Dimas dan Pafi masih bergantian melihat semua pertemuan yang terjadi di balairung keraton melalui teropong tukang mau tahu. Tidak ada yang menarik untuk diketahui lagi. Mereka telah mendengar apa yang dibicarakan di balairung. Belum ada usaha untuk melakukan persiapan menyelamatkan penduduk dari ancaman banjir. Bosan dengan pengamatan Dimas melepaskan teropongnya. Hanya Pafi yang masih dengan tekun mengamati. Pafi begitu terobsesi menemukan orang yang menjadi penghianat Narapati.
Tiba-tiba Dimas teringat naskah Sinar Avedi yang diberikan oleh Sinar Avedi Agung Au Co kepadanya. Dimas mengambil naskahnya. Pafi akhirnya menghentikan pengamatannya. Naskah Sinar Avedi lebih menarik perhatiannya. Lagi pula matanya sudah kelihatan jenuh dan kuyu dan dia rasa perlu pengalihan perhatian sejenak.
Naskah itu akan memberikan petunjuk menyelamatkan bangsa Narapati dari kemusnahan. Gulungan itu dibuka perlahan. Garis-garis berkelok-kelok, aksara-aksara, gambar pohon, gambar gunung, dan garis-garis lengkung kecil berputar-putar tak beraturan tanpa henti. Dimas merapalkan mantranya pembuka naskah Sinar Avedi.
“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan”. Semuanya berhenti bergerak kemudian perlahan membentuk sebuah peta. Satu per satu semua bentuk terlihat dan mulai jelas. Tetapi tidak ada satu pun yang dapat dimengerti maknanya. Gandrung menyusuri satu per satu gambar demi gambar dengan jari telunjuknya.
“Sepertinya ini peta petunjuk. Ada gambar-gambar dan petunjuk.” Kata Gandrung
“Kalian yakin Sinar Avedi Agung Au Co memberikan peta sebagai petunjuk menghindari kemusnahan Narapati ?” Pafi agak ragu dengan permainan petak umpet ini. “Seharusnya Sinar Avedi Agung Au Co memberikan cara termudah dengan langsung memberitahukan caranya.” Ujar Pafi
Dalam hati Dimas cukup masuk akal apa yang dikatakan oleh Pafi. Jika Sinar Avedi Agung Au Co sudah tahu bagaimana menyelamatkan Narapati dari kemusnahan, seharusnya tinggal memberitahu saja. Atau Mungkin sebenarnya mereka juga sama tidak tahunya. Naskah Sinar Avedi adalah naskah yang dibuat dengan sihir-sihir kebenaran. Semua hal yang terkandung didalamnya adalah sebuah kebenaran. Naskah ini hanya memunculkan kebenaran yang ada di pikiran setiap pembukanya. Lalu kenapa harus dengan peta teka-teki segala. Mungkinkah apa yang menjadi akhir dari teka-teki ini adalah sesuatu yang begitu sangat rahasia sehingga tidaklah sembarang orang boleh mengetahuinya termasuk bangsa Sinar Avedi sendiri.
“Aku yakin sekali, dengan perkataan Sinar Avedi Agung Au Co. Dia mengatakan bahwa ini adalah petunjuk. Jadi bukan jawaban. Petunjuk ini akan mengarah kepada sebuah jawaban. Jawaban itu pastilah sangat rahasia sehingga harus dibuat petunjuk rahasia lagi.” Dimas mulai memperhatikan dengan seksama gambar-gambar itu.
“Aku sependapat dengan Dimas, lebih baik kita sekarang mencoba memecahkan arti dari petunjuk ini.” Kata Raji.
“Kita lihat apa yang menjadi petunjuk penting di peta ini sekarang. Garis berlekuk-lekuk dan gambar-gambar gunung mengikuti sepanjang garis. Gambar sebuah tali dengan anak panah terentang di belakang barisan gunung.” Gandrung menunjuk wilayah di atas peta.
“Ini adalah peta Narapati” Pafi mendapatkan jawabannya.
“Ya benar, ini adalah pegunungan barisan di Swarna hingga Jawa” Gandrung membenarkan jawaban Pafi.
“Kalau begitu, ini adalah kota Sunda Buana, anak panah ini seolah ditarik dari kota Sunda Buana dan ujung mata panahnya persis tepat di atas kota Rajatapura. Yang aneh disini dimana gagang busurnya ?” Dimas menujuk gambar piramida di tengah gambar kemudian menarik garis hingga ke ujung mata panah dimana sebuah piramida yang melambangkan kota Rajatapura berada. “Dan gambar gunung paling besar di antara gambar gunung yang lain ini adalah….”
“Batuwara - Krakatau !” Dua kata itu disebutkan secara bersamaan. Mereka semua saling pandang.
Bersamaan dengan itu semua gambar-gambar dalam peta itu bergerak liar. Tulisan demi tulisan muncul mengeluarkan sinar keemasan. Dimas mengucapkan setiap tulisan yang muncul dalam bahasa Sinar Avedi.
Bintang kembar menari di cakrawala
Melepaskan sembilan mata dewa
Gendewa Sang Narayana membara
Melepaskan busurnya di ujung Batuwara
“Apa maksud kalimat itu ?” Tanya Raji.
“Kalimat itu mirip sekali dengan naskah Sinar Avedi yang kau baca sewaktu di graha pustaka Sinar Avedi” Gandrung teringat kalimat naskah yang dibaca Dimas.
“Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang.
Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana.
Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh.
Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam.
Kegelapan hanya akan tenang bersama terang.”
“Benar, tapi kita belum tahu apakah ada keterkaitan antara naskah itu dengan naskah yang ini. Lebih baik kita berkonsentrasi memecahkan arti dari naskah ini.” Dimas merasa naskah yang dulu dibacanya membuat hatinya benar-benar tidak nyaman. Ada sesuatu yang begitu gelap setiap kali mendengarnya lagi. Yang lain setuju untuk memberikan perhatian mereka kepada naskah di depan mereka.
“Kita sudah mendengar apa yang diperkirakan oleh Gurubhumi Ambararukma mengenai munculnya bintang kemukus. Kalimat pertama –Bintang kembar menari di cakrawala- pastilah maksudnya kemunculan bintang kemukus yang akan terlihat seperti kembaran matahari di angkasa.” Pafi berhasil memecahkan kalimat pertama.
“Bagus Pafi, kita sudah mendapatkan arti kalimat pertama, berikutnya kalimat kedua.” Dimas memberi semangat kepada yang lain.
“Melepaskan Sembilan Mata Dewa- Mata Dewa artinya batu bintang. Mungkin sebagian atau Sembilan bagian dari bintang kemukus jatuh ke bumi akibat daya tarik bumi. Ingat apa yang dikatakan Baghawan Narasatriya mengenai akibat lintasan yang terlalu dekat. Akan ada tarik menarik antara Bumi dengan bintang kemukus itu. Karena bumi lebih besar pasti bagian bintang itu yang terlepas.” Gantian Gandrung memberikan pemecahan. Semua begitu senang dengan kemajuan yang mereka alami.
“Gendewa Sang Narayana Membara- Lihat gambar anak panah ini, tanpa busur. Anak panah ini terentang bukan tanpa busur. Karena busur yang sebenarnya barisan gunung di seluruh Swarna dan Jawa. Membara artinya semua gunung-gunung itu membara siap meletus.” Raji gantian memberikan pandangannya. Tinggal baris terakhir. Giliran Dimas belum memecahkan teka-tekinya.
“Melepaskan busurnya diujung Batuwara- Batuwara terletak di tengah busur gunung-gunung. Disini gambarnya paling besar, mungkin akan memberikan letusan paling besar diantara yang lain.” Dimas masih agak ragu. “Apa kaitan gunung Batuwara dengan masalah ini ?” kata Dimas.
“Mungkin saja letusan gunung yang bersamaan itu menyebabkan banyak kematian.” Kata Gandrung.
“Bisa saja, akibat terparah hanya akan terjadi di kota Rajatapura yang berdekatan dengan gunung Batuwara. Tetapi kota-kota lain sangat berjauhan dengan gunung. Ancaman untuk mereka hanyalah banjir besar.” Pafi memberikan pandangan lain.
“Mungkin lebih baik kita tanyakan kepada ahlinya.” Raji nyeletuk ringan.
“Gurubhumi Ambararukma !” kata yang lain bersama.
Sebelum Raji menyadari kalau dia memberikan jalan keluarnya, yang lain sudah siap berangkat. Melihat Dimas, Pafi dan Gandrung sudah berdiri di depan pintu keluar, Raji baru tersadar celetukannya menjadi rencana bersama. Kakinya melompat mengejar yang lain.
Mencari Bhumiguru Ambararukma ternyata bukan perkara mudah. Tempatnya mengajar ada di sebuah kompleks bangunan yang begitu luas. Bangunan-bangunan bertingkat empat berdiri teratur diantara pohon-pohon rindang. Siswa-siswa berjubah coklat tua bertebaran di seluruh halaman sekolah. Belajar bersama di bawah pohon, berjalan dari satu gedung ke gedung lain atau hanya sekadar duduk di anak tangga di depan pintu masuk gedung. Berbagai macam pelajaran di ajarkan dan tiap keahlian memiliki gedung sendiri-sendiri. Kali ini untuk tahu dimana seorang Bhumiguru berada maka harus mencari dimana keahlian ilmu bumi diajarkan. Setelah bertanya kesana dan kemari akhirnya Graha Bhumi ditemukan juga. Sebuah gedung tinggi dengan halaman yang agak berbeda dengan gedung lain. Tidak ada rumput, tidak ada pohon, tidak ada apapun. Hanya batu, permukaan kasar tanah dan kolam tanpa air. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung masuk ke dalam gedung itu menemukan orang yang mereka cari sedang asyik dengan bukunya.
“Selamat siang Bhumiguru Ambararukma.” Dimas memberi salam.
“Ah selamat siang.” Matanya mengamati dengan seksama yang datang menyapanya. Alisnya mengerut berusaha mengingat wajah yang pernah dilihatnya.
“Ah, nak…”
“Dimas” , “Raji” , “Pafi” , “Gandrung” secara bergantian menyebutkan nama masing-masing. Mulut Bhumiguru Ambararukma membuka, teringat kembali dimana dirinya pernah bertemu dengan keempat anak ini.
“Ahhh, Graha Astra. Ya..ya..ya...aku ingat sekarang. Apa yang bisa aku bantu?”
“Kami sedang mempelajari sejarah bumi. Kami diwajibkan meminta pendapat seorang Bhumiguru untuk kami bawakan di depan kelas. Kami kemudian teringat kepada Bhumiguru Ambararukma. Kami harap tidak keberatan kami bertanya sesuatu untuk kami tulis.” Dimas memberikan alasan kedatangannya.
“Ah baik sekali, dari guru siapakah kalian ?”
Dimas diam sejenak, untungnya Gandrung menyelamatkannya. “Guru Antasari” jawab Gandrung.
“Baiklah, pertanyaan apa yang ingin kalian tanyakan ?”
Dimas memandang yang lainnya terlebih dulu. Setelah mendapatkan anggukan Dimas mulai bertanya. Pafi mengeluarkan sebuah catatan seolah-olah akan mencatat semua jawaban yang akan diberikan oleh Bhumiguru Ambararukma.
“Apakah yang menyebabkan sebuah gunung meletus ?”
“Oh, gunung meletus karena terjadinya penumpukan tekanan dari dalam bumi yang begitu kuat sementara jalan keluarnya tertutup. Karena tekanan di bawah lebih kuat, kemudian mendesak ke permukaan dan menimbulkan ledakan hebat.”
“Seberapa besar letusan bisa terjadi ?”
“Letusan bisa terjadi pada tingkatan yang berbeda-beda. Dibagi menjadi 7 tingkatan. Makin tinggi tingkatannya makin besar letusannya.”
“Apa yang terjadi jika letusan pada tingkat kekuatan paling tinggi terjadi ?”
“Jika letusan dengan kekuatan paling tinggi terjadi maka dia akan mampu melepaskan abu letusan tinggi sekali ke udara hingga ke lapisan terluar. Dengan berputarnya bumi, maka abu itu akan menyebar ke seluruh permukaan bumi, menyebabkan berkurangnya sinar matahari menyinari permukaan bumi. Tetapi hal itu Cuma akan menyebabkan warna matahari akan terlihat seperti kuning telur. Pada tingkat letusan paling tinggi, biasanya disertai oleh menyebarnya asam belerang ke seluruh permukaan bumi dan menyebabkan penurunan suhu bumi hingga beberapa tingkat mendekati beku. Inilah yang paling berbahaya dari letusan tingkat paling tinggi.”
Pafi terus menulis. Dimas masih menyimpan satu pertanyaan lagi.
“Apakah yang terjadi jika beberapa gunung meletus dalam waktu yang bersamaan pada kekuatan mendekati tingkatan tertinggi ?”
Bhumiguru Ambararukma terkejut mendapatkan pertanyaan itu. Tidak pernah terpikir olehnya sebelum ini mengenai adanya kemungkinan seperti itu. Jarinya seperti sedang melakukan penghitungan. Matanya bergantian menatap anak-anak di depannya. Pertanyaan itu cukup membuatnya kagum kepada mereka.
“Ah, kemungkinan itu akan sangat-sangat jarang terjadi. Bahkan mungkin tidak akan pernah terjadi. Tapi…..kalaupun seandainya terjadi, maka selain uang aku sebutkan tadi, bumi akan mengalami musim dingin yang amat panjang. Yang tidak akan sanggup dilewati oleh banyak mahluk hidup termasuk manusia. Mungkin bisa disebut sebagai pemusnah masal. Letusannya tidak banyak membawa korban jiwa, tetapi akibat setelahnya akan membawa kesengsaraan hingga berpuluh tahun lamanya.”
Dimas tertegun, Pafi berhenti menulis, Raji dan Gandrung hanya bengong melihatnya.
“Baiklah Bhumiguru Ambararukma, pertanyaan kami hanya sampai disitu. Terima kasih atas jawaban Bhumiguru Ambararukma. Kami akan mengerjakan tugas ini segera. Kami mohon pamit.” Dimas meminta diri. Lelaki tua itu tersenyum ramah dan tersentuh dengan tata karma yang diperlihatkan Dimas. Yang lain pun ikut berpamitan setelahnya.
Pada perjalanan kembali siang sudah lewat dari ubun-ubun kepala. Pafi, Raji dan Gandrung terus saja berbicara mengenai semua yang telah disampaikan oleh Bhumiguru Ambararukma. Kini tinggal memecahkan peta berikutnya. Mereka kemudian bergegas ke ruang tukang mau tahu. Kini Dimas tahu masalah utama yang sebenarnya. Banjir besar memang masalah besar, tetapi dengan pembuatan perahu besar akan cukup membantu pemindahan ke wilayah yang lebih tinggi. Narapati bisa memulai kembali membangun kota-kota baru. Tetapi setelah bisa menghindari banjir, Narapati dihadapkan pada persoalan baru. Ancaman dari letusan gunung-gunung secara bersamaan yang akan membawa bumi ke dalam musim dingin yang sangat panjang.
Dimas menggelar naskahnya di atas meja. Gambar dua buah matahari di atas peta Narapati. Matahari yang satu di laut sebelah kiri, yang lain di laut sebelah kanan. Matahari di laut sebelah kanan dikelilingi oleh sembilan bintang kecil.
“Lihat Sembilan mata dewa” Pafi menunjuk Sembilan bintang kecil yang mengelilingi matahari di laut sebelah kanan.
“Matahari yang dikanan berarti sebelum tengah hari, karena di sebelah timur bersama Sembilan mata dewa. Matahari yang dikiri berarti setelah tengah hari karena berada di bagian barat. Mungkin Sembilan mata dewa muncul sebelum siang.” Gandrung mencoba memberikan kesimpulannya.
“Tidak, aku rasa bukan seperti itu. Bintang ini akan muncul setelah matahari lepas dari tengah hari.” Raji menyanggah, tapi semua seperti setuju dengan pendapatnya. Sesaat semuanya diam memandangi peta. Dimas berpikir apa arti dari semua gambar ini.
“Matahari ini dikelilingi Sembilan bintang, sama seperti kota Sunda Buana yang dikelilingi oleh sembilan kota-kota Narapati lainnya.” Kata Pafi
“Ya tentu saja, bahkan jarak letaknya pun sama persis, lihat posisi setiap bintang terhadap pusat matahari ini, persis sama dengan jarak antara Sunda Buana dengan kota-kota lainnya.” Raji memperkuat pandangan Pafi
“Dan besar kecilnya ukuran bintang ini juga menggambarkan urutan besarnya kota-kota itu. Lihat, kota terbesar kedua setelah Sunda Buana adalah Rajatapura digambarkan dengan bintang yang paling besar.” Kata Gandrung
“Berarti gambar ini membicarakan tentang Sembilan bintang ini. Bintang dalam bahasa Sinar Avedi adalah Satuasra.” Dimas teringat lagi naskah Sinar Avedi yang dibacanya di graha pustaka Sinar Avedi. Hatinya menclos, kesamaan antara naskah itu dengan semua hal yang sekarang ditemuinya seperti menjadi kenyataan. Tapi dirinya tidak menyukai sama sekali bagian hitam yang masih menyelimutinya.
Gambar di atas naskah berubah, kalimat-kalimat dalam bahasa Sinar Avedi muncul dengan sinar keemasan bergantian.”Satuasra ! kau menemukan kata kuncinya” bisik Pafi. Gandrung membacakan kalimat demi kalimat yang muncul di atas naskah itu. Hingga akhirnya berubah menjadi gambar yang baru dan berbeda.
Tidak fajar juga tak senja
Gerbang naga dan garuda memandang cakrawala
Gadis suci membawa berita
Bersemayam di dalam yang tak terjamah
Semua diam, tidak ada yang memberikan komentar. Kalimat-kalimat itu terasa sulit untuk dicerna. Pikiran mereka terus berputar-putar mencoba memahami arti dari setiap kalimat. Dimas memecahkan kehening. Mata yang lain segera terfokus kepadanya.
“Tidak fajar juga tidak senja- Fajar itu ditimur, senja di barat artinya tidak di kedua arah itu. Ada dua arah yang lain yaitu di utara atau selatan. Kalau diutara tidak mungkin, karena di sana sudah ada tempat tinggal para Sinar Avedi. Tidak mungkin ada lagi sesuatu di sana, karena satu-satunya yang tersembunyi di sana sekarang ada di tangan kita. Berarti yang dimaksud adalah Selatan.”
“Gerbang naga dan garuda, kau tahu artinya gandrung ?” Gandrung sekarang menjadi pusat perhatian. Wajar baginya lebih tahu dari yang lain, karena kemungkinan kalimat itu mengartikan sebuah tempat.
“Tidak, aku tidak mengerti sama sekali. Tidak pernah ada tempat atau sesuatu bernama gerbang naga dan garuda. Gerbang yang aku tahu hanyalah pilar garuda selamat datang di kota Rajatapura.” Gandrung menggeleng menyerah.
“Lebih baik kita cari apa yang dimaksud dengan Gerbang naga dan garuda di graha pustaka Sinar Avedi saja. Mungkin disana ada naskah yang pernah membahas masalah itu.” Pafi memberikan usul. Yang lain setuju, sepertinya kepala mereka sudah buntu dan tidak tahu lagi harus berpikir apa.
“Tapi kita makan dulu yah, wekerku sudah berdering terlalu lama nih.” Raji mengusap-usap perutnya yang sudah kelaparan. Akhirnya sebelum berangkat ke graha pustaka Sinar Avedi mereka makan dulu di sebuah warung dekat pasar. Makanan yang paling nikmat sekaligus paling sedikit yang pernah mereka makan. Bukan karena porsinya yang kurang banyak, tetapi karena otot lambung mereka sudah mengembang lebih besar akibat berpikir keras.
Tidak terlalu lama untuk sampai di graha pustaka kerajaan. Dengan cara membuka yang biasa mereka semua masuk ke dalam graha pustaka Sinar Avedi. Setelah mengambil salah satu naskah, Dimas membuka naskah itu dan meletakannya di atas meja. Aksara-aksara yang bergerak liar berhenti perlahan setelah Dimas menyebutkan mantra pembukanya.
“Gerbang naga dan garuda adalah gerbang menuju dunia tengah yang banyak dihuni oleh Garuda dan Naga. Dunia tengah berada pada tingkatan waktu kedua dengan nilai waktu yang sama dengan dunia manusia. Dunia tengah adalah dunia yang sangat keras. Untuk memasuki dunia tengah dibutuhkan dua sifat yang saling berlawanan, hitam dan putih, baik dan jahat, benar dan salah. Tanpa keduanya dunia tengah tidak akan dapat berdiri dengan sempurna. Hanya dengan pengorbanan diri yang suci dunia tengah dapat berdiri dengan sempurna. Belum pernah ada yang bisa tinggal di dunia tengah. Menurut legenda hanya satu orang yang pernah berada di dunia tengah. Seorang gadis suci dengan pengorbanan diri yang suci. Keluarnya di pintu Ngejungan lalu dia menenggelamkan diri di laut selatan dan tidak pernah terlihat lagi hingga sekarang.”
“Pintu Ngejungan, aku tahu maksudnya. Itu adalah gua Ngejungan di wilayah selatan. Kita pernah kesasar ke sana sewaktu hendak ke Rajatapura melalui lubang cacing. Kau ingat Raji !” kata Dimas. Raji mengangguk-angguk.
“Kalau begitu kita sudah tahu dimana letaknya. Sebaiknya kita kesana sekarang juga, kau tahu kan tempatnya Gandrung ?.” Pafi yakin jawaban sisanya akan ada di Gua Ngejungan. Gandrung tidak yakin.
“Kalau tidak salah gua itu menghadap laut selatan, di wilayah selatan jawa dekat sebuah desa bernama Tanggunggunung.”
“Itu Pasetran Gondo Mayit” Pafi spontan menjawab. Dimas dan Raji langsung menatapnya. Pafi menutup mulutnya terkejut karena keceplosan.
“Ayo kita kesana kalau begitu!” Dimas menggulung kembali naskahnya. Yang lain langsung bersiap berangkat. Kemudian mereka menyusuri gorong-gorong hingga tembus ke dermaga. Lubang cacing menjadi tujuan. Semua merasa sudah semakin dekat dengan jawaban mereka. Pastilah cara menyelamatkan Narapati sudah dekat. Tidak membutuhkan waktu yang lama setelah lubang cacing berhasil dibuka dan tujuan ditetapkan, mereka berempat memasuki lubang itu. Kemudian keluar di sebuah gua yang persis sudah dikenal oleh Dimas dan Raji.
“Tepat sekali, gua inilah kami bertemu dengan Ratu Kerajaan Selatan.” Kata Dimas. Gua Ngejungan tidak begitu luas. Dimas melangkah lebih dulu keluar gua, diikuti yang lain.
Air laut berdebur menghempaskan dirinya ke pantai lalu surut kembali. Sesaat air laut menjadi tenang, perlahan air bergerak mundur hingga ke tengah. Semua dasar laut tersingkap, banyak hewan laut yang terjebak dalam kubangan-kubangan. Perlahan sebuah dinding muncul dari dasar laut membentuk benteng yang sangat panjang dan tinggi. Gerbang terbuka. Sinar terang menyeruak dari dalam. Sebuah kereta kuda keluar dari dalam menghampiri dan berhenti di depan gua. Sesaat diam lalu pintu kereta terbuka. Seorang wanita cantik dengan pakaian hijau turun dari kereta. Tersenyum ramah, kemudian melirik Gandrung agak lama. Gandrung agak canggung dengan lirikan itu.
Dimas membatin dalam hati. “Gadis suci membawa berita, bersemayam di dalam yang tak terjamah -Apakah Ratu Kerajaan Selatan adalah gadis suci yang dimaksud ? Dimas agak ragu dengan hal itu. Bukankah gadis itu sudah tenggelam di laut sela….. “Kata-kata Dimas tidak jadi dilanjutkan.
“Selamat datang Narapati!”
“Terima kasih Gusti Ratu”
“Aku harap kalian baik-baik saja. Aku tahu inilah saat yang tepat dan kalian sudah siap. Pertemuan kita yang lalu adalah kesengajaanku mengalihkan jalur lubang cacing kalian ke tempat ini. Karena aku ingin yakin kalau kalian adalah yang telah dipilih. Dengarkanlah -Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang. Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana. Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh. Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam. Kegelapan hanya akan tenang bersama terang- Bawalah bintangnya, Sembilan satuasra di Sembilan kuil di Sembilan kota. Datanglah pada purnama besok dengan Sembilan satuasra.” Antara terkejut dan kagum, tidak ada yang berani lagi berbicara. Semuanya patuh mengikuti petunjuk. Sang Ratu Kerajaan Selatan kemudian berkata lagi sebelum masuk kembali ke keretanya.
“Kepercayaan adalah jiwa persahabatan. Persahabatan tidak akan menemukan jalan tanpa kepercayaan.”
Setelah itu perempuan cantik meninggalkan gua bersama keretanya. Gerbang kembali tertutup dan lenyap. Air laut perlahan mengaliri pantai yang kering dan ombak berdebur kembali. Tidak ada kata-kata yang bisa diungkapkan. Seolah kenyataan datang terlalu cepat, hingga otak terlambat mencernanya. Tetapi bukan kenyataan bahwa sang Ratu tahu segala maksud mereka, terlebih tahu isi naskah Sinar Avedi yang dibaca oleh Dimas. Tetapi kata-kata terakhirlah yang menyerang hati mereka begitu dalam. Seakan ulu hati mereka ditonjok begitu kuat hingga rasa sesaknya mendesak ke ujung leher. Merekapun kembali ke Sunda Buana dengan rencana mengumpulkan semua Sembilan satuasra di Sembilan kuil di Sembilan kota.
Tiba-tiba Dimas teringat naskah Sinar Avedi yang diberikan oleh Sinar Avedi Agung Au Co kepadanya. Dimas mengambil naskahnya. Pafi akhirnya menghentikan pengamatannya. Naskah Sinar Avedi lebih menarik perhatiannya. Lagi pula matanya sudah kelihatan jenuh dan kuyu dan dia rasa perlu pengalihan perhatian sejenak.
Naskah itu akan memberikan petunjuk menyelamatkan bangsa Narapati dari kemusnahan. Gulungan itu dibuka perlahan. Garis-garis berkelok-kelok, aksara-aksara, gambar pohon, gambar gunung, dan garis-garis lengkung kecil berputar-putar tak beraturan tanpa henti. Dimas merapalkan mantranya pembuka naskah Sinar Avedi.
“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan”. Semuanya berhenti bergerak kemudian perlahan membentuk sebuah peta. Satu per satu semua bentuk terlihat dan mulai jelas. Tetapi tidak ada satu pun yang dapat dimengerti maknanya. Gandrung menyusuri satu per satu gambar demi gambar dengan jari telunjuknya.
“Sepertinya ini peta petunjuk. Ada gambar-gambar dan petunjuk.” Kata Gandrung
“Kalian yakin Sinar Avedi Agung Au Co memberikan peta sebagai petunjuk menghindari kemusnahan Narapati ?” Pafi agak ragu dengan permainan petak umpet ini. “Seharusnya Sinar Avedi Agung Au Co memberikan cara termudah dengan langsung memberitahukan caranya.” Ujar Pafi
Dalam hati Dimas cukup masuk akal apa yang dikatakan oleh Pafi. Jika Sinar Avedi Agung Au Co sudah tahu bagaimana menyelamatkan Narapati dari kemusnahan, seharusnya tinggal memberitahu saja. Atau Mungkin sebenarnya mereka juga sama tidak tahunya. Naskah Sinar Avedi adalah naskah yang dibuat dengan sihir-sihir kebenaran. Semua hal yang terkandung didalamnya adalah sebuah kebenaran. Naskah ini hanya memunculkan kebenaran yang ada di pikiran setiap pembukanya. Lalu kenapa harus dengan peta teka-teki segala. Mungkinkah apa yang menjadi akhir dari teka-teki ini adalah sesuatu yang begitu sangat rahasia sehingga tidaklah sembarang orang boleh mengetahuinya termasuk bangsa Sinar Avedi sendiri.
“Aku yakin sekali, dengan perkataan Sinar Avedi Agung Au Co. Dia mengatakan bahwa ini adalah petunjuk. Jadi bukan jawaban. Petunjuk ini akan mengarah kepada sebuah jawaban. Jawaban itu pastilah sangat rahasia sehingga harus dibuat petunjuk rahasia lagi.” Dimas mulai memperhatikan dengan seksama gambar-gambar itu.
“Aku sependapat dengan Dimas, lebih baik kita sekarang mencoba memecahkan arti dari petunjuk ini.” Kata Raji.
“Kita lihat apa yang menjadi petunjuk penting di peta ini sekarang. Garis berlekuk-lekuk dan gambar-gambar gunung mengikuti sepanjang garis. Gambar sebuah tali dengan anak panah terentang di belakang barisan gunung.” Gandrung menunjuk wilayah di atas peta.
“Ini adalah peta Narapati” Pafi mendapatkan jawabannya.
“Ya benar, ini adalah pegunungan barisan di Swarna hingga Jawa” Gandrung membenarkan jawaban Pafi.
“Kalau begitu, ini adalah kota Sunda Buana, anak panah ini seolah ditarik dari kota Sunda Buana dan ujung mata panahnya persis tepat di atas kota Rajatapura. Yang aneh disini dimana gagang busurnya ?” Dimas menujuk gambar piramida di tengah gambar kemudian menarik garis hingga ke ujung mata panah dimana sebuah piramida yang melambangkan kota Rajatapura berada. “Dan gambar gunung paling besar di antara gambar gunung yang lain ini adalah….”
“Batuwara - Krakatau !” Dua kata itu disebutkan secara bersamaan. Mereka semua saling pandang.
Bersamaan dengan itu semua gambar-gambar dalam peta itu bergerak liar. Tulisan demi tulisan muncul mengeluarkan sinar keemasan. Dimas mengucapkan setiap tulisan yang muncul dalam bahasa Sinar Avedi.
Bintang kembar menari di cakrawala
Melepaskan sembilan mata dewa
Gendewa Sang Narayana membara
Melepaskan busurnya di ujung Batuwara
“Apa maksud kalimat itu ?” Tanya Raji.
“Kalimat itu mirip sekali dengan naskah Sinar Avedi yang kau baca sewaktu di graha pustaka Sinar Avedi” Gandrung teringat kalimat naskah yang dibaca Dimas.
“Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang.
Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana.
Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh.
Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam.
Kegelapan hanya akan tenang bersama terang.”
“Benar, tapi kita belum tahu apakah ada keterkaitan antara naskah itu dengan naskah yang ini. Lebih baik kita berkonsentrasi memecahkan arti dari naskah ini.” Dimas merasa naskah yang dulu dibacanya membuat hatinya benar-benar tidak nyaman. Ada sesuatu yang begitu gelap setiap kali mendengarnya lagi. Yang lain setuju untuk memberikan perhatian mereka kepada naskah di depan mereka.
“Kita sudah mendengar apa yang diperkirakan oleh Gurubhumi Ambararukma mengenai munculnya bintang kemukus. Kalimat pertama –Bintang kembar menari di cakrawala- pastilah maksudnya kemunculan bintang kemukus yang akan terlihat seperti kembaran matahari di angkasa.” Pafi berhasil memecahkan kalimat pertama.
“Bagus Pafi, kita sudah mendapatkan arti kalimat pertama, berikutnya kalimat kedua.” Dimas memberi semangat kepada yang lain.
“Melepaskan Sembilan Mata Dewa- Mata Dewa artinya batu bintang. Mungkin sebagian atau Sembilan bagian dari bintang kemukus jatuh ke bumi akibat daya tarik bumi. Ingat apa yang dikatakan Baghawan Narasatriya mengenai akibat lintasan yang terlalu dekat. Akan ada tarik menarik antara Bumi dengan bintang kemukus itu. Karena bumi lebih besar pasti bagian bintang itu yang terlepas.” Gantian Gandrung memberikan pemecahan. Semua begitu senang dengan kemajuan yang mereka alami.
“Gendewa Sang Narayana Membara- Lihat gambar anak panah ini, tanpa busur. Anak panah ini terentang bukan tanpa busur. Karena busur yang sebenarnya barisan gunung di seluruh Swarna dan Jawa. Membara artinya semua gunung-gunung itu membara siap meletus.” Raji gantian memberikan pandangannya. Tinggal baris terakhir. Giliran Dimas belum memecahkan teka-tekinya.
“Melepaskan busurnya diujung Batuwara- Batuwara terletak di tengah busur gunung-gunung. Disini gambarnya paling besar, mungkin akan memberikan letusan paling besar diantara yang lain.” Dimas masih agak ragu. “Apa kaitan gunung Batuwara dengan masalah ini ?” kata Dimas.
“Mungkin saja letusan gunung yang bersamaan itu menyebabkan banyak kematian.” Kata Gandrung.
“Bisa saja, akibat terparah hanya akan terjadi di kota Rajatapura yang berdekatan dengan gunung Batuwara. Tetapi kota-kota lain sangat berjauhan dengan gunung. Ancaman untuk mereka hanyalah banjir besar.” Pafi memberikan pandangan lain.
“Mungkin lebih baik kita tanyakan kepada ahlinya.” Raji nyeletuk ringan.
“Gurubhumi Ambararukma !” kata yang lain bersama.
Sebelum Raji menyadari kalau dia memberikan jalan keluarnya, yang lain sudah siap berangkat. Melihat Dimas, Pafi dan Gandrung sudah berdiri di depan pintu keluar, Raji baru tersadar celetukannya menjadi rencana bersama. Kakinya melompat mengejar yang lain.
Mencari Bhumiguru Ambararukma ternyata bukan perkara mudah. Tempatnya mengajar ada di sebuah kompleks bangunan yang begitu luas. Bangunan-bangunan bertingkat empat berdiri teratur diantara pohon-pohon rindang. Siswa-siswa berjubah coklat tua bertebaran di seluruh halaman sekolah. Belajar bersama di bawah pohon, berjalan dari satu gedung ke gedung lain atau hanya sekadar duduk di anak tangga di depan pintu masuk gedung. Berbagai macam pelajaran di ajarkan dan tiap keahlian memiliki gedung sendiri-sendiri. Kali ini untuk tahu dimana seorang Bhumiguru berada maka harus mencari dimana keahlian ilmu bumi diajarkan. Setelah bertanya kesana dan kemari akhirnya Graha Bhumi ditemukan juga. Sebuah gedung tinggi dengan halaman yang agak berbeda dengan gedung lain. Tidak ada rumput, tidak ada pohon, tidak ada apapun. Hanya batu, permukaan kasar tanah dan kolam tanpa air. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung masuk ke dalam gedung itu menemukan orang yang mereka cari sedang asyik dengan bukunya.
“Selamat siang Bhumiguru Ambararukma.” Dimas memberi salam.
“Ah selamat siang.” Matanya mengamati dengan seksama yang datang menyapanya. Alisnya mengerut berusaha mengingat wajah yang pernah dilihatnya.
“Ah, nak…”
“Dimas” , “Raji” , “Pafi” , “Gandrung” secara bergantian menyebutkan nama masing-masing. Mulut Bhumiguru Ambararukma membuka, teringat kembali dimana dirinya pernah bertemu dengan keempat anak ini.
“Ahhh, Graha Astra. Ya..ya..ya...aku ingat sekarang. Apa yang bisa aku bantu?”
“Kami sedang mempelajari sejarah bumi. Kami diwajibkan meminta pendapat seorang Bhumiguru untuk kami bawakan di depan kelas. Kami kemudian teringat kepada Bhumiguru Ambararukma. Kami harap tidak keberatan kami bertanya sesuatu untuk kami tulis.” Dimas memberikan alasan kedatangannya.
“Ah baik sekali, dari guru siapakah kalian ?”
Dimas diam sejenak, untungnya Gandrung menyelamatkannya. “Guru Antasari” jawab Gandrung.
“Baiklah, pertanyaan apa yang ingin kalian tanyakan ?”
Dimas memandang yang lainnya terlebih dulu. Setelah mendapatkan anggukan Dimas mulai bertanya. Pafi mengeluarkan sebuah catatan seolah-olah akan mencatat semua jawaban yang akan diberikan oleh Bhumiguru Ambararukma.
“Apakah yang menyebabkan sebuah gunung meletus ?”
“Oh, gunung meletus karena terjadinya penumpukan tekanan dari dalam bumi yang begitu kuat sementara jalan keluarnya tertutup. Karena tekanan di bawah lebih kuat, kemudian mendesak ke permukaan dan menimbulkan ledakan hebat.”
“Seberapa besar letusan bisa terjadi ?”
“Letusan bisa terjadi pada tingkatan yang berbeda-beda. Dibagi menjadi 7 tingkatan. Makin tinggi tingkatannya makin besar letusannya.”
“Apa yang terjadi jika letusan pada tingkat kekuatan paling tinggi terjadi ?”
“Jika letusan dengan kekuatan paling tinggi terjadi maka dia akan mampu melepaskan abu letusan tinggi sekali ke udara hingga ke lapisan terluar. Dengan berputarnya bumi, maka abu itu akan menyebar ke seluruh permukaan bumi, menyebabkan berkurangnya sinar matahari menyinari permukaan bumi. Tetapi hal itu Cuma akan menyebabkan warna matahari akan terlihat seperti kuning telur. Pada tingkat letusan paling tinggi, biasanya disertai oleh menyebarnya asam belerang ke seluruh permukaan bumi dan menyebabkan penurunan suhu bumi hingga beberapa tingkat mendekati beku. Inilah yang paling berbahaya dari letusan tingkat paling tinggi.”
Pafi terus menulis. Dimas masih menyimpan satu pertanyaan lagi.
“Apakah yang terjadi jika beberapa gunung meletus dalam waktu yang bersamaan pada kekuatan mendekati tingkatan tertinggi ?”
Bhumiguru Ambararukma terkejut mendapatkan pertanyaan itu. Tidak pernah terpikir olehnya sebelum ini mengenai adanya kemungkinan seperti itu. Jarinya seperti sedang melakukan penghitungan. Matanya bergantian menatap anak-anak di depannya. Pertanyaan itu cukup membuatnya kagum kepada mereka.
“Ah, kemungkinan itu akan sangat-sangat jarang terjadi. Bahkan mungkin tidak akan pernah terjadi. Tapi…..kalaupun seandainya terjadi, maka selain uang aku sebutkan tadi, bumi akan mengalami musim dingin yang amat panjang. Yang tidak akan sanggup dilewati oleh banyak mahluk hidup termasuk manusia. Mungkin bisa disebut sebagai pemusnah masal. Letusannya tidak banyak membawa korban jiwa, tetapi akibat setelahnya akan membawa kesengsaraan hingga berpuluh tahun lamanya.”
Dimas tertegun, Pafi berhenti menulis, Raji dan Gandrung hanya bengong melihatnya.
“Baiklah Bhumiguru Ambararukma, pertanyaan kami hanya sampai disitu. Terima kasih atas jawaban Bhumiguru Ambararukma. Kami akan mengerjakan tugas ini segera. Kami mohon pamit.” Dimas meminta diri. Lelaki tua itu tersenyum ramah dan tersentuh dengan tata karma yang diperlihatkan Dimas. Yang lain pun ikut berpamitan setelahnya.
Pada perjalanan kembali siang sudah lewat dari ubun-ubun kepala. Pafi, Raji dan Gandrung terus saja berbicara mengenai semua yang telah disampaikan oleh Bhumiguru Ambararukma. Kini tinggal memecahkan peta berikutnya. Mereka kemudian bergegas ke ruang tukang mau tahu. Kini Dimas tahu masalah utama yang sebenarnya. Banjir besar memang masalah besar, tetapi dengan pembuatan perahu besar akan cukup membantu pemindahan ke wilayah yang lebih tinggi. Narapati bisa memulai kembali membangun kota-kota baru. Tetapi setelah bisa menghindari banjir, Narapati dihadapkan pada persoalan baru. Ancaman dari letusan gunung-gunung secara bersamaan yang akan membawa bumi ke dalam musim dingin yang sangat panjang.
Dimas menggelar naskahnya di atas meja. Gambar dua buah matahari di atas peta Narapati. Matahari yang satu di laut sebelah kiri, yang lain di laut sebelah kanan. Matahari di laut sebelah kanan dikelilingi oleh sembilan bintang kecil.
“Lihat Sembilan mata dewa” Pafi menunjuk Sembilan bintang kecil yang mengelilingi matahari di laut sebelah kanan.
“Matahari yang dikanan berarti sebelum tengah hari, karena di sebelah timur bersama Sembilan mata dewa. Matahari yang dikiri berarti setelah tengah hari karena berada di bagian barat. Mungkin Sembilan mata dewa muncul sebelum siang.” Gandrung mencoba memberikan kesimpulannya.
“Tidak, aku rasa bukan seperti itu. Bintang ini akan muncul setelah matahari lepas dari tengah hari.” Raji menyanggah, tapi semua seperti setuju dengan pendapatnya. Sesaat semuanya diam memandangi peta. Dimas berpikir apa arti dari semua gambar ini.
“Matahari ini dikelilingi Sembilan bintang, sama seperti kota Sunda Buana yang dikelilingi oleh sembilan kota-kota Narapati lainnya.” Kata Pafi
“Ya tentu saja, bahkan jarak letaknya pun sama persis, lihat posisi setiap bintang terhadap pusat matahari ini, persis sama dengan jarak antara Sunda Buana dengan kota-kota lainnya.” Raji memperkuat pandangan Pafi
“Dan besar kecilnya ukuran bintang ini juga menggambarkan urutan besarnya kota-kota itu. Lihat, kota terbesar kedua setelah Sunda Buana adalah Rajatapura digambarkan dengan bintang yang paling besar.” Kata Gandrung
“Berarti gambar ini membicarakan tentang Sembilan bintang ini. Bintang dalam bahasa Sinar Avedi adalah Satuasra.” Dimas teringat lagi naskah Sinar Avedi yang dibacanya di graha pustaka Sinar Avedi. Hatinya menclos, kesamaan antara naskah itu dengan semua hal yang sekarang ditemuinya seperti menjadi kenyataan. Tapi dirinya tidak menyukai sama sekali bagian hitam yang masih menyelimutinya.
Gambar di atas naskah berubah, kalimat-kalimat dalam bahasa Sinar Avedi muncul dengan sinar keemasan bergantian.”Satuasra ! kau menemukan kata kuncinya” bisik Pafi. Gandrung membacakan kalimat demi kalimat yang muncul di atas naskah itu. Hingga akhirnya berubah menjadi gambar yang baru dan berbeda.
Tidak fajar juga tak senja
Gerbang naga dan garuda memandang cakrawala
Gadis suci membawa berita
Bersemayam di dalam yang tak terjamah
Semua diam, tidak ada yang memberikan komentar. Kalimat-kalimat itu terasa sulit untuk dicerna. Pikiran mereka terus berputar-putar mencoba memahami arti dari setiap kalimat. Dimas memecahkan kehening. Mata yang lain segera terfokus kepadanya.
“Tidak fajar juga tidak senja- Fajar itu ditimur, senja di barat artinya tidak di kedua arah itu. Ada dua arah yang lain yaitu di utara atau selatan. Kalau diutara tidak mungkin, karena di sana sudah ada tempat tinggal para Sinar Avedi. Tidak mungkin ada lagi sesuatu di sana, karena satu-satunya yang tersembunyi di sana sekarang ada di tangan kita. Berarti yang dimaksud adalah Selatan.”
“Gerbang naga dan garuda, kau tahu artinya gandrung ?” Gandrung sekarang menjadi pusat perhatian. Wajar baginya lebih tahu dari yang lain, karena kemungkinan kalimat itu mengartikan sebuah tempat.
“Tidak, aku tidak mengerti sama sekali. Tidak pernah ada tempat atau sesuatu bernama gerbang naga dan garuda. Gerbang yang aku tahu hanyalah pilar garuda selamat datang di kota Rajatapura.” Gandrung menggeleng menyerah.
“Lebih baik kita cari apa yang dimaksud dengan Gerbang naga dan garuda di graha pustaka Sinar Avedi saja. Mungkin disana ada naskah yang pernah membahas masalah itu.” Pafi memberikan usul. Yang lain setuju, sepertinya kepala mereka sudah buntu dan tidak tahu lagi harus berpikir apa.
“Tapi kita makan dulu yah, wekerku sudah berdering terlalu lama nih.” Raji mengusap-usap perutnya yang sudah kelaparan. Akhirnya sebelum berangkat ke graha pustaka Sinar Avedi mereka makan dulu di sebuah warung dekat pasar. Makanan yang paling nikmat sekaligus paling sedikit yang pernah mereka makan. Bukan karena porsinya yang kurang banyak, tetapi karena otot lambung mereka sudah mengembang lebih besar akibat berpikir keras.
Tidak terlalu lama untuk sampai di graha pustaka kerajaan. Dengan cara membuka yang biasa mereka semua masuk ke dalam graha pustaka Sinar Avedi. Setelah mengambil salah satu naskah, Dimas membuka naskah itu dan meletakannya di atas meja. Aksara-aksara yang bergerak liar berhenti perlahan setelah Dimas menyebutkan mantra pembukanya.
“Gerbang naga dan garuda adalah gerbang menuju dunia tengah yang banyak dihuni oleh Garuda dan Naga. Dunia tengah berada pada tingkatan waktu kedua dengan nilai waktu yang sama dengan dunia manusia. Dunia tengah adalah dunia yang sangat keras. Untuk memasuki dunia tengah dibutuhkan dua sifat yang saling berlawanan, hitam dan putih, baik dan jahat, benar dan salah. Tanpa keduanya dunia tengah tidak akan dapat berdiri dengan sempurna. Hanya dengan pengorbanan diri yang suci dunia tengah dapat berdiri dengan sempurna. Belum pernah ada yang bisa tinggal di dunia tengah. Menurut legenda hanya satu orang yang pernah berada di dunia tengah. Seorang gadis suci dengan pengorbanan diri yang suci. Keluarnya di pintu Ngejungan lalu dia menenggelamkan diri di laut selatan dan tidak pernah terlihat lagi hingga sekarang.”
“Pintu Ngejungan, aku tahu maksudnya. Itu adalah gua Ngejungan di wilayah selatan. Kita pernah kesasar ke sana sewaktu hendak ke Rajatapura melalui lubang cacing. Kau ingat Raji !” kata Dimas. Raji mengangguk-angguk.
“Kalau begitu kita sudah tahu dimana letaknya. Sebaiknya kita kesana sekarang juga, kau tahu kan tempatnya Gandrung ?.” Pafi yakin jawaban sisanya akan ada di Gua Ngejungan. Gandrung tidak yakin.
“Kalau tidak salah gua itu menghadap laut selatan, di wilayah selatan jawa dekat sebuah desa bernama Tanggunggunung.”
“Itu Pasetran Gondo Mayit” Pafi spontan menjawab. Dimas dan Raji langsung menatapnya. Pafi menutup mulutnya terkejut karena keceplosan.
“Ayo kita kesana kalau begitu!” Dimas menggulung kembali naskahnya. Yang lain langsung bersiap berangkat. Kemudian mereka menyusuri gorong-gorong hingga tembus ke dermaga. Lubang cacing menjadi tujuan. Semua merasa sudah semakin dekat dengan jawaban mereka. Pastilah cara menyelamatkan Narapati sudah dekat. Tidak membutuhkan waktu yang lama setelah lubang cacing berhasil dibuka dan tujuan ditetapkan, mereka berempat memasuki lubang itu. Kemudian keluar di sebuah gua yang persis sudah dikenal oleh Dimas dan Raji.
“Tepat sekali, gua inilah kami bertemu dengan Ratu Kerajaan Selatan.” Kata Dimas. Gua Ngejungan tidak begitu luas. Dimas melangkah lebih dulu keluar gua, diikuti yang lain.
Air laut berdebur menghempaskan dirinya ke pantai lalu surut kembali. Sesaat air laut menjadi tenang, perlahan air bergerak mundur hingga ke tengah. Semua dasar laut tersingkap, banyak hewan laut yang terjebak dalam kubangan-kubangan. Perlahan sebuah dinding muncul dari dasar laut membentuk benteng yang sangat panjang dan tinggi. Gerbang terbuka. Sinar terang menyeruak dari dalam. Sebuah kereta kuda keluar dari dalam menghampiri dan berhenti di depan gua. Sesaat diam lalu pintu kereta terbuka. Seorang wanita cantik dengan pakaian hijau turun dari kereta. Tersenyum ramah, kemudian melirik Gandrung agak lama. Gandrung agak canggung dengan lirikan itu.
Dimas membatin dalam hati. “Gadis suci membawa berita, bersemayam di dalam yang tak terjamah -Apakah Ratu Kerajaan Selatan adalah gadis suci yang dimaksud ? Dimas agak ragu dengan hal itu. Bukankah gadis itu sudah tenggelam di laut sela….. “Kata-kata Dimas tidak jadi dilanjutkan.
“Selamat datang Narapati!”
“Terima kasih Gusti Ratu”
“Aku harap kalian baik-baik saja. Aku tahu inilah saat yang tepat dan kalian sudah siap. Pertemuan kita yang lalu adalah kesengajaanku mengalihkan jalur lubang cacing kalian ke tempat ini. Karena aku ingin yakin kalau kalian adalah yang telah dipilih. Dengarkanlah -Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang. Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana. Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh. Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam. Kegelapan hanya akan tenang bersama terang- Bawalah bintangnya, Sembilan satuasra di Sembilan kuil di Sembilan kota. Datanglah pada purnama besok dengan Sembilan satuasra.” Antara terkejut dan kagum, tidak ada yang berani lagi berbicara. Semuanya patuh mengikuti petunjuk. Sang Ratu Kerajaan Selatan kemudian berkata lagi sebelum masuk kembali ke keretanya.
“Kepercayaan adalah jiwa persahabatan. Persahabatan tidak akan menemukan jalan tanpa kepercayaan.”
Setelah itu perempuan cantik meninggalkan gua bersama keretanya. Gerbang kembali tertutup dan lenyap. Air laut perlahan mengaliri pantai yang kering dan ombak berdebur kembali. Tidak ada kata-kata yang bisa diungkapkan. Seolah kenyataan datang terlalu cepat, hingga otak terlambat mencernanya. Tetapi bukan kenyataan bahwa sang Ratu tahu segala maksud mereka, terlebih tahu isi naskah Sinar Avedi yang dibaca oleh Dimas. Tetapi kata-kata terakhirlah yang menyerang hati mereka begitu dalam. Seakan ulu hati mereka ditonjok begitu kuat hingga rasa sesaknya mendesak ke ujung leher. Merekapun kembali ke Sunda Buana dengan rencana mengumpulkan semua Sembilan satuasra di Sembilan kuil di Sembilan kota.
No comments:
Post a Comment