Gandrung punya gagasan lain. Dia mengajak semua keluar dari Ruang Tukang Mau Tahu. Kembali lagi menyusuri gorong-gorong di bawah kota Sunda Buana. Tetapi kali ini Gandrung mengajak mereka masuk lebih dalam. Dimas, Raji dan Pafi bertanya-tanya apa yang akan ditunjukan Gandrung pada mereka.
“Aku dilarang ibu memberitahukan tempat ini kepada siapapun. Kalau sampai beliau tahu, pasti aku kena marah. Jadi ku harap kalian juga tidak memberitahukan siapapun, termasuk ibuku yah.” Gandrung terus berjalan lurus dari tempatnya keluar dari Ruang Tukang Mau Tahu. Kemudian mereka berbelok ke kiri dan turun lebih dalam mengikuti anak tangga yang menurun ke bawah. Dalamnya tidak dapat dipastikan oleh Dimas. Yang dirasakannya hanya berbelok ke kiri beberapa kali pada jarak tangga turun yang sama. Makin ke bawah makin terasa gelap dan dingin. Satu-satunya penerangan yang membantu mereka bisa menginjak anak tangga yang benar adalah cahaya yang menerobos masuk persis di atas tangga. Kemudian mereka tiba di sebuah ruangan bundar. Gandrung menekan satu per satu lambang-lambang bahasa Bangsa Sinaravedi yang terdapat di dinding. Sesaat kemudian sebuah lubang bundar sempurna terbuka di depannya. Cahaya obor menerobos masuk dari dalam ruangan. Di dalam ruangan berbentuk bundar seperti lorong itu obor-obor berbaris pada dinding kiri dan kanan seperti membentuk sebuah jalur. Kemudian mereka mengikuti lorong tersebut hingga tembus pada sebuah ruangan yang sangat besar. Ruangan dengan bentuk bundar sempurna ke bawah dengan kedalaman jurang yang tidak bisa lagi dilihat dasarnya. Ke atas dengan bentuk kubah setengah bulatan hingga setinggi hampir sama dengan tinggi kuil Cakravartin. Di ujung lorong terdapat sebuah jalan bercabang lima yang hanya cukup untuk 2 orang berjalan menuju tengah ruangan. Sedikit saja mereka terpeleset maka akan jatuh ke dalam jurang di bawahnya.
“Kita sekarang berada di Graha Pavaratha. Kau lihat itu, itu adalah Pavaratha Rudra yang dibuat oleh para Bangsa Sinaravedi untuk mengamankan kota Sunda Buana. Wahana itu sengaja disembunyikan dan tidak pernah dipakai saat para Bangsa Sinaravedi pergi meninggalkan Sunda Buana. Tiap Pavaratha Rudra hanya bisa memuat dua orang, satu pengemudi dan satu pembaca petunjuk. Aku belum pernah mencobanya, karena untuk menaikinya harus ada 2 orang. Kalau tidak ada maka dia tidak akan mau terbang.” Gandrung menjelaskan 5 buah benda yang bertengger di atas 5 cabang jalan di depan mereka.
“Bagaimana cara mengendarainya ?” tanya Raji.
“Mudah, kau hanya perlu menyebut saja tujuanmu dalam bahasa Bangsa Sinaravedi maka dia akan terbang dengan sendirinya. Kalau kau mau melakukan sesuatu maka kau tinggal menyebutnya saja. Misalnya kau ingin wahana tidak terlihat, maka kau harus menyebutkan mantranya. Dan itu artinya kau harus menguasai bahasa Bangsa Sinaravedi.” Jawab Gandrung. Raji tampak kecewa sekali, sadar kalau tidak mengerti bahasa Bangsa Sinaravedi sama sekali membuatnya kehilangan kesempatan bermain-main dengan benda ajaib itu.
“Kalau kau ingin mempelajarinya, kau bisa memintanya untuk menunjukan naskahnya saja. Tetapi ada hal yang tidak bisa kau minta dari wahana itu. Kau tidak bisa meminta wahana itu menembak wahana sejenisnya. Karena wahana itu telah disihir untuk tidak saling menyerang sesamanya, tetapi kau bisa mengubahnya dengan memerintahkannya untuk bekerja dibawah kendalimu. Artinya kau harus hafal tombol-tombol yang diperlukan untuk melakukan perintah-perintah mantra.” Kata Gandrung lagi.
“Berapa kecepatannya ?” tanya Dimas.
“Kalau dari kota Sunda Buana ke Rajatapura, kau bisa menempuhnya dengan kecepatan tertinggi dalam waktu lima sastih.” Jawab Gandrung.
“Lima sastih ?” Raji kebingungan. “Lima menit” kata Dimas. Raji dan Pafi mengangguk mengerti.
“Pavaratha Rudra buatan Bangsa Sinaravedi adalah wahana terbaik yang belum bisa ditandingi oleh siapapun. Vimana Dravida adalah wahana yang belum berumur 200 tahun. Bahkan Pavaratha Narapati yang masih di bawah kemampuan Pavaratha Rudra Bangsa Sinaravedi jauh lebih maju dari pada Vimana Dravida.” Gandrung menjelaskan.
“Kita bisa coba sekarang!” Dimas mengajak untuk mencoba wahana.
“Eh, jangan dulu! Kita tidak bisa mendekati wahana itu begitu saja. Semua telah di jaga dengan sihir. Kalau kau melewatinya tanpa menyebutkan mantra pembukanya, kau akan terlempar kalau beruntung.” Gandrung mencegah Dimas.
“Ambianshaka Guru Pavaratha.” Kilatan cahaya biru tampak sekejap saat Gandrung mengucapkan mantranya.
“Apa artinya ?” Tanya Pafi.
“Bersinarlah Pencipta Pavaratha” Dimas membisikan jawabannya.
“Sekarang sudah terbuka ayo kita ke sana.” Mereka membagi dua. Dimas bersama Raji, Gandrung bersama Pafi. “Tempelkan saja telapak tangan kalian, nanti pavaratha itu hanya akan mengenali saja untuk bekerja.” Gandrung meneriakan cara penggunaannya. Dimas dan Raji melekatkan telapak tangan kanannya ke bagian samping wahana. Kulit yang terasa kasar seperti sisik dengan warna abu-abu tua langsung memberikan reaksi. Suara mendengung terdengar dari dalam badan wahana. Beberapa titik cahaya muncul termasuk ruang duduk pengendalinya. Wahana berbentuk ikan pari itu melayang naik setinggi betis. Kaca penutup ruang pengendalinya terbuka.
“Pakailah pakaian khusus itu agar dampak gaya Gurutwa bisa diperkecil.” Gandrung berteriak lagi sambil mengenakan pakaiannya sendiri
“Apa lagi Guru tua ?” tanya Raji.
“Gurutwa, Gaya tarik bumi” Jawab Dimas singkat. Raji pura-pura mengerti penjelasan singkat Dimas. Pikirannya masih menerka-nerka apa yang dimaksud dengan gaya tarik bumi. Apakah bumi begitu menariknya sehingga harus bergaya segala ? Tapi kemudian tak dipikirkannya lagi. Dimas dan Raji mengenakan pakaian kemudian naik ke dalam wahana. Dimas mengambil bagian duduk di kanan sedangkan Raji di kiri. Wahana kemudian mengeluarkan suara dalam bahasa Bangsa Sinaravedi.
“apa katanya ?” tanya Raji. “Kenakan sabuk pengikat” Dimas mencari-cari apa yang dimaksud dengan sabuk pengikat.
“Dimana para Bangsa Sinaravedi meletakan sabuk pengikat ?” Raji mencari-cari benda yang dimaksud Dimas.
“Ini dia” Tangan kemudian mendapatkan tali pengikat yang disilangkan di depan dadanya. Begitu tali terikat terdengar lagi suara dari wahana. Dimas menerjemahkan lagi setiap suara yang keluar dari wahana agar Raji mengerti maksudnya. Kaca penutup ruang pengendali tertutup. Wahana mulai bergerak naik dan dengan kecepatan yang sedang bergerak menembus sebuah lorong bundar di dinding ruangan.
“Wow, akhirnya kita bisa terbang” Raji begitu kegirangan. Sesaat terasa gelap dan hanya cahaya di dalam ruang kendali yang memberikan cahaya. Di hadapan Raji sinar yang membentuk garis-garis bentuk sebuah ruangan dimana sebuah titik berkelap-kelip bergerak menyusuri sebuah saluran diantara banyak saluran. Mata Raji berputar-putar mengikuti lambang-lambang yang bermunculan di layarnya.
“Waduh apa ini ?” Raji kebingungan.
“Kau harus menghafalkannya Raji.” Kata Dimas
Tak lama kemudian sebuah cahaya terlihat di depan dan wahana meluncur makin cepat hingga akhirnya keluar menembus angkasa sore. Sekejap wahana itu sudah mengangkasa menembus awan diikuti satu wahana yang lain yang ditumpangi oleh Gandrung dan Pafi. Matahari sore yang kuning kemerahan begitu bulat sempurna menggantung di awan. Dimas dan Raji berteriak kegirangan merasakan terbang dengan kecepatan tinggi. Setelah beberapa saat berada di udara, kemudian terbang rendah menyusuri sungai Sunda Besar Utara.
“Dimas, kita tidak boleh terlalu lama berada di udara, karena wahana kita akan terlacak oleh pelacak udara kerajaan.” Suara Gandrung terdengar di dalam wahana yang sedang dikemudikan Dimas.
“Baiklah kita kembali sekarang.” Dimas memutar kembali arahnya kembali ke Graha Pavaratha. Dalam waktu yang singkat mereka telah kembali berada di dalam ruangan besar penyimpan pavaratha kemudian meninggalkan Graha Pavaratha.
“Besok aku dan Raji akan berangkat pagi-pagi.” Kata Dimas.
“Kami akan melanjutkan penyelidikan, aku akan menambah daftar orang yang patut kita awasi.” Kata Pafi.
“Sebenarnya aku ingin sekali ikut ke negeri Asvin.” Gandrung agak sedih tidak mendapatkan kesempatan bertualang.
“Kau tidak boleh melakukannya Gandrung, Ayah dan Ibumu akan mencarimu. Dan aku tidak akan mempunyai jawaban untuk mereka. Kita pasti akan melakukannya nanti.” Kata Pafi menghibur Gandrung.
“Oh ya, jawaban apa yang akan kalian berikan kalau Ayah Gandrung menanyakan keberadaan kami ?” tanya Raji.
“Aku akan bilang kalian pergi mengunjungi teman di desa lain.” Jawab Pafi.
“Baiklah berarti kita semua sudah punya rencana untuk besok. Sekarang sudah waktunya kita kembali.” Gandrung mengajak semuanya untuk pulang ke rumah.
Paginya Gandrung dan Pafi melepas keberangkatan Dimas dan Raji di Graha Pavaratha. Dimas mulai terbiasa dengan suasana ruang kendali. Raji pun mulai bisa menggunakan bahasa-bahasa Bangsa Sinaravedi untuk memberikan perintah khusus. Pavaratha Rudra itu melesat cepat ke arah barat melintasi barisan bukit dan gunung-gunung. Di hadapan Raji terpampang gambar peta bumi wilayah Narapati yang akan dijadikan jalur penerbangan. Dalam waktu 25 sastih mereka telah melewati daratan dan sudah berada di atas laut barat. Dimas mengarahkan pavaratha terbang ke utara menyusuri pantai barat.
“Raji kita harus menyamarkan pavaratha ini.” Dimas berusaha mengendalikan arah.
“Baiklah,……”Raji mengucapkan mantranya.
Beberapa wahana terbang terlihat melintas berpapasan dengan pavaratha yang ditumpangi Dimas dan Raji. Sesekali juga Pavaratha Rudra Narapati melintas tetapi tidak mengetahui keberadaan Pavaratha Rudra Dimas dan Raji.
Melewati perbatasan Pagan masih tampak aman-aman saja.
“Kita akan melewati perbatasan dengan Dravida. Kita harus waspada disini karena bisa jadi mereka bisa melihat kita. Raji perhatikan layarmu, jangan sampai ada yang luput dari pengawasan.” Dimas mengingatkan Raji yang terlalu asyik melihat pemandangan di luar. Tiba-tiba saja suara peringatan berbunyi. Pavaratha memberikan peringatan datangnya wahana asing. Sebuah ledakan menggelegar di belakang. Kencangnya angin yang ditimbulkan akibat ledakan mengguncang Pavaratha dan melontarkannya lebih cepat. Tanda peringatan terus berbunyi. Raji kelihatan panik
“Ada apa nih, waduh apa yang terjadi.” Raji berusaha mengembalikan layar pemantaunya yang padam. Sedangkan Dimas berusaha mengendalikan pavaratha agar terbang lurus. Getaran yang terjadi telah mengacaukan semua pengendalian. Pavaratha Rudra kehilangan kemampuan menyamarkan diri. Raji yang telah berhasil mengembalikan layar pemantaunya melihat dua buah wahana terbang melesat mendekat. Dilihatnya semua system anti pelacak telah terganggu.
“Dua wahana mendekat dari barat.” Raji memperingati Dimas. Dimas membawa Pavaratha bergerak ke utara menghindari papasan dengan wahana asing. Tetapi Raji melihat dua titik yang berkelap-kelip di layarnya justru bergerak mengikuti dengan kecepatan tinggi.
“Kita diikuti.” Kata Raji. Raji mengubah tampilan layarnya ketika jarak dua wahana itu sudah dekat. Dua buah wahana berbentuk bundar seperti piring terbalik melesat mengejar pavaratha.
“Vimana Dravida!” kata Raji.
“Seberapa dekat mereka ?” tanya Dimas.
“Dalam 1 sastih mereka akan bisa berada dalam jarak tembak.” Jawab Raji membaca semua keterangan yang muncul di atas layarnya.
“Apa yang harus kita lakukan ?” Raji panik.
“Tidak tahu, Gandrung tidak bilang bagaimana kita harus menghadapi Vimana Dravida. Cepat lakukan sesuatu dengan layarmu. Sementara aku akan membawa lari pavaratha ini sekencangnya.” Dimas menarik tuas kemudinya menambah kecepatan.
Di atas layar Raji melihat dua buah titik meluncur keluar dari dua titik yang pertama bergerak lebih cepat. “Apa lagi ini ?”
Dimas mendapatkan layarnya memberikan peringatan adanya dua buah benda mengejarnya. Dimas membelokan pavaratha timur laut. Dua titik di layarnya bergerak mengejarnya.
“Layar ini bilang itu adalah penghancur pencari jejak. Kita dalam bahaya.” Kata Raji. Dimas terkejut bukan main, mereka telah disasar oleh dua buah peledak yang sedang meluncur menuju mereka.
“Dimas, kau harus bawa benda ini sekencang-kencangnya, atau kita akan jadi monyet panggang.” Raji begitu ketakutan. Dimas melihat kecemasan yang begitu besar di wajah sahabatnya. Pada layar Dimas muncul peringatan lain.
“Raji, tembakan pengalih perhatian. Pavaratha ini meminta kita untuk melepaskannya. Aku akan membawa pavaratha ini menanjak ke atas.” Dimas menarik tuas kendalinya sekuat tenaga.
“Pengalih perhatian apa ?” Raji sibuk menekan-nekan layarnya. Kecepatan makin tinggi. Badan makin terasa berat. Dimas membawa pavaratha melesat menembus awan yang lebih tinggi. Dua buah titik yang bergerak terus mengikuti makin dekat jaraknya.
“Raji, cepat lakukan !” Dimas mulai ketularan panik.
“Aku sedang mencarinya, bagaimana mantranya ?” Raji yang dari tadi sibuk mencari-cari di layarnya ternyata belum tahu mantranya. Dimas menyebutkan mantranya. Raji menirukannya dan akhirnya berhasil menemukannya. Sebuah tanda muncul di layar menunggu perintah. Raji memerintahkan pavaratha menembakan pengalih perhatian. Dua buah bola api meluncur keluar dari sayap kiri dan kanan melesat ke samping. Rencana Dimas berhasil, dua buah titik di layar yang mengejar mereka berbelok mengejar umpan yang dilepaskan. Tak lama kemudian dua titik itu menghilang.
“Penyamaran kembali lagi, kita bisa menghilang lagi. Oh terima kasih Tuhan aku tidak jadi bebek panggang” Raji berteriak senang melihat semua keterangan di layarnya menyala terang tanda semuanya bekerja dengan baik.
“Apakah dua vimana tadi masih mengejar kita ?” Dimas menurunkan ketinggiannya.
“Tidak, menurut peta kita sudah tidak berada lagi di wilayah Dravida. Mungkin karena itu mereka tidak mengejar kita.” Raji memeriksa kembali layarnya lebih teliti.
“Kita memasuki wilayah pegunungan suci Himalaya. Lihat puncak-puncak putih itu.” Dimas menunjuk ke depan. Vimana Dravida tidak lagi mengejar pavaratha Dimas dan Raji. Bangsa Dravida memiliki pantangan tidak melewati pegunungan Himalaya karena legenda mereka menganggap puncak Himalaya adalah tempat suci dimana manusia pertama kali diturunkan ke bumi.
“Aku jadi teringat puisi orang-orang jaman dulu.” Dimas membacakan puisinya.
Saat bintang pertama menyerahkan dirinya untuk kehidupan
Keduanya hanyalah api yang membara
Air mendinginkannya pada saat ketiga
Setelahnya udara ditiupkan bersama badai pada yang keempat
Lima hari menunggu bumi menjadi rumah
Surga kedua tercipta di hari ke enam
Para Dewa bertanya,
Apakah Tuhan telah melakukan kesalahan ?
Mengapa Dia menciptakan surga yang lain ?
Mengapa Dia membuatnya lebih indah dari surge kita ?
Mengapa Dia memberikannya pilihan ?
Ah, ternyata Tuhan juga tak sesempurna katanya
Kalau tidak salah, mengapa Dia harus membahayakan dunia sempurna yang diciptakannya dengan menciptakan lagi mahluk yang tak putih tak juga hitam
Manusia, apakah dia beruntung atas sebenarnya terkutuk
Tapi kalaupun terkutuk aku sangat ingin menjadi seperti mereka
Begitu bebas dengan pilihan Tuhannya
“Kau tahu Raji, puisi itu menceritakan tentang penciptaan bumi yang dibuat dalam enam hari dan memilih manusia untuk tinggal di sana. Pada awalnya para Dewa berpikir kalau bumi adalah tempat yang gersang dan penjara bagi manusia. Tetapi setelah mereka melihat sendiri, para Dewa itu menjadi iri hati. Mereka kemudian bertanya kenapa Tuhan menciptakan surga yang lain. Surga yang lebih menyenangkan karena disana manusia diberikan pilihan. Tidak seperti para Dewa yang hanya menjadi satu sisi saja, manusia diberi pilihan. Pilihan itu membuat manusia bisa membedakan hitam dan putih, siang dan malam, baik dan jahat. Bahkan para Dewa mengandaikan sekalipun seandainya surge manusia itu adalah tempat yang terkutuk, mereka lebih suka tinggal di sana. Tetapi Tuhan tidak memperbolehkan mereka tinggal disana. Para Dewa itu kemudian menjadi sesat, dan berubah menjadi iblis jahat yang menghasut manusia agar menghancurkan surganya sendiri.” Wajah Dimas menerawang jauh. Pikirannya sesaat kembali kepada tuas kemudinya.
“Kurasa disinilah sarang para dewa sesat itu.” Raji menunjukan sebuah tanda pada peta di layarnya, matanya terus sibuk mengamati peta di atas layarnya.
“Kau bisa cari tempat kita mendaratkan pavaratha ini ?” Dimas menurunkan lagi ketinggian wahana.
“Sebentar, aku sedang mencari tempat tersembunyi yang tak jauh dari pemukiman Asvin. Kita harus menyimpan benda ini untuk kita pulang. Aku tidak mau pulang jalan kaki.” Raji terus mencari tempat aman di layarnya.
“Ah ketemu, di barat laut ada sebuah gua di lereng. Jaraknya tidak jauh dari kota Dropa.”
Pavaratha terbang tanpa suara menurun lembut menyusuri lereng berbatu yang ditutupi lapisan putih lembut di ujung-ujungnya. Sebuah titik hitam di sebuah tebing yang tertutup salju terlihat. Raji menunjuknya dan Dimas mengarahkan pavaratha masuk ke dalam gua. Cuaca tampak cerah walaupun sedikit berangin. Tak sulit untuk Dimas membawa pavaratha masuk ke dalam gua. Ruang gelap yang cukup tinggi cukup hangat untuk dijadikan sebuah tempat tinggal. Dimas dan Raji bergegas melepaskan semua pakaian terbangnya kemudian meninggalkan pavaratha dalam keadaan tersamar.
“Aku dilarang ibu memberitahukan tempat ini kepada siapapun. Kalau sampai beliau tahu, pasti aku kena marah. Jadi ku harap kalian juga tidak memberitahukan siapapun, termasuk ibuku yah.” Gandrung terus berjalan lurus dari tempatnya keluar dari Ruang Tukang Mau Tahu. Kemudian mereka berbelok ke kiri dan turun lebih dalam mengikuti anak tangga yang menurun ke bawah. Dalamnya tidak dapat dipastikan oleh Dimas. Yang dirasakannya hanya berbelok ke kiri beberapa kali pada jarak tangga turun yang sama. Makin ke bawah makin terasa gelap dan dingin. Satu-satunya penerangan yang membantu mereka bisa menginjak anak tangga yang benar adalah cahaya yang menerobos masuk persis di atas tangga. Kemudian mereka tiba di sebuah ruangan bundar. Gandrung menekan satu per satu lambang-lambang bahasa Bangsa Sinaravedi yang terdapat di dinding. Sesaat kemudian sebuah lubang bundar sempurna terbuka di depannya. Cahaya obor menerobos masuk dari dalam ruangan. Di dalam ruangan berbentuk bundar seperti lorong itu obor-obor berbaris pada dinding kiri dan kanan seperti membentuk sebuah jalur. Kemudian mereka mengikuti lorong tersebut hingga tembus pada sebuah ruangan yang sangat besar. Ruangan dengan bentuk bundar sempurna ke bawah dengan kedalaman jurang yang tidak bisa lagi dilihat dasarnya. Ke atas dengan bentuk kubah setengah bulatan hingga setinggi hampir sama dengan tinggi kuil Cakravartin. Di ujung lorong terdapat sebuah jalan bercabang lima yang hanya cukup untuk 2 orang berjalan menuju tengah ruangan. Sedikit saja mereka terpeleset maka akan jatuh ke dalam jurang di bawahnya.
“Kita sekarang berada di Graha Pavaratha. Kau lihat itu, itu adalah Pavaratha Rudra yang dibuat oleh para Bangsa Sinaravedi untuk mengamankan kota Sunda Buana. Wahana itu sengaja disembunyikan dan tidak pernah dipakai saat para Bangsa Sinaravedi pergi meninggalkan Sunda Buana. Tiap Pavaratha Rudra hanya bisa memuat dua orang, satu pengemudi dan satu pembaca petunjuk. Aku belum pernah mencobanya, karena untuk menaikinya harus ada 2 orang. Kalau tidak ada maka dia tidak akan mau terbang.” Gandrung menjelaskan 5 buah benda yang bertengger di atas 5 cabang jalan di depan mereka.
“Bagaimana cara mengendarainya ?” tanya Raji.
“Mudah, kau hanya perlu menyebut saja tujuanmu dalam bahasa Bangsa Sinaravedi maka dia akan terbang dengan sendirinya. Kalau kau mau melakukan sesuatu maka kau tinggal menyebutnya saja. Misalnya kau ingin wahana tidak terlihat, maka kau harus menyebutkan mantranya. Dan itu artinya kau harus menguasai bahasa Bangsa Sinaravedi.” Jawab Gandrung. Raji tampak kecewa sekali, sadar kalau tidak mengerti bahasa Bangsa Sinaravedi sama sekali membuatnya kehilangan kesempatan bermain-main dengan benda ajaib itu.
“Kalau kau ingin mempelajarinya, kau bisa memintanya untuk menunjukan naskahnya saja. Tetapi ada hal yang tidak bisa kau minta dari wahana itu. Kau tidak bisa meminta wahana itu menembak wahana sejenisnya. Karena wahana itu telah disihir untuk tidak saling menyerang sesamanya, tetapi kau bisa mengubahnya dengan memerintahkannya untuk bekerja dibawah kendalimu. Artinya kau harus hafal tombol-tombol yang diperlukan untuk melakukan perintah-perintah mantra.” Kata Gandrung lagi.
“Berapa kecepatannya ?” tanya Dimas.
“Kalau dari kota Sunda Buana ke Rajatapura, kau bisa menempuhnya dengan kecepatan tertinggi dalam waktu lima sastih.” Jawab Gandrung.
“Lima sastih ?” Raji kebingungan. “Lima menit” kata Dimas. Raji dan Pafi mengangguk mengerti.
“Pavaratha Rudra buatan Bangsa Sinaravedi adalah wahana terbaik yang belum bisa ditandingi oleh siapapun. Vimana Dravida adalah wahana yang belum berumur 200 tahun. Bahkan Pavaratha Narapati yang masih di bawah kemampuan Pavaratha Rudra Bangsa Sinaravedi jauh lebih maju dari pada Vimana Dravida.” Gandrung menjelaskan.
“Kita bisa coba sekarang!” Dimas mengajak untuk mencoba wahana.
“Eh, jangan dulu! Kita tidak bisa mendekati wahana itu begitu saja. Semua telah di jaga dengan sihir. Kalau kau melewatinya tanpa menyebutkan mantra pembukanya, kau akan terlempar kalau beruntung.” Gandrung mencegah Dimas.
“Ambianshaka Guru Pavaratha.” Kilatan cahaya biru tampak sekejap saat Gandrung mengucapkan mantranya.
“Apa artinya ?” Tanya Pafi.
“Bersinarlah Pencipta Pavaratha” Dimas membisikan jawabannya.
“Sekarang sudah terbuka ayo kita ke sana.” Mereka membagi dua. Dimas bersama Raji, Gandrung bersama Pafi. “Tempelkan saja telapak tangan kalian, nanti pavaratha itu hanya akan mengenali saja untuk bekerja.” Gandrung meneriakan cara penggunaannya. Dimas dan Raji melekatkan telapak tangan kanannya ke bagian samping wahana. Kulit yang terasa kasar seperti sisik dengan warna abu-abu tua langsung memberikan reaksi. Suara mendengung terdengar dari dalam badan wahana. Beberapa titik cahaya muncul termasuk ruang duduk pengendalinya. Wahana berbentuk ikan pari itu melayang naik setinggi betis. Kaca penutup ruang pengendalinya terbuka.
“Pakailah pakaian khusus itu agar dampak gaya Gurutwa bisa diperkecil.” Gandrung berteriak lagi sambil mengenakan pakaiannya sendiri
“Apa lagi Guru tua ?” tanya Raji.
“Gurutwa, Gaya tarik bumi” Jawab Dimas singkat. Raji pura-pura mengerti penjelasan singkat Dimas. Pikirannya masih menerka-nerka apa yang dimaksud dengan gaya tarik bumi. Apakah bumi begitu menariknya sehingga harus bergaya segala ? Tapi kemudian tak dipikirkannya lagi. Dimas dan Raji mengenakan pakaian kemudian naik ke dalam wahana. Dimas mengambil bagian duduk di kanan sedangkan Raji di kiri. Wahana kemudian mengeluarkan suara dalam bahasa Bangsa Sinaravedi.
“apa katanya ?” tanya Raji. “Kenakan sabuk pengikat” Dimas mencari-cari apa yang dimaksud dengan sabuk pengikat.
“Dimana para Bangsa Sinaravedi meletakan sabuk pengikat ?” Raji mencari-cari benda yang dimaksud Dimas.
“Ini dia” Tangan kemudian mendapatkan tali pengikat yang disilangkan di depan dadanya. Begitu tali terikat terdengar lagi suara dari wahana. Dimas menerjemahkan lagi setiap suara yang keluar dari wahana agar Raji mengerti maksudnya. Kaca penutup ruang pengendali tertutup. Wahana mulai bergerak naik dan dengan kecepatan yang sedang bergerak menembus sebuah lorong bundar di dinding ruangan.
“Wow, akhirnya kita bisa terbang” Raji begitu kegirangan. Sesaat terasa gelap dan hanya cahaya di dalam ruang kendali yang memberikan cahaya. Di hadapan Raji sinar yang membentuk garis-garis bentuk sebuah ruangan dimana sebuah titik berkelap-kelip bergerak menyusuri sebuah saluran diantara banyak saluran. Mata Raji berputar-putar mengikuti lambang-lambang yang bermunculan di layarnya.
“Waduh apa ini ?” Raji kebingungan.
“Kau harus menghafalkannya Raji.” Kata Dimas
Tak lama kemudian sebuah cahaya terlihat di depan dan wahana meluncur makin cepat hingga akhirnya keluar menembus angkasa sore. Sekejap wahana itu sudah mengangkasa menembus awan diikuti satu wahana yang lain yang ditumpangi oleh Gandrung dan Pafi. Matahari sore yang kuning kemerahan begitu bulat sempurna menggantung di awan. Dimas dan Raji berteriak kegirangan merasakan terbang dengan kecepatan tinggi. Setelah beberapa saat berada di udara, kemudian terbang rendah menyusuri sungai Sunda Besar Utara.
“Dimas, kita tidak boleh terlalu lama berada di udara, karena wahana kita akan terlacak oleh pelacak udara kerajaan.” Suara Gandrung terdengar di dalam wahana yang sedang dikemudikan Dimas.
“Baiklah kita kembali sekarang.” Dimas memutar kembali arahnya kembali ke Graha Pavaratha. Dalam waktu yang singkat mereka telah kembali berada di dalam ruangan besar penyimpan pavaratha kemudian meninggalkan Graha Pavaratha.
“Besok aku dan Raji akan berangkat pagi-pagi.” Kata Dimas.
“Kami akan melanjutkan penyelidikan, aku akan menambah daftar orang yang patut kita awasi.” Kata Pafi.
“Sebenarnya aku ingin sekali ikut ke negeri Asvin.” Gandrung agak sedih tidak mendapatkan kesempatan bertualang.
“Kau tidak boleh melakukannya Gandrung, Ayah dan Ibumu akan mencarimu. Dan aku tidak akan mempunyai jawaban untuk mereka. Kita pasti akan melakukannya nanti.” Kata Pafi menghibur Gandrung.
“Oh ya, jawaban apa yang akan kalian berikan kalau Ayah Gandrung menanyakan keberadaan kami ?” tanya Raji.
“Aku akan bilang kalian pergi mengunjungi teman di desa lain.” Jawab Pafi.
“Baiklah berarti kita semua sudah punya rencana untuk besok. Sekarang sudah waktunya kita kembali.” Gandrung mengajak semuanya untuk pulang ke rumah.
Paginya Gandrung dan Pafi melepas keberangkatan Dimas dan Raji di Graha Pavaratha. Dimas mulai terbiasa dengan suasana ruang kendali. Raji pun mulai bisa menggunakan bahasa-bahasa Bangsa Sinaravedi untuk memberikan perintah khusus. Pavaratha Rudra itu melesat cepat ke arah barat melintasi barisan bukit dan gunung-gunung. Di hadapan Raji terpampang gambar peta bumi wilayah Narapati yang akan dijadikan jalur penerbangan. Dalam waktu 25 sastih mereka telah melewati daratan dan sudah berada di atas laut barat. Dimas mengarahkan pavaratha terbang ke utara menyusuri pantai barat.
“Raji kita harus menyamarkan pavaratha ini.” Dimas berusaha mengendalikan arah.
“Baiklah,……”Raji mengucapkan mantranya.
Beberapa wahana terbang terlihat melintas berpapasan dengan pavaratha yang ditumpangi Dimas dan Raji. Sesekali juga Pavaratha Rudra Narapati melintas tetapi tidak mengetahui keberadaan Pavaratha Rudra Dimas dan Raji.
Melewati perbatasan Pagan masih tampak aman-aman saja.
“Kita akan melewati perbatasan dengan Dravida. Kita harus waspada disini karena bisa jadi mereka bisa melihat kita. Raji perhatikan layarmu, jangan sampai ada yang luput dari pengawasan.” Dimas mengingatkan Raji yang terlalu asyik melihat pemandangan di luar. Tiba-tiba saja suara peringatan berbunyi. Pavaratha memberikan peringatan datangnya wahana asing. Sebuah ledakan menggelegar di belakang. Kencangnya angin yang ditimbulkan akibat ledakan mengguncang Pavaratha dan melontarkannya lebih cepat. Tanda peringatan terus berbunyi. Raji kelihatan panik
“Ada apa nih, waduh apa yang terjadi.” Raji berusaha mengembalikan layar pemantaunya yang padam. Sedangkan Dimas berusaha mengendalikan pavaratha agar terbang lurus. Getaran yang terjadi telah mengacaukan semua pengendalian. Pavaratha Rudra kehilangan kemampuan menyamarkan diri. Raji yang telah berhasil mengembalikan layar pemantaunya melihat dua buah wahana terbang melesat mendekat. Dilihatnya semua system anti pelacak telah terganggu.
“Dua wahana mendekat dari barat.” Raji memperingati Dimas. Dimas membawa Pavaratha bergerak ke utara menghindari papasan dengan wahana asing. Tetapi Raji melihat dua titik yang berkelap-kelip di layarnya justru bergerak mengikuti dengan kecepatan tinggi.
“Kita diikuti.” Kata Raji. Raji mengubah tampilan layarnya ketika jarak dua wahana itu sudah dekat. Dua buah wahana berbentuk bundar seperti piring terbalik melesat mengejar pavaratha.
“Vimana Dravida!” kata Raji.
“Seberapa dekat mereka ?” tanya Dimas.
“Dalam 1 sastih mereka akan bisa berada dalam jarak tembak.” Jawab Raji membaca semua keterangan yang muncul di atas layarnya.
“Apa yang harus kita lakukan ?” Raji panik.
“Tidak tahu, Gandrung tidak bilang bagaimana kita harus menghadapi Vimana Dravida. Cepat lakukan sesuatu dengan layarmu. Sementara aku akan membawa lari pavaratha ini sekencangnya.” Dimas menarik tuas kemudinya menambah kecepatan.
Di atas layar Raji melihat dua buah titik meluncur keluar dari dua titik yang pertama bergerak lebih cepat. “Apa lagi ini ?”
Dimas mendapatkan layarnya memberikan peringatan adanya dua buah benda mengejarnya. Dimas membelokan pavaratha timur laut. Dua titik di layarnya bergerak mengejarnya.
“Layar ini bilang itu adalah penghancur pencari jejak. Kita dalam bahaya.” Kata Raji. Dimas terkejut bukan main, mereka telah disasar oleh dua buah peledak yang sedang meluncur menuju mereka.
“Dimas, kau harus bawa benda ini sekencang-kencangnya, atau kita akan jadi monyet panggang.” Raji begitu ketakutan. Dimas melihat kecemasan yang begitu besar di wajah sahabatnya. Pada layar Dimas muncul peringatan lain.
“Raji, tembakan pengalih perhatian. Pavaratha ini meminta kita untuk melepaskannya. Aku akan membawa pavaratha ini menanjak ke atas.” Dimas menarik tuas kendalinya sekuat tenaga.
“Pengalih perhatian apa ?” Raji sibuk menekan-nekan layarnya. Kecepatan makin tinggi. Badan makin terasa berat. Dimas membawa pavaratha melesat menembus awan yang lebih tinggi. Dua buah titik yang bergerak terus mengikuti makin dekat jaraknya.
“Raji, cepat lakukan !” Dimas mulai ketularan panik.
“Aku sedang mencarinya, bagaimana mantranya ?” Raji yang dari tadi sibuk mencari-cari di layarnya ternyata belum tahu mantranya. Dimas menyebutkan mantranya. Raji menirukannya dan akhirnya berhasil menemukannya. Sebuah tanda muncul di layar menunggu perintah. Raji memerintahkan pavaratha menembakan pengalih perhatian. Dua buah bola api meluncur keluar dari sayap kiri dan kanan melesat ke samping. Rencana Dimas berhasil, dua buah titik di layar yang mengejar mereka berbelok mengejar umpan yang dilepaskan. Tak lama kemudian dua titik itu menghilang.
“Penyamaran kembali lagi, kita bisa menghilang lagi. Oh terima kasih Tuhan aku tidak jadi bebek panggang” Raji berteriak senang melihat semua keterangan di layarnya menyala terang tanda semuanya bekerja dengan baik.
“Apakah dua vimana tadi masih mengejar kita ?” Dimas menurunkan ketinggiannya.
“Tidak, menurut peta kita sudah tidak berada lagi di wilayah Dravida. Mungkin karena itu mereka tidak mengejar kita.” Raji memeriksa kembali layarnya lebih teliti.
“Kita memasuki wilayah pegunungan suci Himalaya. Lihat puncak-puncak putih itu.” Dimas menunjuk ke depan. Vimana Dravida tidak lagi mengejar pavaratha Dimas dan Raji. Bangsa Dravida memiliki pantangan tidak melewati pegunungan Himalaya karena legenda mereka menganggap puncak Himalaya adalah tempat suci dimana manusia pertama kali diturunkan ke bumi.
“Aku jadi teringat puisi orang-orang jaman dulu.” Dimas membacakan puisinya.
Saat bintang pertama menyerahkan dirinya untuk kehidupan
Keduanya hanyalah api yang membara
Air mendinginkannya pada saat ketiga
Setelahnya udara ditiupkan bersama badai pada yang keempat
Lima hari menunggu bumi menjadi rumah
Surga kedua tercipta di hari ke enam
Para Dewa bertanya,
Apakah Tuhan telah melakukan kesalahan ?
Mengapa Dia menciptakan surga yang lain ?
Mengapa Dia membuatnya lebih indah dari surge kita ?
Mengapa Dia memberikannya pilihan ?
Ah, ternyata Tuhan juga tak sesempurna katanya
Kalau tidak salah, mengapa Dia harus membahayakan dunia sempurna yang diciptakannya dengan menciptakan lagi mahluk yang tak putih tak juga hitam
Manusia, apakah dia beruntung atas sebenarnya terkutuk
Tapi kalaupun terkutuk aku sangat ingin menjadi seperti mereka
Begitu bebas dengan pilihan Tuhannya
“Kau tahu Raji, puisi itu menceritakan tentang penciptaan bumi yang dibuat dalam enam hari dan memilih manusia untuk tinggal di sana. Pada awalnya para Dewa berpikir kalau bumi adalah tempat yang gersang dan penjara bagi manusia. Tetapi setelah mereka melihat sendiri, para Dewa itu menjadi iri hati. Mereka kemudian bertanya kenapa Tuhan menciptakan surga yang lain. Surga yang lebih menyenangkan karena disana manusia diberikan pilihan. Tidak seperti para Dewa yang hanya menjadi satu sisi saja, manusia diberi pilihan. Pilihan itu membuat manusia bisa membedakan hitam dan putih, siang dan malam, baik dan jahat. Bahkan para Dewa mengandaikan sekalipun seandainya surge manusia itu adalah tempat yang terkutuk, mereka lebih suka tinggal di sana. Tetapi Tuhan tidak memperbolehkan mereka tinggal disana. Para Dewa itu kemudian menjadi sesat, dan berubah menjadi iblis jahat yang menghasut manusia agar menghancurkan surganya sendiri.” Wajah Dimas menerawang jauh. Pikirannya sesaat kembali kepada tuas kemudinya.
“Kurasa disinilah sarang para dewa sesat itu.” Raji menunjukan sebuah tanda pada peta di layarnya, matanya terus sibuk mengamati peta di atas layarnya.
“Kau bisa cari tempat kita mendaratkan pavaratha ini ?” Dimas menurunkan lagi ketinggian wahana.
“Sebentar, aku sedang mencari tempat tersembunyi yang tak jauh dari pemukiman Asvin. Kita harus menyimpan benda ini untuk kita pulang. Aku tidak mau pulang jalan kaki.” Raji terus mencari tempat aman di layarnya.
“Ah ketemu, di barat laut ada sebuah gua di lereng. Jaraknya tidak jauh dari kota Dropa.”
Pavaratha terbang tanpa suara menurun lembut menyusuri lereng berbatu yang ditutupi lapisan putih lembut di ujung-ujungnya. Sebuah titik hitam di sebuah tebing yang tertutup salju terlihat. Raji menunjuknya dan Dimas mengarahkan pavaratha masuk ke dalam gua. Cuaca tampak cerah walaupun sedikit berangin. Tak sulit untuk Dimas membawa pavaratha masuk ke dalam gua. Ruang gelap yang cukup tinggi cukup hangat untuk dijadikan sebuah tempat tinggal. Dimas dan Raji bergegas melepaskan semua pakaian terbangnya kemudian meninggalkan pavaratha dalam keadaan tersamar.
No comments:
Post a Comment