Monday, 18 February 2008

BAGIAN 8 - BINTANG KEMUKUS

Di Ruang Tukang Mau Tahu Dimas dan Raji menemui Pafi dan Gandrung sedang duduk lesu. Wajah Pafi terlihat begitu bosan. Gandrung malah seperti tidak bergairah sama sekali. Kedatangan Dimas dan Raji membuat mereka lebih gembira. Gandrung tak henti-hentinya menanyakan bagaimana pengalaman mereka berdua. Raji dengan semangat bercerita mengenai pengalaman mereka selama di perjalanan. Gandrung dan Pafi iri sekali dengan perjalanan Dimas dan Raji. Tetapi mereka juga merasakan beratnya perjalanan itu.

“Aku bosan sekali, tidak satupun bukti kita temukan tentang Aryadwipa.” Gandrung menyandar malas di kursi.

“Sudah depekan berlalu tapi sedikit sekali yang dapat ditemukan mengenai siapa orang Narapati yang sedang melancarkan rencana mengadu domba Narapati dengan Dravida.” Pafi juga mengeluh.

“Mungkin kita menyelidiki orang yang salah.” Kata Raji santai.

“Oh ya, kau punya pendapat lain ?” Pafi bangkit dari duduknya.

“Entahlah, mungkin justru orang yang berlawanan pendapat dengan Aryadwipa adalah yang punya niat lebih hitam daripada Aryadwipa sendiri.” Raji menjawab dengan wajah yang begitu santai tanpa lagi berpikir.

“Maksudmu Wardhana ? Aku juga sudah mengikuti orang itu tetapi tetap tidak mendapatkan apapun.” Suara Pafi mulai naik.

“Mungkin Gandrung benar, kita sedang dalam keadaan bosan karena sudah sepekan kita melakukan hal ini tapi belum juga kelihatan hasilnya. Bagaimana kalau kita lepas dulu semua ini, kita alihkan dulu perhatian kita ke hal lain. Jalan-jalan misalnya. Paling tidak kita merayakan keberhasilan kita mencuri senjata sakti pemusah bintang dari bangsa Asvin. Jadi untuk sementara Narapati akan aman” Dimas memberikan usul. Selama sepekan berada di ruangan tertutup telah membuat semuanya bosan dan cepat menyulut pertengkaran. Usulan Dimas disambut baik oleh semuanya.

“Kita akan kemana ?” Tanya Raji.

“Aku ada tempat yang pasti kalian suka. Air terjun Kamandaka.” Gandrung memberikan usul.

“Air terjun, ide yang bagus.” Kata Dimas penuh semangat. Seakan tenaganya kembali penuh.

Air terjun Kamandaka berada di luar kota Sunda Buana. Air terjun itu menjadi tempat paling disukai dan sering dikunjungi oleh penduduk kota Sunda Buana. Di atas air terjun Kamandaka terdapat sebuah tempat pengamatan bintang atau sering disebut Astra Graha. Tebing tinggi keputihan bersemu hijau oleh lumut dan tumbuhan paku yang tumbuh bersama akar-akar yang menjulur dari atas tebing. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung langsung menghambur ke dalam air bermain-main dengan air yang jatuh dari dinding tebing. Dinginnya air meresap ke dalam kepala mengusir semua kesumpekan yang telah mengendap selama sepekan. Tak lagi ada pertengkaran, yang ada hanya canda tawa dan kebahagiaan. Raji yang pengendali air mulai menunjukan aksinya. Memberikan pertunjukan yang menghibur semuanya. Lama sekali mereka menghabiskan waktu bermain di bawah air terjun, tanpa terasa rasa dingin mulai menyerap masuk ke dalam tulang. Udara sore yang menyebarkan dingin menambah kebekuan yang menyadarkan Dimas tentang waktu.

“Sepertinya sudah sore, udara sudah mulai semakin dingin. Ayo kita naik.” Dimas mengajak teman-temannya keluar dari air. Begitu keluar dari air, Pafi memutar angin disekitar mereka mempercepat kering baju yang basah.

“Ayo kita ke atas, di sana ada Astra Graha” Gandrung menunjuk ke arah ujung tebing.

“Apa itu Astra Graha ?” tanya Raji.

“Tempat pengamatan bintang dan benda angkasa” jawab Gandrung. Tempat yang menarik, tak satu pun yang menolak atau keberatan dengan usulan Gandrung. Apalagi bagi Dimas, memandang bulan adalah satu-satunya benda angkasa yang sering dia lihat. Menyusuri jalan yang menanjak ke atas cukup membuat lelah. Sebuah bangunan tampak sedikit demi sedikit.

“Selamat sore paman Baghawan Narasatriya” Gandrung memberikan salam kepada seorang lelaki tua yang sedang asyik duduk di depan bangunan berbentuk limas. Dengan sebuah benda panjang keluar dari atapnya.

“Ah selamat sore nak Gandrung. Sudah lama sekali tidak kemari. Apa kabarmu nak ?” tanya Baghawan Narasatriya itu kepada Gandrung.

“Baik paman Baghawan, bagaimana kabar paman sendiri ?” tanya Gandrung balik.

“Aku baik-baik saja nak, aku ada sesuatu yang pasti menarik untuk mu nak. Oh ya, siapakah teman-temanmu ini ?” Baghawan Narasatriya menyadari kehadiran Dimas, Raji dan Pafi.

“Oh ya, ini teman-temanku. Dimas, Raji dan Pafi” Gandrung memperkenalkan ketiganya. Dimas, Raji dan Pafi memberikan salam. Kemudian Baghawan Narasatriya mengajak keempatnya untuk masuk. Mereka berhenti di depan sebuah meja batu yang terhubung dengan pipa panjang yang menembus atap. Di tengahnya terdapat sebuah lubang kecil gelap. Baghawan Narasatriya menundukan kepalanya mengintip ke dalam lubang kecil di tengah meja.

“Lihatlah ini” Baghawan Narasatriya menyuruh Gandrung melihat melalui lubang kecil itu. Kemudian Gandrung bergantian meminta Dimas, Raji dan Pafi ikut melihatnya.

“Benda apa itu paman ?” tanya Dimas yang tampak paling tertarik diantara yang lain.

“Itu adalah bintang kemukus. Bintang berekor yang selalu bergerak melintasi jagat raya mengunjungi bintang-bintang lain. Bintang itu akan melintasi bumi kita dalam waktu satu purnama lagi.” Baghawan Narasatriya menerangkan.


“Apakah kita bisa melihatnya dengan mata telanjang ?” tanya Pafi

“Oh ya, menurut perhitunganku lintasannya akan bagitu sangat dekat dengan bumi sehingga kau akan seperti melihat matahari kembar pada siang hari.” Jawab Baghawan Narasatriya.

“Langit akan terang sekali kalau begitu” kata Raji

“Sangat, sangat terang. Itu baru sisi terangnya. Sisi gelapnya yang harus kita waspadai. Setiap benda angkasa memiliki gaya tarik yang akan mempengaruhi benda angkasa lainnya. Jika gaya tarik itu saling bertemu, maka gaya tariknya paling kecil akan terjebak dan terikat oleh gaya tarik yang lebih besar. Untuk bintang kemukus yang ukurannya setengah dari bumi kita dengan lintasan yang begitu dekat, maka gaya tarik bumi akan memberikan pengaruh yang cukup besar sehingga ada kemungkinan ada bagian dari bintang itu yang terlepas dan tertarik ke dalam bumi.” Kata Baghawan Narasatriya sedikit terbatuk-batuk.

“Apa yang akan terjadi kepada Bumi Baghawan ?” tanya Dimas dengan nada agak cemas.

“Aku sendiri belum tahu, para Bhumiguru sedang mempelajarinya dan sore ini aku menunggu jawaban dari mereka. Seharusnya mereka sudah tiba.” Jawab Baghawan Narasatriya. Beberapa saat kemudian seorang lelaki yang sudah tua dengan pakaian seperti jubah para sufi masuk ke dalam ruangan.

“Selamat sore Baghawan Narasatriya, maafkan saya datang sedikit terlambat.” Lelaki tua yang berjalan mendekat memberikan salam.

“Ah, Bhumiguru Ambararukma. Selamat datang.” Baghawan Narasatriya membalas salam. Sesaat ragu-ragu Bhumiguru Ambararukma melihat Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung bergantian. Baghawan Narasatriya merasakan keraguan tamunya.

“Bhumiguru Ambararukma tak perlu ragu. Mereka adalah tamuku.” Baghawan Narasatriya mengenalkan satu per satu.

“Baghawan ada baiknya kita berbicara empat mata saja. Tidak bijaksana membicarakan hal sepenting ini di hadapan anak-anak.” Bhumiguru Ambararukma meminta Baghawan Narasatriya menjauh.

“Baiklah kalau begitu.” Baghawan Narasatriya setuju. Kemudian mereka berdua meninggalkan tempat keluar ruang Graha Astra. Dimas dan yang lainnya menunggu di dalam. Raji dan Gandrung bergantian melihat kembali teropong astra. Sementara Dimas dan Pafi memiliki rencana lain. Kemudian Dimas memejamkan matanya melakukan konsetrasi.

Sementara di luar ruangan Bhumiguru Ambararukma mulai menceritakan penelitian yang dilakukannya.

“Aku telah membahasnya dengan para Bhumiguru yang lain. Kami telah mendapatkan kesimpulan atas apa yang kau tanyakan.” Bhumiguru Ambararukma berhenti sebentar seperti mencoba menyatukan dirinya sebentar.

“Berita bagus kalau begitu.” Baghawan Narasatriya kelihatan gembira.

“Sayangnya kesimpulan kami tidak. Bila ada sebuah benda angkasa sebesar setengah bumi pada jarak setengah dari jarak bumi dan bulan, maka akan terjadi pergerakan besar pada permukaan kulit bumi. Bumi ini seperti tengkorak manusia, terdiri dari beberapa pecahan-pecahan kulit luar yang melindungi apapun yang berada di dalamnya tetap berada di dalam. Tetapi kulit permukaan bumi selalu bergerak dinamis dengan sangat pelan sehingga kita tidak merasakannya sama sekali. Akibat pergerakan itu terjadi benturan saling dorong diantara pecahan-pecahan itu sehingga mengakibatkan permukaan bumi berlekuk-lekuk seperti gunung dan lembah. Pada suatu saat tertentu benturan itu akan menimbulkan getaran yang sering kita sebut gempa atau membuat lapisan bawah rekah hingga memberikan jalan bagi keluarnya batuan cair panas dan menjadi letusan gunung berapi dan akan menjadi bencana besar. Kejadian-kejadian yang aku sebutkan tadi kemungkinan besar akan terjadi karena permukaan bumi mungkin akan mengalami ketidakseimbangan daya tarik saat benda angkasa itu berada pada jarak sedemikian dekat.” Bhumiguru Ambararukma menjelaskan kesimpulannya.

“Hmm…kesimpulan yang diluar dugaan.” Baghawan Narasatriya menunduk dalam memejamkan matanya seolah sedang meresapi semua penjelasan yang diberikan Bhumiguru Ambararukma.

“Apakah ada kemungkinan terjadinya banjir besar ?” Tiba-tiba Baghawan Narasatriya.

“Ah,pertanyaan bagus, hampir saja aku lupa. Selain ditutupi oleh lautan, bumi kita ditutupi oleh es. Ada 2 benua es yang berada di dua kutub bumi. Keduanya bisa terpengaruh dan mengakibatkan benua-benua es itu pecah dan membanjiri lautan dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya terjadi penambahan tinggi permukaan air laut dengan ketinggian yang tidak terbayangkan. Kemungkinan akan banyak pantai dan daratan yang akan tenggelam.” Bhumiguru Ambararukma memberikan penjelasan tambahannya. Baghawan Narasatriya tertegun diam, penjelasan tambahan dari Bhumiguru Ambararukma membuatnya terkejut.

“Berarti bumi kita berada dalam bahaya !” Baghawan Narasatriya menggumam.

“Sepertinya demikian Baghawan.” Jawab Bhumiguru Ambararukma.

“Kalau begitu kita harus memberitahu Prabu Narayala!” kata Baghawan Narasatriya dengan suara tinggi.

“Ya betul, kita harus segera memberitahunya segera.” Bhumiguru Ambararukma menyetujui usul Baghawan Narasatriya. Setelah selesai pembicaraan itu, dari dalam ruangan Dimas beserta yang lainnya muncul.

“Hari sudah terlalu sore, kami pulang dulu paman” Gandrung mohon pamit.

“Ah, baiklah kalau begitu. Sampaikan salamku pada ayahmu nak.” Kata Baghawan Narasatriya. Setelah semunya memberikan memberikan salam Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung pergi meninggalkan Astra Graha kembali ke rumah.

Malam baru saja merayap saat mereka berempat tiba di rumah. Seperti biasa Ibu Gandrung tidak terlihat terlalu khawatir dengan Gandrung. Pembawaan yang lembut dan penuh kasih sangat membuat nyaman. Pada saat makan malam Gandrung menceritakan niatnya untuk mempertemukan ayahnya dengan Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambhararukma. Ayahnya setuju dengan permintaan Gandrung setelah diyakinkan oleh Dimas, Pafi dan Raji.

Malam itu setelah makan selesai Dimas, Raji dan Pafi berkumpul di kamar tanpa Gandrung. Mereka bertiga terlibat pembicaraan yang serius. Pafi menanyakan hal yang ditanyakan Dimas kepada Bhumiguru Ambararukma di Astra Graha.

“Baiklah, aku hanya melihat ada keterkaitan antara penglihatanku dengan apa yang dikatakan oleh Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma. Tentu saja semua begitu jelas sekarang. Dulu kita Cuma tahu kalau ada kerajaan Narapati di lembah sunda, tetapi kita juga tahu kalau wilayah itu di jaman kita adalah lautan luas. Tetapi kita tidak tahu bagaimana semua itu bisa terjadi kan ? Dengan apa yang dikatakan oleh Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma kini kita tahu bagaimana kerajaan Narapati bisa tenggelem ke dasar laut. Artinya bahwa kerajaan Narapati sekarang berada dalam ancaman besar terjadinya pemusnahan masal seluruh penduduknya. Cuma kita bertiga yang tahu bagaimana akhir dari lembah sunda. Tapi aku merasakan masih ada hal lain yang belum jelas sama sekali, aku tidak tahu apa itu tapi rasanya mengganjal sekali. ” Dimas menjelaskan apa yang dicuri dengarnya dari penjelasan Bhumiguru Ambararukma kepada Baghawan Narasatriya.

“Mereka memang akan menyampaikan hal ini besok kepada Prabu Narayala bukan ?” Pafi masih tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Dimas.

“Apakah Prabu Narayala akan langsung percaya dengan apa yang akan disampaikan oleh Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma ? Karena bisa saja perhitungan Baghawan Narasatriya salah atau tidak tepat.” Dimas menjelaskan lagi.

“Benar atau tidak perkiraan Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma, kita sudah tahu bahwa pada akhirnya Kerajaan Narapati akan tenggelam.” Kata Pafi

“Tepat sekali, dan aku pikir hal ini berhubungan dengan naskah Bangsa Sinar Avedi yang aku baca.” Dimas makin menegaskan lagi.

“Jadi maksudmu, naskah Bangsa Sinar Avedi yang kau baca itu adalah sebuah ramalan ?” tanya Raji.

“Benar sekali, memang Patih Nara Jalaseva bilang dia tidak tahu mengenai arti dari naskah itu, karena ramalan itu hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Dan orang itu tidak lain adalah orang tertinggi di kerajaan ini.” Jawab Dimas.

“Dan kini aku tahu “saat yang tepat” yang dimaksud oleh Asvin. Saat itu adalah saat terlemah Narapati yang sedang disibukan oleh bencana alam.” Jawab Dimas.

“Jadi maksudmu Asvin tahu mengenai ramalan itu ?” tanya Raji.

“Aku rasa tidak, Asvin tidak tahu ramalan itu, mereka juga tidak tahu mengenai akan munculnya bintang Kemukus satu purnama depan. Mereka hanya memanfaatkan situasi yang nanti akan terjadi.” Pafi menyela jawaban. Kelihatannya Pafi mulai mengerti apa yang dimaksud oleh dimas.

“Benar sekali Pafi, jadi sebenarnya perang adu domba yang sedang direncanakan oleh Asvin bukanlah ancaman terbesar. Karena ancaman terbesar adalah kemusnahan bangsa Narapati dan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia akibat meningginya air laut.” Dimas memberikan kesimpulan terakhirnya. Mereka bertiga terus terlibat dengan pembicaraan serius mengenai usaha mereka besok. Waktu terus berlalu hingga tak ada lagi yang bisa mereka bicarakan, kemudian mereka putuskan untuk kembali ke kamar masing-masing.

---- *** ----

Esok paginya Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma datang bertemu di balai paseban graha ramapati tempat dimana Penasehat Agung Patih Nara Jalaseva bekerja.

“Terima kasih atas kesediaan Gusti Penasehat Agung Patih Nara Jalaseva menemui kami dan mau mendengarkan apa yang ingin kami sampaikan.” Baghawan Narasatriya menghaturkan salam.

“Silahkan sampaikanlah maksud paman Baghawan.” Kata Patih Nara Jalaseva. Kemudian dengan perlahan dan seksama Baghawan Narasatriya secara bergantian dengan Bhumiguru Ambararukma menjelaskan semua hal yang kemarin telah dibahas bersama. Patih Nara Jalaseva terlihat dengan cermat mendengarkan semua penjelasan.

“Apakah menurut Gusti Patih hal ini bisa disampaikan kepada Prabu Narayala?” tanya Baghawan Narasatriya.

“Aku menilai penemuan ini sangatlah penting untuk disampaikan kepada Prabu Narayala. Aku akan mengatur agar paman semua bisa bertemu langsung dengan Prabu Narayala.” Jawab Patih Nara Jalaseva

“Terima kasih Gusti Patih.” Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma mengucapkan salam.

“Apakah ada orang yang lain tahu selain yang ada di ruangan ini paman ?” tanya Patih Nara Jalaseva.

“Tidak ada Gusti Patih” jawab Baghawan Narasatriya.

“Baiklah, sekarang kita berangkat ke istana.” Patih Nara Jalaseva bangkit dari kursinya. Mereka pun berangkat dari graha ramapati menuju istana.

Hari ini di balairung keraton ada pertemuan besar. Di Balairung keraton para menteri dan panglima perang telah lebih dulu berada di dalam. Mata mereka memperhatikan kedatangan rombongan Patih Nara Jalaseva. Satu per satu memberikan salam. Terlihat sekali kedudukan Patih Nara Jalaseva berada di atas mereka semua. Setelah Patih Nara Jalaseva duduk, tak lama kemudian Prabu Narayala bersama Patih Naraphala datang. Semua yang hadir memberikan salam. Prabu Narayala duduk di singgasananya sambil terus memandangi orang-orang yang duduk di belakang Patih Nara Jalaseva.

“Jalaseva, bisakah kau jelaskan mengapa kau membawa rombongan ?” tanya Prabu Narayala.

“Maafkan saya Gusti Prabu. Saya membawa rombongan karena ada berita sangat penting yang harus disampaikan sebelum rapat ini dimulai. Saya perkenalkan kepada Gusti Prabu, mereka adalah Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma” Patih Nara Jalaseva berhenti sejenak menunggu ijin.

“Sampaikanlah Jalaseva” Prabu Narayala memberi ijin. Patih Nara Jalaseva meminta Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma untuk maju dan memberikan penjelasan.

“Terima kasih Gusti Prabu. Hal ini berkaitan dengan kemunculan bintang kemukus yang telah saya amati sejak beberapa purnama lalu. Menurut perhitungan saya kemunculan bintang kemukus ini akan berada pada jarak paling dekat dengan bumi kita. Jarak yang demikian dekat ini akan berpengaruh besar terhadap permukaan bumi. Untuk penjelasannya saya serahkan kepada Bhumiguru Ambararukma.” Baghawan Narasatriya mempersilahkan Bhumiguru Ambararukma menjelaskan.

“Terima kasih Baghawan Narasatriya. Menurut ilmu bumi yang saya pelajari jika permukaan bumi terganggu keseimbangan daya tariknya. Maka akan menimbulkan berbagai macam bencana seperti gempa bumi, gunung meletus, terlepasnya lapisan-lapisan es dari puncak-puncak gunung dan benua-benua es yang akan membanjiri sungai-sungai dan laut sehingga akan membuat ketinggian air laut naik dan menenggalamkan banyak daratan dengan luasan yang tidak mungkin dicegah oleh manusia dengan semua peralatan yang dimilikinya. Hal ini berarti kemusnahan masal manusia.” Bhumiguru Ambararukma berhenti. Kemudian Prabu Narayala berdiri.

“Apakah kalian berdua yakin dengan perhitungan itu. Karena aku tidak mau mengambil keputusan berdasarkan dugaan saja.” Tanya Prabu Narayala.

“Maafkan saya Gusti Prabu, saya tidak bisa memastikan apakah semuanya akan benar-benar terjadi atau tidak. Saya hanya membuat dugaan berdasarkan perhitungan ilmu yang saya pelajari.” Jawab Bhumiguru Ambararukma.

“Bhumiguru Ambararukma, kau jangan membuang waktu kami untuk mendengarkan sesuatu yang kau sendiri tidak yakin dengannya. Kau tahu apa hukuman untuk orang yang mempermainkan kerajaan ?” Patih Naraphala menyela dengan nada yang tinggi.

“Maafkan saya Gusti Patih, tidak ada yang bisa memberikan kepastian. Bahkan sebuah ramalan pun hanya akan menjadi sebuah kata-kata tanpa arti jika tidak ada tanda-tanda yang menunjukannya akan terjadi. Kami hanya melihat tanda-tanda yang ditunjukan oleh alam semesta. Berdasarkan pengalaman dan apa yang telah kami pelajari dari pendahulu kami maka kesimpulan itulah yang kami dapatkan.” Jawab Baghawan Narasatriya.

“Berani sekali kau menggurui kami.” Bentak Patih Naraphala. Semua terdiam dan tidak ada yang berani lagi bicara. Dalam kehening itu sebuah suara muncul dari belakang Patih Nara Jalaseva.

“Maafkan Gusti Patih Naraphala, saya berpikir apa yang disampaikan oleh Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma akan sangat penting untuk kita. Karena sekarang kita sekarang sedang menghadapi gangguan keamanan di perbatasan utara. Saya berpendapat hal ini harus menjadi perhatian utama dan jangan sampai siapapun tahu mengenai masalah ini kecuali yang berada di ruangan ini. Karena bisa digunakan oleh musuh-musuh kita.” Kata Patih Nara Jalaseva. Prabu Narayala diam sejenak. Pandangannya menyapu semua yang berada di dalam balairung.

“Apa yang kau sarankan untuk mencegah terjadinya kemusnahan masal ini Baghawan Narasatriya ?” tanya Prabu Narayala tenang.

“Maafkan saya Gusti Prabu, saya tidak bisa menjawabnya Gusti. Hamba hanya bisa sarankan agar rakyat dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi, mungkin untuk beberapa lama”

“Maksudmu banjir ini akan berlangsung sangat lama ? dan tidak akan surut ?” Prabu Narayala mengernyitkan dahinya.

“Narapati akan tenggelam menjadi lautan Gusti Prabu, Naiknya permukaan air laut akan terus berlangsung sampai bumi tidak lagi mengalami goncangan. Ada kemungkinan itu bisa berlangsung lebih dari satu purnama.” Bhumiguru Ambararukma menjelaskan dengan hati-hati sekali setelah mendapat bentakan dari Patih Naraphala.

“Baiklah, Aku sangat berharap kalian salah dalam hal ini. Tetapi aku tidak bisa mengabaikannya. Aku pertimbangkan apa yang telah kalian sampaikan. Semua hal ini aku harapkan tidak keluar dari ruangan ini sampai aku mendapatkan kepastian dalam diriku untuk memutuskannya.” Prabu Narayala memberikan sabdanya. Semua yang hadir memberikan salam tunduk atas keputusan yang telah diambil. Patih Nara Jalaseva meminta Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma untuk meninggalkan balairung. Prabu Narayala memutuskan membatalkan pertemuan hari itu.

Di ruang pertemuan khusus Prabu Narayala sedang berunding bersama Patih Naraphala dan Patih Nara Jalaseva.

“Aku akan menemui Sinar Avedi Agung Au Co untuk menanyakan hal ini. Aku harap dia memiliki pandangan mengenai semua yang disampaikan oleh Baghawan Narasatriya dan Bhumiguru Ambararukma. Adik Naraphala, gantikanlah aku selama aku pergi, mungkin perjalanan ini perlu waktu beberapa hari. Jalaseva, walaupun aku belum mengambil sikap mengenai masalah ini, buatlah rencana bagaimana membuat sebuah perahu besar. Lakukan ini dengan diam-diam.”

“Baiklah Gusti Prabu, saya akan laksanakan. Saya mohon Pamit.” Patih Nara Jalaseva meninggalkan ruangan.

“Baiklah Adik Naraphala, aku akan berangkat sekarang juga”

“Kakang Prabu, berhati-hatilah. Sampaikan salamku kepada Sinar Avedi Agung Au Co”

“Akan kusampaikan” Prabu Narayala memasuki ruangan lain di dalam diantar oleh Patih Naraphala.

---- *** ----

No comments: