Kerajaan Narapati mengadakan pertemuan mendadak setelah kepulangannya dari tempat para Sinar Avedi di Hoa-Binh. Prabu Narayala memanggil semua menterinya dan panglima perang untuk hadir.
“Baiklah aku ingin mendapatkan laporan kalian selama aku meninggalkan keraton.” Prabu Narayala meminta laporan dari semua menteri-menterinya.
“Asvin telah melakukan serangan kepada Dravida, sekarang sedang terjadi pertempuran di utara wilayah Dravida. Narapati telah siap menjaga semua perbatasan di utara baik yang berbatasan dengan Dravida maupun dengan Asvin.” Panglima perang Ambalat Raja memberikan keterangan.
“Apa yang memicu perang itu, ceritakan padaku keterangan apa yang sudah kau dapat dari telik sandimu, Ambalat Raja” tanya Prabu Narayala
“Baik Gusti Prabu. Asvin menuduh Dravida melakukan percobaan senjata yang membuat perubahan cuaca di lembah tarim dan menghancurkan pertanian mereka. Dravida menyangkal tuduhan itu dan menuduh balik Asvin yang berada di balik semua kerusuhan yang terjadi di wilayah mereka di Bangla.Menurut telik sandi, Asvin telah menguasai senjata sakti pemusnah bintang. Mereka sekarang sedang membawanya untuk menyerang Dravida. Tetapi Asvin telah disusupi dan penyusup itu berhasil mencuri dua senjata sakti pemusnah bintang yang tersisa. Rencananya senjata itu akan digunakan untuk menyerang Narapati.”
“Siapakah penyusup itu ?” Patih Naraphala begitu tertarik.
“Tidak ada yang mengenali mereka Gusti Patih. Tetapi seorang telik sandi pernah melihat sebuah pavaratha Sinar Avedi meluncur di sekitar pegunungan Himalaya sehari sebelum penyusupan itu.” Jawab Panglima Ambalat Raja.
“Sinar Avedi ? apakah mungkin mereka berada dibalik penyusupan ini ? apakah mereka masih melindungi kita ?” Patih Naraphala agak heran.
“Sebuah vailixi emas yang diduga membawa dua senjata sakti pemusnah bintang terlihat melintas di utara Khitai esok harinya. Kemudian jatuh di sekitar wilayah Hoa-Binh.” Panglima Ambalat Raja menambahkan.
“Tidak salah lagi, pasti Sinar Avedi telah turut campur dalam perang ini” Patih Naraphala makin yakin.
“Jangan mengambil kesimpulan dulu adik Naraphala, apa yang terlihat belum tentu seperti yang terjadi” Prabu Narayala mencoba menunda menarik kesimpulan. “Lanjutkan laporanmu panglima” Panglima Ambalat Raja melanjutkan laporannya.
“Sampai saat ini seluruh pasukan Narapati berjaga di perbatasan darat dan laut. Empat Pavaratha Induk Ki Salakanagara, Amartapura, Tisabamokha, Mandala Sura, telah ditempatkan di sepanjang perbatasan laut barat. Dravida tahu kalau kita sedang bersiaga. Sampai sekarang belum ada permintaan bantuan kepada Narapati. Tetapi kami telah menyampaikan pesan bahwa kami siaga membantu mereka jika diperlukan.”
“Sejauh mana sekarang perang berlangsung”
“Dravida masih menahan mereka di perbatasan utaranya. Himalaya sekarang menjadi ajang perang. Asvin terus mendesak, bahkan kekuatan yang mereka simpan untuk menyerang kita dikerahkan untuk membantu.”
“Saya usulkan agar mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada mereka segera” Menteri urusan lintas batas memberikan usul.
“Kita harus menahan diri sampai ada permintaan resmi dari Dravida. Aku tidak mau niat baik kita diartikan sebuah penyerbuan oleh mereka. Siagakan satu pavaratha induk penuh dengan bahan makanan dan pengobatan.”
“Pengungsi dari wilayah Bangla sudah mulai masuk ke Pagan. Semua pengungsi telah dibuatkan tenda-tenda darurat.”
Pertemuan yang sedang berlangsung serius tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan seorang prajurit yang setengah berlari tergopoh-gopoh. Semua yang hadir seketika terdiam dan menunggu apa yang akan disampaikan prajurit itu.
“Mohon maaf Gusti Prabu, hamba telik sandi yang ditempatkan di perbatasan Pagan-Bangla datang dengan sangat tidak memakai tata aturan.”
“Ada apa hingga kau harus berlarian seperti ini prajurit”
“Semula hamba hendak mencari Gusti Panglima Ambalat Raja, tetapi beliau dikatakan sedang berada di balairung. Hamba ada berita sangat penting untuk disampaikan mengenai perang di Dravida.”
“Sampaikanlah, kami disini sedang membahasnya”
“Terima kasih Gusti Prabu. Andakas dan Vrishnis hancur lebur Gusti. Asvin melepaskan senjata pamungkasnya setelah berhasil menerobos masuk wilayah Dravida. Kabar yang hamba dapat dari telik sandi sempat melihat, kedua kota itu rata dengan tanah. Badai api menghantam dengan cepat ke seluruh kota.”
Baru selesai sang telik sandi bercerita, seorang prajurit datang lagi dengan keadaan yang sama. Setelah menghaturkan sembah prajurit itu langsung bercerita.
“Mohon maaf Gusti Prabu, hamba datang dengan berita dari perang Dravida”
“Katakan Prajurit!”
“Seluruh wilayah terendam air karena seluruh sungai meluap tidak terkendali. Hampir seluruh kota pelabuhan Dravida sudah tenggelam.”
“Ada lagi yang hendak kau sampaikan prajurit ?” tanya Panglima Ambalat Raja. Kedua prajurit itu menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu kembalilah ke tempat tugasmu, jalankan kembali semua tugasmu dengan sebaik-baiknya” perintah Panglima Ambalat Raja. Kedua prajurit itu pamit mundur dari balai pertemuan. Tidak ada yang berani berkata-kata lagi. Semua menunggu Prabu Narayala berbicara. Setelah mendapatkan semua berita yang cukup akhirnya Prabu Narayala memberikan sabdanya.
“Aku telah bertemu dengan Sinar Avedi Agung Au Co. Aku mendapatkan petunjuk agar kita segera membuat perahu kehidupan. Perahu ini harus bisa menampung manusia, hewan dan bibit tumbuh-tumbuhan. Setiap kota kecuali Sunda Buana harus membuat sebuah perahu kehidupan dan harus mengungsikan semua penduduk hingga ketinggian yang sama dengan puncak Cakravartin.” Semua yang hadir terkejut dengan perintah Prabu Narayala. Hanya kota Sunda Buana yang tidak membuat perahu kehidupan. Tetapi Prabu Narayala tidak memberikan penjelasan lagi. Prabu Narayala berdiri meninggalkan tempat. Semua yang hadir memberikan sembah tunduk kepada titah Prabu Narayala. Pertemuan diakhiri.
---- *** ----
Di ujung teropong di ruang tukang mau tahu mata Pafi dan Gandrung sedang tekun mengikuti semua hal yang terjadi di balairung keraton.
“Hei balairung keraton sedang membahas perang di Dravida” Gandrung merapatkan matanya ke teropong. Pembicaraan serius terjadi di balairung.
“Apa yang mereka bicarakan ?” tanya Dimas
“Asvin sudah menyerang Dravida. Mereka juga membicarakan penyusup yang mencuri vailixi emas Asvin.”
Hidung Raji langsung membesar. “Apa lagi ? apa mereka mengenali penyusupnya ?”
“Tidak, mereka tidak mengenali penyusupnya. Mereka hanya tahu vailixi emas yang dicuri itu mendarat di wilayah Sinar Avedi di Hoa-Binh. Dugaan sekarang mengarah kepada Sinar Avedi.”
Semua hal yang terjadi di balairung secara bergantian di ceritakan oleh Pafi dan Gandrung. Tidak ada yang dilewatkan.
“Prabu Narayala mengatakan beliau sudah menemui Sinar Avedi Agung Au Co. Mengapa tidak ketemu kalian disana ?”
“Mungkin karena kita datang lebih dulu, dari semua laporan telik sandi mengenai adanya vailixi emas yang membawa dua senjata sakti pemusnah bintang, kelihatan Prabu Narayala tidak terkejut atau mengambil tindakan serius. Sepertinya beliau sudah tahu tentang senjata itu aman berada di Hoa-Binh.”
“Dimas betul, sepertinya Prabu Narayala tahu siapa penyusup itu, hanya saja Patih Naraphala kelihatannya belum tahu.”
“Tapi yang aneh kenapa Sinar Avedi Agung Au Co menyarankan Prabu Narayala membuat perahu kehidupan ? Padahal sebenarnya mereka tahu bukan itu yang bisa menyelamatkan Narapati dari kemusnahan.”
“Betul juga, kalau Sinar Avedi Agung Au Co memberikan naskah rahasia yang memberi kita petunjuk bagaimana menyelamatkan Narapati, pasti beliau juga tahu isinya.”
“Mungkin perahu kehidupan hanya sarana untuk mencapai gerbang naga dan garuda. Karena perjalanan darat nanti pasti tidak mungkin lagi ditempuh.”
“Bagaimana menempuhnya ? gerbang itu berada di laut selatan. Untuk kota-kota yang berada di laut barat dan utara harus masuk melalui sungai. Vieth, Angkorwat, Siam, Nutana harus melalui sunda besar utara hingga ke sunda besar selatan dan keluar di Rajatapura. Sedangkan Kutai dan Mandala Sura harus menempuh sunda besar selatan hingga Rajata Pura. Kalau Pagan, Andavantara dan Shinanok cukup melalui laut barat saja.”
Tidak, tidak begitu. Hanya Sembilan kota yang diperintahkan untuk membuat perahu kehidupan. Kota Sunda buana tidak.
Tidak mungkin. Bagaimana mungkin Prabu Narayala tidak membuatkan perahu kehidupan untuk ibukota Narapati.
Mungkin saja, karena gerbang naga dan garuda bukanlah seperti yang kita kira di gua Ngejungan. Seperti yang diceritakan sejarah gua Ngejungan adalah pintu keluar, berarti pintu masuknya di tempat lain, Sunda Buana.
Sunda Buana adalah gerbang naga dan garuda menuju dunia tengah. Jadi dimana gerbang itu berada ? Penemuan sekaligus pertanyaan baru yang muncul makin liar dibenar mereka semua. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung kini makin meyadari kalau usaha yang mereka lakukan masih sangat membutuhkan usaha dari tangan-tangan orang lain. Keberhasilan bukanlah dicapai sendiri, tetapi karena ada andil dan peran serta orang lain juga. Gerbang naga dan garuda tidak akan berarti tanpa perahu kehidupan. Apapun yang kita lakukan akan sama tidak berartinya jika dilakukan sendiri-sendiri. Kini semua usaha Narapati terpusat di Sembilan perahu kehidupan untuk sembilan kota. Dan usaha itu juga akan sangat tergantung pada usaha mereka mendapatkan Sembilan satuasra di Sembilan kuil di Sembilan kota. Waktu mereka untuk menemukannya hanya tinggal dua hari lagi, tapi kita belum juga belum dapat memecahkan arti lambang-lambang di dalam naskah.
“Baiklah aku ingin mendapatkan laporan kalian selama aku meninggalkan keraton.” Prabu Narayala meminta laporan dari semua menteri-menterinya.
“Asvin telah melakukan serangan kepada Dravida, sekarang sedang terjadi pertempuran di utara wilayah Dravida. Narapati telah siap menjaga semua perbatasan di utara baik yang berbatasan dengan Dravida maupun dengan Asvin.” Panglima perang Ambalat Raja memberikan keterangan.
“Apa yang memicu perang itu, ceritakan padaku keterangan apa yang sudah kau dapat dari telik sandimu, Ambalat Raja” tanya Prabu Narayala
“Baik Gusti Prabu. Asvin menuduh Dravida melakukan percobaan senjata yang membuat perubahan cuaca di lembah tarim dan menghancurkan pertanian mereka. Dravida menyangkal tuduhan itu dan menuduh balik Asvin yang berada di balik semua kerusuhan yang terjadi di wilayah mereka di Bangla.Menurut telik sandi, Asvin telah menguasai senjata sakti pemusnah bintang. Mereka sekarang sedang membawanya untuk menyerang Dravida. Tetapi Asvin telah disusupi dan penyusup itu berhasil mencuri dua senjata sakti pemusnah bintang yang tersisa. Rencananya senjata itu akan digunakan untuk menyerang Narapati.”
“Siapakah penyusup itu ?” Patih Naraphala begitu tertarik.
“Tidak ada yang mengenali mereka Gusti Patih. Tetapi seorang telik sandi pernah melihat sebuah pavaratha Sinar Avedi meluncur di sekitar pegunungan Himalaya sehari sebelum penyusupan itu.” Jawab Panglima Ambalat Raja.
“Sinar Avedi ? apakah mungkin mereka berada dibalik penyusupan ini ? apakah mereka masih melindungi kita ?” Patih Naraphala agak heran.
“Sebuah vailixi emas yang diduga membawa dua senjata sakti pemusnah bintang terlihat melintas di utara Khitai esok harinya. Kemudian jatuh di sekitar wilayah Hoa-Binh.” Panglima Ambalat Raja menambahkan.
“Tidak salah lagi, pasti Sinar Avedi telah turut campur dalam perang ini” Patih Naraphala makin yakin.
“Jangan mengambil kesimpulan dulu adik Naraphala, apa yang terlihat belum tentu seperti yang terjadi” Prabu Narayala mencoba menunda menarik kesimpulan. “Lanjutkan laporanmu panglima” Panglima Ambalat Raja melanjutkan laporannya.
“Sampai saat ini seluruh pasukan Narapati berjaga di perbatasan darat dan laut. Empat Pavaratha Induk Ki Salakanagara, Amartapura, Tisabamokha, Mandala Sura, telah ditempatkan di sepanjang perbatasan laut barat. Dravida tahu kalau kita sedang bersiaga. Sampai sekarang belum ada permintaan bantuan kepada Narapati. Tetapi kami telah menyampaikan pesan bahwa kami siaga membantu mereka jika diperlukan.”
“Sejauh mana sekarang perang berlangsung”
“Dravida masih menahan mereka di perbatasan utaranya. Himalaya sekarang menjadi ajang perang. Asvin terus mendesak, bahkan kekuatan yang mereka simpan untuk menyerang kita dikerahkan untuk membantu.”
“Saya usulkan agar mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada mereka segera” Menteri urusan lintas batas memberikan usul.
“Kita harus menahan diri sampai ada permintaan resmi dari Dravida. Aku tidak mau niat baik kita diartikan sebuah penyerbuan oleh mereka. Siagakan satu pavaratha induk penuh dengan bahan makanan dan pengobatan.”
“Pengungsi dari wilayah Bangla sudah mulai masuk ke Pagan. Semua pengungsi telah dibuatkan tenda-tenda darurat.”
Pertemuan yang sedang berlangsung serius tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan seorang prajurit yang setengah berlari tergopoh-gopoh. Semua yang hadir seketika terdiam dan menunggu apa yang akan disampaikan prajurit itu.
“Mohon maaf Gusti Prabu, hamba telik sandi yang ditempatkan di perbatasan Pagan-Bangla datang dengan sangat tidak memakai tata aturan.”
“Ada apa hingga kau harus berlarian seperti ini prajurit”
“Semula hamba hendak mencari Gusti Panglima Ambalat Raja, tetapi beliau dikatakan sedang berada di balairung. Hamba ada berita sangat penting untuk disampaikan mengenai perang di Dravida.”
“Sampaikanlah, kami disini sedang membahasnya”
“Terima kasih Gusti Prabu. Andakas dan Vrishnis hancur lebur Gusti. Asvin melepaskan senjata pamungkasnya setelah berhasil menerobos masuk wilayah Dravida. Kabar yang hamba dapat dari telik sandi sempat melihat, kedua kota itu rata dengan tanah. Badai api menghantam dengan cepat ke seluruh kota.”
Baru selesai sang telik sandi bercerita, seorang prajurit datang lagi dengan keadaan yang sama. Setelah menghaturkan sembah prajurit itu langsung bercerita.
“Mohon maaf Gusti Prabu, hamba datang dengan berita dari perang Dravida”
“Katakan Prajurit!”
“Seluruh wilayah terendam air karena seluruh sungai meluap tidak terkendali. Hampir seluruh kota pelabuhan Dravida sudah tenggelam.”
“Ada lagi yang hendak kau sampaikan prajurit ?” tanya Panglima Ambalat Raja. Kedua prajurit itu menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu kembalilah ke tempat tugasmu, jalankan kembali semua tugasmu dengan sebaik-baiknya” perintah Panglima Ambalat Raja. Kedua prajurit itu pamit mundur dari balai pertemuan. Tidak ada yang berani berkata-kata lagi. Semua menunggu Prabu Narayala berbicara. Setelah mendapatkan semua berita yang cukup akhirnya Prabu Narayala memberikan sabdanya.
“Aku telah bertemu dengan Sinar Avedi Agung Au Co. Aku mendapatkan petunjuk agar kita segera membuat perahu kehidupan. Perahu ini harus bisa menampung manusia, hewan dan bibit tumbuh-tumbuhan. Setiap kota kecuali Sunda Buana harus membuat sebuah perahu kehidupan dan harus mengungsikan semua penduduk hingga ketinggian yang sama dengan puncak Cakravartin.” Semua yang hadir terkejut dengan perintah Prabu Narayala. Hanya kota Sunda Buana yang tidak membuat perahu kehidupan. Tetapi Prabu Narayala tidak memberikan penjelasan lagi. Prabu Narayala berdiri meninggalkan tempat. Semua yang hadir memberikan sembah tunduk kepada titah Prabu Narayala. Pertemuan diakhiri.
---- *** ----
Di ujung teropong di ruang tukang mau tahu mata Pafi dan Gandrung sedang tekun mengikuti semua hal yang terjadi di balairung keraton.
“Hei balairung keraton sedang membahas perang di Dravida” Gandrung merapatkan matanya ke teropong. Pembicaraan serius terjadi di balairung.
“Apa yang mereka bicarakan ?” tanya Dimas
“Asvin sudah menyerang Dravida. Mereka juga membicarakan penyusup yang mencuri vailixi emas Asvin.”
Hidung Raji langsung membesar. “Apa lagi ? apa mereka mengenali penyusupnya ?”
“Tidak, mereka tidak mengenali penyusupnya. Mereka hanya tahu vailixi emas yang dicuri itu mendarat di wilayah Sinar Avedi di Hoa-Binh. Dugaan sekarang mengarah kepada Sinar Avedi.”
Semua hal yang terjadi di balairung secara bergantian di ceritakan oleh Pafi dan Gandrung. Tidak ada yang dilewatkan.
“Prabu Narayala mengatakan beliau sudah menemui Sinar Avedi Agung Au Co. Mengapa tidak ketemu kalian disana ?”
“Mungkin karena kita datang lebih dulu, dari semua laporan telik sandi mengenai adanya vailixi emas yang membawa dua senjata sakti pemusnah bintang, kelihatan Prabu Narayala tidak terkejut atau mengambil tindakan serius. Sepertinya beliau sudah tahu tentang senjata itu aman berada di Hoa-Binh.”
“Dimas betul, sepertinya Prabu Narayala tahu siapa penyusup itu, hanya saja Patih Naraphala kelihatannya belum tahu.”
“Tapi yang aneh kenapa Sinar Avedi Agung Au Co menyarankan Prabu Narayala membuat perahu kehidupan ? Padahal sebenarnya mereka tahu bukan itu yang bisa menyelamatkan Narapati dari kemusnahan.”
“Betul juga, kalau Sinar Avedi Agung Au Co memberikan naskah rahasia yang memberi kita petunjuk bagaimana menyelamatkan Narapati, pasti beliau juga tahu isinya.”
“Mungkin perahu kehidupan hanya sarana untuk mencapai gerbang naga dan garuda. Karena perjalanan darat nanti pasti tidak mungkin lagi ditempuh.”
“Bagaimana menempuhnya ? gerbang itu berada di laut selatan. Untuk kota-kota yang berada di laut barat dan utara harus masuk melalui sungai. Vieth, Angkorwat, Siam, Nutana harus melalui sunda besar utara hingga ke sunda besar selatan dan keluar di Rajatapura. Sedangkan Kutai dan Mandala Sura harus menempuh sunda besar selatan hingga Rajata Pura. Kalau Pagan, Andavantara dan Shinanok cukup melalui laut barat saja.”
Tidak, tidak begitu. Hanya Sembilan kota yang diperintahkan untuk membuat perahu kehidupan. Kota Sunda buana tidak.
Tidak mungkin. Bagaimana mungkin Prabu Narayala tidak membuatkan perahu kehidupan untuk ibukota Narapati.
Mungkin saja, karena gerbang naga dan garuda bukanlah seperti yang kita kira di gua Ngejungan. Seperti yang diceritakan sejarah gua Ngejungan adalah pintu keluar, berarti pintu masuknya di tempat lain, Sunda Buana.
Sunda Buana adalah gerbang naga dan garuda menuju dunia tengah. Jadi dimana gerbang itu berada ? Penemuan sekaligus pertanyaan baru yang muncul makin liar dibenar mereka semua. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung kini makin meyadari kalau usaha yang mereka lakukan masih sangat membutuhkan usaha dari tangan-tangan orang lain. Keberhasilan bukanlah dicapai sendiri, tetapi karena ada andil dan peran serta orang lain juga. Gerbang naga dan garuda tidak akan berarti tanpa perahu kehidupan. Apapun yang kita lakukan akan sama tidak berartinya jika dilakukan sendiri-sendiri. Kini semua usaha Narapati terpusat di Sembilan perahu kehidupan untuk sembilan kota. Dan usaha itu juga akan sangat tergantung pada usaha mereka mendapatkan Sembilan satuasra di Sembilan kuil di Sembilan kota. Waktu mereka untuk menemukannya hanya tinggal dua hari lagi, tapi kita belum juga belum dapat memecahkan arti lambang-lambang di dalam naskah.
No comments:
Post a Comment