya sudah berbinar-binar antusias menanggapi pak Narso. Kemudian setelah matanya menangkap ketiganya mengerti pak Narso melanjutkan lagi.

“Tapi tanggung jawabnya sangat besar bila anak sudah mampu mengendalikannya. Hanya boleh dilakukan untuk tindakan kebaikan, bukan untuk menyakiti apalagi untuk membalas dendam.” Pak Narso mengingatkan sambil tersenyum melihat air muka Raji yang merengut.

“Apakah pak Narso bisa mengajari kami untuk mengendalikannya ?” Dimas mulai masuk lebih dalam. Pak Narso diam sesaat, ada hal yang begitu diperhitungkan olehnya hingga harus berhati-hati benar dalam memberikan jawaban atas pertanyaan Dimas.

“Saya bisa mengajari anak semua, tetapi saya mengajukan syarat yang anak semua penuhi.” Pak Narso mengacungkan telunjuk kanannya. Wajahnya jauh lebih serius dari sebelumnya. Dimas menangkap jelas isyarat itu.

“Syarat apa pak ?” Dimas menyamakan tingkat seriusnya dengan pak Narso. Dirinya berharap sikapnya bisa sedikit memberikan kepercayaan pak Narso kepadanya. Pak Narso mengenal betul watak Dimas. Tak ada keraguan lagi yang muncul.

“Jika sudah bisa mengendalikannya, anak tidak boleh menggunakannya untuk melukai orang lain dan harus merahasiakannya dari siapapun.” Suara Pak Narso lebih berat dan rendah. Seakan sedang mengantarkan isyarat yang paling serius yang dimilikinya. Dimas, Raji dan Pafi saling memandang, seakan harapan mereka persis sama dengan diminta oleh pak Narso. Tentu saja bagi Raji syarat pertama terlalu memberatkan, karena berarti dia tidak bisa mencobanya kepada Aryo. Tapi memikirkan bisa melakukan sesuatu dengan kekuatannya saja sudah amat menyenangkan. Pikirannya tentang Aryo disingkirkan jauh-jauh.

“Baiklah pak Narso, kami menyanggupinya.” Kata Dimas sambil menengok lagi kepada Raji dan Pafi. Secara bergantian Raji dan Pafi mengangguk setuju menyanggupi syarat yang diajukan pak Narso.

“Baiklah Pak Narso, Mbok Sinem, sekarang sebaiknya kami akan kembali ke asrama, kami tidak mau besok berakhir di tempat cuci piring.” Dimas tahu kalau sampai Nyai Janis menangkap mereka keluar melewati jam malam asrama maka semua piring kotor sisa makan siang akan menjadi bagian mereka. Semua tersenyum dengan lelucon Dimas.

Malam baru sepertiganya bergulir, langit sangat cerah dengan butiran cahaya bintang yang berserakan bersama bulan separuh. Dimas, Raji dan Pafi meninggalkan rumah Pak Narso. Pak Narso dan Mbok Sinem mengantar hingga halaman depan dan tetap terus berdiri mengawasi sampai ketiganya masuk ke dalam asrama. Pak Narso dan Mbok Sinem kemudian saling berpelukan seakan baru berjumpa lagi setelah puluhan tahun tidak bertemu.

“Bodoh sekali selama ini kita tidak mengenalinya. Ternyata selama ini semuanya di depan mata kita. Aku harus membuat banyak pagar besok Mbok, kita tidak tahu apakah Narapati sudah menyiapkan penjagaan. Kita berharap saja Narapati menempatkan pengawas-pengawasnya di sekitar asrama ini.” Pak Narso berbicara istrinya. Mbok Sinem hanya mengangguk menurut. Akhirnya mereka berdua kembali ke dalam rumah meninggalkan malam yang sepi dan menyerahkannya kepada kabut dingin.

Hari minggu pagi, Dimas merasa bergairah sekali padahal fajar baru saja menyingsing. Lain dari biasanya Raji pun telah siap dengan beberapa perlengkapannya, hari ini mereka akan memulai latihan pertama bersama pak Narso. Padahal biasanya Raji sangat malas bangun pagi di hari libur seperti hari ini.

“Kau bawa apa saja Ji ?” Dimas keheranan dengan tas Raji yang terisi penuh.

“Hehehe….aku cuma bawa joran, umpan dan singkong bakar yang aku minta dari Mbok Sinten, siapa tahu kita bisa menemukan tempat memancing selesai latihan nanti.” Raji cengengesan. Dimas Cuma menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa kau sudah bilang Pafi soal rencana keduamu ini ?” Dimas memeriksa barang bawaan Raji dengan sapuan matanya.

“Untuk apa aku harus tanya dia segala, memangnya dia biro perijinan.” Raji membungkus barang-barangnya dalam kain.

“Bukan begitu maksudku, kan lebih baik diberitahukan sebelumnya, siapa tahu dia juga punya rencana lain.” Dimas merendahkan suaranya.

“Baiklah, nanti aku akan beritahu dia.” Raji segera menggendong tasnya. Mereka berdua berangkat meninggalkan bangsal yang masih penuh dengan anak-anak yang terlelap dengan selimutnya. Mereka berdua berpapasan dengan Pafi di tangga menuju lantai dasar. Sesuai pesan Pak Narso bahwa mereka bertiga harus berangkat secara terpisah dengan Pak Narso. Arah yang dituju adalah daerah pinggir hutan yang tidak jauh letaknya dengan dari asrama. Mereka menemukan sebuah bangunan candi yang sudah banyak tertutup oleh tanaman merambat. Burung-burung kutilang berkicauan di cabang-cabang pohon diselingi suara beruk-beruk yang bergerusakan melompati batang pohon. Aliran air terjun kecil dari ujung tebing yang cukup tinggi menumbuk bebatuan yang berserak tak beraturan di kubangan kecil dan mengalirkan airnya ke parit kecil. Suara alam begitu terasa bahkan terkesan angker.

“Masuklah ke dalam melalui pintu candi anak-anak.” Suara Pak Narso terdengar keluar dari arah mulut pintu candi. Dimas, Raji dan Pafi mengikuti apa yang diminta oleh Pak Narso. Mereka bertiga menapaki tangga di depan pintu masuk candi. Ruangan candi yang sempit telah diterangi oleh obor yang terpasang didinding ruangan. Pak Narso sedang duduk bersila menghadap pintu masuk.

“Duduklah nak di atas ambalan batu itu, ambilah sikap semadi dan pejamkan mata.” Pinta Pak Narso yang langsung diikuti oleh Dimas, Raji dan Pafi.

“Apa gunanya ambalan ini ? Mengapa tidak pakai tikar pandan saja, kan dingin kalau duduk di atas batu.” Raji terus menggerutu dalam hati.

“Ayo nak Raji, bebaskan pikiran sejenak dari segala pertanyaan.” Pak Narso seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Raji. Raji mengerutkan alisnya tapi akhirnya menyerah dan mengikuti semua petunjuk.

Duduk di atas ambalan batu terasa aliran dingin mengalir mencengkram seluruh tubuh seakan langsung mengakar ke dalam bumi. Gerakan aliran dingin itu begitu liar seakan membungkus seluruh tubuh yang menjadi gemetaran menahan rasa dingin yang amat sangat. Pak Narso meminta untuk mempertahankan posisi semadi dan membiarkan aliran dingin itu bergerak semaunya tetapi rasa hangat yang akan menggantikan rasa dingin belum juga muncul. Mereka terus membiarkan semuanya bertahan beberapa lama. Rahang mereka bergemeretak menahan dingin. Rasa kebas mulai menjalar dari bawah. Raji mengeluarkan suara tertahan. Rasa kebas itu mulai menyelubung hingga ke kepala. Seakan sedang membeku di dalam air. Rasa putus asa dan ingin berteriak nyaris saja keluar dari mulut Pafi. Tapi sesaat kemudian rasa hangat menjalar dari atas terus ke bawah dengan cepat. Wajah ketiganya yang sebelum pucat membiru kini memerah kembali dan bersinar cerah.

“Nah sekarang bukalah mata kalian.” Pinta Pak Narso. Dimas, Raji dan Pafi membuka mata mereka. Seakan baru saja mendapatkan siraman air pegunungan yang begitu menyegarkan, Dimas merasakan tubuhnya begitu ringan.

“Anak semua telah melewati tahap awal dari pengendalian kekuatan masing-masing. Sebenarnya kekuatan utama dalam diri kalian telah mulai aktif saat purnama lalu, tetapi belum seluruh pintu terbuka sehingga anak semua tidak bisa mengendalikannya sesuai kemauan, tetapi sifatnya hanya kebetulan saja. Aliran dingin tadi telah membantu untuk membuka sisa pintu yang belum terbuka. Aliran hangat setelah rasa dingin yang dirasakan anak semua merupakan tanda bahwa semua pintu tenaga murni dalam tubuh anak telah terbuka semua.” Pak Narso muncul di depan pintu candi.

“Apa yang dimaksud dengan pintu-pintu pak ?” Dimas bangkit dari silanya.

“Tubuh manusia mempunyai tujuh titik utama tenaga dalam yang disebut Cakra. Ke tujuh cakra tersebut haruslah terbuka sebelum bisa menyerap maupun melepas tenaga. Sahasrara, Ajnya, Wisudhi, Anahata, Manipura, Swadhisthana, Muladhara” Pak Narso menunjukan bagian-bagian mana yang menjadi titik-titik cakra.

“Jadi apakah dengan sekarang kami dapat mengendalikan kekuatan kami sesuai kehendak kami ?” Raji bersemangat.

“Belum nak Raji, sekarang baru membuka semua hambatan keluar masuknya tenaga. Untuk mengendalikannya perlu latihan yang cukup, karena menyerap tenaga dari alam yang sangat besar perlu kekuatan diri yang sangat besar pula. Terutama nak Dimas, ada tanggung jawab yang sangat besar yang harus anak mas jalani.” Pak Narso menatap tajam kepada Dimas. Dimas menatap ragu kepada pak Narso.

“Tanggung jawab apa yang pak Narso maksud ? mengapa cuma saya yang harus menjalaninya ?” tanya Dimas agak gemetaran. Ada getar rasa takut yang menjalar di hati Dimas. Takut karena ketidaktahuan yang begitu besar.

“Saya sendiri tidak tahu apa yang nanti harus nak Dimas jalani, tetapi saya yakin nak Raji dan nak Pafi akan membantu.” Pak Narso memandang angkasa melalui pintu candi. Matanya menemukan serat jingga menggantu di bawah awan.

“Hari sudah mulai sore, sebaiknya anak semua kembali ke asrama. Ingatlah janji anak semua agar tetap merahasiakan hal ini dan tidak menggunakannya untuk melukai.” Pak Narso menuruni tangga candi diikuti Dimas, Raji dan Pafi di belakang.

“Baiklah pak Narso, terima kasih untuk semua wejangan hari ini. Kami akan patuhi pesan pak Narso.” Dimas menyalami tangan orang tua itu sebelum pergi meninggalkan tempat. Raji dan Pafi juga ikut berpamitan menyalami tangan pak Narso.

Matahari sore sudah diujung puncak pohon, kicauan burung masih menyemarakan sore yang begitu jingga disirami cahaya mentari tua. Bunga-bunga rumput liar masih melambai gembira di tengah silir angin sore yang sejuk. Rencana memancing dibatalkan, rupanya Raji begitu bersemangat untuk segera bertemu dengan Aryo dan gengnya. Ingin rasanya dia membalas Aryo, tapi Dimas terus mengingatkan tentang janji mereka kepada pak Narso. Sedangkan Pafi yang biasanya berlawanan dengan Raji, kali ini juga menyimpan keinginan yang sama dengan Raji, menghajar Aryo. Tetapi baik Raji maupun Pafi sangat penurut bila Dimas yang berbicara, seolah ada gema wibawa yang tak bisa diabaikan oleh keduanya. Dimas begitu memimpin kedua sahabatnya, seakan Raji dan Pafi rela mati untuknya. Kesetiaan keduanya seperti sudah mendarah daging, bahkan mereka bertiga seperti sudah terikat sejak lahir.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di asrama. Hari sudah terlalu tua, serangga malam sudah mulai memenuhi lampu-lampu minyak jarak yang ditempatkan di sudut-sudut halaman. Nyai Janis biasanya sangat tidak menyukai anak-anak yang masih berada di luar asrama saat malam tiba. Sudah menjadi kebiasaan, para pembantu asrama yang sangat menyukai Dimas, Raji dan Pafi membantu mereka untuk bisa masuk ke dalam asrama tanpa diketahui oleh Nyai Janis.

“Nak, lewat sini” Mbok sirem melambaikan tangannya ke arah kedatangan Dimas, Raji dan Pafi. Dengan hati-hati dan mengendap-endap ketiganya menghampiri.

“Nyai Janis ada dimana Mbok Sirem ?” Tanya Dimas pelan

“Nyai Janis sedang di ruang belajar. Cepatlah bersiap untuk makan malam.” Kata Mbok Sirem. Sambil mengamati ruang makan yang sudah penuh dengan makanan, Dimas berjalan melewati meja demi meja menuju tangga utama. Raji dan Pafi mengikutinya dari belakang dengan gerakan yang sama pelannya. Dimas terus berharap dalam hati agar Nyai Janis tetap berada di ruang belajar hingga mereka berhasil masuk ke dalam bangsal. Harapan Dimas akhirnya terkabul. Mereka pun berhasil masuk tanpa kepergok Nyai Janis.

----***----

Bangsal tidur kembali menjadi menyembunyikan diri dari semua hal yang membingungkan di luar sana. Dimas sudah kelihatan segar, percikan air sisa mandi tampak masih menggelantung di ujung-ujung rambutnya. Hatinya terasa damai memandang malam yang gulitanya coba ditepiskan oleh bayangan cahaya lampu-lampu minyak jarak di tengah halaman yang sesekali bertahan diterpa angin yang mulai membawa dingin. Entah kenapa rasanya sekarang Dimas merasa begitu lebih nyaman dari biasanya, hatinya seperti lega walaupun belum semua pertanyaan dalam benaknya terjawab. Masih banyak hal yang mengganjal tapi tak mampu dikatakan. Ada sesuatu yang ingin keluar dari kepalanya, dari dadanya tetapi selalu saja tertahan. Kemarin-kemarin perasaan itu begitu menyiksanya, tapi malam ini berbeda. Tiba-tiba kakinya diturunkan dari kasur kapuk yang mulai mengeras karena sudah terlalu lama dipakai. Malam sudah lewat tengahnya, dingin mulai merayapi seluruh lantai terasa seperti berjalan di permukaan es saat Dimas menginjaknya. Langkahnya berhenti di depan jendela, pandangannya melekat pada hamparan langit kosong tepat di atas wilayah tempatnya latihan bersama dengan pak Narso. Matanya kemudian beralih pada sosok Raji yang sedang asyik melingkar seperti anak kucing yang sudah kekenyangan susu. Kemudian mata Dimas kembali keluar jendela. Sesaat sebuah cahaya melintas di atas langit yang sedang dipandangnya. Ada harapan terbersit dalam hati Dimas. Matanya mulai berkaca-kaca dan sebulir air menetes jatuh di atas pipinya. Matanya dipejamkan seakan membayangkan sesuatu yang sangat didambakannya. Tanpa disadari saat matanya terpejam langit tiba-tiba berubah terang. Seolah dunia berubah dalam sekejap. Di hadapan Dimas bukan lagi langit malam dengan hamparan hutan di belakang asrama, tetapi sebuah dunia terang dengan sungai besar membelah lembah yang sangat luas dengan hamparan sawah membentang hijau. Namun dalam sekejap semua itu kembali gelap bersamaan dengan Dimas membuka matanya. Setelah menarik nafas dalam-dalam Dimas melangkah kembali ke tempat tidurnya dan membiarkan dirinya terbenam dalam kedamaian malam.

Pagi ini rangkaian sekolah dimulai lagi. Pagi yang buat Dimas menyenangkan tetapi bagi Raji sangat menyiksa dan tidak menyenangkan. Udara segar pagi mencerahkan wajah Dimas yang berjalan ringan keluar asrama. Raji dengan susah payah mengikuti irama Dimas. Geraknya seolah tertahan ribuan kilo rantai pemberat. Dari belakang Pafi berteriak memanggil.

“Hey Dimas, Raji tunggu…!” Pafi bergegas setengah berlari menghampiri Dimas dan Raji yang sudah di depan pintu gerbang.

“Pafi, tidurmu nyenyak semalam ?” Dimas melihat Pafi sudah di sebelah kanannya sambil membetulkan tali tas yang menyangkut di pundak kanannya.

“Yah, sangat menyenangkan. Tadi malam adalah malam yang paling damai aku rasakan sejak tinggal di asrama.” Kata Pafi

“Memangnya kau pernah tinggal dimana ? bukannya seumur hidupmu memang sudah di asrama” Raji nyeletuk. Wajahnya tidak segembira Pafi.

“Hey, kalau tidurmu tidak menyenangkan, jangan sinis gitu sama orang lain” Pafi dengan berang menjawab. Raji hanya diam mengekerut melihat raut muka Pafi yang mulai merah.

“Bagaimana denganmu Dimas ?” Tanya Pafi dengan wajah yang berganti senyum. Raji dengan mimik muka yang lucu mengikuti kata-kata Pafi tanpa suara. Melihat kelakuan Raji, Dimas menyikut pelan.

“Sama sepertimu, tadi malam memang paling damai yang pernah aku rasakan. Aku yakin kau juga begitu kan Raji.” Dimas melirik Raji. Semalam Dimas tahu betul kalau Raji tidur lebih nyenyak dari kucing yang kekenyangan. Raji hanya nyengir sebentar lalu kembali dengan raut wajah yang malas.

“Apakah ada kaitannya dengan latihan kemarin sore ?” Pafi berjalan mendahului lalu membalikan badannya hingga berhadapan dengan Dimas. Kakinya melangkah mundur menjaga jaraknya dengan Dimas.

“Aku kira begitu.” Kata Dimas singkat.

“Sore ini kita akan latihan lagi kan ?” Pafi hanya mengarahkan pandangannya kepada Dimas.

“Latihan, pasti !” Raji tiba-tiba bersemangat. Pafi tidak mempedulikannya.

“Kemarin pak Narso mengatakan begitu, kita harus melakukannya selama seminggu penuh.” Dimas tersenyum melihat Raji kelihatan kembali bergairah.

“Aku akan memancing setelah latihan nanti.” Raji mengatakannya dengan tidak peduli dengan reaksi apa yang akan diberikan Pafi. Pafi pun tidak memberikan tanggapan apapun.

“apa kau mau ikut kami memancing nanti setelah latihan ?” Dimas tahu Pafi gengsi kalau dia bilang mau ikut setelah pernyataan Raji tadi. Mungkin dengan dia memintanya Pafi akan mau ikut. Pafi hanya mengangguk setuju tak mengeluarkan suara sedikitpun. Kemudian menghentikan jalan mundurnya dan berjalan disebelah kanan Dimas.

Ketegangan itu tidak pernah berlangsung lama. Dalam sekejap saja sudah berubah menjadi menggembirakan. Senda gurau mulai mengalir diikuti tawa riang menguatkan ikatan persahabatan yang terbangun.Iri hati ataupun turut gembira tergambar dari puluhan pasang mata dari anak-anak asrama lain yang melihat keakraban yang terjadi diantara ketiganya. Ada sesuatu yang berbeda dan lebih dari sebuah persahabatan. Sebuah ikatan lahir batin yang yang hanya dimengerti bila tahu arti keberadaan mereka.

---- *** ----

Waktu berjalan amat cepat, hari-hari belakangan terasa lebih menyenangkan dijalani oleh Dimas. Ruang hatinya begitu lega dan ringan, seakan latihan-latihan yang selama ini dijalaninya bersama pak Narso menjadi semacam pengusir semua beban yang memberati rongga dadanya.

Latihan sore kali ini entah sudah kali yang ke berapa, yang pasti perkembangan pengendalian kemampuan Dimas makin baik. Begitu juga dengan Raji dan Pafi. Tempat latihan telah berubah menjadi sebuah padang rumput yang cukup luas. Tiga bangunan candi tetap berdiri di tengah lapangan rumput.

“Nak Raji, sekarang gunakanlah air dalam jamban itu untuk menyerang tiang kayu di ujung sana.” Pak Narso menunjuk jamban berisi air kemudian menunjuk sebuah tiang kayu di seberang lapangan. Raji melencangkan kedua tangannya ke depan lalu dengan lembut menggerakan keduanya turun naik dengan pelan. Perlahan tapi pasti air dalam jamban di hadapannya terangkat. Dengan hentakan air itu meluncur cepat dengan bentuk terpilin ke arah tiang kayu. Suara benturan keras meledak menghantam tetapi tidak membuat tiang kayu rebah. Pak Narso tersenyum.

“Nak Raji, kau akan kehabisan tenaga jika hanya mengandalkan besarnya dorongan tenagamu sendiri. Ubah air itu menjadi belati-belati dan dinginkan hingga membeku. Setelah itu kau bisa mendorongnya dengan tenaga sedang. Ubah sifat airnya, manfaatkan menjadi senjata sehingga kau tidak memerlukan banyak tenaga untuk melakukan serangan. Ingat ! dalam sebuah pertempuran kau harus pandai menghemat tenagamu.” Kata pak Narso

“Baiklah pak Narso, bisakah saya mengulangnya lagi ?” kata Raji bersemangat.

“Mulailah dengan gentong kedua.” Pak Narso memberi tanda.

Raji mulai melakukan gerakan yang sama, tetapi kali ini dia membalik kedua telapak tangannya dan tangan kanannya melakukan gerakan yang berbeda. Air yang terangkat dari dalam jamban terbagi-bagi menjadi beberapa bagian kemudian bentukan meruncing seperti mata tombak. Perlahan tombak-tombak air tersebut membeku dan sekali hentak semuanya meluncur cepat menghantam tiang kayu di seberang lapangan. Seperti sebuah tombak yang menembus sasaran, tombak air itu membuat tiang kayu hancur berantakan. Pak Narso gembira melihat Raji mengerti apa yang dikatakannya. Baginya itu kemajuan yang sangat besar. Karena dia tahu diantara ketiganya Raji paling lambat perkembangannya. Pafi telah mampu menggerakan angin dan mengubahnya menjadi pusaran angin hingga sekarang tempat mereka latihan yang dahulu adalah hutan lebat menjadi lapangan rumput. Sementara kemajuan Dimas sudah mampu mengolah kemampuan membaca pikiran dan menguasai pikiran orang lain, bahkan Dimas sudah mampu berbicara dengan beberapa binatang.

“Baiklah, latihan hari ini saya rasa sudah cukup. Nak Dimas, saya ingin berbicara sebentar.” Pak Narso kelihatan lebih serius. Dimas menghampiri pak Narso.

“Duduklah bersila.” Pak Narso terlebih dulu duduk bersila saat Dimas berjalan menghampiri. Dimas menuruti kata-kata pak Narso dan duduk di atas rumput berhadap-hadapan dengan Pak Narso. Beberapa saat tampak Pak Narso bercakap-cakap dengan Dimas tetapi baik Raji maupun Pafi tidak bisa mendengar suara mereka. Padahal jarak mereka hanya beberapa langkah saja. Tak lama kemudian pak Narso bangkit diikuti oleh Dimas.

“Nah, nak Dimas, Raji dan Pafi latihan hari ini selesai, kita sebaiknya kembali ke asrama.” Kata Pak Narso sambil membetulkan blangkonnya.

“Baiklah pak Narso.” Kata Dimas, Raji dan Pafi serentak. Awan sudah kelihatan bersemu kuning keemasan. Beberapa kelelawar sudah tampak memenuhi angkasa. Asrama tampak dari kejauhan sudah mulai diterangi lampu-lampu minyak jarak.

Waktu makan malam telah mulai. Dimas dan Raji bergegas menuju bangsal makan. Seperti biasa Pafi sudah menyisakan dua tempat duduk untuk Dimas dan Raji. Senyum cerah menyambut kedatangan Dimas dan Raji. Di bagian ujung ruangan Aryo dan gengnya menatap beringas.

“Malam ini kita akan belajar di ruang belajar” Dimas berbisik pelan.

“Hah, belajar ? kita kan tidak ada pekerjaan rumah kenapa harus belajar.” Raji mengeluh protes terhadap ajakan Dimas.

“Aduh, kepalamu ini sering kali tidak jauh beda dengan kelapa. Bukan belajar itu.” Pafi agak kesal.

“Maksudku bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, tapi untuk mempelajari dinding itu.” Dimas mencoba menjelaskan kembali kepada Raji.

“Oh itu,hehehe …” Raji tertawa malu. Tangannya tanpa berhenti terus menyuap makanannya ke dalam mulutnya yang sedikit lebih besar dari ikan mujair tapi muat banyak sekali makanan.

“Kita akan mulai sebelum tengah malam.” Kata Dimas, diikuti anggukan Raji dan Pafi. Mereka meneruskan kembali makannya. Sesekali Pafi menyapu pandangannya ke meja lain. Saat mencapai meja Aryo Pafi berhenti.

“Lihat Aryo dan gengnya mendekati meja kita.” Pafi yang duduk menghadap arah meja Aryo memberitahu Dimas dan Raji.

“Aku akan memberinya pelajaran” Raji sudah siap dengan kepalan tangannya. Wajahnya begitu keras menyimpan kekesalan.

“Jangan, tempat ini diawasi oleh Nyai Janis. Aryo pasti juga tidak akan berani membuat masalah disini. Ingat, kita tidak boleh menggunakannya untuk melukai orang lain. Lebih baik kita tidak menggubris mereka” Dimas menepikan tangan Raji yang sudah terkepal. Raji melepaskan kepalannya.

Aryo berjalan mendekat melewati Dimas dan Raji tetapi kemudian mereka pergi membawa piring dan sisa makanan mereka ke tempat cucian piring. Pafi melihat heran tingkah ketiga anak tersebut, sebelumnya wajahnya yang garang tiba-tiba saja berubah menjadi sangat datar saat melewatinya. Kemudian matanya diarahkan kepada Dimas. Dimas hanya tersenyum yang dibalas senyum kecil oleh Pafi. Raji agak heran melihat kedua sahabatnya tersenyum.

“Ada apa dengan kalian ?” Raji menatap Dimas dan Pafi bergantian.

“Lihat saja Aryo dan gengnya.” Kata Pafi menunjuk ke arah Aryo dan gengnya yang sedang mencuci sendiri piring bekas makannya. Raji ikutan tersenyum dan mengerti maksud dari senyuman Dimas dan Pafi tadi.

“Kau yang melakukannya” Raji memandang Dimas yang hanya menjawab dengan anggukan.

“Ayo kita ikuti mereka, kita juga mencuci piring kita.” Dimas bangkit sambil membawa piring bekas makannya.

Melihat gerakan itu hampir semua anak asrama akhirnya mengantri bergantian mencuci piring bekas makan mereka masing-masing. Sesuatu yang biasanya dilakukan oleh orang yang mendapat bagian tugas mencuci piring secara bergantian. Para pembantu asrama tersenyum melihat semua anak mencuci piringnya masing-masing.