Monday 18 February 2008

BAGIAN 11 - DENDAM LAMA

Sunda Buana tidak diperintahkan membuat perahu kehidupan, tetapi ratusan prajurit dikerahkan membuat sebuah jalan yang cukup lebar dari pinggir gerbang benteng barat daya hingga menuju tebing air terjung kamandaka. Masyarakat kota Sunda Buana sendiri belum mendapatkan berita apapun mengenai akan adanya bencana yang akan melanda kota mereka. Pelabuhan kota diperbaiki dan diperluas untuk berlabuh sembilan perahu kehidupan dari sembilan kota. Usaha Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung mengalami kebuntuan dalam memecahkan teka-teki berikutnya. Sembilan batu satuasra harus segera mereka dapatkan sebelum purnama ini berakhir dan itu artinya tinggal dua pekan lagi. Akhirnya diputuskan untuk mengambil rehat sejenak dari semua teka-teki yang sudah membuat kepala mereka pusing.

“Bagaimana kalau kita main dulu ke Rajatapura. Kita lihat tempat pembuatan perahu kehidupan disana” Raji memberikan usul. Yang lain seperti sudah kehilangan daya pikir untuk lepas dari kesumpekan sendiri. Hasilnya dengan mudahnya usulan Raji disetujui. Bahkan Pafi seperti tidak peduli lagi kemana mereka akan pergi, yang penting kepalanya lepas dari peta naskah itu dulu.

Berjalan menuju gerbang selatan kota dimana lubang cacing berada tidaklah semenyenangkan biasanya. Gorong-gorong selatan kota tidak lagi terlalu menarik untuk dikunjungi. Raji benar-benar yang memimpin sekarang. Semangatnya tidak pernah pudar kalau sudah ingin melihat sebuah kapal. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mereka tiba di kota Rajatapura. Sebuah dermaga terlihat di bawah gorong-gorong kota Rajatapura. Perahu yang hampir jadi telah bersandar di dermaga pembuatan kapal. Ukurannya begitu besar bahkan lebih besar dari pavaratha induk Ki Salakanagara yang sandar di sebelahnya. Sungguh suatu kerja yang sangat ajaib mengingat baru dua setengah purnama mereka membuatnya. Walaupun telah melihat sebelumnya kekaguman Raji tidak pernah turun setiap melihat kemegahan Ki Salakanagara.

“Ayo kita lihat tempat pembuatan perahu kehidupan itu” Raji begitu ingin melihat bagaimana sebuah perahu dibuat. Obsesinya nyaris sama dengan melihat Ki Salakanagara. Banyak penduduk kota Rajatapura yang mendatangi tempat pembuatan perahu kehidupan. Perahu yang mereka tahu hanyalah pesanan dari ibukota kerajaan Sunda Buana. Dimas sendiri tidak melihat ada yang istimewa dari perahu kehidupan itu. Semuanya biasa saja. Peran dan tugasnyalah yang membuatnya istimewa. Hatinya lebih tenang. Paling tidak ada langkah penyelamatan yang dilakukan pada saat bencana datang nanti. Tetapi beban itu muncul kembali. Dan membuatnya merasa tertekan sekali. Bagaimana kalau dia tidak bisa mendapatkan Sembilan batu satuasra yang dibutuhkan untuk membuka gerbang dunia tengah. Keyakinannya mulai runtuh. Satu-satunya tempat berpegang kini hanya pada ketiga sahabatnya. Matanya memandang nanar kearah perahu setengah jadi di hadapannya.

Beberapa lama setelah melihat-lihat di dermaga kapal, mereka lanjutkan dengan makan ikan panggang di tempat mang Jangkung.

“Selamat siang mang jangkung.” Gandrung menyapa laki-laki tinggi yang sedang sibuk membersihkan sisik ikan di pinggir gubuk warungnya.

“Nak Gandrung, masuk nak…mamang lagi membersihkan ikan dulu yah” Lelaki tua itu tersenyum ramah.

Raji lebih dulu masuk ke dalam warung. Pisang goreng langsung mendarat di mulutnya dan mengunyah lahap. Suasana hati Dimas, Pafi dan Gandrung mulai membaik. Tingkah Raji cukup menghibur mereka. Sejenak terlupakan semua masalah teka-teki naskah Sinar Avedi. Ikan bakar menjadi pilihan bersama. Pafi menangkap wajah yang tidak asing baginya. Tetapi sulit sekali diingatnya.

“Gandrung, kau ingat dengan orang itu ?” Pafi berbisik kepada Gandrung sambil menunjuk seorang lelaki muda yang sedang berjalan dengan seorang lelaki sebaya.

“Dia kan Nusapati, orang yang kita lihat ikut rapat dengan menteri Narasoma, Wardhana dan Aryadwipa. Dia diam sekali waktu di rapat itu.” Kata Gandrung.

“Betul, dan orang itu juga yang pernah berada di warung ini makan bersama kita waktu pertama kali kau ajak kami ke tempat ini, ingat!” Pafi mengingat kembali semua hal yang terjadi di Rajatapura sewaktu pertama kali mereka berkunjung.

“Ya betul, aku ingat dia ada di meja sebelah kita” kata Dimas.

“Mengapa dia ada disini ? bukankah seharusnya dia berada di Sunda Buana?” Pafi bergerak keluar warung mencari tahu kearah mana orang itu pergi. Mang Jangkung baru selesai membersihkan ikan-ikannya. Tangannya masih basah dengan air.

“Mang Jangkung, mamang tahu orang itu tidak ?” Dimas menunjuk ke kejauhan. Mang Jangkung tidak kesulitan melihat orang yang dimaksud Dimas, karena di tengah hamparan pasir pantai Cuma ada dua orang itu saja yang lewat.

“Oh itu den Nusapati. Memangnya kenapa ?” Mang Jangkung menjawab.

“Memangnya dia sering ke tempat ini ya mang ?” Dimas yakin dengan jawaban pertama mang Jangkung sudah memberitahukan kalau Nusapati sering ke tempatnya.

“Iya, dia sering ke tempat ini. Biasanya satu bulan sekali. Tapi belakangan ini malah makin sering.” Kata Mang Jangkung polos.

“Mang Jangkung tahu dia punya urusan apa di kota ini ?” tanya Gandrung.

“Wah, mamang mah tidak pernah tanya soal itu den Gandrung. Tapi mamang pernah mendengar pembicaraan mereka berdua tentang Pelabuhan Ratu di selatan sana.” Jawab mang Jangkung.

“Memangnya ada apa aden tanya soal Nusapati ?” Mang Jangkung mulai penasaran.

“Ah tidak mang, kami hanya pernah bertemu dengannya di Sunda Buana. Jadi kami pikir kami mau menyapanya.” Gandrung berusaha menyembunyikan alasan sebenarnya.

“Mungkin lebih baik kita menyusulnya saja” Dimas memberikan usul. Matanya menatap bergantian kepada Raji, Pafi dan Gandrung dengan isyarat. Raja yang masih sibuk mengunyah sedikit keberatan.

“Benar, kita susul saja. Kita bawa saja makan siang ini untuk bekal di jalan.” Kata Pafi.

“Lho jadi tidak makan disini aden semua ?” kata Mang Gandrung.

“Tidak mang, kami akan membawanya saja untuk bekal diperjalanan.” Jawab Gandrung. Mang Gandrung segera membungkuskan beberapa nasi yang sudah terbungkus daun pisang dan menambah beberapa lauknya. Setelah dibayar mereka pun segera meninggalkan warung.

Nusapati dengan seorang teman seperjalanannya sudah berada cukup jauh di depan. Mereka tidak memilih melewati jalan-jalan kota Rajatapura tetapi lebih memilih melewati pinggir hutan. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung mengikuti mereka dari kejauhan. Dua ekor kuda sudah menunggu ditambatkan pada sebatang pohon. Dan dalam waktu singkat mereka berdua sudah mengendarai kuda.

“Mereka menggunakan kuda, kita tidak mungkin mengejar mereka kalau dengan jalan kaki. Kita bisa kehilangan jejak. Kita harus mencari alat lain untuk mengejar mereka.” Kata Pafi

“Kira-kira apa yang bisa kita gunakan untuk mengejar mereka ?” Dimas melihat ke sekeliling tempat.

“Kita kembali saja ke pusat kota. Disana banyak pavaratha yang bisa kita sewa.” Usul Gandrung.

“Jangan, terlalu mencolok. Nusapati bisa mengetahui kalau dirinya diikuti.” Pafi tidak setuju dengan usul Gandrung.

“Lewat laut saja, lihat ada perahu.” Raji menunjuk sebuah perahu nelayan yang sedang tidak melaut berjejer rapi di pinggir pantai. Semua setuju dengan usulan Raji. Mereka pun bersama-sama mendorong sebuah perahu ke dalam air. Begitu di atas air, Raji membuat gelombang sedang untuk mendorong perahu.

“Bagaimana kita bisa mengikuti arah mereka ?” tanya Gandrung. Dimas membuat siulan kecil, seekor burung laut terbang menghampiri dan hinggap di atas perahu. Dimas mengeluarkan suara-suara aneh mirip sekali suara burung itu. Kemudian burung itu terbang kearah yang ditunjuk oleh Dimas.

“Kau, berbicara dengan hewan ?” Gandrung keheranan. Dimas hanya nyengir mengangguk.

“Dimas berbicara dengan lebih dari duapuluh binatang.” Kata Pafi. Gandrung terlihat kagum dengan kemampuan Dimas. Dimas memandang ke langit dimana burung laut yang tadi bicara dengannya sedang melayang di langit selatan.

“Raji ikuti burung itu ! Dia mengikuti persis berada di atas Nusapati” Dimas menunjuk titik hitam kecil di angkasa di depan mereka. Raji menghentakan gelombangnya lebih besar mendorong perahu berlayar lebih cepat. Pafi yang sedari tadi duduk tidak mau diam. Bersama gandrung berusaha mengembangkan layar. Kemudian menciptakan angin dorong.

“Raji, kau bersihkan saja permukaan air laut di depan supaya lebih datar. Aku akan mendorong perahu ini dengan angin.” Raji menurut perintah Pafi. Duduknya berpindah ke depan perahu dan mengerahkan tenaganya menghalau setiap riak dan gelombang yang datang. Jalur yang dilalui menjadi rata sehingga perahu bergerak lebih cepat.

“Pafi jangan terlalu cepat, perahu ini bisa patah” kata Dimas. Pafi mengurangi kecepatan angin dan perahu bergerak lebih pelan. Gandrung mengambil kemudi di belakang berusaha dengan susah payah mempertahankan kemudi tetap lurus.

---- *** ----

Kecepatan kuda dikurangi, jalan mulai berbukit-bukit. Nusapati menarik kekang kudanya. Kawannya dengan gerakan yang sama mengikutinya. Nusapati tidak menyadari seekor burung laut terus melayang di atasnya mengikuti kemanapun dia pergi. Hutan yang begitu rapat memaksa Nusapati untuk mengambil padang-padang rumput agar kudanya tidak terlalu sering menabrak barang-barang pohon. Jalur-jalur lama tampak di atas tanah menandakan daerah itu sering dilintasi oleh pejalan kaki atau penunggang kuda.

“Warsada, kita istirahat dulu disini. Kita istirahat dulu, aku lapar sekali.” Nusapati turun dari kudanya. Warsada ikut turun dari atas kudanya lalu diikatkan di sebatang pohon.

“Aku akan buat api unggun, kau carilah buruan untuk makan kita” Warsada mengumpulkan ranting kering dan menumpuknya dekat pohon. Nusapati mengambil busur panahnya di pelana kuda dan dengan cepat menarik anak panahnya melesat ke udara. Seekor burung laut berbulu hitam jatuh menghujam bumi dengan anak panah menembus dari dada hingga ke punggung. Nusapati memunggutnya lalu melemparkannya ke pinggir api unggun.

“Kenapa kau membidik burung laut ? memangnya tidak ada ayam hutan ?” tanya Warsada.

“Burung itu sejak tadi terus menguntit kita, ada yang mengirimnya untuk memata-matai kita.” Jawab Nusapati.

“Mana mungkin ada yang memata-matai kita. Tidak ada orang yang bisa menyuruh seekor burung memata-matai orang lain.” Warsada tidak percaya dengan apa yang dikatakan Nusapati.

“Aku sangat yakin, burung laut bukanlah burung pengintai seperti elang. Dia akan terbang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia hanya akan berputar-putar di atas permukaan laut dimana banyak ikan berada dipermukaan air. Tapi burung ini terbang berputar-putar saat kita berhenti disini.” Nusapati yakin dengan kesimpulannya.

“Baiklah, mungkin sebaiknya kita lebih waspada dan tidak menarik perhatian.” Warsada mengambil burung laut itu dan membakarnya di atas api yang sudah mulai menyala. Bau bulu terbakar begitu menyengat. Nusapati kembali merentangkan busurnya lagi sambil terus bergerak mencari ayam hutan.

---- *** ----

Perahu terus melaju dengan kecepatan sedang. Dimas terus mengamati burung laut yang membantunya untuk mengikuti gerak Nusapati. Tetapi tiba-tiba burung laut itu melayang jatuh ke bawah setelah mengeluarkan sedikit bunyi kesakitan. Dimas berusaha mengikuti dimana jatuhnya burung itu.

“Berhenti, burung laut itu jatuh. Ada sesuatu yang telah menghantamnya dari bawah. Ayo kita menepi ke pantai.”

Pafi mendorong perahu mereka menepi ke pantai. Dengan bantuan sedikit gelombang, Raji menghempaskan perahu itu ke tepian. Dimas melompat ke dalam air sesaat sebelum dasar perahu menyentuh pasir pantai. Kemudian menariknya ke daratan dengan bantuan gelombang yang diciptakan Raji. Setelah aman berada di daratan, Dimas memimpin berada di depan sementara yang lain mengikutinya. Tangan bergerak mengibas. Pohon-pohon perdu membungkuk memberikan jalan.

“Menurut perkiraanku burung itu jatuh persis di tengah lapangan itu” Dimas menunjuk lapangan rumput yang tidak begitu luas tepat di tengah-tengah rapatnya hutan. Tidak ada apapun di sana, tetapi Pafi mencium bau yang sangat dikenalnya. Api unggun.

“Lihat ! Disana ada orang.” Pafi menunjuk lurus di seberang lapangan.

“Cuma ada seorang di sana, dimana Nusapati ?” kata Raji pelan.

“Aku disini penguntit kecil” Nusapati tiba-tiba sudah berada di belakang mereka. Pafi melepaskan serangan angin berputar kearahnya. Dengan cekatan Nusapati belompat menjauh dan mendarat di atas sebuah cabang pohon. Warsada melompat berlari dari seberang lapangan. Kini Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung berada diantara kedua orang itu.

“Ah, rupanya kecoak-kecoak kecil ini punya kemampuan juga. Pantas nyali kalian cukup besar untuk menguntitku. Sekarang katakan ! siapa yang menyuruh kalian mengikutiku ?”

Dimas teringat suara yang didengarnya dekat pavaratha Ki Salakanegara beberapa waktu yang lalu. Nusapati lah orang yang berbicara di sana.

“Dia orangnya, dia yang aku dengar di dekat dermaga Ki Salakanegara. Dia yang merencanakan mengadu domba Narapati dengan Dravida.” Dimas menunjuk kearah Nusapati yang masih bertengger di cabang pohon.

“Ah kau rupanya sudah tahu kecoak kecil. Memang aku orang yang yang merencanakan semua ini. Kerusuhan di Pagan, Bangla, Serangan hama di Tarim, dan hancurnya kota-kota Dravida. Dan sebentar lagi Narapati. Ha..ha..ha…Aku tidak menyangka akan begitu mudah menghancurkan Narapati. Banjir besar, aku tinggal mempercepat prosesnya.”

“Kau tidak akan berhasil, kami sudah mencuri senjata sakti pemusnah bintang dari Asvin. Sekarang Asvin tidak bisa menyerang Narapati.” Sergah Dimas berang.

“Ha..ha..ha..anak bodoh! kecoak goblok! Aku yang memberi Asvin senjata pemusnah bintang. Yang kalian curi hanya dua dari duapuluh yang ada. Tujuhbelas yang lain telah aku kuasai sendiri. Dan aku akan menggunakannya untuk mempercepat Narapati tenggelam.” Warsada mengambil sikap menyerang. Pedang di pinggangnya dikeluarkan dari sarungnya.

“Orang sinting! Kau akan membunuh banyak orang. Memangnya salah apa Narapati sampai kau mau membunuh begitu banyak orang ?” Pafi makin berang.

“Ho..ho..ho..Narapati harus membayar semua dendamku. Aku akan membunuh semua Narapati. Narapati harus membayar semua perbuatannya kepadaku. Aku lah tahta Narapati sesungguhnya. Pemilik sah dari mahkota kerajaan Narapati yang telah dirampas seribu tahun lalu.” Nusapati menjelaskan siapa dirinya. Tidak ada yang mengerti kecuali Gandrung.

“Keturunan Raja Ambarawasta. Seribu tahun lalu Raja Ambarawasta Digulingkan oleh rakyat Narapati. Raja dan seluruh keluarganya dibuang ke sebuah pulau di tengah samudra timur. Perang saudara itu membuat bangsa Sinar Avedi pindah dari Sunda Buana.” Gandrung berbisik menjelaskan.

“Yah, akhirnya kau mengerti juga anak bodoh. Rupanya Narayala mengajarimu banyak tentang sejarah Narapati. Sekarang aku menuntut apa yang menjadi milikku. Tapi sebelumnya aku musnahkan dulu semua Narapati atas semua kesengsaraan yang dialami seluruh keluargaku.”

“Kau tidak akan pernah berhasil. Kau harus melangkahi mayat kami dulu” Raji menyerang. Tangannya menarik air dalam sebuah kubangan air. Sebentuk bola air menggumpal kemudian memecah menjadi puluhan mata tombak. Sesaat kemudian membeku menjadi es. Raji melontarkan puluhan mata tombak es kearah Nusapati. Nusapati cukup terkejut dengan serangan itu. Kedua tangannya mengibas. Sebuah perisai gaib muncul melindunginya. Puluhan mata tombak membentur dinding gaib, mendesak titik-titik pada perisai gaib kemudian memantul kembali dan jatuh hanya dua langkah di depan Nusapati.

“Ah, pengendali air. Aku tidak tahu kalau ada anak kecil pengendali air. Seranganmu cukup kejam kecoak kecil.”

“Oh kau belum lihat yang lain.” Pafi mengibaskan kedua tangannya pada arah yang berlawanan. Dua angin puyuh berputar mengejar Warsada dan Nusapati. Warsada yang tidak menduga datangnya serangan terpental jauh hingga ke tengah lapangan. Sedangkan Nusapati berusaha melompat jauh dari dari cabang pohon yang dipijaknya, berpindah ke pohon yang lain. Nusapati menyerang balik dengan serangan api. Dimas menahannya dengan perisai gaib. Lidah api hanya menjulur menyapu permukaan kosong.

“Gandrung berlindunglah di sana” Gandrung berlari berlindung di belakang batu-batuan besar. Raji menyongsong Nusapati yang telah siap menyerang lagi. Pafi menciptakan dua angin putting beliung kecil di kedua telapak tangannya. Siap menyerang Warsada yang sudah bangkit dengan pedang terhunus di tangan kanan. Warsada menyerang ke depan. Pedangnya membabat kearah pinggang. Pafi dengan ringan melayang mundur ke belakang. Dua angin putting beliung dilepaskan Pafi. Warsada sibuk menangkis kedua angin itu. Tetapi makin lama angin tersebut makin besar dan kemudian menyatu menjadi sebuah angin putting beliung yang sangat besar. Rumput-rumput tercabut dari tanah. Banyak ranting pohon patah tersedot alirannya. Warsada berusaha sekuat tenaga berlutut menancapkan pedangnya ke tanah.

“Kau akan aku antarkan kembali ke tempat asalmu!” Pafi berkata dengan keras. Warsada terlepas dari pedangnya. Tubuhnya terhisap ke dalam putaran angin raksasa itu. Pafi melempar angin itu ke udara jauh-jauh.

“Hmmm, mudah-mudahan kau mendarat di tanah, bukan di mulut hiu” Pafi mengusap-usap kedua tangannya seperti membersihkan debu yang melekat.

“Gandrung, rupanya kau disini. Ayo kita nonton saja pertunjukan kembang api itu” Pafi duduk di atas batu di sebelah Gandrung.

“Kau hebat sekali, kau buang kemana dia ?” tanya Gandrung.

“Mungkin ke samudra barat. Kalau beruntung dia ditolong nelayan Dravida.” Pafi tertawa cekikikan. Gandrung ikut tertawa dengan ulah Pafi.

Raji dan Dimas masih sibuk bertarung dengan Nusapati. Beberapa lidah api membakar pohon-pohon tanpa ampun. Raji dengan cepat memadamkannya. Berkali-kali Nusapati melontarkan lidah api. Dimas dan Raji belum pernah mendapat lawan pengendali api. Mereka tidak pernah melihat bagaimana seorang pengendali api menciptakan serangannya. Dimas dan Raji cukup kewalahan menahan serangan-serangannya. Nusapati terlihat sudah sangat berpengalaman dalam menggunakan kekuatannya. Serangan Raji sangat tergantung dengan jumlah air yang tersedia. Di dalam hutan itu jarang sekali air. Menarik dari laut yang cukup jauh atau dari dalam tanah memerlukan tenaga yang sangat besar. Lagi pula dirinya terlalu sibuk menangkis serangan juga memadamkan api yang mengenai pohon-pohon. Dimas juga masih sulit mengunci Nusapati dengan ikatan-ikatan ranting-ranting pohon. Semua ranting langsung hangus menjadi arang setiap kali berusaha mengikatnya. Nusapati tidak pernah turun sekalipun ke tanah. Hal ini membuat Dimas tidak bisa menggunakan bumi sebagai tempat untuk menjebaknya. Sepertinya Nusapati tahu kekuatan Dimas berasal dari bumi. Pafi mulai gerah melihat pertempuran yang hanya berputar-putar saja. Dalam sekejap tubuhnya sudah melayang masuk ke dalam arena pertempuran. Angin putting beliung yang dibuatnya membuat Nusapati kehilangan keseimbangan. Pafi terus mendorong Nusapati dengan badai. Sedangkan Raji terus menyerangnya dengan lidah-lidah air. Kecepatan Nusapati mulai berkurang. Serangan-serangannya mulai berkurang jumlahnya.

Nusapati mulai merasakan dirinya terdesak. Dengan cepat sebuah serangan besar dilakukan. Api menjalar ke seluruh hutan. Angin ciptaan Pafi malah membantu api semakin besar.

“Pafi hentikan, seranganmu malah membuat api ini semakin besar.” Kata Raji yang kewalahan memadamkan api dengan air yang terbatas. Asap mengepul memenuhi seluruh hutan. Pandangan menjadi sangat terbatas. Kesempatan itu digunakan Nusapati untuk meloloskan diri.

“Pafi dorong asap-asap ini ke angkasa.” Pinta Dimas. Pafi memutar anginnya menjadi angin putting beliung yang sangat besar. Menghisap semua yang terbakar dan asap ke angkasa. Dalam sekejap hanya tersisa tonggak-tonggak pohon yang hangus menghitam. Kesempatan terakhir Raji mengguyurnya dengan air yang tersisa.

“Nusapati kabur!” Gandrung menghampiri Dimas.

“Dia kabur dengan jalan kaki. Aku telah mengusir kudanya tadi.” Kata Pafi.

“Ayo kita kejar dia” Raji berlari kearah Nusapati pergi. Yang lain berlari mengikuti Raji. Pafi sesekali melayangkan dirinya ke udara melewati puncak pohon mencari arah kaburnya Nusapati.

“Dia ada di sana, tidak terlalu jauh dari kita.” Pafi menunjuk ke timur.

Raji terus berlari mengejar. Dimas membuka jalan dengan membuat semua pohon menyebar memberi jalan. Gandrung tampak sudah sangat kelelahan mengikuti lari Raji dan Dimas yang begitu cepat. Tak lama kemudian mereka sudah bisa melihat bayangan Nusapati berada di depan mereka.

“Kita harus menangkapnya. Hanya dia yang tahu dimana sisa senjata sakti pemusnah bintang diletakan.” Dimas agak khawatir dengan keberadaan senjata pemusnah itu. Tidak lama kemudian mereka tiba di sebuah lapangan dimana dua buah Vailixi kelas penggempur jarak jauh. Dimas melihat Nusapati memasuki pintu wahana itu. Wahana yang sama persis dengan yang dicurinya dari Asvin beberapa waktu yang lalu.

“Dia akan membawa Vailixi itu terbang. Ayo kita cegah dia. Jangan sampai Vailixi itu mengudara. Dunia akan hancur kalau kita terlambat.” Pafi berteriak mengejar. Tetapi telat. Nusapati telah menutup pintu wahana itu. Pafi melancarkan serangan bertubi-tubi kearah wahana itu. Tidak satupun kerusakan terjadi. Bahkan wahana itu tidak bergerak sama sekali. Sebuah selubung pelindung menahan setiap serangan.

“Percuma, kita harus menjatuhkannya dari udara.” Kata Dimas

“Dengan apa ?” tanya Pafi

“Dengan itu” Raji menunjuk Vailixi yang lain.

“Ayo kita ke sana” Dimas berlari memasuki pintu Vailixi itu. Yang lain ikut masuk. Vailixi Nusapati telah mengudara.

“Wahana ini mirip dengan yang aku kemudikan dari Asvin dulu. Aku bisa menjalankannya.” Dimas menekan tombol-tombol di atas papan pengendali. Beberapa saat kemudian Vailixi itu menyala.

“Pafi kau ambil tempat pengendali arah. Raji dan Gandrung ambil senjata penembak.” Dimas membagi tugas masing-masing. “Lihatlah layar kalian masing-masing. Beritahu aku status kalian.”

“Vailixi Nusapati bergerak ke barat laut. Kalau menurutnya benar masih ada tujuhbelas senjata sakti pemusnah bintang. Maka dia membawa tujuh senjata itu. sepuluhpuluh yang lain berada di Vailixi ini.” Pafi membaca layar pengendalinya.

“Penembak bintang merah siap” Raji memegang tuas pengendali senjata duduk di belakang Dimas.

“Penembak bintang biru siap” Gandrung juga memegang tuas pengendali senjata duduk di belakang Pafi. Layar pengendalinya memberikan pemandangan di luar wahana. Dua Lingkaran merah dan kuning bergerak saat tuas digerakan.

“Atur kedua lingkaran itu hingga menyatu dengan tepat, barulah kalian tembakan senjata kalian.” Dimas mengingatkan Raji dan Gandrung.

“Senjata sakti pemusnah bintang terkunci. Ayo kejar penghianat itu” Pafi memberikan komando. Suaranya begitu lantang dan galak.

Dimas mengendalikan tuasnya. Vailixi itu terbang dengan muda kemudian melayang dengan cepat mengejar Nusapati. Pengalamannya ke negeri Asvin memberinya pengalaman dalam mengendalikan wahana terbang. Kejar-mengejar terjadi. Nusapati mengarahkan Vailixinya menuju kota Rajatapura.

“Kita harus menghalaunya dari Narapati. Dia tidak boleh ke kota-kota Narapati.” Gandrung terlihat cemas sekali.

“Aku akan memaksanya bergerak ke barat.” Dimas menambah kecepatan mengambil jalur melambung lebih ke utara. Vailixi Nusapati bergerak lurus menuju Rajatapura. Tembakan demi tembakan sinar biru dan merah di lepaskan kearah Vailixi Nusapati. Vailixi itu mengambil gerakan menghindar ke kiri. Semua tembakan terus diarahkan ke lambung kanan wahana. Memaksa Nusapati mengarahkan kemudinya bergerak menghindar ke kiri hingga tidak sadar arahnya telah bergeser ke barat. Tiba-tiba Nusapati mengubah arah Vailixinya menuju selatan. Dengan kecepatan tinggi Vailixi Nusapati melesat lurus ke selatan. Dimas mengikutinya dengan kecepatan yang sama.

“Kenapa dia bergerak ke selatan ?” Dimas bertanya pada Pafi.

“Pangkalan Narapati di Rajatapura rupanya menangkap kehadiran kita. Lima pavaratha sedang meluncur kearah kita. Mungkin Nusapati tidak mau berhadapan dengan mereka.” Pafi menjelaskan isi layarnya.

“Pegangan teman-teman” Dimas menarik tuasnya kuat-kuat membuat semua yang duduk terhentak ke belakang oleh peningkatan kecepatan. Langkah seribu juga harus diambilnya. Karena Narapati akan menyangkanya penyusup. Vailixi yang dikendalikannya bisa ditembak jatuh bersama sepuluh senjata pemusnah di dalamnya.

“Mau kemana dia ?” tanya Raji.

“Kutub bumi selatan, dia akan mencairkan es di kutub-kutub bumi” Dimas menduga dengan pikiran terburuknya. Dirinya mulai khawatir mereka tidak bisa mencegahnya. Vailixi terus melesat cepat. Menanjak makin tinggi di atas awan. Raji dan Gandrung terus menembakan senjatanya kearah Vailixi Nusapati. Jarak yang cukup jauh memberikan dampak yang kecil. Nusapati tidak lagi menanggapi serangan. Dalam pikirannya hanyalah membawa wahana itu secepat mungkin tiba di kutub bumi selatan. Pavaratha Narapati tidak lagi mengejar. Mereka sudah berada di luar wilayah udara Narapati. Beberapa waktu kemudian sebuah gugusan putih di tengah lautan membatasi warna biru. Benua es telah tampak. Nusapati menurunkan ketinggian Vailixinya.

“Lihat itu! Benua es.” Pafi menunjuk hadapan mereka. Dinding putih panjang yang langsung berbatasan dengan laut. Cuaca begitu cerah. Tidak ada awan di atas daratan putih di bawah mereka.

“Kalian tidak akan bisa menghalangiku ! Aku telah menjatuhkan satu senjata sakti pemusnah bintang. ” Suara Nusapati muncul dari meja pengendali Pafi. Dimas tidak menduga Nusapati bertindak secepat itu. Tidak pernah terbayangkan apapun yang bakal terjadi setelah ini. Dalam beberapa saat kemudian Sebuah sinar putih meletup di atas dataran putih. Seperti semua api dari bintang-bintang dihidupkan bersama, melontarkan asap yang bergulung-gulung ke angkasa. Dinding-dinding es runtuh sepanjang mata memandang. Memenuhi lautan memicu sebuah gelombang yang sangat besar merambat ke utara. Sesaat kemudian sebagian daratan putih itu amblas ke dalam air dan memicu lagi gelombang kedua yang jauh lebih besar.

Sejenak suasana hening. Dimas, Pafi, Raji dan Gandrung hanya terpaku melihat dari ketinggian dampak yang ditimbulkan dari senjata sakti pemusnah bintang. Tidak terlintas apapun dalam benak mereka apa yang akan terjadi setelah ini. Semua hanya berharap mereka masih bisa mencegahnya lagi. Dimas tersadar. Tangannya mengarahkan kemudinya mengejar Nusapati yang telah kabur meninggalkan mereka. Pafi terus memantau layarnya. Vailixi Nusapati tampak berkedip-kedip di atas layarnya. Bergerak terus ke barat.

“Kita harus menembak jatuh Nusapati.” Kata Raji.

“Kita tidak bisa menembaknya sembarangan. Dia masih membawa enam senjata pemusnah itu.” Pafi tidak setuju.

“Jangan menembaknya saat dia berada di atas daratan. Aku akan menggiringnya ke tengah laut. Mudah-mudahan kalaupun dia kita tembak jatuh, semua muatannya akan tenggelam bersamanya di dasar laut.” Dimas mengatakan gagasannya.

Satu buah senjata pemusnah lagi telah di jatuhkan. Dampak yang sama terjadi. Gelombang raksasa menggulung di permukaan laut selatan bergerak ke utara. Ketegangan di ruang kendali makin tinggi. Dimas berusaha keras mengejar Nusapati.

“Aku akan mencegatnya. Bersiaplah melepaskan tembakan.” Dimas mengambil jalur melengkung.

“Kita akan persis mencegatnya dalam waktu 15 sastih.” Pafi menghitung jarak dan kecepatan kedua Vailixi.

Jarak semakin dekat. Raji dan Gandrung melepaskan tembakan beruntun. Lapisan pelindung Vailixi Nusapati mulai memudar. Beberapa tembakan mengenai lambung dan sayapnya. Asap mengepul keluar dari wahana itu. Dengan cepat wahana itu meluncur turun ke bawah kehilangan daya angkatnya.

“Dia akan mengarahkan jatuhnya ke daratan es di depan. Pafi, gunakan badai untuk menghambat kecepatannya. Raji bersiaplah menangkapnya dengan air dan dorong dia ke dalam laut.” Dimas mengejar wahana yang meluncur jatuh bebas ke atas permukaan es. Pafi melepaskan semua kendalinya. Tangannya menggerakan angin di bawah Vailixi yang jatuh.

“Dimas bawa lebih dekat Vailixi ini. Angin yang aku kumpulkan tidak terlalu kuat. Jaraknya terlalu jauh.” Dimas menambah kecepatan meluncur turun.

“Hahaha kalian tidak akan berhasil. Kalian akan hancur bersamaku !” suara Nusapati terdengar di meja kendali Pafi. Pafi berhasil memutar anginnya menjadi angin putting beliung. Mukanya menegang. Seluruh urat di wajahnya membiru. Usaha Pafi sangat menentukan. Yang lain berharap wahana itu tidak jatuh di atas daratan es. Dimas melihat usaha Pafi kali ini adalah yang paling keras yang pernah dilihatnya. Vailixi itu meluncur lebih lambat dan kemudian digiring ke tengah lautan.

“Dia akan memicu sisa senjata pemusnah itu dengan tenaga apinya. Aku harus mencegahnya.” Dalam keadaan sedang mengemudikan Vailixi yang terbang menukik ke bawah Dimas melakukan konsentrasi. Dimas berusaha memasuki pikiran Nusapati. Tetapi jarak mereka terlalu jauh, usaha Dimas menguasai pikiran Nusapati putus sambung. Kedua Vailixi terus menukik tajam dan kini bergeser ke tengah laut. Menjauh dari benua es. Beberapa saat sebelum keduanya jatuh ke dalam laut, Pafi melepaskannya kemudian Raji mengangkat gelombang tinggi menangkap Vailixi Nusapati. Dimas mengambil kembali kendalinya dan mempertahankan Vailixi itu tetap mengambang di udara. Sementara Vailixi Nusapati terus tenggelam ke dasar laut.

Sejenak mereka berempat mengamati Nusapati tenggelam bersama Vailixinya. Darah mengalir keluar dari hidung Pafi. Raji menghampirinya kemudian memegang kedua kening Pafi. Darah dari hidung Pafi segera berhenti.

“Terima kasih Raji” kata Pafi.

“Kau menahannya terlalu berat, itu bisa membahayakan nyawamu.”

“Ya, kau benar Raji. Tapi ini lebih dari penting. Jutaan nyawa akan terancam kalau kita tidak menghentikannya.” Pafi mengusap sisa darah yang menetes di bawah hidungnya.

“Apa yang terjadi sekarang ? begitu banyak es yang mencair dan masuk ke dalam lautan. Kita harus kembali memperingatkan penduduk.” Kata Gandrung.

“Ya tapi kita juga harus mengamankan sisa dari senjata ini di tempat yang aman.” Kata Pafi.

“Kita berbagi tugas. Kalian bertiga akan aku antar ke kota Rajatapura untuk memberitahu adipati Rajatapura tentang bahaya gelombang yang sedang merambat menuju kota. Aku tahu tempat paling aman untuk menyimpan Vailixi ini. Aku akan membawa Vailixi ini ke Kerajaan Selatan.” Dimas membagi tugas mereka berempat. Semua setuju. Dimas mengarahkan Vailixi ke timur laut dimana Rajatapura berada. Dengan kecepatan paling tinggi semua berharap dapat mendahului laju rambat gelombang tinggi yang sedang menuju ke sana.

---- *** ----

Kepanikan luar biasa melanda seluruh kota Rajatapura. Seluruh penduduk dipindahkan dari pesisir pantai. Seluruh wilayah pantai di selatan sudah habis tersapu gelombang. Banyak penduduk yang tidak sempat menyelamatkan diri. Rajatapura tinggal menunggu hitungan beberapa saat saja. Gelombang besar dengan kecepatan tinggi meluncur menghantam apa saja yang dilaluinya. Daratan di seluruh pantai selatan terendam air hingga jauh ke dalam daratan. Raji, Pafi dan Gandrung telah memperingatkan Adipati Rajatapura. Gerbang pelabuhan ditutup mencegah air masuk kota Sunda Buana melalui sungai sunda besar selatan.

Beberapa saat kemudian sebuah gelombang besar mengempas ke dalam daratan disusul gelombang kedua yang jauh lebih besar. Mendorong semua yang berada di atasnya. Pavaratha induk Ki Salakanagara telah lebih dulu menghindar dengan menyelam ke dalam laut. Tetapi perahu kehidupan mengalami nasib yang buruk. Perahu yang hampir jadi itu terangkat dan masuk ke tengah daratan dan terus terdorong hingga masuk ke dalam kota Rajatapura. Seluruh kota terendam hingga setinggi kepala orang dewasa. Batang-batang pohon, gedek-gedek sisa rumah yang tersapu gelombang memenuhi seluruh kota. Banyak orang-orang yang belum sempat menyelamatkan diri harus berjuang bertahan bertahan berada di permukaan. Tapi dorongan air yang bercampur sampah terlalu kuat. Kebanyakan mereka yang tersapu ombak akhirnya pingsan dan mati terbentur benda-benda yang tergulung bersama mereka. Suasana kota begitu mengerikan. Air laut yang sudah bercampur dengan lumpur coklat pekat memenuhi seluruh sudut kota. Kuil Rajatapura dipenuhi ribuan orang yang berusaha menyelamatkan diri.

Raji, Pafi dan Gandrung telah lebih dulu menyelamatkan diri setelah memberikan peringatan yang cukup untuk Adipati Rajatapura. Peringatan mereka hanya sebuah penguatan. Karena Pavaratha Ki Salakanagara telah mengetahui kedatangan gelombang dan memberikan kabar sebelumnya. Mereka bertiga sudah berada di ruang tukang mau tahu menunggu kedatangan Dimas. Cemas dan resah mewarnai seluruh ruangan. Tak lama kemudian semua bisa bernafas lega setelah Dimas tiba dengan keadaan baik.

“Kau tidak apa-apa Dimas ?” tanya Pafi

“Tidak, aku sudah berhasil mengantarkannya ke Kerajaan Selatan. Bagaimana dengan Rajatapura ?” tanya Dimas seperti ketinggalan berita. Tidak ada yang menjawab. Pafi langsung mengeluarkan air mata tidak kuasa menahan kesedihannya. Mata Raji nanar menahan tangis.

“Hancur, seluruh kota terendam. Yang paling parah menurut berita yang kami dengar dari pertemuan di balairung keraton adalah seluruh pantai selatan. Garis pantai maju ke daratan hingga sejauh puluhan tombak.” Gandrung menjelaskan semua yang telah terjadi sejak gelombang tinggi menghantam seluruh kota di pantai selatan dan barat. Semua terdiam. Seakan sesak dada mendorong semua isinya. Rasa sakit dan tidak nyaman di perut mendorong air mata mengalir tanpa terasa. Kesedihan yang luar biasa. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung hanya bisa mengeluarkan air mata. Rasa sesal tidak berhasil mencegah semua bencana itu terjadi. Ada tekad baru kemudian muncul. Ada hal yang jauh lebih besar lagi yang harus mereka lakukan. Semua yang baru saja terjadi hanyalah latihan kecil dari bencana terbesar. Bencana yang tidak hanya mengancam kelangsungan hidup Narapati saja, tetapi seluruh umat manusia dan mahluk yang tinggal di atas bumi. Tekad baru dikuatkan untuk segera mendapatkan batu satuasra. Mereka tidak mau gagal lagi.

2 comments:

Unknown said...

mas arya, saya baca novel2 anda di blog. bagus2... coba tawarkan ke hikmahmedia@yahoo.com. sapa tw mereka berminat untuk menerbitkannya.. mereka sedang butuh naskah-naskah bagus

lucyanna said...

mas didi, penulis sdh berpulang pd juni 2012