Sunday, 17 February 2008

BAGIAN 6 - LEMBAH TARIM

Lereng dibawah gua begitu terjal, tidak mungkin langsung melompat. Paling tidak untuk aman harus mendarat di atas butiran putih salju di atasnya. Belum pernah Dimas maupun Raji merasakan lembutnya butiran salju yang putih bersih. Mereka telah berganti pakaian. Gandrung telah menyiapkan pakaian tebal yang biasa dipakai oleh bangsa Asvin.

“Sepertinya tidak sulit turun dari tempat ini.” Dimas melongok ke bawah tebing yang rapat tertimbun salju. Raji melompat ke dalam timbunan. Tangannya mengibaskan salju di depannya. Salju yang merupakan unsur air adalah mainan Raji. Salju yang didudukinya mengeras dan menjadi licin sehingga Raji langsung meluncur ke bawah dengan deras. Didepannya Raji terus membuka jalur. Dimas melihat sebuah saluran bekas Raji merosot di bawah kakinya. Tanpa berpikir lagi langsung duduk mengikuti yang dilakukan Raji. Dimas meluncur dengan deras di belakang Raji.

“Seharusnya Asvin lebih sering bermain dari pada berperang. Tempat ini menyenangkan sekali” Raji berteriak ke arah Dimas.

“Mungkin karena mereka tidak tahu ada mainan seperti ini, makanya mereka berperang.” Dimas berusaha menahan kecepatannya agar tidak menabrak Raji.

Jauh di bawah mereka di tengah sebuah padang pasir coklat keemasan terdapat bangunan-bangunan kerucut yang dilingkari oleh dinding. Dimas menduga pastilah itu kota Dropa dimana bangsa Asvin tinggal. Raji berhenti meluncur setelah tidak ada lagi salju di permukaan. Dimas tiba belakangan. Bajunya basah.

“Kurasa kita harus jalan kaki ke sana” Dimas menunjuk dimana kota Dropa berada. Udara dingin di lembah Tarim di hari yang belum lagi beranjak siang membuat seluruh tangan membeku. Raji meniupkan nafasnya melalui sela-sela tangan yang dirapatkan. Berharap udara hangat dari paru-parunya cukup menghangatkannya dari dari rasa beku. Kerudung tebal yang menutupi kepalanya cukup membantu menahan panas tubuhnya tetap berada di dalam.

Angin bertiup kencang di atas permukaan pasir yang begitu mudah luruh oleh pijakan. Setiap langkah, setiap jejak segera terhapus. Inilah satu-satunya permukaan bumi yang selalu menutup rapi jejak yang pernah dibuat di atasnya. Lengkungan permukaan bumi yang dibentuk oleh angin. Panas yang mulai meninggi menimbulkan ilusi fatamorgana di udara. Benda seolah bergerak meliuk-liuk seperti bayangan air. Dimas berusaha bertahan, terkadang butiran-butiran pasir terbang menerpa wajahnya. Kota Dropa adalah kota yang terletak di tengah lembah Tarim. Kota ini sebenarnya bukan kota yang dibangun bangsa Asvin. Bangsa Tarim adalah pembangun aslinya. Asvin merebutnya dari bangsa Tarim setelah melalui perang berdarah yang memusnahkan seluruh bangsa Tarim tanpa tersisa. Bangsa Asvin sebelumnya tinggal di barat laut lembah dan sangat miskin. Tidak ada yang tahu persis bagaimana bangsa Asvin bisa memiliki kemampuan perang hingga bisa merebut wilayah-wilayah tetangganya. Kerasnya alam mungkin membuat mereka menjadi begitu tidak mengenal ampun.

Kota Dropa dikelilingi oleh benteng yang tinggi berbentuk segi empat. Dinding yang tebal dan bentuk yang kokoh menunjukan pembuatnya adalah bangsa yang pintar, tetapi bukan Asvin. Jarak Dimas dan Raji dengan pintu gerbang kota Dropa tidak terlalu jauh. Dimas dan Raji terus berbicara mencari cara masuk ke dalam kota Dropa. Tiba-tiba sebuah gerobak terlihat terperosok ke dalam sebuah lubang. Seorang anak kecil berusaha bersusah payah menarik hewan penariknya yang sudah begitu kelelahan berusaha. Tetapi tubuhnya terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran gerobak dan muatannya. Hewan penarik gerobaknya pun sudah kelihatan menyerah. Dimas melihat kesempatan baik untuk memasuki kota. Pastilah orang itu akan membawa barangnya ke dalam kota.

“Raji aku rasa menemukan jalan masuk ke dalam kota. Ayo kita bantu orang itu !.” Dimas setengah berlari menuju gerobak di depannya. Raji mengikutinya.

“Aku harap kita tidak mendorongnya hingga ke dalam kota” Raji terengah-engah. Lelah bercampur sulitnya mendapatkan nafas di udara yang tipis makin menguras tenaganya. Kepalanya mulai terasa agak pusing. Orang itu melihat Dimas dan Raji berlari menghampirinya. Wajahnya tersenyum gembira akan mendapatkan bantuan. Tanpa bicara lagi Dimas dan Raji membantu mendorong gerobak sementara orang itu berusaha menarik hewan penarik gerobaknya untuk bergerak. Setelah beberapa kali berusaha akhirnya roda gerobak itu berhasil terbebas dari lubang. Orang itu kemudian menghampiri Dimas dan Raji memberikan salam sambil membungkuk hingga berkali-kali. Dimas dan Raji teringat cara berterima kasih orang Cina sewaktu di Jogjakarta. Mereka berdua menirukan gayanya. Tidak jelas apakah orang itu laki-laki atau perempuan. Pakaian yang tebal dan rapat juga kerudung yang menutup kepalanya mengaburkan semuanya.

Kemudian orang itu mengajak bicara, bahasa asing terdengar di telinga Dimas dan Raji. Tak pernah terpikir oleh mereka sebelumnya bagaimana mereka berkomunikasi jika sudah berada di dalam kota Dropa. Dimas hanya menggunakan bahasa isyarat menunjuk ke arah kota Dropa. Tampaknya orang itu mengerti. Kemudian menyuruh Dimas dan Raji naik ke atas belakang gerobaknya yang masih kosong. Orang itu sendiri naik di depan gerobak dan menarik tali kekangnya memerintahkan hewan penarik untuk berjalan. Gerobak berjalan lambat di atas jalan yang tidak rata. Diantara dataran pasir di sekitaranya, jalan yang mereka lalui sudah menjadi lebih padat. Jalan itu adalah satu-satunya jalan dari arah mereka datang. Dua jalur lain datang dari kiri dan kanan dan bertemu di tengah-tengah persis di depan gerbang kota. Sepanjang jalan orang it terus berbicara bercerita sesuatu yang tidak dimengerti oleh Dimas maupun Raji. Tapi Dimas terus mendengarkan apa yang dibicarakan orang itu dengan cermat. Satu per satu bahasa itu mulai dimengerti. Seperti saat mendengarkan Gandrung membacakan naskah Bangsa Sinaravedi, Dimas melakukan cara belajar yang sama. Raji tak heran kalau Dimas dalam waktu singkat langsung bisa berbicara dengan bahasa orang itu. Sesekali Dimas menimpali apa yang dikatakan oleh orang itu. Mendapatkan tanggapan orang itu makin semangat bercerita. Sedangkan Raji malah makin kebingungan.

Gerobak akhirnya tiba di depan gerbang kota Dropa. Empat orang Prajurit berjaga di depan gerbang yang pintunya selalu terbuka. Melihat ada yang aneh dari semua orang yang sekarang sedang berada di depan gerbang itu. Semuanya berukuran tinggi yang sama dengan orang pemilik gerobak yang sekarang mereka sedang tumpangi. Mungkinkah mereka semua anak kecil ? Mereka semua tidak lebih tinggi dari anak usia 13 tahun. Seusia Dirinya dan Raji.Raji mulai berbisik-bisik yang membuat Dimas khawatir suaranya akan terdengar oleh orang-orang itu. Dimas mengingatkan Raji agar berhati-hati.

Dua gerobak di depan sedang menjalani pemeriksaan oleh prajurit yang lain. Kemudian tanpa kesulitan mereka diperbolehkan lewat. Para prajurit selalu menanyakan pertanyaan standar – hendak kemana ? – membawa apa – berapa lama – tinggal dimana ? – yang selalu ditanyakan kepada semua yang datang. Gerobak yang ditumpangi Dimas dan Raji tiba pada pemeriksaan. Orang pemilik gerobak itu berbicara pada prajurit dan membiarkan prajurit yang lain membuka muatannya. Dimas dan Raji diam saja tak bersuara. Satu prajurit bertanya pada Raji. Raji gugup dan berusaha tidak menjawab. Prajurit itu bertanya sekali lagi. Dimas melihat penyamaran mereka akan terungkap jika tidak segera melakukan sesuatu. Orang pemilik gerobak mengatakan bahwa mereka berdua adalah keponakannya yang akan membantunya. Dimas segera menjawab.

“Dia tidak bisa mendengar, dia bisu sejak kecil” Dimas menjawab sambil membuat isyarat tangannya. Kemudian dengan isyarat tangannya membuat pertanyaan kepada Raji. Raji langsung mengerti dan menjawabnya dengan isyarat yang sama dengan suara yang sedikit tertahan seperti orang bisu. Prajurit itu tak lagi melanjutkan pertanyaan. Matanya menatap tajam kepada Dimas tanpa lepas hingga gerobak diperbolehkan masuk. Orang pemilik gerobak begitu senang. Mulutnya mulai bercerita lagi mengenai situasi akhir-akhir ini yang makin sulit di kota Dropa. Dropa mengalami musim kering yang panjang. Banyak pertanian yang gagal panen karena banyak hama yang disebar oleh bangsa Dravida. Dravida menurut mereka adalah raksasa yang rakus. Mereka berukuran dua kali dari bangsa Asvin tetapi mereka sangat jahat dan suka menangkap bangsa Asvin untuk mereka jadikan mainan. Dimas terus mendengarkan apa yang diceritakan oleh orang itu. Gerobak tiba-tiba berhenti, orang itu mengatakan kalau tujuan dia sudah sampai. Dia bilang kalau akan segera menurunkan barang-barangnya. Dimas mengucapkan terima kasih dan berpisah. Orang itu memberikan mereka berdua sebungkus besar roti gandum yang langsung diterima dengan semangat oleh Raji. Di dalam situasi seperti ini gerakan tangan sapu jagat Raji terasa lebih mematikan. Raji memasukan makanan itu ke dalam kantong bekalnya.

Dimas dan Raji berjalan kaki menyusuri jalan utama yang langsung menuju kuil piramida paling besar tepat di tengah kota. Ramai orang-orang seukuran dengannya berjalan lalu lalang. Tak ada yang peduli dengan kehadiran mereka berdua. Tinggi Dimas dan Raji serupa dengan mereka sehingga tidak menimbulkan banyak perhatian. Dimas dan Raji terus berjalan menuju tengah kota dimana ribuan orang tengah berdiri berkumpul di depan kuil. Dimas dan Raji segera bergabung dengan kerumunan.

“Apa yang sedang mereka lakukan ?” Raji sudah tidak tahan dengan kebisuannya. Tak mengerti apa yang terjadi dengan sekelilingnya membuat Raji seperti berada dalam kamar sempit dan gelap. Kali ini dia memaksa Dimas untuk menerjemahkan semua yang didengarnya.

“Ada pengumuman besar dari Raja.” Dimas terus berusaha mendengarkan percakapan-percakapan yang terjadi disekelilingnya. Tangga yang lebar menjulang hingga ke bagian tengah yang sepertinya berupa altar yang sering digunakan untuk melakukan upacara pemujaan. Seorang berpakaian megah muncul di bagian tengah pyramid kemudian berhenti di depan altar. Semua suara berhenti serentak saat orang itu mengangkat kedua tangannya. Sunyi senyap, angin yang silir menggantikan hening cipta menunggu sang pemimpin berbicara.

“Wahai Bangsa Asvin kalian telah dipilih Sang Isvarah untuk memimpin dunia ini. Kalian bangsa paling unggul, pejalan bintang telah menyampaikannya kepada kita. Bukti bahwa kalian adalah yang terpilih, kita mendapatkan pengetahuan bintang yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia ini. Sang Isvarah telah menentukan hari dimana dunia harus siap menerima pemimpin barunya. Bagi yang tidak mau tunduk maka hukuman akan dijatuhkan. Hari ini Sang Isvarah telah memutuskan untuk menghukum Dravida. Kita telah dipercaya untuk menjalankannya. Berangkatlah para pahlawan Asvin, jalankan tugas suci ini. Untuk kejayaan Asvin……..!” Selesai Raja Asvin memberikan pidatonya ratusan wahana terbang mengangkasa dari belakang kuil. Wahana berbentuk lonjong berwarna hitam itu terus mengangkasa. Sebuah wahana berwarna keemasan yang berbeda dari yang lainnya berada pada barisan paling tengah. Teriakan dan sorakan semua yang hadir di depan kuil menyaksikan wahana yang terbang. Dimas dan Raji begitu terkejut melihat semuanya berlangsung begitu cepat. Raji terus bertanya apa yang terjadi.

“Mereka akan menyerang Dravida sekarang. Para penduduk ini berbisik-bisik mengenai tiga senjata sakti pemusnah bintang yang telah dibuat untuk perang ini. Senjata itu bisa menghancurkan satu kota dalam sekejap. Saat ini salah satunya telah dibawa dalam wahana keemasan itu untuk menyerang Dravida. Mereka menyebutnya Vailixi” Dimas menunjuk wahana yang paling besar berwarna keemasan yang bergerak memimpin paling depan.

“Sepertinya kita sudah terlambat. Apa yang harus kita lakukan sekarang ?”

“Belum terlambat Raji, mungkin untuk Dravida kita hanya bisa berdoa agar mereka bisa mengagalkannya. Tapi kita masih punya harapan untuk Narapati”

“Maksudmu yang dua sisanya ?”

“Ya, akan digunakan untuk menyerang Narapati.”

“Menyerang Narapati ! Celaka, kita harus kembali sekarang memperingatkan Narapati?”

“Tidak Raji, kalau kita memperingatkan mereka artinya kita membiarkan dua senjata sakti pemusnah bintang itu diberangkatkan menuju Narapati. Tidak, kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi Raji. Kita harus mencurinya dan membuangnya jauh-jauh.”

“Mencurinya ? Kau gila, Kemana kita akan mencarinya, pasti mereka menyimpannya di tempat yang dijaga sangat ketat. Dan aku yakin benda itu sebesar kerbau untuk bisa menghancurkan satu kota kan?”

“Kita sudah gila sejak awal kita rencakan datang ke tempat ini. Aku pikir sedikit lebih sinting tidak akan merusak masa depan kita” Dimas tersenyum

“Yeah, kau untuk jadi lebih sinting, aku ikut lah. Tapi dimana mereka menyimpannya ?”

“Mereka menyimpannya di dasar kuil”

“Kau yakin ?”

“Ya, aku membacanya dari kepala Raja Asvin”

Raji tersenyum senang, dia lupa kalau saja sahabatnya yang satu ini mau dia bisa membaca semua pikiran orang-orang yang sekarang sedang berkumpul di depan kuil ini.

“Bagaimana caranya kita mengambil benda sialan itu”

“Aku juga tidak tahu, kita pikirkan saja nanti. Aku sudah lapar sekali.”

“Ah, iya aku sampai lupa makan siang kita”

Dimas tertawa mendengar Raji berkata seperti itu. Biasanya Raji punya weker perut yang paling tepat waktu. Mereka berdua menepi ke pinggir jalan yang sedikit dipayungi oleh pohon kering tanpa daun. Raji membuka bekalnya juga menyodorkan roti gandum pemberian orang yang mereka tolong.

Malam sangat jauh berbeda dengan siang yang sangat panas. Udara dingin menusuk tulang lebih hebat dari yang Dimas dan Raji rasakan sewaktu di lereng gunung. Dimas dan Raji mendapatkan tempat untuk menginap. Gorong-gorong. Raji menggerutu tidak ada habisnya.

“Kenapa harus gorong-gorong lagi ?”

“Kita tidak punya mata uang Asvin untuk menyewa penginapan. Lagi pula kalau kita menginap pasti kita akan dikenali sebagai orang luar. Gorong-gorong aku rasa tempat yang paling aman. Lagi pula di sini hangat. Walaupun….bau.”

“Maafkan aku, aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya mengeluarkan unek-unek saja.”

Mereka mendapatkan tempat kering. Gorong-gorong itu tampaknya bukan tempat pembuangan limbah rumah tangga. Tetapi saluran air persediaan yang dialirkan dari mata air pegunungan ke bawah kota. Saluran air itu mengaliri melewati seluruh rumah-rumah penduduk dan menjadi suplai air bersih seluruh kota. Kota ini mengamankan persediaan air mereka tetap bersih, dan tidak menguap akibat terik matahari. Sementara limbah dialirkan pada saluran-saluran permukaan yang terbuka.

“Sepertinya saluran air ini mengalir ke seluruh kota” Dimas mengamati jalur-jalur gorong-gorong yang berbelok-belok dan ada persimpangan.

“Seperti di Sunda Buana maksudmu ?”

“Yah, persis seperti Sunda Buana”

“Cuma disini tidak sebau di Sunda Buana.”

“Karena ini sebenarnya bukan tempat membuang limbah. Ini adalah saluran air bersih. Kebutuhan disini berbeda dengan Sunda Buana. Kota ini memerlukan cadangan air yang cukup sepanjang tahun termasuk saat musim panas. Saluran terbuka tidak akan menyimpan cukup lama, karena pasti akan menguap saat matahari terik. Karena itu mereka membuatnya di bawah tanah. Berbeda dengan Sunda Buana yang membutuhkan saluran terbuka untuk sarana transportasi sehingga harus membuat saluran limbahnya di bawah tanah. Kota ini tidak membutuhkan transportasi air, karena mereka tidak memiliki banyak air.”

“Lalu sekarang kenapa saluran ini menjadi begitu penting kita bahas. Saluran ini tidak akan membawa kita ke dasar kuil”

“Salah, kau salah Raji. Saluran ini justru akan mengantar kita ke dasar kuil dimana senjata itu disimpan.”

Raji mengernyitkan dahinya tak percaya apa yang dikatakan Dimas. Tapi matanya melihat wajah Dimas yang begitu yakin. Akhrinya Raji menyerah. Tanpa buang waktu mereka berjalan menyusuri gorong-gorong itu.

“Gorong-gorong ini tinggi, artinya kita berada di jalan utama. Kalau kita terus ikuti gorong-gorong ini maka kita akan sampai tepat di bawah kuil.” Dimas menunjuk arah yang dimaksud.

Dimas memulai langkahnya diikuti langkah Raji. Gorong-gorong itu termasuk besar. Semua hal yang berada di Kota Dropa kelihatan terlalu besar untuk ukuran bangsa Asvin. Dimas berpikir pastilah bangsa Tarim juga berukuran normal seperti manusia biasa. Dimas dan Raji tanpa kesulitan bergerak di dalam gorong-gorong. Cahaya purnama yang menyorot masuk dari atas di setiap beberapa langkah tidak cukup memberikan penerangan. Dimas yang berada di depan beberapa kali harus tersandung. Mereka pun berjalan lambat. Beberapa saluran yang bercabang dari saluran utama kelihatan lebih kecil. Bahkan Dimas harus merangkak jika ingin memasukinya. Saluran-saluran yang lebih kecil itu bergerak di bawah rumah-rumah penduduk. Membutuhkan waktu yang lama untuk berjalan di tempat yang hanya dengan sedikit penerangan.

“Jika perhitunganku tidak salah, kita sudah berada tepat di bawah kuil.” Dimas meraba dinding di sebelahnya. Berusaha mendengarkan suara-suara di baliknya. Raji melihat aliran air yang bergerak. Dia sangat tahu sifat air. Matanya terus mengamati kemana air itu bermuara.

“Air ini bergerak lebih tenang tetapi kuat sekali. Semua air ini bermuara pada sebuah tempat yang besar.” Kata Raji.

“Tidak mungkin ada lubang besar di bawah kuil ini. Bangunan ini bisa ambruk kalau pondasinya kosong.”

“Tidak, air ini masih terus melewati dasar kuil. Aku merasakan ada air dalam jumlah yang sangat besar di depan sana” Raji menunjuk ke arah yang lebih dalam.

“Ayo kita kesana” Raji bergerak lebih dulu

Sebuah suara berdebum layaknya air terjun makin lama terdengar makin keras. Sebuah titik cahaya di ujung lorong kelihatan begitu terang. Kelihatannya lorong itu berujung di sebuah tempat yang sangat terang. Dimas dan Raji terus berjalan menyusuri lorong. Sesampai di ujung lorong, sebuah ruangan bundar yang sangat besar persis seperti ruangan penyimpan pavaratha. Air dari dalam lorong mengalir jatuh ke dasar ruangan itu. Sebuah wahana berkilau keemasan memantulkan semua cahaya yang ada ke seluruh ruangan bergantung di atas sebuah jembatan lengkung yang melintang ditengah ruangan. Tidak mungkin bagi Dimas dan Raji untuk mencapainya. Jaraknya terlalu jauh. Ratusan pekerja sedang sibuk mengangkut banyak hal untuk dimasukan ke dalam wahana.

“Lihat Vailixi emas yang persis sama yang tadi diberangkatkan untuk menyerang Dravida. Pastilah yang ini akan digunakan untuk menyerang Narapati.” Dimas menunjuk wahana keemasan di seberang mereka.

Dua orang pekerja datang dengan berteriak-teriak membawa sebuah benda bulat selebar rentangan lengan orang dewasa di atas gerobak dorong. Pekerja-pekerja lain mengerti dan menyingkir memberikan jalan. Benda berwarna emas itu di dorong masuk ke dalam vailixi emas.

“Senjata sakti pemusnah bintang!”

“Itu satu lagi sedang didorong” Raji menunjuk dua orang pekerja lain yang datang belakangan membawa benda yang sama sambil berteriak-teriak.

“Dua buah, berarti pas”

“Bagaimana kita mengangkatnya. Kau lihat sendiri satu saja harus di dorong berdua. Apakah kita akan dorong benda itu sampai ke gua tempat kita menyimpan pavaratha ?”

“Tidak Raji, kita akan curi bersama vailixi nya”

“Memangnya kau bisa membawa benda itu ?”

“Tidak sih, tapi kita kan tidak terlalu sulit membawa pavaratha saat pertama kali”

“Ayolah, kau nyalakan benda ini, tapi begitu berada di udara biarkan aku yang mengemudikannya” Dimas mengangguk setuju. Raji senang sekali.

“Sekarang bagaimana caranya kita menyebrang ke sana”

“Aku akan buat jembatan”

“Aku akan melindungimu kalau para pekerja itu mereka menyerang”

“Baiklah, kau sudah siap ?” Dimas mengangguk menggangguk. Dimas menepi berkonsentrasi pada para pekerja. Kedua tangan Raji mendorong ke depan. Air yang mengalir di bawah kaki mereka meluncur dengan deras kemudian membeku diudara. Disusul lagi air berikutnya hingga membentuk jembatas es hingga ke depan vailixi emas. Raji berlari melintasi jembatan es buatannya disusul Dimas. Kepanikan pecah di tengah para pekerja yang berhamburan. Beberapa prajurit jaga merangsek berusaha mencegah Raji sampai di jembatan. Senjata terarah ke depan Raji melontarkan sinar merah dengan cepat. Dimas yang sudah siap mengibaskankan tangannya membentuk perisai gaib. Sinar merah itu terpantul balik. Para prajurit itu belingsatan menghindari serangan mereka yang berbalik arah. Raji dengan cepat meluncurkan tali air mengikat para prajurit itu dengan es. Beberapa prajurit mulai berdatangan. Raji menarik lagi air dari dalam gorong-gorong lalu menutup jembatan dengan dinding es.Dimas mendapatkan ruang bergerak masuk ke dalam vailixi emas. Sinar merah meluncur mengincar. Suara ledakan terdengar di balik dinding es. Bongkahan es yang hancur berantakan terlontar tak beraturan. Raji menarik kembali air kemudian melapisi permukaan jembatan dengan es. Kemudian Raji masuk ke dalam vailixi emas. Dimas telah duduk di depan pengendali kemudi.

“Cepat tutup pintunya” Teriak Raji. Dimas menekan semua tombol yang ada didepannya. Walaupun mengerti bahasa Asvin, tetapi Dimas tidak pernah melihat tulisannya. Semua tombol dengan aksara-aksara asvin bertebaran di meja kendali. Pintu tak mau tertutup juga. Prajurit asvin berhasil menerobos dinding es yang sudah hancur berantakan. Tetapi lantai jembatan yang telah dilapisi es oleh Raji membuat jalan menjadi licin. Beberapa terpeleset dan jatuh dari jembatan. Raji mulai tidak sabar menunggu pintu ditutup. Tangan kemudian bergerak menarik air dari gorong-gorong kemudian menutup pintu wahana itu dengan dinding es. Untuk sementara mereka aman berada di dalam.

“Bagaimana ? kau sudah bisa menerbangkan benda ini ?” Raji terengah-engah

“Aku sedang melakukannya”

“Cepatlah kita tidak punya banyak waktu”

“Sebentar lagi”

Suara keras terdengar, wahana itu bergetar. Perlahan tubuhnya naik melayang di udara.

“Kita berhasil.” Kata Dimas

Sesaat kemudian getaran makin halus dan suara makin tinggi. Dimas menarik tuasnya. Wahana itu mengangkat dengan cepat hingga menabrak atap pelindung hingga jebol. Dalam sekejap wahana itu telah keluar dari ruangan. Beberapa prajurit asvin berusaha menembakan senjatanya, tetapi sinar merah yang meluncur seperti terserap masuk ke dalam tidak menimbulkan kerusakan apapun. Dimas menarik tuasnya sekuat tenaga dan vailixi emas bergerak cepat meninggalkan kota Dropa. Raji kemudian mengambil alih kemudi membawa wahana itu ke timur.

(Diambil dari www.10000BCmovie.com gambar yang paling mendekati gambaran bagian ini)

No comments: