Sunday 9 March 2008

BAGIAN 14 - KRAKATAU

Gulungan awan hitam terus membumbung ke langit tiada henti dari puncak gunung yang menyembul dari dasar laut. Sudah tiga bulan Krakatau melontarkan batu-batu apung ke udara dan debu-debu vulkanik yang memenuhi seluruh lautan yang mengelilinginya. Gemuruhnya yang menggetarkan daratan dan lautan memberikan peringatan kepada siapapun untuk tidak mendekat. Kegelapan total terus menerus melanda Krakatau yang sedang bersiap melepaskan ledakannya yang akan dikenal dan dicatat oleh sejarah. Desiran uap yang terasa panas membelai lereng terjal dan meninggalkan jejak hitam arang diantara tonggak-tonggak pohon yang sudah tidak berdaun lagi. Deburan lahar pijar yang merah menyala terus keluar dari ujung Krakatau. Meleleh mengejar ombak laut yang menerjang deras di bibir lereng. Panasnya meleburkan air laut menjadi uap-uap ke udara menciptakan kabut-kabut mistik yang begitu kuat.

Jutaan burung laut bergerombol di angkasa bergerak ke timur mencoba menjauhi kegelisahan sang Krakatau yang beberapa hari ini meresahkan mereka. Awan abu masih terus membumbung tinggi dan menyebar bagaikan jamur memberikan kegelapan pada sebagian permukaan bumi. Angin terasa menghentikan tiupannya dan seakan semua badai bergerak berbalik menjauhi puncak Krakatau. Pertanda ini begitu dikenal oleh Narapati. Semua sudah mengira akan ada perang yang sangat dahsyat melanda dunia Narapati. Perang dunia yang bagi dunia manusia hanya dapat dilihat dalam bentuk ledakan dahsyat Krakatau

Dalam dunia Narapati, gunung Krakatau tidaklah dikelilingi laut seperti dunia manusia tetapi merupakan sebuah lembah, tempat dulu dimana Krakatau purba telah meluluh lantakan dunia Narapati. Kalderanya menganga di antara Jawa dan Sumatra menjadi saksi kedahsyatan alam. Narapati, manusia pemimpin yang pertama berjalan dipermukaan bumi, yang menjadi ibu dari semua peradaban manusia harus menyerah oleh keperkasaan alam. Kehancuran yang diakibatkan Krakatau purba ribuan tahun lalu telah memaksa bangsa Narapati berpindah ke dunia tengah, dunia yang tidak sama dengan dunia manusia. Dunia yang berada di antara perbatasan yang nyata dan gaib.

Pada bagian timur lembah Krakatau ratusan ribu tentara telah saling berhadapan. Hamparan lapangan datar pasir yang terleburkan oleh sapuan angin. Langit pagi berubah menjadi jingga kemerahan oleh pulasan cahaya mentari yang terhalang oleh kabut di bawah payung abu Krakatau. Perlahan Gema suara teriakan dan dengusan terasa menjalar menggetarkan seluruh lembah. Pertarungan abadi hitam dan putih akan segera dimulai demi menjadi yang menentukan nasib yang lain. Menuliskan kembali nasib dunia di atas buku kehidupan. Sehingga perang ini begitu penting bagi siapapun baik dipihak hitam maupun putih.

Perebutan buku kehidupan menjadi inti perang ini. Ribuan tahun sudah BUKU buku kehidupan ditanam diperut Krakatau dan dijaga ketat oleh Narapati. Ramalan mengatakan Cakra Api akan dilontarkan dari busurnya dan sang Narayana akan lahir menjadi penjaga berikutnya. Setiap bangsa ingin menguasai buku kehidupan, karena siapapun yang menguasai buku kehidupan maka dialah yang menentukan nasib dan masa depan. Benar dan Salah hanyalah ditentukan oleh siapa yang paling berkuasa atas dunia dan siapa yang punya kekuatan menentukan nasib yang lain.

Langit yang masih muda tampak kelelahan oleh beban berat gumpalan debu angkasa. Sinarnya tak lagi jingga tetapi telah menjadi begitu merah. Tidak ada satupun yang bergerak, semua tentara serentak diam tak bergerak, bahkan seperti menahan nafas mereka. Hening seketika tercipta saat Krakatau tiba-tiba saja berhenti bergetar. Suasana yang tiba-tiba berubah menjadi sunyi setelah berminggu-minggu menggelegar gelisah mengingatkan semua yang terlibat dalam perang itu akan peristiwa yang sama ribuan tahun lalu. Peristiwa maha dahsyat saat Krakatau purba meluluh lantakan seluruh dunia Narapati. Membelah tanah jawa menjadi lautan dan mengalirkan semua air samudra ke seluruh lembah Sunda dan menenggelamkan kota-kota indah di negeri Narapati.

Isyarat diam Krakatau menjadi pertanda yang sudah dimengerti oleh kedua belah pasukan yang sedang siap bertempur. Pasukan Narapati berbaris membentuk benteng berlapis-lapis menghalangi jalan menuju Krakatau. Barisan tentara dengan Jubah serba putih, dengan penutup kepala yang terbuat dari logam keperakan dengan bentuk sayap pada bagian kuping kiri dan kanan mencuat ke atas, berdiri tegak memegang tombak keris berkelok tujuh, pasukan yang lain memegang pedang berkepala Garuda pada tangan kanannya. Ketegangan tampak di wajah-wajah mereka yang sangat mengerti bahwa hari ini adalah perang penentuan nasib bangsa mereka.

Di bagian paling depan dengan pakaian paling megah berwarna putih dengan jubah hijau daun, duduk di atas Narasimha seekor Lodaya putih seukuran kuda besar. Wibawanya terasa sekali dalam sorotan matanya yang teduh. Di dampingi enam orang dengan tunggangan yang sama dengan jubah berwarna merah darah. Matanya memandang tajam ke arah barisan pasukan bangsa Amukhsara yang sudah bersiap-siap menyerang.Telinganya mendengarkan dengan cermat, memilah-milah suara-suara halus dari getaran-getaran vulkanis yang dirasakan di seluruh lembah. Menantikan saat yang tepat memberikan perintah dan menunggu lawan bergerak.

Kenangan dengan ketakutan yang teramat dahsyat itu tak menyurutkan semua penjaga-penjaganya yang terus menjaga amat ketat, di darat maupun di udara. Para Garuda Kencana dengan sayap mengembang berjaga mengelilingi Krakatau bersama masing-masing seorang penunggang Narapati. Matanya liar mengawasi setiap sudut Krakatau dari udara untuk mencegah kemungkinan penyusup musuh masuk melalui udara sambil mengeluarkan suara lengkingan panjang. Sesekali begerak menembus barisan awan yang mengambang membentuk cincin di atas kawah Krakatau, kemudian menukik kembali ke lereng yang terjal.

Setiap Garuda Kencana ditunggangi oleh seorang Narapati yang mengenakan penutup kepala yang menutupi seluruh wajah kecuali bagian mata. Setiap penunggang Narapati sudah sangat terikat jiwanya dengan Garuda Kencana yang ditungganinya. Setiap penunggang Narapati memiliki kemampuan untuk membuat perisai gaib yang mampu melindungi keduanya dari serangan-serangan. Disekeliling badannya akan terlihat bayangan seperti air seperti sebuah perisai berbentuk bulat.

Pasukan Narasimha, bangsa Lodaya putih dengan ukuran sebesar seekor kuda jantan. Pasukan Narasimha dengan pelana kulit berbaris sejajar dengan pasukan Narapati yang berdiri tegak menggenggam tombak dan pedang. Bersama diantara mereka juga berdiri tentara gaib pengawal kerajaan laut selatan, para Sarwajala. Tubuh bersisik hijau berbalutkan kain hijau daun seperti seorang biksu. Urat darah berwarna biru tua terlihat membentuk guratan-guratan di wajah dan telinga lancip menjulang ke atas hampir sama tinggi dengan ubun-ubun kepala yang tanpa rambut.

Sarwajala sangat ahli dalam menyamar dan melakukan serangan mendadak. Hampir tak ada yang mampu menyadari kedatangan Sarwajala jika dia sudah berkehendak untuk tidak diketahui oleh siapapun. Hanya bangsa Sethi saja yang mampu mengalahkan penyamarannya. Semua wajah itu begitu siap dengan menggenggam tombak hitam. Di bagian paling belakang berbaris ribuan pemanah Narapati dengan ribuan anak cakra meletupkan bunga api.

Sementara di bagian depan jauh di utara pasukan Narapati, ratusan ribu bangsa Amukhsara sedang bergerak perlahan menuju lembah timur Krakatau. Bangsa campuran antara manusia dengan mahluk kegelapan. Amukhsara memiliki kulit berwarna hitam dan bersisik seperti kadal. Pasukan gendrawa berbaris di belakang. Badan setinggi pohon kelapa dengan bulu hitam disekujur tubuhnya tampak jelas. Bentuk wajah yang tidak beraturan dan matanya yang merah menambah keseraman 4 taring yang keluar dari mulutnya.

Di udara yang gelap melayang-layang naga-naga bersayap Jalatunda dengan warna kulit hitam keperakan mengepakan sayapnya dan sesekali mengeluarkan suara lengkingan yang amat merindingkan bulu kuduk. Diantara para gendrawa berbaris mahluk campuran berbadan manusia, berkepala kerbau dengan tangan seperti cakar Lodaya, Mahesa Sora. Ekor panjang melengkung tinggi dengan bentuk gerigi tajam pada bagian ujungnya. Mulutnya terus mengeluarkan lenguhan keras disertai dengan uap keluar dari hidungnya. Keberingasannya sesekali diluapkan dengan saling mengintimidasi satu sama lain.

Kedua pasukan telah saling berhadapan, siap dengan semua senjatanya masing-masing. Semuanya diam tak bergerak seakan sedang menunggu bunyi tanda perang dimulai. Krakatau terdengar gemuruh seakan tidak kuasa lagi menahan beban yang ditanggungnya. Beban besar bernama buku kehidupan yang sebentar lagi akan dikeluarkannya. Masanya menjaga buku kehidupan telah akan berakhir, setelah dahulu dia menyanggupi untuk menyimpannya dalam-dalam di perutnya, kini buku tersebut akan dikembalikannya kepada sang penjaga yang lain. Buku itulah yang sekarang akan diperebutkan oleh kedua pasukan itu. Buku yang bercerita tentang nasib semua bangsa, semua mahluk, dimana pemegangnya akan memiliki kemampuan untuk menuliskan kembali nasib semua mahluk yang berdiam di atas lembah sunda. Dunia Manusia, dunia Narapati, dunia mahluk gaib akan berada di dalam buku kehidupan.

Tiba-tiba semua berhenti, seakan waktu tidak bergerak, seluruh angin berhenti tak bersuara, tak ada nafas……….

DHUAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRR…….

Suara ledakan sangat dahsyat menggelegar membelah seluruh dunia. Jutaan batu api dilontarkan dari kawah Krakatau, abu kawah membubung tinggi membentuk gumpalan-gumpalan yang terus melebar. Seketika bumi gelap seperti malam, hanya bunga api yang terus terpancar dari mulut Krakatau. Sementara kedua pasukan tetap diam seakan sedang menunggu tanda yang lain. Keduanya seakan tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi diKrakatau, karena pengaruh yang sesungguhnya terjadi di dunia manusia.

Gelombang angin dingin mendera, seketika butiran air padat turun menutupi seluruh lembah Krakatau, selimut putih menutupi seluruh permukaan lembah Krakatau. Di kawah Krakatau yang telah kelelahan berhari-hari meletupkan semua bebannya, samar-samar muncul sinar putih membubung tinggi keluar. Diantara barisan Pasukan Amukhsara dan sekutunya muncul sesosok bayangan berjubah hitam, tangannya mengacung ke atas seraya mengeluarkan suara geram yang menggema ke seluruh lembah, dan seketika secara serentak semua pasukan bergerak menyerang pasukan Narapati yang sudah siap menyambut musuh.

Pasukan Amukhsara dengan serempak melontarkan batu-batu api ke arah pasukan Narapati. Bunyi berdesing batu-batu membara disertai api yang berkobar melayang di angkasa. Sementara pasukan Amukhsara terus bergerak maju makin mendekati pasukan Narapati. Dari barisan pasukan Narapati terdengar suara menggema;

“Vadhra ……..”

Ribuan anak panah terlontar ke udara menyongsong ribuan batu api yang sedang melayang, ketika saling berbenturan di udara dentuman-dentuman keras di udara seperti kembang api dan seketika luruh jatuh ke tanah. Ada sebagian batu api maupun anak panah yang lolos melesat menghantam kedua pasukan. Perisai-perisai pasukan Narapati rupanya bukan tandingan kekuatan batu api yang meluncur deras bersama gravitasi. Ratusan pasukan Narapati bergelimpangan jatuh. Hal serupa terjadi dengan pasukan Amukhsara, anak panah yang melesat menembus barisan dan menjatuhkan banyak korban.

“SAGE…….”

“NORANH……..”

Kedua pasukan berlari saling menghampiri dan akhirnya saling bertemu dan terjadilah pertempuran yang sangat hebat di lembah Krakatau. Naga-naga bersayap Jalatunda meluncur deras ke arah kawah Krakatau, dihadang oleh sepasukan Garuda kencana. Keduanya saling beradu di udara dan bergumul saling mematuk dan menggigit. Darah hitam naga dan darah biru Garuda bercipratan mengenai pasukan-pasukan dibawahnya. Darah yang mengandung racun ganas itu meresap ke dalam kulit yang terkena dan menjalar cepat ke seluruh tubuh kemudian menghentikan jantung. Garuda-Garuda dan Naga-naga yang terluka menukik jatuh berdebum menghantam kerumunan pasukan yang sedang bertempur.

Perang terus berkecamuk, awan hitam yang bercampur abu gunung seketika memerah dan terang benderang. Laksana sebuah arang yang terbakar menggantung di atas lembah, buku kehidupan mengambang dibawahnya. Dari arah pertempuran Garuda kencana dengan naga-naga bersayap, meluncur seekor Garuda kencana mengejar ke arah buku kehidupan, diikuti oleh seekor naga bersayap. Keduanya berusaha meraih buku kehidupan tetapi sebelum mencapainya tiba-tiba saja 2 larik sinar kemerahan melewat dari arah lembah menghantam keduanya. Kedua mahluk bersayap itu terpental bersama penunggangnya, sebelum jatuh kaki Garuda kencana sempat mencengkram buku kehidupan dan meluncur jatuh berdebam ke lantai lembah menghantam pasukan yang sedang bertempur.

Buku kehidupan terlempar dan menghantam kepala seorang prajurit Narapati dan jatuh ke tanah bersamaan dengan jatuh dirinya sendiri, buku kehidupan ditangkap hingga terbuka lembarannya.

Dan…. “SEBUTKAN NAMAMU DAN TENTUKAN NASIB APA YANG INGIN ENGKAU TULISKAN PADAKU”

sebuah suara keluar dari buku kehidupan menggema mengalahkan bunyi apapun yang paling keras. Sang prajurit Narapati terhentak kaget, diikuti berhentinya waktu sehingga semua pasukan yang sedang berperang seakan seperti patung, kecuali satu prajurit Narapati yang sedang memegang buku kehidupan. Sang prajurit Narapati, begitu kaget dan gugup.

”A.a..a…na..na.maku…Di..Dimas….” dalam gugupnya dimas memandang sekelilingnya yang diam tak bergerak.

“Apa…yang terjadi ?” Dimas tidak mengerti tiba-tiba dirinya berada di tengah-tengah sebuah pertempuran.

“Di setiap penulisan kembali buku kehidupan, waktu akan berhenti sampai selesainya sebuah nasib dituliskan, tentukan nasib apa yang ingin engkau tuliskan padaku”. suara dari buku kehidupan kembali bertanya.

Dalam kepanikan, ketakutan dan kegugupannya, otaknya tak lagi sanggup bicara melalui mulutnya. Apa yang terlintas dalam gemetar tubuhnya yang menggigil saja yang mampu terucap.

“Aaa…ku ingin Amukhsara dikalahkan dan Narapati menang.” Katanya meluncur begitu saja dari mulutnya. Selesai Dimas mengucapkan nasib yang diinginkannya, buku kehidupan berubah menjadi selarik cahaya putih, menembus kepala Dimas. Dimas mengejang keras dengan bola mata nyaris terbalik. Seluruh warna kulit kepala dan wajahnya memutih keperakan. Suara erangan kesakitan tak terbayangkan oleh siapapun yang mendengarnya.

"Hei Dimas, bangun....bangun......" Raji menguncang-guncang badan Dimas yang bersimbah keringat. Mukanya pucat pasi. Matanya merah. Nafasnya tersengal-sengal. "Kau mimpi lagi." Wajah Dimas seperti orang mau mati. Raji sudah duduk di samping tempat tidurnya.
“Ah…ah…”Dimas berusaha mengumpulkan kembali ingatannya. Matanya terasa sakit sekali. Seolah semua mimpinya tadi begitu nyata.
“Buku kehidupan…ah..ah..” Dimas masih terengah-engah memegang kalung kain hitam di lehernya.
“Bersandarlah dulu, aku ambilkan minum.” Raji mengambil cangkir kaleng berisi air putih di atas meja. Dimas meraih cangkir yang disodorkan Raji. Matanya masih nanar tidak karuan. Raji hanya duduk diam membiarkan sahabatnya mengambil waktunya sendiri. Dia tahu Dimas pasti akan selalu bercerita kepadanya jika dia sudah siap. Seminggu ini Dimas terus-menerus dihantui oleh mimpi-mimpi buruk. Raji begitu kasihan melihat Dimas yang begitu kesakitan setiap bangun dari mimpinya. Apa yang sedang terjadi ? Keanehan baru mulai muncul lagi sejak kepulangan mereka dari dunia Narapati.




Bersambung…….
Buku 2 AMUKHSARA
Buku 3 BATU BINTANG SATUASRA
Buku 4 ANGKORWAT
Buku 5 SANG NARAYANA
Buku 6 PERTEMPURAN DUA KUIL
Buku 7 KAKAWIN PRALAYA

No comments: