Monday 18 February 2008

BAGIAN 12 - SEMBILAN SATUASRA

Bulan separuh menggantung di angkasa Cakravartin. Barisan awan kelabu bercampur putih bergerak lambat tersapu angin. Menuju satu purnama tinggal sepekan lagi. Waktu yang tersisa terlalu sedikit untuk mengambil Sembilan satuasra di Sembilan kuil di Sembilan kota. Kota Rajatapura menjadi pusat perhatian. Kota terbesar kedua di Kerajaan Narapati itu porak-poranda diterjang ombak besar. Tidak ada laporan siapa yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Tetapi kejadian itu membuka semua mata tentang apa yang bakal terjadi kalau banjir besar nanti datang.

Dimas, Raji dan Pafi sedang berkumpul di kamar Pafi. Mereka tidak sanggup lagi mendengar berita kehancuran kota Rajatapura. Seluruh perhatian dicurahkan untuk mencegah bencana yang lebih besar. Pencarian Sembilan satuasra dilanjutkan, pesan terakhir yang dikatakan Ratu Selatan menjadi acuan mereka bertindak.

“Aku merasa tidak enak sekali pada Gandrung.” Raji memulai pembicaraan. Dimas dan Pafi menyetujui apa yang dirasakan Raji. Gandrung selama ini begitu jujur kepada mereka. Menunjukan semua hal yang diketahuinya hanya untuk mendapatkan persahabatan dari mereka.

“Mungkinkah ini yang dimaksud Ratu Kerajaan Selatan ? Kita tidak menemukan jalan apapun untuk mendapatkan satuasra karena kita masih bermasalah dengan kepercayaan.” Kata Dimas

“Apakah sebaiknya kita memberitahunya mengenai kita ?” Gagasan Pafi sedikit membuat bingung Dimas. Ada alasan kenapa dia dulu menyarankan tidak menceritakan hal apapun tentang mereka. Tetapi kata-kata Ratu Kerajaan Selatan membuatnya menyadari bagaimana Gandrung begitu tulus bersahabat dengan mereka.

“Bagaimana cara kita memberitahunya ?” kata Dimas. “Kita bawa saja dia ke asrama” usul Raji. “Gila kau, bagaimana kita bisa menjelaskan keberadaannya kepada Nyai Janis.” Pafi menolak gagasan Raji.

“Mungkin kita bawa saja dia sampai ruangan pintu gaib saja. Dia kan tidak pernah tahu tempat itu ada.” Dimas memberikan usul

“Ya maksudku itu” Raji cengengesan.

“Kalau begitu, kita ajak dia besok. Aku juga sudah bosan harus menjaga kata-kataku agar tidak menimbulkan kecurigaan.” Pafi teringat kata-katanya yang terakhir yang membuat Gandrung mengernyitkan dahinya. Akhirnya semua setuju untuk memberitahunya besok. Tidak lagi diributkan siapa yang akan memberitahunya. Semua kembali ke kamar masing-masing dan menyerahkan sisanya kepada malam.

Pagi-pagi sekali Raji sudah bangun dan rapi. “Lengkap sekali kau sekarang, bawa apa saja ?” Dimas agak heran melihat Raji yang tidak seperti biasanya.

“Aku Cuma membawa bekal air dalam kantong ini saja.” Jawab Raji.

“Tumben kau bawa air, memangnya kau merasakan akan memerlukannya ?”

“Entahlah, hatiku saja mengatakan aku akan memerlukannya” Raji membetulkan letak kantong airnya.

Gandrung agak heran, kali ini mereka tidak berjalan ke tempat dimana ruang tukang mau tahu berada. Dirinya dibawa ke tempat yang jarang dilaluinya, benteng selatan. Mereka berjalan menuruni benteng. Di bawahnya membentang sawah yang sudah menguning dan siap panen kemudian masuk ke dalam gorong-gorong di bawahnya.

“Kemana sebenarnya tujuan kita ?” Gandrung merasa agak aneh dengan tujuan kali ini.

“Kita akan ke tempat yang belum pernah kau datangi sebelumnya. Tempat ini tidak sengaja kami temukan.” Jawab Dimas menenangkan Gandrung. Dimas berusaha mengingat letak dindingnya. Tangannya kemudian meraba-raba dinding di depannya. Sebuah gagang pintu tersentuh lalu diputar. Dinding yang semula hanyalah batu, kini membuka menjadi sebuah pintu. Sinar terang menyeruak keluar dari dalamnya. Gandrung masih terus memperhatikan. Tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Dimas mengawali masuk ke dalam ruangan itu.

“Selamat datang di ruang keinginan” kata Dimas.

Gandrung melihat-lihat seluruh isi ruangan berbentuk bundar itu. Banyak pintu di dindingnya. Tangannya membuka sebuah pintu. Sebuah kamar yang amat dikenalnya berada di balik pintu itu.

“Ini kamarku ! hebat…hebat sekali. Ini penemuan yang paling hebat yang pernah aku lihat.” Gandrung senang sekali. Tapi dia belum tahu maksud sebenarnya. Dimas mulai merasa canggung untuk mengatakannya.

“Gandrung, ada yang ingin kami sampaikan kepadamu.” Gandrung berhenti, kemudian menatap Dimas.

“Kau ingat pesan terakhir yang diberikan oleh Ratu Kerajaan Selatan ?” Gandrung mengangguk. “Kepercayaan adalah jiwa persahabatan. Tidak ada jalan yang bisa ditemukan tanpa kepercayaan” katanya mengulangi kata-kata itu.

“Kami, eh….” Dimas ragu.

“Kami bukan berasal dari tempat ini !” Pafi langsung menyela. Gandrung masih tidak mengerti.

“Kami bukan berasal dari dunia ini” Dimas menjelaskan lebih gamblang. Gandrung mengernyitkan dahinya. “Maksud kalian bukan berasal dari dunia ini ?”

“Kami berasal dari waktu yang jauh di depan, kami berasal dari waktu kira-kira limabelas ribu tahun dari sekarang.” Kata Pafi. Gandrung makin tidak mengerti.

“Kami secara tidak sengaja menemukan gerbang untuk kembali ke masa lalu dan tiba di tempat ini. Pada masa kami seluruh Narapati sudah tenggelam dan hanya tertinggal beberapa daratan saja. Tetapi orang-orang di masa kami tidak mengetahui pernah berdirinya Narapati di lembah sunda ini. Maafkan kami baru memberitahumu sekarang, karena kami sendiri masih harus meyakinkan diri dengan apa yang sedang kami jalani. Kami khawatir keterbukaan kami akan membawa dampak yang tidak baik pada dunia ini.” Gandrung kini bengong setelah mendengar penjelasan Dimas. Baru masuk ke dalam otaknya apa yang dimaksudkan oleh Dimas.

“Seperti apakah dunia kalian ?” tanya Gandrung. Tidak ada nada marah dari suaranya. Dimas merasa senang sekali. Dengan semangat bergantian bersama Raji dan Pafi mereka menceritakan semua hal mengenai tempat tinggal di asrama dan hindia belanda. Mata Gandrung senang sekali mendengarkan cerita ketiga sahabatnya.

“Maafkan aku juga, aku belum pernah menceritakan bagaimana aku tahu rahasia-rahasia Sinar Avedi dan bisa menguasai bahasanya. Ibuku adalah seorang bangsa Sinar Avedi, dia jatuh cinta pada ayahku kemudian mereka menikah. Dari ibukulah aku tahu semuanya mengenai bangsa Sinar Avedi. Dan ibuku selalu tahu kemana aku pergi.” Pengakuan Gandrung cukup mengagetkan semuanya. Semua itu juga menjelaskan kenapa tidak pernah ada rasa khawatir dari kedua orang tua Gandrung kemanapun Gandrung pergi.

“Tapi kan bangsa Sinar Avedi tubuhnya bersinar, mengapa ibumu tidak ?” Pafi masih tidak percaya.

“Begitulah kalau seorang Sinar Avedi menikah dengan seorang manusia. Mereka adalah bangsa abadi. Setelah menikah ibuku kehilangan keabadiannya. Tapi dunia kalian hebat sekali, aku ingin sekali main ke sana” Perubahan topik pembicaraan yang ditakutkan Dimas akhirnya keluar juga dari mulut Gandrung.

“Jangan Gandrung, kita masih punya tugas untuk menyelamatkan Narapati. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus menjalankan tugas ini hingga selesai.” Dimas mengingatkan Gandrung. Gandrung diam, seperti berusaha mencerna sesuatu. Tetapi jelas wajahnya amat kecewa.

“Kau benar, lebih baik sekarang kita berkonsentrasi mencari sembilan satuasra” Gandrung kembali memompa semangatnya. Dimas kemudian mengeluarkan naskah Sinar Avedi. Peta terakhir yang belum dilihatnya tergambar di atasnya. Sebuah gambar segitiga besar dengan lidah api dipuncaknya di kelilingi Sembilan segitiga lebih kecil. Setiap gambar segi tiga kecil ukurannya tidak sama ukurannya. Semuanya berputar lambat mengelilingi segitiga besar. Terdapat hanya sebuah garis tetap di ujung lidah api yang menghubungkan segitiga besar dengan segitiga kecil. Setiap saat salah satu segitiga kecil menyentuh garis tetap itu, segitiga besar mengeluarkan garis-garis rumit di tengahnya dan berkilau keemasan. Setiap segitiga kecil memberikan gambar rumit yang berbeda. Setiap sebuah gambar rumit muncul di tengah segitiga besar, sebuah bintang menyala di tengah-tengah garis rumit segitiga besar. Nyala bintang selalu berpindah-pindah susunannya mulai dari dasar hingga ke puncak kuil.

“Ini pasti Cakravartin Kota Sunda Buana. Lambang dari ibukota Narapati yang dikelilingi oleh Sembilan kota lainnya.” Dimas menunjuk segitiga besar. “Apakah kau pernah mendengar tentang legenda kuil ini Gandrung ?” Tanya Dimas.

Gandrung menggeleng “tidak pernah, ibuku saja tidak pernah mengetahuinya. Mungkin ini adalah sesuatu yang memang benar-benar sangat rahasia. Sehingga tidak sembarang Sinar Avedi bisa mengetahuinya” kata Gandrung.

“Sepertinya ini adalah jalur dari setiap kuil yang menyimpan satuasra. Lihat jalur ini begitu berbeda satu dengan yang lainnya” kata Pafi

“Bagaimana caranya mengingat jalur-jalur rumit ini, dia saja tidak berhenti bergerak.” Kata Raji

“Kita tinggalkan dulu mengenai jalur itu, sekarang kita harus menentukan kuil mana dulu yang akan kita datangi ?” kata Dimas

“Bagaimana kalau Rajatapura dulu ?” usul Gandrung. Pafi terus mengamai gerakan segitiga kecil yang mengelilingi segitiga besar.

“Tidak, gambar ini sudah memberikan kita petunjuk jelas mengenai semuanya. Kita harus mengambil satuasra dari kuil paling kecil. Lihat gambar segitiga paling kecil diantara yang Sembilan ini. Bintangnya selalu menyala paling bawah. Dan yang paling besar ini selalu paling atas dekat lidah api Cakravartin. Hal ini menandakan bahwa kuil ini memiliki tingkatan-tingkatan. Cakravartin adalah induk semua kuil dengan tingkatan paling tinggi. Karena itu dia akan selalu berada paling atas. Dan di bawahnya Rajatapura dan seterusnya. Kau masih ingat urutan gambar lokasi kuil mulai dari yang paling kecil pada gambar sebelumnya ?” Pafi mengandalkan ingatan Dimas yang kuat untuk menjawabnya.

“Ada di Andavantara, Nutana, Mandala Sura, Pagan, Kutai, Siam, Angkor, Viet, dan terakhir Rajatapura” jawab Dimas.

“Kalau begitu kita ke Andavantara sekarang, masalah peta urusan belakangan” celetuk Raji.

“Kita tidak bisa ke sana tanpa peta yang jelas Raji.” Pafi tetap tidak setuju.

“Lalu kapan kita akan berangkat ke sana. Tidak ada salahnya kita langsung kesana, siapa tahu justru jawabannya ada disana. Kecuali kau punya mantra untuk menghentikan kuil ini jalan-jalan ?” Raji tetap pada pendapatnya. Dimas paham sekali kalau keduanya sudah beradu pendapat tidak akan ada yang mengalah. Dimas harus mengambil langkah tengah untuk keduanya.

“Sudahlah, mungkin baiknya kita coba ke sana saja, tapi sebelum mencari kita harus memastikan peta itu bisa tetap dan tidak bergerak lagi.” Dimas memberikan jalan tengah.

“Aku setuju” sahut Gandrung.

“Kita akan ke sana dengan lubang cacing kan ?” Raji kelihatan bersemangat sekali.

“Buat apa kesana pakai lubang cacing, disini kan ada ruang keinginan. Kita tinggal menyebutkan keinginan kita saja kan ?” usul Gandrung.

“Gagasan hebat, kalau begitu tunggu apa lagi, ayo segera kita berangkat” Dimas segera menggulung naskah Sinar Avedi.

“Gandrung, kau yang membuka pintu. Karena kau yang paling tahu kota-kota ini.” Pinta Pafi. Gandrung mengangguk. Kemudian Gandrung membuka sebuah pintu. Sebuah ruangan putih mirip sekali ruang keinginan muncul dibalik pintu. Gandrung melangkah masuk ke dalam. Yang lain menyusul masuk.

“Apakah kita sudah berada di Andavantara ? Seperti ruangan ini mirip sekali dengan ruang keinginan di Sunda Buana.” Kata Raji.

“Bukan Cuma mirip, tapi ini memang ruang keinginan di Sunda Buana. Kita tidak pergi kemana-mana. Kita kembali lagi ke ruang keinginan.” Kata Pafi. Gandrung sedikit kebingungan.

“Bagaimana kau tahu, mungkin saja di Andavantara juga ada ruang keinginan.” Kata Raji.

“Tidak, menurut ibuku, hanya kota Sunda Buana yang dilengkapi oleh ruangan-ruangan gaib seperti ini. Para Sinar Avedi tidak mau pengetahuan mereka terlalu menyebar di sembarang tempat.” Kata Gandrung

“Apakah kau salah menyebutkan tujuanmu Gandrung ?” tanya Pafi

“Tidak, aku mengucapkannya dengan benar.” Kata Gandrung

“Dengan bahasa Sinar Avedi kan ?” kata Dimas. Gandrung mengangguk.

“Mungkin sebaiknya kau yang mencoba, Dimas” kata Pafi. Yang lain setuju. Dimas melangkah menuju sebuah pintu. Mengucapkan nama Andavantara dalam bahasa Sinar Avedi. Sebuah pintu sesaat kemudian terbuka. Sebuah ruangan berbentuk segi empat sangat remang dengan dua cahaya obor. Empat pintu terdapat di empat jurusan terbuka lebar.

“Aku rasa kita berada di tempat yang benar kali ini” kata Dimas.

“Cepat buka petanya” kata Pafi

Dimas membuka gulungan naskahnya. Di dalam gambar segitiga besar bersinar terang garis-garis rumit dan sebuah bintang. Gambar segitiga paling kecil berhenti di puncak segitiga besar dengan sebuah garis menyambung ke lidah api segitiga besar. Senyum lebar mengembang di wajah Dimas. Yang lain ikut gembira. Semua gambar menjadi tetap dan tidak berubah-ubah lagi. Di bawahnya muncul sebuah segi empat dengan garis-garis rumit pula. Ditengahnya terdapat bintang yang bersinar terang.

“Sepertinya gambar garis-garis rumit di segi empat ini denah jalan tikus dan garis-garis rumit di segitiga adalah denah tangga. Kedua gambar segitiga dan segi empat ini saling berkaitan. Satuasra di letakan di bawah puncak. Ada tujuh tangga menuju tempat penyimpanan satuasra. Segitiga ini memberikan jalan bagaimana kita mencapainya. Kita harus menemukan tangga-tangga itu dengan bantuan denah segi empat ini.” Pafi menunjuk garis yang menjadi jalur.

“Kita berada disini, persis di tengah kuil, lihat disini ada empat titik terang.” Dimas menunjuk empat titik tepat di tengah.

“Sekarang kita ke arah mana ?” tanya Raji.

“Kita kesana” Gandrung menunjuk pintu di kiri mereka dengan yakin. Dimas tahu pengalaman Gandrung menyusuri gorong-gorong bawah tanah kota Sunda Buana tanpa pernah kesasar dan sangat hafal jalan.

“Hati-hati, mungkin banyak jebakan atau tipuan.” Pafi memberi peringatan.

“Bangsa Sinar Avedi tidak pernah membuat jebakan yang membahayakan nyawa, mereka bangsa yang cerdas dan mengagungkan kecerdasan. Paling kita akan dibuat berputar-putar tanpa ujung.” Gandrung mengerti betul sifat-sifat teka-teki yang dibuat bangsa Sinar Avedi.

“Gandrung berjalanlah di belakangku, kau tunjukan saja kemana arahnya. Aku akan mengamankan jalan.” Raji mengambil kantong bekal airnya. Air dan kantong kulit itu keluar dan memecah menjadi dua bagian menjadi dua lidah air. Raji memainkan dua lidah air itu di udara. Dimas terus merentangkan naskahnya. Gandrung berjalan persis di belakang Raji. Pafi terus mengamati pergerakan empat titik di dalam peta. Pafi menarik obor dari dalam ruangan dan membuatnya melayang di depan Raji. Naskah yang dipegang Dimas sendiri tidak terlalu memerlukan cahaya, karena semua garis dan tujuan menyala terang di atasnya.

Raji mulai bergerak dengan keadaan siaga bersamaan dengan obor di depannya. Pafi terus mempertahankan obor tetap berada di depan. Gandrung memandu arah mana yang harus diambil. Dimas memantau semua perubahan yang terjadi di atas peta.

“Kita tetap lurus” kata Gandrung

“Di depan tembok buntu, hanya ada jalan ke kiri dan ke kanan” sahut Raji.

“Gandrung betul Raji, kita harus lurus” Dimas memeriksa petanya dan sesuai seperti yang dikatakan Gandrung. Raji melontarkan kedua lidah airnya. Dua lidah air itu langsung menembus dinding seolah tidak ada pembatas di depan mereka.

“Dinding depan rupanya Cuma tipuan saja” Raji terus melangkah menerobos dinding di depannya diikuti oleh yang lainnya. Ruangan di balik dinding sedikit lebih terang dari pada lorong sebelumnya. Dengan hati-hati mereka berempat terus melangkah hingga menemukan sebuah tangga. Tanpa halangan tangga berhasil di lewati dan tiba di lantai atas. Tanpa kesulitan yang berarti mereka berhasil masuk hingga ke lantai teratas.

Sebuah ruangan dengan cahaya terang keemasan terpancar dari sebuah batu yang diletakan di depan sebuah patung Lodaya bersayap Mahakala duduk tegak bertengger di atas altar bundar. Sebaris tulisan terpahat di dinding altar yang hanya setinggi pinggang. Dimas membaca tulisan dalam bahasa Sinar Avedi itu dengan pelan.

“Pertama dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Apa artinya ? kenapa harus selalu teka-teki ?” Raji rada mengeluh.

“Karena memang begitulah cara Sinar Avedi merahasiakannya.” Pafi agak sebal melihat Raji.

“Pertama dari yang Sembilan, yang ini pastinya satuasra urutan satu dari Sembilan. Kalimat kedua aku tidak mengerti maksudnya. Yang bijak yang terpilih artinya siapapun yang bisa menerka teka-teki ini berarti yang terpilih. Berasal dari yang ada sekaligus tiada. Dimana gelap saat terang ?”

“Yang ada sekaligus tiada, mungkin maksudnya adalah Tuhan, yang ada tetapi tidak terlihat. Gelap saat terang ?”

“Kita ambil saja batu itu, itu kan sudah di depan mata !” Raji sudah tidak sabar.

“Jangan, ini terlalu mudah. Batu ini pasti tipuan.” Gandrung mencegah tangan Raji yang nyaris menyentuh batu yang bersinar keemasan di atas altar.

“Gelap saat terang, jawabannya ada pada bagian gelap.” Dimas menunjuk arah bayangan Lodaya bersayap mahakala. Sebuah cahaya putih lembut memancar lemah di tengah-tengah bayangan. Dimas melangkah menaiki tangga altar yang memutar di kiri dan kanannya. Kemudian dengan perlahan melangkah di belakang Lodaya bersayap mahakala. Ternyata di dinding itu terpahat sebuah relief Lodaya bersayap dengan sebuah batu bercahaya putih di atas dahinya. Tangannya meraih batu satuasra yang menempel di dinding. Sesaat setelah diambil, sebuah tulisan muncul di dinding memancarkan sinar putih keperakan. Dimas segera membaca tulisannya.

“Yang terkecil pembuka yang lebih besar…….”

Raji, Pafi dan Gandrung menyusul di belakang Dimas. Pafi membuka peta naskah Sinar Avedi. Peta itu berubah. Garis yang semula hanya dihubungkan oleh lidah api di puncak segitiga besar, kini bertambah delapan di kiri dan kanan segitiga besar menghubungkan segitiga-segitiga kecil lainnya. Sembilan bintang bersinar secara bersamaan di dalam segitiga besar.

“Lihat peta ini berubah. Semua kuil terhubung dengan Cakravartin.”

“Kaulah yang terpilih Dimas. Mungkin kau harus menyebutkan tujuan kita berikutnya, kuil yang lebih tinggi tingkatannya” kata Gandrung.

“Baiklah…… Nutana” Dimas menyerahkan naskahnya kepada Pafi.

Tulisan itu kemudian lenyap dan dinding di hadapan Dimas terbuka. Sebuah ruangan di baliknya persis sama dengan ruangan sekarang mereka berada. Di depan sebuah patung Lodaya bersayap mahakala duduk tegak di atas altar dengan sebuah batu bersinar keemasan di kakinya.

“Ayo kita masuk !” Dimas melangkah melewati pintu. Saat Raji hendak melewatinya sebuah dinding gaib menghalanginya masuk. Dimas berbalik kembali ke pintu itu.

“Kenapa kalian tetap berada di sana ?”

“Kami tidak bisa masuk.” Pafi bergantian dengan Gandrung mencoba melewati pintu. Tetapi dinding gaib tetap menghalangi mereka.

“Kami tidak bisa mengikutimu lagi, hanya yang terpilih bisa melanjutkan semuanya.” Kata Gandrung. Dimas ragu-ragu, dia tidak mau melakukannya sendirian. Dia merasa butuh teman-temannya.

“Pergilah Dimas, cepatlah kumpulkan semua batu satuasra. Kami akan mengambil jalan lain untuk keluar dari sini” kata Raji. Dorongan teman-temannya memberikan keyakinan kepada Dimas. Akhirnya Dimas melanjutkan sendiri semuanya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang ?” tanya Gandrung.

“Kita kembali saja ke ruang keinginan. Kita menunggu disana saja.” Usul Pafi

“Aku setuju, saat ini kita tidak bisa membantu Dimas. Lebih baik kita menunggu.” Raji juga setuju dengan usulan Pafi. Gandrung tidak bisa membantah lagi.

“Mungkin batu cahaya ini bisa membantu kita melihat lebih jelas di jalan nanti.” Raji mengambil batu cahaya yang tergeletak di kaki patung Lodaya bersayap mahakala.

Belum mereka sempat melangkah menuju tangga turun, tiba-tiba sebuah hentakan angin menerpa keras. Saat membalikan badan, patung Lodaya bersayap mahakala sudah tidak lagi berada di tempatnya. Mahluk itu sedang berjalan mengelilingi ruangan sambil mengepakan sayapnya.

“Patung itu hidup, apakah dia makan daging ?” Raji sedikit gemetar.

“Kau ini iseng sih, seharusnya kita sudah jalan tenang tadi. Sekarang kita harus menghadapi mahluk penjaga ini.” Pafi kesal sekali kepada Raji. Raji meletakan kembali batu cahaya pada tempatnya. Hatinya berharap Lodaya itu kembali lagi menjadi patung. Tapi harapannya tidak terjadi. Batu cahaya telah berpindah dari tempatnya.

“Mahakala mahluk penjaga, dia akan menyingkirkan apapun yang bukan dijaganya. Termasuk kita.” Gandrung berbisik.

“Kita harus segera keluar dari tempat ini” kata Pafi

“Bagaimana caranya, kalau dia masih nongkrong di depan tangga. Itu satu-satunya jalan kita keluar. Kata Raji

“Sepertinya dia sedang menunggu, dia tahu kalau itu satu-satunya jalan untuk keluar.” Kata Gandrung.

“Maksudmu dia bisa berpikir ? mudah-mudahan dia bisa diajak ngobrol sekalian, biar kita dikasih jalan lewat.” Raji mulai agak ngawur

“Kita terpaksa harus menghadapinya, kalau tidak kita akan menginap selamanya disini. Kata Pafi “Kita serang dia dari dua arah. Gandrung begitu ada kesempatan, kau harus lebih dulu melewati tangga itu.” Gandrung mengangguk. “Aku akan menyerangnya lebih dulu”

“Tunggu, bukankah sebaiknya kita beramah tamah dulu, siapa tahu dia tidak jahat”

“Terserah kau lah, tapi aku akan sudah siap dengan seranganku” Pafi menggenggam kedua tangannya. Ketiganya menuruni altar. Lodaya bersayap mahakala itu menyadari kedatangan ketiganya. Suara mengaum menggema menggetarkan seluruh dinding ruangan. Raji melangkah paling depan. Hatinya dikuatkan sedikit agar tidak terlalu gemetar.

“Hai, aku Raji mau numpang lewat. Boleh kan ?”

Lodaya itu mengaum keras dan mengambil gerakan menyerang. Sesaat sebelum melompat hendak menerkam Raji, Pafi mengerahkan tenaganya menghantamkan pilar angin ke arah Lodaya itu. Tidak tanggung-tanggung Lodaya itu langsung terjengkang menghantam dinding hancur berantakan seperti batu. Gandrung melompat menuruni tangga. Raji dan Pafi tersenyum senang. Tetapi dalam sekejap semua serpihan batu itu menyatu kembali dan hidup. Lodaya itu kembali menyerang. Raji melepaskan lidah airnya menghantam tubuh Lodaya bersayap itu. Lodaya itu kembali hancur berantakan tetapi sayapnya sempat menghantap Raji. Badan Raji terhuyung ke belakang. Tangannya berusaha meraih pinggiran altar mencegah dirinya jatuh terjerembab.

Secara tidak sengaja tangan Raji menyentuh batu cahaya yang menerangi ruangan. Tangannya dengan gerakan reflex menggenggamnya sehingga hanya sebagian cahaya yang keluar. Lodaya bersayap mahakala yang terjengkang hancur karena hantaman lidah air Raji berubah kembali menjadi batu dan tidak kembali utuh. Raji membuka tangannya kirinya yang memegang batu cahaya. Cahayanya kembali menyebar menerangi ruangan dan menyinari serpihan batu patung Lodaya bersayap mahakala. Seketika batu-batu itu kembali menyatu dan berubah hidup kembali.

“Raji kau harus terus menggenggam batu cahaya itu. Disanalah sumber kehidupannya. Jangan sampai sinarnya menyentuh tubuhnya. Dia akan menjadi batu kalau berada dalam kegelapan.” Pafi menyadari kelemahan mahluk itu. Kedua tangannya telah siap melakukan serangan kalau mahluk itu kembali menyerang. Raji segera menggenggam kembali batu itu. Lodaya itu berubah kembali menjadi patung. Kesempatan itu digunakan Raji dan Pafi menyusul Gandrung yang sudah menunggu di bawah tangga.

“Ayo kita segera tinggalkan tempat ini” Raji melemparkan kembali batu cahaya itu ke ruangan di atasnya.

“Kenapa kau buang ?” kata Pafi

“Kau mau membangunkan setiap patung yang kita lewati ? Aku tidak mau. Kalau kau mau ambil lagi sendiri.” Raji rada jengkel. Pafi menangkap maksud Raji. Tanpa banyak bicara lagi mereka bertiga kembali menelusuri lantai demi lantai hingga kembali ke ruang keinginan.

---- *** ----

Dimas melangkah sendirian tanpa teman-temannya. Kali ini di ruangan puncak kuil Nutana. Dimas melangkah menuruni tangga hingga ke depan altar. Sebuah patung Lodaya bersayap mahakala yang sama seperti di ruang kuil andavantara duduk tegak di hadapan sebuah batu bercahaya kuning keemasan. Sebuah tulisan Sinar Avedi terukir di dinding altar. Dimas membaca tulisan itu. Kali ini isinya berbeda dengan yang sebelumnya.

“Kedua dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga terang. Dimanakah gelap saat terang ?”

Dimas bergerak menaiki altar menuju dinding yang tertutup bayangan patung. Matanya mencari-cari titik terang di atas dinding. Tidak ada setitik pun cahaya yang terlihat. Dimas terus mencari-cari.

“Mungkin tidak di tempat yang sama. Pasti Sinar Avedi tidak akan membiarkannya terlalu mudah. Kira-kira dimana disimpan ? Kalimat petunjuknya selalu sama. Yang terkecil pembuka yang lebih besar, dimanakah gelap saat terang. Pasti ini berkaitan dengan bayangan atau keadaan gelap. Yang terkecil mungkin maksudnya batu satuasra ini. Dia yang terkecil dari Sembilan.” Dimas melangkah turun kembali ke hadapan tulisan di dinding altar.

“Apa gunanya patung ini ? pastilah patung ini ada gunanya. Pastinya untuk menjaga batu satuasra.” Dimas menatap patung Lodaya bersayap itu.

Kemudian pandangannya disapu ke seluruh dinding ruangan. Delapan relief Lodaya bersayap terukir di atas dinding. Seluruh permukaannya begitu sempurna. Diukir dari batu utuh berwarna hitam. Tapi ada satu relief yang cacat. Pada bagian dahi persis diantara kedua alisnya terdapat sebuah lubang tidak beraturan.

“Relief ini sempurna sekali, tapi kenapa dahinya seperti bolong seperti ini. Mungkin terkena pahat saat membuatnya.” Dimas mengusap lubang di dahi relief itu dengan telunjuknya.

“Eh, bentuknya pas sekali dengan batu satuasra ini. Mungkin ini maksudnya sebagai pembuka yang lebih besar.” Dimas menyelipkan batu satuasra ke dalam lubang di dahi relief itu. Batu itu pas sekali menyelip di dalamnya. Sinar putih memancar keluar kemudian menjalari seluruh tubuh relief itu. Sesaat kemudian sebuah kepakan sayap terdengar. Angin kencang menerpa wajah Dimas. Patung Lodaya bersayap itu hidup. Dimas sangat terkejut melompat ke belakang menghindar. Lodaya itu berdiri tegak dengan sayap terkembang mulai menggeram menatap tajam kearah Dimas. Dimas mengambil sikap menyerang. Dalam sekejap Lodaya itu menerkam kearah Dimas. Kedua cakarnya menjulur kuat ke depan. Dengan sigap Dimas berjongkok dan bagian dada Lodaya itu begitu terbuka dan dengan kesempatan yang tepat Dimas menghantamkan tanganya. Sebuah sinar putih melesat tepat ke dadanya. Lodaya itu hancur berantakan menjadi serpihan batu. Tetapi sesaat kemudian semua serpihan batu itu bergerak menyatu kembali dan menjadi Lodaya utuh. Dimas bergerak mundur menyiapkan serangan lagi. Lodaya itu kembali siap menyerang.

“Gila, Lodaya ini hidup lagi. Bagaimana aku mengalahkannya kalau setiap aku hancurkan dia menyatu kembali dan hidup lagi.” Dimas melompat menghindar saat Lodaya itu mulai menerkam. Kemudian melompat ke atas altar. Dimas menghitung-hitung serangan yang akan dilakukannya. Kakinya tidak sengaja menginjak batu cahaya di bawahnya. Ruangan menjadi gelap sekejap. Sesaat Dimas melihat sebuah cahaya putih. Di punggung Lodaya itu. Saat cahaya kembali menerangi ruangan, Lodaya itu mengibaskan sayapnya. Kemudian menggeram dan kembali menerjang kearah Dimas. Tapi Dimas sudah siap dengan pukulannya. Dimas menghantamkan tenaganya tepat di kepala. Lodaya itu terjengkang hancur di bagian kepala. Tetapi sesaat kemudian semua serpihannya menyatu kembali dan bergerak menyerang kali. Kali ini Lodaya itu terbang mencoba menerkam dari atas. Dimas menghindar, tapi tangannya sempat terhantam kaki belakangnya. Dimas terjengkang ke lantai altar menimpa batu cahaya. Lodaya yang sedang terbang itu tiba-tiba jatuh ke lantai dan berubah menjadi batu. Ruang kembali gelap, kilau cahaya putih tampak di tempat jatuhnya Lodaya itu.

“Patung Lodaya bersayap itu hidup dari cahaya dari batu ini. Setiap cahaya ini tertutup dia akan kembali menjadi batu. Mungkin ini yang dimaksud dengan kalimat ‘penjaga terang’. Dia hidup saat terang” Dimas perlahan bangkit mengambil batu cahaya yang tertutup tubuhnya. Sedikit cahaya masih bisa keluar memberikan sedikit penerangan untuk berjalan. Dimas berusaha menghindari berkas-berkas cahaya yang keluar tidak menyentuh patung Lodaya itu. Kemudian perlahan mendekati berkas sinar putih di punggung Lodaya itu dan mengambilnya. Satu batu satuasra kini berada di tangannya. Kemudian tangan mengambil batu satuasra pertama di dinding relief.

“Dua sudah aku dapat, kini tinggal tujuh lagi. Patung itu harus aku hidupkan dulu dengan meletakan batu satuasra pertama di dinding relief. Batu yang lain ada di tubuh patung itu. Mudah-mudahan yang lain tidak sesangar ini Lodayanya.” Dimas melepaskan batu cahaya dan terang pun kembali ke seluruh ruangan. Patung Lodaya bersayap itu tetap tergeletak tidak bergerak. Dimas sudah menemukan kelemahan patung Lodaya bersayap itu.

Dimas melangkah dan berdiri di depan dinding belakang altar. Mulutnya menyebutkan sesuatu dengan pelan sekali. Pintu menuju ruangan kuil terbuka. Mandala Sura kuil ketiga. Ruangan kuil Mandala Sura masih sama dengan kuil-kuil sebelumnya. Setelah melewati dua kuil sebelumnya Dimas mendapati keyakinannya lebih tinggi. Langkahnya tidak lagi ragu. Matanya mengamati relief Lodaya bersayap yang terpahat di seluruh dinding. Dimas langsung menghampiri relief Lodaya bersayap mahakala dengan cacat di dahinya dan melekatkan batu satuasra dari kuil Andavantara ke dahi relief itu. Sesaat setelahnya Dimas mengambil batu cahaya dan menggenggamnya erat. Tak satu pun cahaya batu itu menyentuh patung. Namun tiba-tiba mata patung Lodaya itu bersinar merah. Dalam ruangan yang gelap jelas sekali sinar matanya memancar. Dimas terus menggenggam erat batu cahaya di tangannya. Kakinya melangkah mundur.

“Mengapa patung ini malah hidup ? bukankah dia seharusnya tetap menjadi batu ?”

Dimas belum sempat lagi memikirkan apa yang terjadi, Lodaya itu telah menyerang. Dengan sekuat tenaga tangannya menghantamkan ke tubuh Lodaya itu. Suasana gelap membuat Dimas terpeleset. Batu cahaya dalam genggamannya terlepas. Seluruh ruangan kembali terang. Dimas melihat serpihan patung Lodaya yang berserakan tak bergerak.

“Patung ini tidak menyatu lagi. Justru hidup saat gelap. Patung ini kebalikan dari patung di kuil Nutana. Gawat, untuk mengetahui dimana letak batu satuasra hanya dengan kegelapan. Berarti aku harus mencarinya saat patung itu hidup.”

Dimas kemudian mengambil batu cahaya yang terletak tak jauh darinya. Batu itu digenggam erat setelah mengambil tempat agak jauh dari tempat patung Lodaya itu berada. Serpihan tubuh patung Lodaya itu bergerak menyatu kembali. Sesaat kemudian berdiri tegak dan hidup. Matanya merah menyorot tajam kearah Dimas yang telah siap melakukan serangan. Dimas berusaha mencari cahaya putih. Matanya menangkap berkas putih di bagian perut bawah. Tiba-tiba Lodaya itu sudah melompat. Dimas membuka tangan kirinya yang sedang menggenggam batu cahaya. Selagi masih di udara, Lodaya itu berubah kembali menjadi patung dan berdebum keras di lantai. Dua kaki dan sayapnya patah.

Dimas melompat menghampiri patung Lodaya itu. Tangannya mengusap bagian perut bawah patung yang sudah pekat oleh debu. Sebuah batu menempel di lapisan bawahnya. Dimas kemudian menarik batu itu dan batu pertama di dahi kepala relief di dinding.

“Tiga batu satuasra, tinggal enam lagi. Mengapa patung ini malah hidup saat gelap. Apa ada yang aku lewatkan ?” Dimas melihat tulisan di dinding altar.

“Ketiga dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga gelap. Dimanakah gelap saat terang ?”

Dimas mengerti, dia telah melewati kalimat itu. Tiap kuil memiliki sifat penjaga yang berbeda-beda. “Aku harusnya tadi membaca lebih dulu.”

Kemudian kakinya melangkah ke depan dinding belakang altar. Lalu menyebutkan nama kuil berikutinya. “Pagan”. Kali ini Dimas tahu dimana kesalahan-kesalahannya dan berusaha lebih teliti. Ruang kuil Pagan tetap sama dengan kuil-kuil sebelumnya. Hanya terdapat sebuah patung Lodaya bersayap mahakala dengan sebuah batu cahaya di depan kakinya menerangi semua ruangan. Sebelum melakukan apapun matanya menatap semua tulisan di dinding altar.

“Keempat dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga dua dunia. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Penjaga dua dunia ? Apa maksudnya ? Dunia gelap dan dunia terang? mungkin Lodaya penjaga tetap hidup di saat terang maupun gelap. Lalu bagaimana melumpuhkannya ? Kalau saja ada Raji, pasti dia senang membantuku bermain-main dengan Lodaya ini”

Dimas berpikir keras, matanya terus melihat ke sekeliling ruangan. Di dinding ruangan terdapat beberapa relief patung Lodaya bersayap. Mau tidak mau Dimas harus menghadapinya. Tidak ada pilihan lain. Tangannya meraih batu cahaya di atas altar. Kemudian Dimas mengelilingi dinding di belakang altar. Delapan relief Lodaya bersayap mahakala terpahat. Dimas meneliti satu persatu relief yang memiliki lubang di bagian keningnya. Kemudian Dimas meletakan batu satuasra kuil Andavantara ke dalam lubang itu. Patung Lodaya bersayap mahakala di belakangnya mulai bergerak. Dimas mengepalkan tangan dirinya yang sedang memegang batu cahaya. Matanya berusaha mencari titik cahaya putih di setiap bagian tubuh Lodaya itu. Tapi hanya dua sinar merah yang memancar dari kedua mata Lodaya itu. Dimas mulai melakukan serangan lebih dulu sebelum Lodaya itu menyerang. Dia ingin mendapatkan waktu yang cukup untuk berpikir memecahkan teka-teki ini. Sekali melompat Dimas dengan tenaganya melempar Lodaya itu ke dinding. Lodaya itu terbentur hebat, sayapnya hancur berantakan. Dimas melompat menghampiri mengambil kesempatan mencari berkas cahaya satuasra sebelum serpihan tubuh Lodaya itu menyatu kembali. Tidak ada tanda satu pun sinar putih terlihat. Lodaya itu kembali utuh dan menyerang dengan ganas. Dimas harus berulang kali menghindar dan membuat Lodaya itu hancur berantakan. Tetapi dalam sekejab hewan itu kembali utuh. Dimas mulai kelelahan dan kehilangan tenaga. Sekali serangan Lodaya itu kali ini membuatnya terjengkang tergeletak di bawah dinding altar. Dengan auman yang keras Lodaya itu melompat persis di atas tubuh Dimas. Sesaat Dimas melihat sebuah berkas cahaya putih. Dimas berguling menghindar sehingga Lodaya itu hanya menabrak dinding altar. Dimas langsung bangkit.

“Batu itu ada di belakang dagunya.” Tanganya mengerahkan tenaga sekuatnya diarahkan ke leher Lodaya yang sedang berusaha bangkit. Lodaya itu tidak berkutik. Lehernya hancur berantakan, kepalanya lepas dari tubuhnya. Dengan cepat Dimas mengambil kepala Lodaya itu. Tangannya merogoh ke bawah dagunya. Akhirnya sebuah batu satuasra berhasil dikeluarkan dari mulut Lodaya itu. Lodaya itu tidak kembali lagi.

“Sudah empat, tinggal lima lagi.” Dimas melangkah ke dinding di belakang altar setelah mengambil batu satuasra kuil andavantara di dinding relief. Suaranya yang kelelahan mengucapkan kata “Kutai”. Pintu terbuka menuju kuil Kutai. Dengan gontai Dimas melangkah ke depan altar. Tulisan yang sudah empat kali dia lihat terpahat di dinding altar.

“Kelima dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan sang penjaga empat penjuru. Dimanakah gelap saat terang ?”

Dimas berkeliling mencari relief Lodaya bersayap di dinding yang memiliki cacat di dahinya. Kemudian memasukan batu satuasra pertama ke dahi relief Lodaya.
Antara keinginan untuk menghidupkan patung Lodaya itu dan malasnya harus bertempur lagi dengannya. Tapi tidak ada pilihan lain. Untuk mendapatkan batu satuasra harus menghidupkan patung Lodaya bersayap lebih dulu sebagai penjaganya. Batu satu asra baru akan mengeluarkan sinar putih di kegelapan.

Patung Lodaya bersayap mulai hidup. Dimas mulai berpikir keras dimana batu satuasra itu diletakan. Matanya menyapu seluruh bagian di tubuh Lodaya itu mencoba mencari dimana batu satuasra berada. Lodaya itu menggeram, tubuhnya membungkuk. Sebuah terkaman sedang disiapkan. Tapi Dimas sudah siap dengan sebuah pukulannya. Lodaya itu akhirnya melompat menerjang kearah Dimas. Dimas melompat ke samping, sedikit membungkukan badannya menghindari sayap yang terkembang. Ruang terbuka memberikan kesempatan sebuah pukulan dilepaskan tepat di bagian perut. Sebuah sinar putih meluncur dari tangan kanan Dimas tepat menghantam. Lodaya itu terlempar ke samping dan jatuh di lantai. Tapi kali ini tidak ada satupun dampak dari pukulan itu. Lodaya itu bangkit kembali siap menyerang.

“Gila ! Lodaya ini tahan serangan, aku tidak bisa menghancurkannya seperti yang sebelumnya.” Dimas terus berpikir keras. “Mungkin ada hal lain yang terlewat, Aku membutuhkan Gandrung untuk memecahkan teka-teki ini. ’Di hadapan sang penjaga empat penjuru’ mungkin empat hal yang harus aku jalankan.”

Lodaya itu kembali menyerang. Dimas hanya melakukan gerakan menghindar. Sesekali sebuah pukulan dilepaskan untuk membuatnya berada lebih jauh dari dirinya. Dimas tidak mau membuang tenaga. Semua pukulannya tidak memberikan kerusakan apapun pada tubuh Lodaya itu.

Dimas memeriksa kembali relief Lodaya sambil terus menghindari serangan-serangan Lodaya itu. Kali ini beberapa Lodaya memiliki cacat yang berbeda-beda. “Lodaya ini memiliki lubang di punggung, yang ini di perut” Dimas mengelilingi ruangan.

“Ah relief-relief Lodaya ini melambangkan penjaga dari batu-batu satuasra yang telah aku ambil.” Satu per satu Dimas memasukan batu-batu satuasra itu ke dalam masing-masing relief.

“Empat penjuru, empat relief patung di empat jurusan.” Saat batu terakhir ditempatkan, empat buah sinar putih meluncur keluar dari tiap batuasra hingga saling menyatu persis di tengah ruangan.

“Sekarang apa lagi ? Mungkin aku pukul saja sekerasnya” Dimas tidak lagi mau memikirkan apa yang harus dipecahkannya kali ini. Lodaya itu kembali menyerang dengan cepat. Suaranya mengetarkan seluruh ruangan. Dimas melompat menyambar batu cahaya yang tergeletak di atas altar. Sesekali batu itu di genggam sehingga beberapa bagian ruangan menjadi gelap. Matanya terus mencari sinar putih di tubuh Lodaya itu. Tetapi Lodaya itu tidak pernah membiarkan Dimas punya cukup waktu untuk mengamatinya di dalam gelap. Matanya yang merah bergerak cepat kearah Dimas. Dimas melompat mundur menghindari serangan. Tangan kirinya telah siap dengan sebuah perisai gaib. Tangan kanannya sudah siap melepaskan serangan. Dimas berlari turun dari altar. Lodaya itu berbalik mengejarnya. Dimas melepaskan serangannya. Sebuah sinar putih meluncur deras menghantam kaki kiri Lodaya. Kaki Lodaya itu hancur berantakan. Dimas sungguh senang melihat serangannya kali ini memberikan dampak kepada Lodaya itu. Tetapi sama dengan Lodaya lain, dalam sekejap serpihan kakinya menyatu kembali.

“Paling tidak sekarang aku bisa membuatnya pecah berantakan. Dan itu cukup untuk membuatku mengambil batu satuasra dari tubuhnya.”

Lodaya itu kembali menyerang. Dimas berusaha menghindar, tetapi kakinya tersandung hingga tersungkur. Saat hendak membalikan tubuhnya dan Lodaya itu sudah melompat menyerang. Tidak sempat melepaskan serangan, Dimas membuat perisai gaib di atas tubuhnya yang telentang di atas lantai. Tubuh Lodaya itu mendarat persis di atas perisai gaib Dimas. Tangannya berusaha menembus perisai. Mulutnya meraung berusaha mengigit. Sebuah sinar putih terbersit saat Lodaya itu berusaha menggigitnya. Dimas berusaha keras mempertahankan perisai gaib. Tangan kanannya melepaskan pukulan ke tubuh Lodaya itu. Saat tubuh Lodaya itu terjengkang ke belakang menghantam dinding dan hancur berantakan. Dimas mengambil kesempatan untuk bangkit dan mengambil kepala Lodaya itu sebelum menyatu kembali.

“Batu itu berada di mulutnya.” Tangannya merogoh ke dalam mulut Lodaya. Sebuah batu bersinar putih keluar dari mulut Lodaya itu. Sinar yang keluar dari empat penjuru seketika lenyap.

“Akhirnya lima batu satuasra. Tinggal empat lagi. Sekarang aku harus ke kuil Siam”

Dimas tidak lagi mau membuang waktu, langkahnya segera diarahkan ke dinding di belakang altar. Begitu menyebutkan nama kuil selanjutnya sebuah pintupun terbuka. Ruangan yang sama terlihat di balik pintu itu. Dengan langkah pasti Dimas memasuki ruangan. Patung Lodaya bersayap mahakala duduk tegak di tengah altar. Batu cahaya tergeletak begitu saja di depan kakinya. Matanya menyapu tulisan bahasa Sinar Avedi yang terukir di dinding depan altar.

“Keenam dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga lima kebajikan. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Lima kebajikan ? Apa lima kebajikan di dunia ?
Dimas menyusuri dinding kuil mencari lubang-lubang di bagian-bagian tubuh relief Lodaya tempat meletakan batu satuasra.

“Relief-relief ini tidak ada lubang sama sekali. Apakah teka-tekinya telah berubah ? Mudah-mudahan lebih menyenangkan. Lodaya itu berubah jadi kucing yang manja. Ah, pasti ini berkaitan dengan lima kebajikan. Aku harus menemukan apa lima kebajikan itu. Huh sayangnya tidak ada Pafi disini. Kalau saja ada dia pasti semuanya sudah terjawab.”

Dimas mendekati relief Lodaya pertama dimana biasanya dia menempatkan batu satuasra kuil andavantara. Tanganya meraba-raba dahi relief Lodaya itu. Tidak ada lubang satu pun terdapat di sana.

“Lima kebajikan ? Tidak membunuh ?” Dimas mencoba-coba menerka. Tidak diduga tebakannya memberikan hasil. Sebuah lubang terbuka di bagian dahi relief Lodaya itu. Dimas senang sekali.

“Ah…berhasil” tanganya mengambil batu satuasra paling kecil dari kantong kulit di pinggangnya dan meletakannya ke dalam lubang itu. Dimas melangkah ke relief berikutnya.

“Tidak Merokok ? Tidak Mencuri ? Ah mungkin jawabannya adalah dosa-dosa yang tidak boleh dilakukan” sebuah lubang muncul di bagian punggung relief. Segera sebuah batu satuasra diletakannya.

“Tidak Menipu ? Tidak berbohong” Dua lubang lain muncil di perut bawah relief yang lain.

“Sekarang apa yang terakhir. Tidak minum minuman keras ? sepertinya tidak. Tidak keluar asrama tengah malam ? tidak juga. Tidak menghamili istri orang?” Sebuah lubang di bagian mulut relief terbuka. Tetapi sesaat kemudian tertutup lagi.

“Ah tadi sudah terbuka. Mengapa tertutup lagi ? Tidak menghamili istri orang ?” Dimas menyebutkan lagi. Hal yang saja terjadi. Lubang itu tertutup sesaat setelah terbuka.

“Ah, aku tahu mungkin yang lebih tepat Tidak boleh berzina !” Lubang itu terbuka kembali dan kali ini tetap terbuka. Dimas meletakan batu satuasra terakhir ke dalam lubang itu.

Lima sinar putih memancar dari lima relief Lodaya bertemu di tengah-tengah kuil. Patung Lodaya di tengah altar kali ini tidak menyerang. Sayapnya dilipatkan ke tubunya dan memberikan sembah kepada Dimas. Setelah batu satuasra ke lima, baru kali ini lodaya penjaga batu satuasra tidak menyerang. Ekornya yang panjang dijulurkan ke depan pada posisinya yang menyembah. Sebuah cahaya putih memancar dari ujung ekor lodaya itu. Dimas menarik batu satuasra. Lodaya itu kembali ke tempatnya semula di atas altar dan diam tidak bergerak lagi.

“Enam satuasra, tinggal tiga.” Dimas segera melangkah ke depan dinding di belakang altar. Dengan pelan mulutnya menyebutkan nama kuil berikutnya. “Angkorwat”

“Ketujuh dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga enam putaran bumi. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Enam putaran bumi ? artinya enam hari ? enam hari bumi ? Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, emmmmmmm… tujuh, bukan enam ? Mungkin pasaran jawa. Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage….Cuma lima. Enam hari ?” Apa maksudnya enam hari putaran bumi ? Penciptaan bumi ?

Saat bintang pertama menyerahkan dirinya untuk kehidupan
Keduanya hanyalah api yang membara
Air mendinginkannya pada saat ketiga
Setelahnya udara ditiupkan bersama badai pada yang keempat
Lima hari menunggu bumi menjadi rumah
Bulan menggantung indah pada yang keenam
Surga kedua tercipta di hari ke tujuh
Para Dewa bertanya,
Apakah Tuhan telah melakukan kesalahan ?
Mengapa Dia menciptakan surga yang lain ?
Mengapa Dia membuatnya lebih indah dari surge kita ?
Mengapa Dia memberikannya pilihan ?
Ah, ternyata Tuhan juga tak sesempurna katanya
Kalau tidak salah, mengapa Dia harus membahayakan dunia sempurna yang diciptakannya dengan menciptakan lagi mahluk yang tak putih tak juga hitam
Manusia, apakah dia beruntung atas sebenarnya terkutuk
Tapi kalaupun terkutuk aku sangat ingin menjadi seperti mereka
Begitu bebas dengan pilihan Tuhannya

“Bintang, Api, Air, Udara, Bumi, Bulan ya itu dia jawabannya. Sekarang tinggal mendapatkan kata yang tepat”

Dimas mengelilingi dinding relief. “Bintang berarti Astra” Sebuah lubang terbuka untuk satuasra pertama. Dimas meletakannya segera. Api mungkin berarti agni.” Sebuah lubang terbuka, tetapi sesaat kemudian tertutup kembali. “Ah nyaris, aku harus cari kata yang lain, mungkin Aktu” Sebuah lubang terbuka di punggung relief Lodaya yang lain.

“Yang kedua sudah, Air sama dengan banyu, tirta, samudhra” lubang lain muncul di perut relief lodaya.

“Angin artinya bayu, nah lubang keempat terbuka. Bumi ya Bhumi.” Lubang ke empat dan kelima telah terbuka dan Dimas langsung meletakan batu satuasra ke dalamnya.

“Yang terakhir bulan sama dengan Chandra” lubang terakhir muncul di ujung ekor relief. Enam sinar putih dari enam batu satuasra meluncur ke tengah ruangan dan menyatu. Kemudian berpendar memenuhi seluruh ruangan memberikan gambar luar biasa di seluruh ruangan. Pemandangan ruang angkasa dengan ribuan bintang bersinar. Kemudian muncul sebuah bintang berekor meluncur jatuh tepat di atas ubun-ubun patung lodaya. Dimas segera menghampiri patung lodaya bersayap itu. Sebuah sinar putih berkilau di atas ubun-ubunnya. Dimas mengambilnya dan kemudian satu per satu mengambil sisa batu satuasra yang tadi diletakan di dinding relief.

“Tujuh batu satuasra, tinggal dua lagi. Aku harus bergegas.” Dimas berlari menaiki tangga altar menuju dinding di belakang altar.

“Viet” sebuah pintu membuka sebuah ruangan yang sama. Dimas melangkah ke dalam. Hatinya mulai merasa bosan dengan teka-teki ini. Kakinya gontai ke depan altar.

“Kedelapan dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga tujuh jiwa. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Penjaga tujuh jiwa ? mungkin tujuh titik cakra manusia seperti kata pak Narso.”

“Sahasrara, Ajnya, Wisudhi, Anahata, Manipura, Swadhisthana, Muladhara” Satu per satu lubang-lubang terbuka di relief-relief lodaya. Dimas menempatkan batu-batu satuasra secara berurut. Tujuh sinar putih meluncur dari ketujuh batu satuasra itu dan menyatu di tengah seperti sebuah jaring laba-laba. Sebuah sinar putih berkilau di pusar patung itu. Dimas mengambilnya dengan mudah. Setelah semua batu satuasra di dinding relief sudah diambil kembali, kini kuil terakhir

“Rajatapura”

Dimas untuk terakhir kalinya melangkah ke depan altar dimana patung lodaya bersayap mahakala duduk tegak di depan batu cahaya yang bersinar menerangi seluruh ruangan.

“Kesembilan dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga delapan ruang waktu. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Delapan ruang waktu, seperti yang dikatakan oleh Ratu Kerajaan Selatan. Mudah-mudahan aku tidak salah, Bajra, Sangkha, Danda, Khadga, Nagapasa, Dwaja, Cakra, Trisula.” Dimas menyebutkan satu per satu nama-nama ruang waktu yang pernah didengarnya dari Ratu Kerajaan Selatan. Satu per satu pula sebuah lubang bermunculan di relief-relief lodaya. Dimas meletakannya secara berurutan. Sinar putih meluncur dari delapan penjuru saling bertemu di tengah ruangan. Patung lodaya bersayap mahakala hidup dan tetap duduk tegak. Sayapnya mengepak pelan. Dadanya mengeluarkan cahaya putih paling terang. Dimas mengambil batu satuasra di dada lodaya itu. Dan satu persatu semua batu satuasra diambil dari relief. Lengkaplah Sembilan batu satuasra. Sebuah pintu terbuka di dinding belakang altar. Ruangan yang berbeda tampak di baliknya. Antara kelegaan dan pertanyaan di dalam hatinya, Dimas melangkah memasuki ruangan.

No comments: