Monday 18 February 2008

BAGIAN 13 - PILAR KEMBAR

Beban terasa semakin berat. Satuasra terakhir di Rajatapura telah berhasil diambil. Dimas meletakannya bersama satuasra lainnya di dalam sebuah kantong kulit tempat air milik Raji. Batu satuasra begitu dingin walaupun memancarkan sinar putih keperakan. Dimas tidak bisa berlama-lama memegangnya. Kini gerbang terakhir menuju Cakravartin telah dibuka. Sebuah ruangan dengan altar bundar tepat berada di tengah ruangan. Sebuah pilar api berdiri di tengah altar hingga menembus langit-langit. Mungkin ini lah sumber lidah api yang selalu menyala terang di ujung Cakravartin. Dimas melangkah berhati-hati. Cahaya terang keemasan memancar dari pilar api ke seluruh ruangan. Sebuah lubang tak beraturan berjumlah Sembilan terdapat di sekeliling pilar api. Dimas mencoba mengingat kembali. Dengan hati-hati tangannya mengeluarkan satu per satu batu bintang satuasra kemudian diletakan ke dalam lubang-lubang yang memang khusus untuk satu buah satuasra. Setiap lubang memiliki ukuran yang berbeda. Berdasarkan urutan kemudian Dimas meletakannya. Setelah semua lengkap terpasang tiba-tiba pilar api yang semula kuning keemasan berubah menjadi putih keperakan. Sinarnya menembus kuat. Dimas tidak menyadari kalau yang telah dilakukannya membuat sebuah perisai gaib terbentuk seperti setengah bola menutupi seluruh kota Sunda Buana.

Hampir seluruh penduduk kota Sunda Buana tercengang melihat semua yang terjadi. Beberapa wahana terbang pavaratha, burung-burung yang melintas sempat menabrak perisai yang tidak kelihatan itu. Siapapun dan apapun tidak bisa menembusnya.

Tetapi di dalam kuil, di hadapan Dimas muncul seorang wanita yang sudah dikenalnya, Ratu Kerajaan Selatan.

“Selamat datang Gusti Ratu”

“Kau telah mengerjakannya dengan baik Dimas. Kini saatnya mengundang teman-temanmu untuk kemari.” Ratu Kerajaan Selatan menunjuk sebuah dinding dengan lambang bulan sabit di atasnya. Sebuah pintu terbuka dan cahaya putih dari ruangan putih menyeruak ke dalam. Terlihat Pafi, Raji dan Gandrung berada di dalamnya. Agak terkejut saat sebuah pintu terbuka. Tetapi saat melihat Dimas berada di dalam ruangan di baliknya, mereka tersenyum gembira. Ketiganya melangkah masuk menghampiri Dimas.

“Kau berhasil, Dimas !” kata Gandrung

“Tidak kita yang berhasil. Tanpa kepercayaan tidak akan ada jalan yang terbuka”

Ratu Kerajaan Selatan tersenyum. “Sekarang bukalah naskah Sinar Avedi itu lagi. Lihat apa yang dikatakannya”

Pafi menyerahkan naskah itu kepada Dimas dan langsung dibukanya. Semua gambar telah berubah. Tidak ada lagi segitiga dan bintang-bintang. Semuanya kini berubah menjadi gambar dua buah patung kembar yang saling berhadapan. Masing-masing menyangga sebuah mangkuk api yang menyala-nyala dengan warna api yang berbeda. Yang kiri berwarna hitam dan yang kanan berwarna putih keperakan. Sebuah bola yang terbentuk dari dua buah lidah api berputar-putar di antaranya. Saling berkejaran mengikuti ekor yang lain. Hitam dan Putih. Diantara gambar dua patung itu muncul sebuah gerbang seperti lubang cacing yang dikelilingi oleh Sembilan bintang yang terus berputar-putar.

“Kau tahu mengapa engkau yang terpilih Dimas ?” Dimas menggelengkan kepalanya.

“Karena tidak ada yang sanggup menanggung beban yang dibawa oleh batu bintang satuasra. Bagimu batu itu hanya seberat batu biasa, tetapi bagi yang lain batu itu seperti terpaku dengan bumi. Karena itu aku pun tidak sanggup memindahkannya.”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang dengan batu-batu satuasra ini ?“ tanya Dimas.

“Tugas kalian sekarang adalah menyampaikan ramalan naskah Sinar Avedi yang kau baca di graha pustaka kepada Prabu Narayala.” Ratu Kerajaan Selatan tersenyum dan kemudian melirik kepada Gandrung. Ada sesuatu mengenai Gandrung. Ini sudah yang kedua sejak pertemuannya dengan Ratu Kerajaan Selatan. Dimas teringat kembali kalimat pendek yang pernah dibacanya dan kemudian disebutkan kembali oleh Ratu Kerajaan Selatan waktu di gua Ngejungan. Dia kini tahu bahwa naskah yang dibacanya adalah sebuah ramalan.

“Baiklah Gusti Ratu”

Kemudian tangan Ratu Kerajaan Selatan menunjuk sebuah dinding dengan lambang segitiga dengan bintang di atasnya. Sebuah pintu terbuka. Dimas menoleh sebentar kepada Ratu Kerajaan Selatan. Anggukan sang Ratu mengisyaratkan Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung memasuki ruangan itu. Sebuah pertemuan di balairung sedang berlangsung. Semua yang hadir berhenti, pintu utama terbuka. Siapapun yang berada di balairung melihat, kalau pintu yang terbuka bukanlah pintu utama. Semua mata terpaku pada ruangan di baliknya yang terang putih keperakan. Balairung menjadi senyap. Semua orang yang hadir tiba-tiba lenyap dari ruangan. Tinggal Prabu Narayala dan Patih Naraphala saja.

“Maafkan atas kedatangan kami yang kurang sopan ini Gusti Prabu Narayala.” Kata Dimas. Raji, Pafi dan Gandrung berdiri sejajar di sampingnya.

“Apa yang kau inginkan nak” tanya Prabu Narayala. Dimas maju lebih dekat kepada Prabu Narayala dan Patih Naraphala yang sedang duduk di singgasananya.

“Apakah saya boleh mengatakan sesuatu Gusti Prabu ?” Dimas mengajukan permintaan. Semua mata menoleh memandang kepada Dimas yang sudah berdiri tegak. Prabu Narayala tersenyum lembut, tangannya mempersilahkan Dimas untuk maju ke depan.

“Siapa kau nak, jelaskanlah” Tanya Prabu Narayala.

“Nama saya Dimas, saya datang bersama dengan kedua sahabat saya Raji dan Pafi. Dan ini adalah Gandrung putra dari Gusti Patih Narajalaseva. Saya hendak menyampaikan isi naskah Sinar Avedi yang telah saya baca.” Dimas berhenti sejenak. Semua orang seperti menahan nafas menanti kata-kata Dimas selanjutnya.

“Naskah Bangsa Sinar Avedi Hoa-Binh maksudmu?” kata Patih Naraphala

“Benar Gusti Patih.” Jawab Dimas.

“Benar kau bisa membacanya nak ?” Tanya Prabu Narayala kepada Dimas.

“Iya Gusti Prabu, isinya adalah sebuah ramalan yang penting untuk diketahui oleh Gusti berdua.” Kata Dimas singkat.

“Kalau benar begitu, kau pasti sudah tahu kalau naskah Bangsa Sinar Avedi hanya akan menunjukan apa yang ingin diketahui atau berada dalam pikiran pembacanya. Kalau begitu aku ingin kau membaca naskah ini.” Patih Naraphala menyerahkan sebuah lembaran naskah yang tergulung rapi. Dimas menerima naskah itu dan membukanya. Huruf-huruf bahasa Bangsa Sinar Avedi yang bergerak liar ke sana kemari bermunculan di atas lembaran yang terbuka. Prabu Narayala dan Patih Naraphala memperhatikan Dimas. Semua yang hadir tahu kalau naskah Bangsa Sinar Avedi tidak bisa dibaca karena tulisannya selalu bergerak dan dilindungi oleh sihir-sihir Bangsa Sinar Avedi.

“Nak Dimas, apakah kau sudah tahu bahwa naskah Bangsa Sinar Avedi hanya akan menunjukan hal yang ingin kita benar-benar ketahui atau apa yang ada dalam pikiran kita saat memilihnya.” Prabu Narayala bertanya perlahan. Seperti dia tahu kalau Dimas mulai merasa cemas akan arti kalimat tersebut berpengaruh tidak baik pada dirinya.

“Iya, saya sudah mengetahuinya dari Gandrung, Gusti Prabu” Jawab Dimas pelan. Dimas kelihatan tenang. Dengan pelan dia mengucapkan mantra pembuka naskah.

“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” kata Dimas pelan nyaris tidak terdengar oleh siapapun. Seluruh tulisan itu bergerak perlahan membentuk kalimat.

“Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang.
Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana.
Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh.
Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam.
Kegelapan hanya akan tenang bersama terang.”

Dimas membacakan isi naskah yang sedang dipegangnya.

“Apakah ini berarti ramalan itu benar Kakang Narayala ?” Patih Naraphala kelihatan tegang sekali.

“Tenang Adik Naraphala, aku yakin Dimas mengatakan yang sebenarnya” Prabu Narayala menenangkan Patih Naraphala.

“Nak Dimas, selama ini kami menunggu seseorang yang bisa membaca sebuah ramalan dalam bahasa Bangsa Sinar Avedi. Tidak seorang pun yang bahkan bisa membaca dalam bahasa Bangsa Sinar Avedi, dapat membuka tabir ramalan itu. Kecuali orang yang telah diramalkan oleh Sinar Avedi Agung Au Co sendiri. Artinya, bahwa kaulah yang selama ini kami tunggu. Dahulu seorang Sinar Avedi Agung Hoa-Binh sebelum meninggalkan kota Sunda Buana mengatakan bahwa akan datang seseorang dari masa setelah peradaban ketiga yang mampu membaca dan bicara bahasa bangsa Sinar Avedi tanpa pernah belajar. Dia akan membawa pesan yang akan menentukan nasib Narapati. Tetapi kami tidak pernah berpikir kalau seseorang yang dimaksud adalah seorang anak kecil. Dan Kalimat dalam naskah Bangsa Sinar Avedi itu adalah ramalan yang sudah kami tunggu sejak ayahku masih memerintah. Dan sekarang ramalan itu telah datang, tinggal berusaha memahami artinya.” Prabu Narayala menatap tajam.

Tiba-tiba sebuah suara lembut terdengar menggema. “Apa kabar Narayala, Naraphala ?” Seorang perempuan cantik berpakaian hijau yang sudah dikenal Dimas tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Prabu Narayala dan Patih Naraphala menyadari siapa yang datang segera bangkit dan memberikan salam.

“Aku baik-baik saja, Selamat datang di Narapati Gusti Ratu Selatan” Jawab Prabu Narayala. Patih Naraphala tersenyum.

“Aku datang hanya untuk memastikan semuanya dan sekaligus memberikan jawaban dari semua teka-teki ini. Pasti banyak hal yang terjadi di benakmu sekarang Naraphala”

“Masa depan adalah misteri Naraphala, tidak mungkin ada yang bisa menerkanya. Begitu banyak jalan yang harus dipilih dari setiap nasib. Bahkan kami para pendahulu Bangsa Sinar Avedi dengan pikiran sebening intan masih samar melihatnya. Perjalanan harus dijalani dan diterka sendiri pada setiap persimpangan. Masa depan akan datang dengan sendirinya kepadamu. Tetapi dia tidak akan lebih dari sekedipan mata, karena setelah itu dia akan menjadi masa lalu.” Kata Ratu Kerajaan Selatan sambil melirik Dimas.

“Seseorang dari masa setelah tiga peradaban telah hadir di hadapanmu. Sekarang tanyakanlah kepadanya apa yang akan terjadi di masa depan.” Ratu Kerajaan Selatan menoleh kepada Dimas. Prabu Narayala mengalihkan pandangannya kepada Dimas.

“Apakah kau tahu apa yang akan terjadi kepada Narapati ?” tanya Prabu Narayala.

“Narapati akan tenggelam ke dasar lautan.” Jawab Dimas singkat.

“Ya kami sudah mengetahuinya. Apa ada yang bisa kita untuk lakukan untuk mencegahnya.” Tanya Patih Naraphala.

“Tidak ada, masa depan sudah terjadi. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyelamatkan sebanyak mungkin penduduk Narapati dari bencana ini.” Jawab Dimas. Ratu Kerajaan Selatan tersenyum.

“Kami sudah membuat sepuluh perahu kehidupan sesuai petunjuk Sinar Avedi Agung Au Co. Perahu itu akan membawa penduduk, hewan dan benih tanaman ke tempat yang lebih tinggi”

“Tidak cukup. Kemusnahan Narapati bukan datang dari banjir besar yang menenggelamkannya. Itu Cuma sebagian kecil saja. Bencana sesungguhnya datang dari letusan gunung-gunung sepanjang swarna hingga jawa. Batuwara akan menjadi pemusnah paling besar. Narapati akan diliputi kegelapan selama bertahun-tahun. Menyebabkan semua yang hidup di permukaan bumi membeku dan akhirnya membunuh semua yang hidup.” Prabu Narayala dan Patih Naraphala terkejut bukan main.

Tiba-tiba sebuah gerbang terbuka. Seorang wanita sangat cantik yang hanya mampu ditandingi oleh Ratu Kerajaan Selatan muncul dari balik gerbang itu.

“Apakabar Au Co?” Ratu Kerajaan Selatan menyapa yang baru saja hadir

“Kabarku baik Ratu, bagaimana denganmu sendiri ?” Sinar Avedi Agung Au Co balik bertanya.

“Aku juga baik. Seperti sejarah harus kita ulang Au Co. Sama seperti dulu dengan Sinar Avedi, kini Narapati harus mengalami nasib serupa. Menyingkir dari dunia manusia.”

“Benar Ratu, berkat bantuanmulah Sinar Avedi masih bisa hidup. Kini Narapati dalam posisi yang sama. Sinar Avedi tidak bisa membiarkan Narapati sendirian dalam kesulitan ini.”

“Narayala, Naraphala ada yang harus kalian tahu.Apa yang dikatakan oleh Dimas benar adanya. Aku memang menyuruhmu untuk membuat sembilan perahu kehidupan. Semua itu untuk membawa penduduk dari Sembilan kota Narapati menuju Sunda Buana. Perahu kehidupan hanya merupakan sarana untuk mencapai gerbang naga dan garuda. Hanya dengan memindahkan Narapati ke dunia tengah akan menyelamatkan banyak nyawa.”

Tiba-tiba saja Prabu Narayala, Patih Naraphala, Sinar Avedi Agung Au Co dan Ratu Kerajaan Selatan menghilang dari hadapan Dimas.

“Kemana mereka ?” tanya Raji

“Sepertinya ada hal yang sangat penting yang mereka bicarakan” Dimas mencoba menerkanya

“Kenapa kita tidak boleh mendengarnya ?” Gandrung agak kesal.

“Mungkin ini terlalu pribadi dan hanya mereka saja yang boleh tahu” kata Pafi.

“Lebih baik kita tunggu saja.” Kata Dimas

Tidak lama kemudian Sinar Avedi Agung Au Co dan Ratu Kerajaan Selatan muncul kembali bersama Prabu Narayala dan Patih Naraphala. Prabu Narayala menghampiri Dimas.

“Terima kasih telah datang. Sekarang adalah bagian kami melanjutkan apa yang telah kau mulai Dimas.” Prabu Narayala berlutut memberikan sembah di hadapan Dimas diikuti oleh Patih Naraphala. Situasi itu membuat Dimas menjadi kikuk. Seorang raja besar dan patihnya memberikan sembah kepadanya adalah hal yang tidak pernah berada dalam pikirannya. Namu ditengah kekikukan itu sesaat kemudian ruangan menjadi gelap. Prabu Narayala dan Patih Naraphala menghilang dari hadapannya dan mereka sudah kembali berada di dalam ruangan pilar api kuil Cakravartin.

“Saatnya kalian untuk kembali. Perjalanan kalian bertiga di dunia ini sudah harus selesai sampai disini. Masih ada tugas besar yang harus kalian jalani di masa kalian nanti. Kali ini Narapati harus mengusahakan nasibnya sendiri.” Ratu Kerajaan Selatan menunjuk sebuah dinding bergambar bulat separuh. Sebuah pintu terbuka di bawahnya. Gandrung masih tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ratu Kerajaan Selatan.

“Kembali ? kita kembali ke rumah kan ?” tanya Gandrung

“Tidak Gandrung, kami harus kembali ke tempat kami berasal. Dunia kami di masa setelah tiga peradaban.” Dimas begitu berat menyampaikannya. Hal ini juga diluar dugaan mereka.

“Kalian akan meninggalkan aku ?” Mata Gandrung mulai berkaca-kaca. Hatinya tak percaya kalau semuanya harus berakhir hari ini. Dia akan kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya yang selalu memberinya ketulusan.

“Kau masih ada tugas yang sangat besar Gandrung. Kau harus melanjutkan menjadi pembaca petunjuk dalam naskah itu. Kau harus menemukan tempat terbaik bagi Narapati di dunia tengah nanti.” Kata Ratu Kerajaan Selatan. Gandrung tidak bisa berkata-kata lagi. Air matanya mengalir dengan deras. Perpisahan akhirnya harus terjadi. Gandrung begitu sedih dengan perpisahan itu. Bergantian Gandrung memeluk ketiga sahabatnya.

“Cincin kebenaran ini akan menjadi lambang persahabatan kita” Dimas mengepalkan tangannya menunjukan cincinnya ke arah Gandrung. Kemudian mereka merapatkan kepalan tangan mereka satu sama lain.

Dimas, Raji dan Pafi memberikan salam kepada Ratu Kerajaan Selatan dan Sinar Avedi Agung Au Co. Setelah itu mereka bertiga memasuki pintu yang telah dibuka. Dan tak lama kemudian muncul di dalam ruang belajar. Kembali muncul di ruang belajar asrama. Hari masih sore persis seperti saat ditinggalkan. Dimas, Raji dan Pafi tersenyum sumringah. Beberapa anak tidak menyadari kedatangan mereka sedang duduk mengerjakan pekerjaan rumah. Dengan mengendap-endap mereka berjalan keluar dari ruang belajar kembali ke dalam bangsal masing-masing.

No comments: