Sunday 10 February 2008

BAGIAN 4 - BANGSA ASVIN

Sore sudah nyaris tenggelam di ujung barat. Patih Nara Jalaseva telah berada di rumah saat Gandrung, Dimas, Raji dan Pafi kembali ke rumah. Tak ada banyak pertanyaan keluar baik dari sang Patih maupun istrinya. Gandrung benar-benar seperti tidak terlalu mereka khawatirkan. Gandrung merupakan anak yang mereka percaya bisa bertanggung jawab. Mereka semua langsung diminta bersiap untuk makan bersama. Dan tak lama setelah membersihkan diri, semua telah siap di meja makan.

“Kemana saja tadi kalian ?” Tanya Patih Nara Jalaseva. Gandrung mulai menceritakan kemana saja mereka pergi. Saat cerita mulai masuk ke Graha Pustaka Bangsa Sinaravedi, Patih Nara Jalaseva tampak lebih tertarik mendengarkan. Sepertinya Ayah Gandrung sudah pula tahu mengenai rahasia-rahasia Bangsa Sinaravedi yang berada di bawah kota Sunda Buana.

“Dimas juga bisa membaca tulisan dalam bahasa Bangsa Sinaravedi ayah. Cepat sekali hanya dengan melihat aku membaca dan menunjuk aksara-aksaranya saja.” Gandrung memuji Dimas. Dimas agak menyesalkan Gandrung menceritakannya. Namun sudah terlambat, cerita Gandrung membuat Patih Nara Jalaseva makin tertarik.

“Naskah apa yang kau dapat nak Dimas ?” pertanyaan Patih Nara Jalaseva seperti sambaran geledek. Dimas kaget pertanyaan itu datang kepadanya. Dimas berusaha menutupi rasa kagetnya.

“Eh..mmhh…isinya tidak kami mengerti.” Kata Dimas singkat.

“Bisakah kau sebutkan apa isinya, aku akan senang sekali mendengarnya.” Kata Patih Nara Jalaseva.

“isinya, -Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang. Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana. Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh. Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam. Kegelapan hanya akan tenang bersama terang-, Cuma itu.” Kata Dimas menyebutkan isi naskah yang dibacanya di Graha Pustaka.

Patih Nara Jalaseva tampak diam termenung. Dimas merasakan penasehat agung Narapati itu sedang merangkai setiap hal yang pernah lewat di waktunya.

“Apakah paman tahu artinya ?” Tanya Dimas agak cemas

“Tidak. Terkadang naskah Bangsa Sinaravedi tidak begitu saja bisa terbuka kalau masih ada sesuatu yang menghalangi pikiran pembacanya.” Kata Patih Nara Jalaseva. Tidak ada yang lagi bertanya, semua mulai makan.

---- *** ---

Di dalam kamar setelah makan malam Dimas tak bisa tidur di kamarnya. Raji juga kelihatan masih menemaninya duduk di depan jendela. Tak ada pertanyaan yang muncul.

“Semakin lama semakin menarik saja perjalanan kita ini.” Raji membuka kebisuan mereka.

“Eh, aku rasa begitu. Makin banyak hal yang kita temui, makin banyak yang tidak kita tahu. Padahal baru saja kemarin kita merasa sudah bisa apapun setelah latihan-latihan yang kita jalani bersama pak Narso.” Dimas menyandarkan kepalanya ke depan jendela. Dirinya merasa kecil sekali dibandingkan apa yang sekarang dilihatnya di dunia Narapati.

“Aku jadi kangen ingin kembali ke asrama” Raji tertawa getir.

“Aku juga begitu, tapi tampaknya kehadiran kita disini bukan sebuah kebetulan. Aku merasakan ada rencana-rencana gaib yang sudah terpasang untuk kita. Dan kita belum akan bisa meninggalkan tempat ini.” Kata-kata Dimas membuat Raji bercampur aduk antara senang akan perjalanan yang penuh dengan petualangan dan rasa kangennya ingin kembali ke asrama. Dimas juga merasakan hal yang sama. Terkadang Dimas membaca apa yang ada dipikiran Raji. Seringkali dia merasa bersalah karena telah lancang membaca pikiran sahabatnya itu. Tetapi dalam pikiran Raji dirinya mendapatkan begitu banyak hal yang menyenangkan dan sering membuatnya tertawa bila Raji sedang memikirkan hal konyol. Pikiran Raji begitu sederhana dan membuatnya begitu nyaman bersama sahabatnya ini.

“Aku terkadang merasa ini cuma mimpi saja. Bagaimana mungkin kita bisa kembali ke masa 15.000 tahun lalu. Walaupun ini cuma mimpi tapi sangat menyenangkan.” Raji nyengir.

“Yah, kau benar. Walaupun ini nantinya cuma sekadar mimpi, tetapi cukup menyenangkan.” Dimas bangkit dari duduknya. Matanya mengarah pada bulan yang masih kelihatan purnama. Sesaat sebuah lintasan cahaya melesat di bawahnya kemudian berbelok seakan ada yang menggerakan. Bola sinar itu terus mendekat dan jatuh persis di atas keraton.

“Lebih baik kita tidur, malam sudah mulai larut.” Dimas mengalihkan perhatiannya dari yang baru saja dilihatnya. Berharap Raji tidak terlalu memperhatikannya. Raji sendiri seperti tidak melihat apapun.

“Yah, sudah seharian kita keliling kerajaan ini. Aku juga sudah mengantuk. Selamat tidur” Raji menguap dan merebahkan dirinya di atas kasur.

“Selamat tidur.” Dimas menarik selimutnya dan berusaha keras tidak memikirkan lagi apapun.

---- *** ----

Di pagi yang sudah menuju tengah hari Pafi berjalan di depan diikuti oleh Dimas, Raji dan Gandrung. Jalannya lebih cepat dari yang lain. Gorong-gorong tampaknya sudah menjadi habitat mereka. Graha Pustaka Kerajaan menjadi tujuan mereka. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai disana. Begitu mereka sudah masuk ke dalamnya Dimas langsung menceritakan maksudnya.

“Kemarin aku sudah ceritakan mengenai waktu kita berada dekat Pavaratha Rudra Ki Salakanagara aku mendengar sebuah percakapan yang sangat mencurigakan. Aku rasa ini ada kaitannya dengan cerita Gandrung mengenai sedang terjadi kekacauan di Utara Khitai.” Dimas berhenti sejenak menarik nafas.

“Ada 2 orang berbicara, tapi aku tidak tahu dari mana arahnya. Mereka berbicara mengenai kekacauan yang mereka buat di Pagan dan Bangla. Tujuan kekacauan itu adalah untuk memancing Narapati berperang dengan Dravida. Tetapi sejauh ini mereka tidak berhasil memancing perang itu terjadi. Tampaknya Narapati dan Dravida masih sangat berhati-hati. Hanya mereka bilang bahwa mereka akan melakukan serangan saat waktunya tiba.Mereka menyebut-nyebut nama Asvin. Kata mereka Asvin tidak akan sanggup mengalahkan Narapati apalagi kalau harus berhadapan dengan Dravida juga.
Gandrung Apakah kau tahu Asvin itu apa ?” Gandrung menggelengkan tidak mengetahui apa yang ditanyakan Dimas.

“Aku sudah menduga Asvin adalah sesuatu yang tidak dikenal, makanya aku mengajak kalian kesini. Aku rasa jawabannya bisa kita temukan disini.” Kata Dimas.

“Kalau begitu kau ambil saja naskah itu.” Kata Raji kepada Dimas, Pafi dan Gandrung setuju. Dimas menuruti saran Raji. Tangannya meraih gulungan naskah yang bisa dijangkaunya diantara kotak-kotak yang kecil yang bertebaran di dinding hingga ke langit-langit.

Dimas kemudian menggelar gulungan itu. Aksara-aksara bahasa Bangsa Sinaravedi di atasnya bergerak liar. Lalu Dimas mengucapkan mantranya.

“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” kata Dimas pelan. Aksara-aksara itu bergerak melambat dan menyusun menjadi kalimat.

“Asvin, bangsa yang tinggal di bagian utara Himalaya. Asvin bangsa yang gemar berperang. Dalam budayanya perang adalah sebuah jalan hidup. Dalam sejarahnya Asvin pernah berperang dengan bangsa-bangsa tetangganya. Hampir semuanya berakhir dengan pemusnahan masal bangsa-bangsa tetangganya. Perang terakhir dilakukan dengan bangsa Dravida. Perang dengan bangsa Dravida berlangsung selama 2 tahun sebelum akhirnya Asvin mundur kembali ke wilayahnya. Asvin tidak memiliki alat-alat perang yang bisa menandingi kekuatan bangsa Dravida maupun Narapati.”
Dimas terus membacakan naskah mengenai Asvin yang begitu banyak dan mencakup semua hal dalam kehidupan bangsa Asvin. Cukup lama bagi Dimas yang bergantian dengan Gandrung membacanya. Dalam selembar naskah itu kalimat demi kalimat bergerak ke atas setelah di baca seperti bergulung keluar dari lembaran.

“Sangat masuk akal kalau sekarang bangsa Asvin sedang berencana mengadu domba Narapati dengan Dravida. Karena Asvin adalah bangsa yang menyukai perang. Mereka akan sangat senang melihat perang dahsyat antara Narapati dan Dravida. Mungkin itu yang dimaksud dengan “saat yang tepat”. Saat itu adalah saat siapapun yang memenangkan perang, pastilah dalam keadaan lemah dan hancur. Sehingga mudah bagi Asvin untuk menghancurkannya” Pafi memberikan pandangannya.

“Hal itu hanya akan terjadi kalau apa yang mereka rencanakan berhasil. Dan kita tidak akan membiarkan mereka berhasil bukan ?” kata Dimas

“Tentu saja tidak, aku akan menghajar pantat para Asvin itu kalau ketemu mereka.” Raji melakukan tendangan ke ruang kosong seolah ada sasaran di depannya. Dimas, Pafi dan Gandrung tertawa terbahak-bahak melihat kelucuan Raji.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang ?” Gandrung menyadarkan kalau mereka belum punya rencana apapun.

“Bagaimana kalau kita selidiki lebih dalam mengenai suara yang didengar oleh Dimas di Rajatapura. Pasti ada mata-mata dari Asvin yang telah menyusup di Narapati.” Raji memberikan usul.

“Bukankah lebih mudah kita menggunakan Ruang Tukang Mau Tahu. Kita bisa mencuri dengar pembicaraan siapapun kan ?” Pafi memberikan usulan yang berbeda.

“Ruangan Tukang Mau Tahu hanya bisa melihat dan mendengar sebatas kota Sunda Buana saja, tidak bisa sampai ke Rajatapura.” Gandrung mengkoreksi Pafi.

“Tapi kita juga tidak tahu kalau mata-mata itu masih berada di Rajatapura kan? Bisa jadi mereka sudah berada di Sunda Buana.” Pafi mempertahankan pendapatnya. Dimas melihat apa yang katakan Raji ada benarnya, tetapi juga usulan Pafi masuk akal.

“Aku pikir kita harus menyelidiki keduanya. Rajatapura dan Sunda Buana. Kita bisa berbagi tugas untuk menyelidiki hal ini secara bersamaan.” Dimas memberikan jalan tengah.

“Aku setuju.” Kata Gandrung. Semua kelihatan setuju dengan jalan tengah yang diberikan Dimas.

“Gandrung dan Pafi menyelidiki Sunda Buana, perhatikan apa yang tidak biasa walaupun hanya kecil. Aku dan Raji akan ke Rajatapura.” Dimas membagi tugas mereka.

“Kenapa aku tidak ke Rajatapura” Gandrung rada protes.

“Gandrung, kau sudah sangat dikenal. Upaya kita akan mudah terlihat. Lagi pula Pafi memerlukanmu menerjemahkan naskah-naskah Bangsa Sinaravedi dan tempat mana saja yang bisa dicurigai. Kau jauh lebih dibutuhkan disini. Kau mengerti kan ?” Dimas memberikan alasanya. Gandrung mengerti apa yang dimaksud Dimas dan mengangguk setuju.

“Ayo kita berangkat” Dimas dan Raji segera bersiap.

“Kami akan ke Ruang Tukang Mau Tahu.” Pafi mengajak Gandrung meninggalkan Graha Pustaka Bangsa Sinaravedi lebih dulu.

Dimas dan Raji pergi menuju pelabuhan utama Sunda Buana. Banyak sekali kapal dagang yang baru tiba di pelabuhan. Tidak ada yang memperhatikan keduanya. Dimas dan Raji berjalan menuruni tangga pelabuhan lalu masuk ke dalam gorong-gorong besar. Dimas berjalan menyusuri gorong-gorong yang sangat bau. Raji hanya mengandalkan ingatan Dimas yang kuat. Sampai di sebuah dinding Dimas menekan berurutan beberapa bagian batu di dinding. Perlahan batu-batu di dinding bergerak membentuk lingkaran lebih tinggi dari orang dewasa. Plat berwarna hitam muncul dan melingkar di sekelilingnya dengan aksara-aksara Bangsa Sinaravedi di atasnya bersamaan dengan sebuah plat bundar di sebelahnya. Kemudian Dimas menekan aksara-aksara yang berada di sebuah plat bundar di sebelahnya. Setelah lengkap dinding air muncul dari pinggir-pinggir lingkaran, Dimas tanpa ragu masuk. Raji menyusul kemudian.

Tak lama kemudian muncul di ujung sebuah gua yang langsung menghadap ke laut lepas.

“Uh, gua baunya tidak jauh beda dengan gorong-gorong. Kenapa kita harus terus menerus hidup bersama bau gorong-gorong.” Raji menggerutu sambil menutup hidungnya. Bau kotoran kelelawar sangat menyengat hidung. Dimas hanya tersenyum kecil. Dia tidak memberikan komentar apapun.

“Sepertinya kita tidak keluar ditempat yang dulu, tempat ini berbeda sekali.” Dimas mengamati sekelilingnya dengan cermat.

“Tidak mungkin, jadi kita berada dimana ?” Raji berlari kecil ke mulut gua.

“Entahlah, yang pasti kita berada di pinggir pantai” jawab Dimas sambil menyusul Raji. Deburan ombak begitu keras menerpa batu-batu karang di muka gua. Gua itu terpencil dan terkurung dalam tebing yang tinggi. Satu-satunya jalan kembali ke daratan hanyalah tebing batu yang tinggi.

“Bagaimana kita bisa kesasar kesini ? apakah kau sudah menekan tombol yang benar ?” Raji bertanya.

“Aku yakin sekali, aku menekan tombol yang benar.” Jawab Dimas.

“Kita harus kembali dan mengulang menekan tombolnya lagi.” Raji membalikan badannya akan kembali.

“Aku sudah yakin menekan dengan benar Raji !” kata Dimas dengan nada yang agak tinggi. Raji berhenti, dia sadar ada nada tidak suka dari suara Dimas.

“Maafkan aku sudah tidak mempercayaimu.” Kata Raji agak pelan.

“Tidak Raji, kau benar memang kita seharusnya kembali. Kita memang tidak pada tujuan yang benar. Maafkan aku” Dimas balik meminta maaf. Mereka berdua pun melangkah kembali ke dalam lubang cacing. Belum kaki mereka melangkah masuk, sebuah suara permintaan tolong terdengar dari luar gua. Dimas dan Raji saling pandang sejenak, kemudian tanpa ragu mereka berdua segera menghambur keluar gua mencari sumbr suara. Di dalam gulungan ombak yang begitu besar, seorang perempuan berpakaian hijau berupaya tetap berada di permukaan air. Tetapi ombak terlalu kuat dan terus menggulung perempuan itu. Raji melompat cepat. Seperti berada di atas permukaan yang keras, Raji berlari di atas deburan air yang kian mengganas. Raji yang mempunyai kemampuan mengendalikan air mencoba mengikat perempuan itu dengan gulungan air yang digerakannya. Perempuan itu mulai terangkat. Air yang semula menggulungnya kini justru mengangkatnya ke permukaan. Raji sudah menguasai keadaan dan bersama ombak yang bergulung ke pantai bergerak ke darat. Dimas menunggu di pinggir pantai. Tetapi belum sempat Raji menginjak pasir pantai, tiba-tiba sebuah gulungan ombak sangat besar mengurungnya dari atas dan menelannya. Raji tak sempat lagi mengelak, tubuhnya tertarik ke tengah bersama perempuan yang ditolongnya. Dimas terkejut melihat keadaan yang berubah amat cepat, tangannya langsung bergerak. Kibasan tangannya mendorong air yang menggulung Raji. Tetapi kejadian aneh mulai terjadi. Seluruh air laut surut hingga ke tengah bersama Raji dan perempuan itu. Dimas melompat berlari mengejar hingga ke daratan kering yang sebelumnya adalah pantai. Semakin di kejar air laut semakin menjauh ke tengah hingga akhirnya terbentang sebuah jurang yang sangat dalam. Dimas berdiri di pinggir jurang dengan wajah yang cemas.

“Raji…..Raji……” Dimas berteriak sekerasnya. Hatinya begitu terpukul. Air matanya mengalir memenuhi pipinya.

“Raji…..Raji……” Dimas seperti kehilangan kendali. Tangannya mengibas ke sana kemari sambil berteriak-teriak marah. Batu-batu karang yang tersingkap akibat surutnya air berterbangan kesana kemari. Tubuhnya berputar hingga seluruh benda di atas permukaan tanah ikut berputar menderu membentuk putaran angin yang sangat besar. Dalam kekalutan itu sebuah suara lembut seorang perempuan.

“Tenanglah wahai Narapati. Kuasai dirimu.” Dimas menghentikan dirinya. Nafasnya yang terengah diatur kembali. Matanya mencari sumber suara. Seorang perempuan berpakaian hijau berdiri di luar lingkaran tumpukan karang yang tadi terangkat oleh tenaganya.

“Siapa kau, bukankah tadi kau tenggelam bersama Raji.” Dimas memandang ke sekelilingnya. Tak ditemukan jejak Raji sedikitpun.

“Dia aman bersamaku.” Kata Perempuan itu.

“Dimana dia ?” tanya Dimas lagi. Perempuan itu kemudian mengibaskan selendang hijaunya. Bersamaan dengan itu semua tanah yang dipijak Dimas berubah menjadi sebuah lapangan hijau yang dikelilingi bangunan megah. Di hadapannya yang semula adalah sebuah jurang yang dalam berubah menjadi sebuah bangunan indah yang paling besar di antara bangunan di sekelilingnya. Tampak Raji berdiri di sebelah perempuan itu. Beberapa orang lainnya berdiri di sekitarnya. Penampilannya sangat berbeda, bertubuh manusia, tetapi kulitnya kehijauan menyerupai katak. Dari pada disebut manusia lebih mirip disebut manusia kadal.

“Dimas!” Raji berteriak memanggil seraya berlari menghampiri Dimas.

“Raji ! kau tidak apa-apa” tanya Dimas begitu senang melihat sahabatnya dalam keadaan baik.

“Tidak, aku tidak apa-apa.” Jawab Raji.

“Tapi, tadi kau kan ….” Dimas agak bingung.

“Kelihatannya saja aku tergulung, tetapi sebenarnya aku seperti sedang meluncur ke dalam sebuah ruangan yang berbeda.” Jawab Dimas.

“Selamat datang Narapati.” Perempuan itu berkata lagi.

“Siapakah anda ? Mengapa anda memanggil Narapati.” Tanya Dimas kepada perempuan berbaju hijau itu.

“Aku dari kerajaan laut selatan. Kau adalah Narapati.” Perempuan itu menjawab.

“Maafkan kelancangan saya.” Dimas memberikan salam hormat.

“Keberanian dan Kesetiakawanan kalian telah memikatku. Sekarang aku yang bertanya, Apa yang sedang kalian lakukan di wilayahku ?” tanya Ratu Kerajaan Selatan.

“Kami salah arah, sebenarnya kami dari kota Sunda Buana hendak ke kota Rajatapura.” Jawab Dimas.

“Apakah kalian tahu seberapa jauh kalian dari tujuan semula ?” tanya Sang Ratu lagi.

“Tidak, kami baru saja akan kembali sebelum tadi ada jeritan seseorang meminta pertolongan.” Raji kali ini menjawab.

“Berhati-hatilah kalian dalam menggunakan lubang cacing. Sekarang kalian berada di pintu gua Ngejungan.” Kata Sang Ratu memberikan nasehat “Apa yang sedang kalian cari ?” Sang Ratu bertanya lagi. Kali ini pertanyaannya agak ragu dijawabnya. Sejenak dia saling pandang dengan Raji.

“Aku tahu apa yang sedang kalian cari, kalian tidak usah menceritakannya. Sekarang terimalah ini sebagai hadiah dariku atas keberanian dan kesetiakawanan kalian berdua. Mudah-mudahan itu bisa membantu mendapatkan apa yang kalian cari.” Ratu Kerajaan Selatan menyerahkan empat buah cincin kepada Dimas. Dimas sempat berpikir, kenapa harus empat buah. Bukankah hanya dia dan Raji saat ini. Tapi kemudian Dimas sadar dan yakin kalau perempuan di hadapannya memang benar-benar tahu.

“Terima kasih Gusti Ratu.” Kata Dimas dan Raji bersamaan.

“Kenakanlah cincin itu. Cincin itu bisa memberitahu apakah orang yang kalian ajak bicara sedang berbohong atau tidak. Jika ada orang yang berkata jujur batu delima itu akan berwarna merah, jika berbohong akan berwarna hijau. Semoga bisa berguna untuk kalian.” Sang Ratu dan seluruh abdinya lenyap berikut seluruh bangunannya. Dimas dan Raji kemudian merasakan seperti terdorong hingga jauh dan akhirnya jatuh tepat di depan gua semula. Dan dengan segera mereka masuk ke dalam gua dan kembali ke Sunda Buana melalui lubang cacing.

---- *** ---

Pafi dan Gandrung tiba di Ruang Tukang Mau Tahu. Teropong Tukang Mau Tahu turun dari langit-langit ruangan.

“Baiklah, sebelum kita menyelidiki kira-kira siapa menurutmu yang patut dicurigai ?” Pafi bertanya kepada Gandrung.

“Aku tidak tahu, aku paling suka mengamati kementerian urusan lintas batas. Banyak cerita-cerita menarik disana.” Jawab Gandrung. Pikirannya tak terbiasa mencurigai orang lain. Tak terlintas sedikitpun dirinya sedang terlibat dalam sesuatu yang begitu besar.

“Kalau begitu kita mulai dari sana saja.” Pafi meraih pegangan teropong dan mendekatkan matanya. Gandrung menurut saja. Teropong Tukang Mau Tahu segera menunjukan ruang-ruang dalam kementerian urusan lintas batas. Pafi tidak mengenal satu pun orang-orang di dalam ruangan itu. Mereka tampaknya sedang rapat.

“Kau kenal orang-orang itu Gandrung ?” tanya Pafi pada Gandrung yang juga sedang melihat melalui teropong di baliknya.

“Menteri Urusan Lintas Batas yang memakai jubah hijau, Narasoma.” Jawab Gandrung. Mereka terus mengamati dan mendengarkan percakapan di ruangan itu.

“Aryadwipa jelaskan padaku apa yang terjadi di perbatasan Pagan.” Menteri Narasoma bertanya kepada lelaki di sebelah kanannya.

“Menurut penyelidikan, Vimana Dravida terlihat melintas setelah terjadi beberapa serangan di sana.” Aryadwipa yang berpakaian coklat di sebelah kanan menteri pertama kali menjelaskan.

“Tapi itu tidak memberikan bukti yang cukup kalau memang benar-benar Dravida yang melakukan penyerangan.” Lelaki di sebelah kiri menteri memberikan pendapat.

“Penyelidikan dilakukan oleh petugas terbaik. Mereka tidak mungkin salah memberikan keterangan, Wardhana ” Balas Aryadwipa.

“Apakah ada pendapat lain, Wardhana ?” Tanya Menteri Narasoma.

“Saya melihat Dravida tidak punya alasan untuk melakukan gangguan di wilayah kita. Justru mereka sebenarnya ingin mengeratkan hubungan antara Pagan dengan wilayah mereka Bangla. Dravida bangsa yang damai dan tidak menyukai perang. Mereka adalah bangsa yang dipimpin para Resi dengan pencerahan yang tinggi. Sangat mustahil mereka berniat melakukan tindakan mengancam. Saya hanya menduga ada pihak ketiga dibalik kejadian ini, yang menginginkan terjadi perang antara Narapati dengan Dravida. Wardhana memberikan pandangannya.

“Siapa yang kau maksud dengan pihak ketiga” tanya Menteri Narasoma lagi. Aryadwipa diam saja, wajahnya kelihatan menahan marah.

“Melihat dari sejarah perang yang pernah terjadi Narapati tidak pernah berperang dengan siapapun. Sehingga kemungkinan adanya musuh sangat kecil. Sedangkan Dravida pernah berperang saat bangsa Asvin menyerang mereka beberapa tahun yang lalu. Kita sudah tahu bangsa Asvin sangat gemar berperang, bangsa tetangganya yang musnah adalah bangsa Tarim. Saya melihat kemunduran Asvin dari perangnya dengan Dravida karena mereka kalah dalam peralatan. Sehingga tidak mungkin memenangkan perang dengan Dravida. Sejauh ini kekacauan hanya terjadi di wilayah utara kita yang tidak hanya berbatasan dengan Dravida tetapi juga dekat sekali dengan wilayah Asvin. Dugaan saya Asvin ingin mengalahkan Dravida dengan memancing Narapati memeranginya. Asvin tahu Narapati memiliki kemampuan lebih unggul dari Dravida. Setelah Dravida kalah, mereka akan mengambil alih wilayah yang kacau itu.” Wardhana menjelaskan dengan cermat. Menteri Narasoma mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Wardhana.

“Dugaan yang sembarangan, kita sudah cukup bermasalah dengan Dravida, jangan menambah musuh lagi dengan menuduh Asvin dibalik semua ini. Jangan sampai akhirnya mereka bergabung menyerang kita. Kalau sudah begitu kekuatan kita tidak akan cukup untuk menghadapi mereka.” Aryadwipa membantah pendapat Wardhana.

“Baiklah, pendapatmu cukup menarik Wardhana. Tapi seperti yang dikatakan Aryadwipa, kita jangan gegabah menuduh karena dalam situasi seperti ini menambah musuh akan menjadi beban yang terlalu berat buat kerajaan.” Menteri Narasoma memutuskan pendapatnya. Rapat pun dibubarkan. Wajah Aryadwipa tampak puas dengan keputusan Menteri Narasoma.

“Menteri Narasoma tentu lebih percaya pendapatmu.” Kata seorang lelaki yang berjalan di samping Aryadwipa saat keluar ruangan. Lelaki itu termasuk salah satu yang ikut dalam rapat.

“Tenang saja Nusapati, aku tidak akan membiarkan Wardhana mengambil semua perhatian Menteri Narasoma.” Aryadwipa mengepalkan tangannya.

Mereka berdua pun berlalu meninggalkan ruangan. Pafi terus mengamati gerak Aryadwipa.

“Kau lihat itu Gandrung, Aryadwipa adalah orang yang patut kita curigai. Dia sangat bernafsu sekali menyerang Dravida.” Pafi terus mengarahkan pandangan pada Aryadwipa.

“Betul, aku setuju.” Gandrung hanya ikut saja pendapat Pafi.

Pafi terus mengamati semua langkah Aryadwipa. Kemudian pintu ruangan terbuka. Pafi dan Gandrung terkejut sekali. Tetapi kemudian menjadi lega saat Dimas dan Raji muncul. Senyum gembira tersirat di wajah mereka.

“Kalian sudah kembali, bagaimana hasilnya” Gandrung meninggalkan teropongnya.

“Kami keluar di tempat yang salah. Kami tidak tiba di Rajatapura tetapi malah ke kerajaan selatan” Jawab Raji agak tidak enak mengatakannya.

“Kerajaan Laut Selatan ?! jadi benar legenda itu ada” Gandrung terkejut dengan jawaban Raji.

“Memangnya ada apa dengan Kerajaan Laut Selatan ?” Tanya Dimas.

“Kerajaan itu hanya ada di cerita legenda-legenda saja. Bangsa Narapati tidak pernah menganggapnya benar-benar ada. Menurut legenda Kerajaan Laut Selatan bahkan lebih tua dari para Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh. Mereka datang dari luar angkasa jauh sebelum manusia bisa berbicara. Kemudian mereka mengajari manusia berbicara, mengenal tulisan, bertani dan sebagainya.” Jawab Gandrung.

“Lalu apa yang terjadi dengan kalian” tanya Pafi.

“Kami bertemu dengan Ratu Kerajaan Selatan dan kita diberi cincin ini olehnya.” Dimas menyerahkan masing-masing satu kepada Pafi dan Gandrung. Dimas dan Raji sendiri telah mengenakan cincin itu.

“Wow, cincin kebenaran!” Gandrung berteriak senang.

“Cincin kebenaran ?” Pafi agak bingung.

“Iya cincin ini bisa tahu apakah orang yang kita ajak bicara berkata benar atau tidak. Jika benar dia akan berwarna merah, jika berbohong dia akan berwarna hijau.” Dimas menjelaskan. Pafi mengenakan cincin itu yang begitu pas dengan jarinya.

“Kalian sendiri bagaimana ?” tanya Dimas

“Kami baru saja mengamati kementerian urusan lintas batas. Kebetulan mereka sedang rapat mengenai kejadian di perbatasan Pagan. Dan ada hal menarik di sana.” Pafi kemudian menceritakan kembali apa yang dilihatnya bersama dengan Gandrung.

Dimas mengajak semuanya untuk tetap membuka setiap kemungkinan. Sampai dapat menemukan keterangan yang benar-benar meyakinkan. Kemungkinan perang besar yang akan menghancurkan semua manusia yang ada di bumi akan terjadi. Tantangan untuk mencegahnya menjadi semakin berat.

“Kira-kira tempat mana lagi yang harus kita selidiki ?” Dimas menggumam sendiri.

“Ya langsung ke sumbernya, tempat tinggal bangsa Asvin di Lembah Tarim.” Gandrung menjawab santai. Jawabannya langsung membuat kepala Raji terang kembali seperti tanaman yang kena siram air. Wajahnya langsung gembira menatap Dimas dengan harapan Dimas juga setuju. Dimas tahu dimana letak lembah Tarim. Udara yang dingin dan gersang melintas di bayang-bayang pikirannya.

“Bagaimana kalau kita ke sana Dimas ?” kata Raji dengan penuh harap.

“Apa kau sudah gila, lembah Tarim itu kan jauh sekali dan udaranya sangat dingin disana” Pafi sangat tidak setuju dengan ide itu.

“Tapi itu satu-satunya cara kita tahu apa yang sedang disiapkan oleh Asvin.” Raji membela pendapatnya.

“Iya, tapi Narapati pasti sudah menempatkan telik sandi terbaik untuk mengetahui apa saja yang sedang disiapkan oleh Asvin. Lagian pasti kau memerlukan lebih dari satu hari untuk berada di sana. Kau tidak bisa menggunakan lubang cacing untuk kesana setiap hari, karena terlalu berbahaya kalau sampai Asvin tahu ada cara cepat untuk sampai ke Sunda Buana.” Pafi tetap tidak setuju. Raji merengut.

“Pafi benar, kita tidak boleh memberikan kemungkinan lubang cacing ditemukan oleh para Asvin saat kita menggunakannya untuk ke sana. Cara yang harus kita tempuh satu-satunya adalah menggunakan kendaraan.” Dimas memberikan alternative lain.

“Lalu kita akan menggunakan apa untuk kesana, kita kan tidak punya apa-apa. Kendaraan darat saja tidak punya apalagi kendaraan udara.” Raji menggerutu tidak ada yang mendukungnya.

1 comment:

Anonymous said...

Kalau ada wahana seperti itu dan belinya bisa kredir.. wah wah.. sudah bisa dipastikan gw bakal beli!!! asal bahan bakarnya bukan super tt huehue
- the girl next seat