Ruang belajar masih sepi, biasanya anak-anak asrama mulai menggunakan ruangan itu setelah lewat maghrib. Dimas sudah berada di depan dinding lukisan gunung. Pafi dan Raji berdiri disebelahnya sambil mengawasi kalau-kalau ada orang yang datang. Dimas menyodorkan telapak tangannya ke arah lukisan itu. Tapi tak terjadi apa-apa. Tidak ada apapun yang berubah.
“Aku tidak bisa membukanya.” Dimas agak kecewa.
“Kemarin kau bagaimana membukanya ?” tanya Pafi.
“Pintu itu muncul setelah keluar aksara-aksara aneh dari telapak tanganku, tapi sekarang aku tidak bisa mengeluarkannya.” Jawab Dimas.
“Kau bawa buku itu tidak ?” Raji mengingatkan Dimas mengenai buku yang diberikan Pafi kepadanya.
“Aku sedang memegangnya.” Jawab Dimas.
“Mungkin sebaiknya kau ulangi semua dari awal, saat membuka halaman pertama buku.” Pafi memberikan saran. Dimas teringat lagi apa yang dilakukannya kemarin.
“Baiklah” Dimas membuka buku yang kemarin diberikan Pafi, kemudian membuka halaman berikutnya. Tapi tetap tidak terjadi apapun. Dimas kecewa sekali. Dimas kehabisan akal, tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
“Kau harus membacanya dari awal” Pafi mengingatkan lagi. Dimas pun kembali membuka bukunya dan membacanya.
“Menjadi yang pertama berjalan di atas permukaan bumi sang Manusia Utama …………….. NARAPATI”
Tangannya kemudian membuka halaman berikutnya, semua aksara di halaman itu berubah menjadi bentuk-bentuk aneh dan bersinar keemasan. Kemudian meredup seperti menyerap ke dalam telapak tangan Dimas. Dimas lalu mengarahkan tangannya ke lukisan gunung di dinding. Dengan perlahan aksara-aksara yang tadi menyerap ke telapak Dimas meluncur keluar berterbangan masuk ke dalam lukisan itu. Setelah itu sebuah pintu terbuka.
“Kau berhasil!” kata Raji dan Pafi bersamaan.
“Ayo kita masuk” Dimas melangkah memasuki pintu itu. Sebuah lorong gelap cukup panjang tapi ada cahaya diujungnya. Dimas terus melangkah perlahan diikuti oleh Raji dan Pafi. Mereka muncul di sebuah tempat di sebuah ruangan dalam sebuah rumah yang cukup nyaman.
“Dimana kita ?” Raji memandangi sekeliling ruangan putih dan terang. Tidak seperti yang diharapkannya.
“Entahlah, mungkin ada yang salah saat kita membuka pintunya.” Dimas sendiri juga kebingungan menemui tempat yang berbeda dari yang mereka temukan kemarin malam.
“Ayo kita periksa saja ruangan ini aja dulu.” Pafi melangkah menyusuri ruangan lain.
“Isinya sangat lengkap, sepertinya ruangan pertama yang kita masuki adalah ruang tengah. Ini adalah ruang tidur dan masih ada lagi di sana.” Pafi kemudian membuka pintu yang bersebrangan dengan pintu masuk. Sebuah lorong yang remang-remang dengan sedikit cahaya masuk dari ventilasi kecil di atasnya. Baunya sangat tidak nyaman.
“Sepertinya ini adalah gorong-gorong di bawah kota. Aneh sekali ada tempat tinggal sebagus ini di tempat yang bau seperti ini.” Dimas sesekali menyeka hidungnya mengusir bau yang tak sedap. Kakinya melangkah keluar pintu. Pafi lebih dulu keluar. Raji menyusul dibelakang. Pintu tertutup dengan sendirinya. Dengan ragu-ragu ketiganya melangkah meninggalkan pintu. Belum lebih dari tiga langkah Dimas membalikan badannya ke belakang pintu tempat mereka tadi keluar perlahan berubah menjadi dinding batu serupa dengan sekelilingnya. Dimas setengah berlari kembali, tetapi semuanya telah kembali menjadi batu. Raji dan Pafi menyusul dan melihat dengan kecewa tidak ada pintu yang mereka temui.
“Bagaimana kita bisa kembali, pintunya hilang” Pafi resah. Dimas meraba-raba dinding dimana pintu itu sebelumnya berada. Tidak ada yang berubah. Sesaat kemudian meraba bagian tengahnya tangan memegang sesuatu seperti gagang pintu. Tangannya langsung memutar gagang tersebut dan mendorongnya. Pintu itu terbuka kembali. Dimas gembira sekali.
“Raji, Pafi aku menemukan pintunya lagi” kata Dimas girang. Raji dan Pafi nyaris berteriak kegirangan melihat pintu yang tadinya hilang kini terbuka kembali.
“Bagaimana kau menemukannya ?” Pafi mendorong pintu itu seolah tidak mau lagi terjebak.
“Tidak sengaja, sepertinya pintu itu tetap berada di tempatnya, hanya saja tersamar dan membuatnya terlihat sama dengan dinding di sekitarnya. Rupanya ada yang menginginkan pintu itu tidak ditemukan.” Dimas menjelaskan.
“Berarti kita sudah tahu rahasianya dan kita bisa meninggalkannya. Yang kita perlu hanyalah mengingat tempatnya” Raji meraba-raba dimana letak gagang pintunya.
“Kita perlu menandai tempat ini, tapi kelihatannya akan sangat sulit karena bentuk gorong-gorong ini sama semua.” Dimas mengamati kedua ujung lorong. Pintu itu kemudian ditutup kembali. Pafi mundur selangkah tapi tangannya tetap memegang dinding pintu. Dimas melepaskan pegangannya dari gagang pintu. Perlahan bentuk pintu itu kabur dan berubah serupa dengan bentuk dinding di sekitarnya. Apa yang Pafi pegangpun berubah. Masih kurang yakin Pafi meraba dinding itu ke tempat dimana tadi Dimas melepaskan gagang pintunya. Tangannya merasakan sebuah gagang pintu walaupun tidak terlihat. Setelah yakin pegangannya dilepaskan.
“Ke atas saja” Raji menunjukan jarinya ke atas. Dimas dan Pafi menengadah ke atas.
“Kau jenius Raji.” Puji Dimas. Raji hanya nyengir sambil garuk-garuk kepalanya. Dimas melangkah mendekati lubang-lubang kecil dimana cahaya masuk dari atas. Tangannya meraih udara kosong di bawahnya. Cahaya matahari menyinari wajahnya. Rasa panasnya dapat ditebak kalau hari sudah lewat tengah hari. Setelah meraba udara kosong beberapa saat lubang di atasnya bergerak. Lubang berbentuk persegi empat terbuka sesaat setelah Dimas menggesernya.
“Pafi, naiklah lebih dulu.” Dimas meminta Pafi melompat lebih dulu. Dengan pengendaliannya terhadap angin, Pafi mengangkat dirinya melayang melewati lubang di atas. Setelah di atas Pafi membantu mengangkat Dimas dan Raji bergantian. Setelah semua berada di atas tutup lubang itu dipasangkan kembali ke tempatnya yang tepat berada di atas sebuah jalan yang sepi tepat di pinggir sebuah sungai besar. Sebuah tembok tinggi sepanjang mata memandang dengan anak tangga di sampingnya menuju ke atas. Tampaknya jalan itu sebuah sandaran dermaga kecil yang jarang dipakai. Sawah-sawah yang sudah menguning keemasan terhampar luas hingga garis cakrawala. Beberapa gapura tampak berdiri di beberapa bagian di tengah jalur-jalur air yang cukup besar untuk perahu-perahu berlalu lalang. Tidak pernah Dimas melihat hamparan sawah yang begitu luas dan tertata rapi dengan saluran-saluran airnya.
“Ayo kita ke atas, mungkin pusat kota Sunda Buana berada di balik dinding ini.” Raji melangkah lebih dulu meninggalkan Dimas dan Pafi yang masih terpana oleh pemandangan persawahan yang begitu indah.
Mereka kemudian menyusul Raji melangkah menapaki tangga. Apa yang terlihat di balik dinding sungguh mencengangkan. Sebuah kota dengan bangunan-bangunan tinggi dan tepat di tengahnya sebuah bangunan piramida paling tinggi dengan puncak api yang menyala di angkasa. Wahana-wahana terbang melintas di langit kota.
“Apakah ini yang disebut kota Sunda Buana ?” Raji tertegung dengan mulut menganga. Pafi tak sanggup bicara apa-apa lagi.
“Sepertinya begitu dan kita berdiri di atas bentengnya” Dimas merasakan darahnya berhenti mengalir. Bulu romanya bergidik melihatnya. Bahkan apa yang dilihatnya lebih indah dan lebih hebat dari Batavia. Kata-kata apapun tak sanggup menggambarkan kilau emas yang memantul dari seluruh kota. Pafi hanya diam membeku di sebelah Dimas. Seolah semua kata terjebak di kepalanya tak mampu keluar dari mulutnya.
“Gambarannya persis seperti yang diceritakan oleh pak Narso.” Pafi seperti baru menemukan kata-katanya.
Pohon-pohon kelapa berdiri tinggi di kiri kanan jalan yang dibatasi oleh parit-parit cukup besar. Di seberangnya bangunan-bangunan rumah dengan atap-atap mirip campuran antara rumah gadang dan toraja berdiri indah di antara taman-taman yang ditata apik. Dorongan naluri membawa Dimas berjalan terus menyusuri jalan masuk menuju pusat kota. Kota Sunda Buana sangat besar. Bahkan terasa jauh lebih besar dari pada kota Jogjakarta. Kota peninggalan kerajaan Mataram itu terasa begitu kecil dengan kemegahan Sunda Buana. Sepanjang jalan di antara pohon-pohon kelapa selalu berdiri pilar-pilar dengan patung-patung garuda. Garuda yang menjadi lambang paling dihormati di seluruh Sunda Buana. Makin masuk ke dalam kota, suasana makin ramai oleh kegiatan penduduk kota. Perahu-perahu hilir mudik diantara saluran-saluran air. Sepertinya saluran air yang membelah kota menjadi bagian-bagian menjadi transportasi yang sama pentingnya dengan jalan-jalan darat. Sesekali melintas di udara sebuah wahana dengan bentuk lonjong. Kendaraan darat mengangkut orang-orang dan hasil bumi berlalu lalang.
“Sepertinya kita berada di jalur pasar, lihat banyak sekali wahana yang mengangkut hasil-hasil pertanian.” Dimas menunjuk sebuah wahana beroda empat seperti mobil para pejabat Hindia Belanda di Jogjakarta. Warnanya yang abu-abu kehitaman dengan bentuk permukaan yang agak kasar kelihatan kokoh sekali. Sebuah bangunan panggung campuran dari batu dan kayu dengan bentuk atap meruncing seperti tanduk kerbau menjadi tempat berkumpulnya semua kegiatan jual beli. Tumpukan hasil-hasil pertanian tertata rapi dibawahnya. Diantara hilir mudiknya orang, tampak seorang anak kecil yang berlari-lari menyelip kesana kemari di bawah orang-orang dewasa tidak lagi menyadari kalau Dimas, Raji dan Pafi sedang berjalan ke arahnya. Tak terelakan tubrukan terjadi. Dimas terjengkang ke belakang sementara anak kecil itu tersungkur ke depan.
“Ah…maafkan aku. Aku tidak sengaja…..” katanya menghampiri Dimas yang masih terduduk di atas tanah.
“Tidak apa-apa….” Dimas berusaha bangkit dengan bantuan tangan anak itu.
“Gandrung, apakah kau Gandrung ?” Pafi mengamati wajah anak itu yang basah oleh keringat. Anak itu meringis tapi belum menjawab. Wajahnya seperti kebingungan sejenak.
“Ya aku Gandrung, oh…Pafi, Raji…..Dimas” Gandrung seperti tidak percaya melihat kehadiran mereka bertiga di hadapannya.
“Gandrung, apa kabarmu ?” Dimas menyapanya.
“Baik…baik…hehehe senang sekali bertemu kalian lagi. Sudah satu purnama kita berpisah, aku terus berharap bisa bertemu lagi dan akhirnya harapanku terkabul.” Kata Gandrung.
“Satu purnama ? kita cuma berpisah satu hari saja” kata Raji keheranan.
Pafi menepuk tangan Raji sambil mengedipkan matanya “Sudah satu purnama yah, wah lama juga yah tidak terasa kita berpisah sudah selama itu” Pafi menyela pembicaran. Raji bisa saja berkata begitu saja mengenai bahwa bagi mereka sebenarnya baru satu hari. Tetapi Raji segera menyadari keadaan.
“Iya, kemana saja kalian selama ini?” Gandrung menepiskan tangannya ke seluruh badan membersihkan kotoran yang melekat di bajunya.
“Kami hanya sedang jalan-jalan saja, dan akhirnya sampai di kota ini” jawab Dimas tanpa mau menyebutkan nama kotanya. Dimas mengharapkan Gandrung menyebutkan nama kota dimana sekarang mereka berada. Untuk memastikan kalau kalau perkiraannya benar.
“Akhirnya kalian ke Sunda Buana juga. Bagaimana kalau kalian ke rumahku. Aku yakin pasti ayah dan ibuku sangat senang dengan kedatangan kalian” pinta Gandrung. Dimas begitu senang mendengarnya. Dimas, Raji dan Pafi saling pandang memberikan isyarat setuju.
“Baiklah, lagi pula kami tidak terlalu paham mengenai kota ini, kami harap kau bersedia mengajak kami keliling kota ini.” Dimas mengajukan syarat. Dimas tahu Gandrung akan dengan senang hati mengantar mereka walaupun tidak diminta.
“Dengan senang hati, aku akan bawa kalian keliling kota sepuas kalian dan yang pasti aku akan membawa kalian ke tempat-tempat yang hebat. Kebetulan aku sedang libur tahunan sekolah.” Gandrung senang sekali.
Mereka berempat akhirnya berjalan bersama-sama mengunjungi sudut-sudut kota hingga sore. Saat matahari mulai bergantung di barat, Gandrung mengajak mereka ke rumahnya yang tidak jauh dari pusat kota.
Kemudian mereka memasuki sebuah rumah yang terbuat dari batu merah beratap melengkung seperti tanduk kerbau. Dimas sudah bisa menebak rumah siapa yang sekarang sedang mereka masuki. Seorang wanita cantik sudah berdiri menyambut di depan pintu rumah.
“Gandrung…..” perempuan itu membuka tangannya..
“Ibu….” Gandrung berlari menghampiri perempuan itu dan mencium tangannya. Dari dalam rumah muncul juga seorang lelaki yang sudah dikenal Dimas sebelumnya. Gandrung bergantian mencium tangan ayahnya. Lelaki itu tersenyum ramah melihat Dimas, Raji dan Pafi.
“Selamat datang nak Dimas, Raji, Pafi.” Patih Nara Jalaseva memberikan salam.
“Terima kasih paman, apa kabar paman ?” Dimas menghaturkan salam kedua tangannya.
“Baik nak. Dinda, ini adalah Dimas, Raji dan Pafi. Mereka bertiga telah berjasa menolong anak kita dari lodaya.” Patih Nara Jalaseva tersenyum kepada ketiganya.
“Terima kasih atas pertolongan kalian, Selamat datang di kediaman kami.” Istri Nara Jalaseva memberikan salam.
“Dinda, siapkanlah ruang tidur untuk mereka bertiga dan siapkanlah makanan yang paling enak. Kalian akan menginap disini bukan ?” Patih Nara Jalaseva menatap Dimas. Dimas hanya mengangguk setuju.
“Baiklah kakang” Perempuan cantik itu segera mengerjakan permintaan suaminya.
“Ayo masuk, aku tunjukan kamarku” Gandrung mengajak Dimas, Raji dan Pafi.
“Kamar tidurmu bagus sekali.” Raji mengagumi kamar tidur Gandrung.
“Ini belum seberapa, nanti aku akan tunjukan tempat-tempat lain yang tidak pernah didatangi orang. Aku sering mengunjungi tempat-tempat yang tidak boleh didatangi oleh siapapun karena dilarang oleh kerajaan atau tersembunyi oleh rahasia-rahasia sihir Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh.” Gandrung mengecilkan suaranya.
“Tempat-tempat terlarang dan rahasia ? apa kau tidak takut dihukum kalau sampai ketahuan ?” Pafi juga mengecilkan suaranya.
“Ya kalau ketahuan pasti kena hukuman ayah. Tapi tempat-tempat itu sudah seperti tidak pernah diingat lagi dan terlupakan. Tapi aku tahu jalan-jalan yang aman untuk kesana.” Gandrung makin bersemangat. Petualangannya kini tak harus dilakukannya sendiri.
“Wah menyenangkan sekali.” Raji seperti mendapat air jeruk dingin di siang hari. Matanya berbinar senang.
“Kau berani sekali Gandrung.” Dimas memuji Gandrung. Anak itu senang sekali mendengarnya.
“Banyak sekali rahasia terpendam di bawah kota ini. Nanti akan aku ajak kalian ke sana.” Kata Gandrung penuh semangat. Sedang asyiknya mereka mengobrol, kemudian terdengar suara panggilan dari luar kamar.
“Gandrung, ayo ajak teman-temanmu ke kamar mereka, setelah itu bersiaplah untuk makan malam.” Ibu Gandrung hanya sedikit melongok di pintu kamar.
“Baik Ibu. Ayo kita menuju kamar kalian.” Gandrung bangkit dari tempat tidurnya. Gandrung menunjukan dengan senang hati semua hal yang ada di rumahnya. Para abdi dalem hilir mudik membawa berbagai macam keperluan. Meletakan begitu banyak makanan ke dalam kamar-kamar yang akan ditempati oleh Dimas, Raji dan Pafi. Tak lama kemudian makan malam telah siap dan penuh di atas meja, seakan menjawab doa perutnya Raji yang sudah kembali merintih kelaparan. Tak ada kecanggungan sedikitpun tampak, Gandrung begitu pandai membuat teman-taman barunya merasa betah dan nyaman.
---- *** ----
Malam bergerak sangat cepat, tak lagi memberikan senja cukup lama untuk bersantai di ujung cakrawala. Dimas tak sempat lagi melihat gerai jingga di balik awan-awan kumulus yang menggantung di ujung bumi. Dirinya sedang asyik dengan kebiasaanya memandang dunia melalui jendela. Matanya menatap jauh ke puncak piramida yang menjulang tinggi yang diujungnya berkobar api abadi yang tidak pernah mati. Begitu terangnya cahayanya memendar luas ke seluruh langit kota menandingi candra yang sedang tersenyum indah di bingkai malam. Hatinya menclos teringat hidupnya di asrama. Pikirnya menerawang apakah dia akan menemukan sesuatu yang lebih baik dari pada yang dialaminya di asrama. Tidak perlu ada Aryo dan gengnya ataupun Nyai Janis yang selalu saja banyak Tanya dan kadang-kadang rada ketus. Dunia baru yang ditemuinya seakan memberikan begitu banyak harapan dan kebahagiaan. Rasanya dia ingin tetap tinggal di dunia itu selamanya. Tetapi ketika teringat pak Narso dan istrinya hatinya menjadi ragu. Mungkinkah justru disana lebih baik dari apa yang sekarang dilihatnya. Bukankah dirinya menjadi apa yang ada sekarang karena dunianya di asrama. Kerinduan mencekat hatinya seolah sudah sekian tahun lamanya dirinya meninggalkan asrama. Kangen singkong rebus buatan Mbok Sinten dan wedang jahenya Mbok Sinem. Rindu ladang-ladang jagungnya pak Narso. Matanya mengedip mencoba menepiskan semua yang dirasakannya.
Tangannya terus saja memegang buku legenda Narapati yang sudah dibacanya. Perhatiannya mulai diarahkan kepada cerita yang didapatnya dari buku itu. Rasanya seperti tak percaya, buku itu terus kembali dibaca berulang kali seakan Dimas ingin menyelami semua isinya kemudian membandingkannya dengan apa yang sekarang sedang disaksikannya. Tetapi rasa sangsi menyelimuti hatinya, cerita dalam buku ini terlalu besar dan tidak jelas kerangka waktunya. Tetapi juga Dimas yakin tidak mungkin buku itu ditulis dengan cara-cara yang begitu rahasia jika isinya tidak mengandung kebenaran.
“Kau sedang berpikir apa ?” Tiba-tiba Raji menyapanya. Ruangan tidur untuk mereka berdua cukup besar sehingga Dimas tak merasakan langkah Raji mendekat.
“Eh…aku pikir kau sudah tidur Raji. Aku sedang memikirkan kesamaan kisah dalam buku ini dengan alam yang sekarang kita jelajahi ini. Sepertinya begitu banyak hal yang sama, hanya saja aku tidak yakin apakah buku ini benar menceritakan tentang negeri ini.” Dimas beranjak dari jendela berjalan membuka pintu di sebelahnya. Raji berjalan mengikutinya keluar ruangan. Di luar ruangan pemandangan malam makin jelas dan indah terlihat. Barulah terlihat ternyata kamar sekarang mereka tinggali berada di sebuah bangunan bertingkat. Mereka berada di lantai paling atas.
“Ceritakanlah padaku mengenai negeri ini seperti yang kau baca dari buku itu.” Raji memandang kagum pemandangan kota yang terbentang di bawahnya.
Dimas menunjuk jauh kearah kobaran api di puncak kuil. “Lihatlah Raji, itu adalah kuil Cakravartin seperti yang digambarkan dalam cerita di buku ini. Disanalah pusat kerajaan Narapati. Kita sekarang berada di ibukota Narapati Sunda Buana. Masih ada sembilan kota lainnya yang berukuran lebih kecil dari Sunda Buana. Luasnya negeri ini dari utara di perbatasan dengan Negeri Cina dan India hingga ke lautan di selatan Jawa. Tanah di negeri ini yang sekarang kita saksikan pada jaman kita adalah sebuah lautan luas yang memisahkan pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa dengan daratan Asia.”
“Berarti kita benar-benar kembali ke masa lalu, maksudmu ?” Raji masih agak enggan mempercayainya. Dia berharap dunia yang sekarang dilihatnya benar-benar dapat dikunjunginya setiap saat atau bahkan bisa tinggal selamanya.
“Sepertinya begitu. Kita sedang berada di nusantara kira-kira limabelas ribu tahun lalu. Itu pun kalau apa yang diceritakan dalam buku ini benar-benar pada waktu yang sama dengan keadaan sekarang.” Dimas kembali membolak-balik buku tua yang dipegangnya.
“Lalu kenapa sekarang tenggelam menjadi lautan ?” Tanya Raji.
“Entahlah, buku ini tidak memberikan cerita apapun mengenai tenggelamnya kerajaan Narapati.” Dimas berhenti saat sebuah ketukan terdengar di depan pintu. Raji berbalik mendekati pintu dan membukanya perlahan. Pafi sudah berada di depan pintu.
“Gandrung sudah datang ?” Pafi masuk melewati Raji yang masih memegang pintu dan melongokan sedikit kepalanya keluar.
“Belum, sejak tadi hanya aku dan Dimas saja.” Jawab Raji. Belum sempat pintu di tutup rapat, sebuah ketukan kembali terdengar dan Raji langsung membukanya. Kali ini Gandrung sudah berdiri di depan pintu dan langsung masuk saat pintu dibuka lebar-lebar oleh Raji.
“Maafkan aku membuat kalian menunggu.” Gandrung sudah begitu siap dan lengkap dengan beberapa perlengkapan yang dibawanya. “Aku menyiapkan ini dulu.” Tambahnya sambil menyodorkan tiga bungkus kain kepada Dimas, Raji dan Pafi. Ketiganya menerima saja bungkusan itu.
“Pakailah, kalian tidak mungkin terus menerus menggunakan pakaian yang kalian pakai sekarang.” Kata Gandrung yang tidak menjelaskan kenapa mereka harus mengganti pakaiannya.
“Bukankah malam ini ….” Belum sempat Dimas menyelesaikan kata-katanya Gandrung langsung menyela.
“Cerita akan lebih menyenangkan kalau langsung ke tempatnya kan ?” Raji mengangguk cengar-cengir setuju. Dimas dan Pafi hanya saling pandang tetapi tidak membantahnya. Dalam hati mereka justru hal seperti ini yang lebih menyenangkan.Tanpa ragu lagi ketiganya segera mengganti pakaian mereka. Raji harus membuatkan dinding es untuk member ruang ganti untuk Pafi. Tak lama kemudian mereka telah siap dan berpakaian lengkap.
“Nah, kalian sekarang sudah tampak seperti seorang Narapati.” Gandrung tersenyum puas. “Ayo kita berangkat!” Gandrung berjalan membuka pintu kamar. Langkahnya diikuti oleh Dimas, Raji dan Pafi. Tepat di depan sebuah lubang di dalam dapur Gandrung berhenti.
“Kita akan turun melalui lubang ini.” Wajahnya tersenyum sumringah sekali. Tangan dan kakinya masuk ke dalam lubah, setelah duduk persis diujungnya Gandrung mendorong ke depan. Dimas, Pafi dan Raji saling pandang. Tanpa ragu Pafi menyusul menjadi yang kedua, kemudian disusul Dimas. Di dalam lubang Dimas merasakan gerakan melingkar meluncur deras ke bawah seperti gulungan. Rasa mual dan menghentak di dadanya memberikan sensasi yang tidak menyenangkan. Hingga tak lama kemudian jatuh di sebuah tumpukan sampah yang bau menyengat. Selang beberapa lama Raji menyusul di belakang.
“Uh bau sekali, jadi lubang itu adalah tempat membuang sampah !” mata Raji mendelik sambil menutup hidungnya. Pafi mengibas-ngibaskan tangannya mengusir bau yang berputar-putar di depan hidungnya. Dimas hanya menjepit ringan hidungnya dengan dua jari kanannya.
“Ini hanya latihan saja, ada yang lebih bau nanti” Gandrung hanya cengar-cengir menunjuk sebuah lubang kecil di bawah kakinya kemudian dengan jari-jarinya yang kecil memindahkan sebuah batu berbentuk segi empat yang berlubang tepat di tengahnya. Di bawah batu tersebut terlihat sebuah lubang gorong-gorong yang cukup dalam dan tanpa ragu-ragu melompat masuk ke dalamnya. Gorong-gorong itu cukup untuk berjalan dua orang dewasa bersamaan. Keadaan gorong-gorong cukup gelap. Sesekali terlihat sinar dari lubang-lubang di atas. Beberapa kali mereka menemui persimpangan. Gandrung dengan langkah yang sangat yakin tahu kemana harus kakinya melangkah. ? Dimas, Raji dan Pafi sesekali saling pandang satu sama lain. Dalam kebisuan mereka seperti ada sebuah pertanyaan, apakah Raji juga tahu mengenai gerbang menuju asrama ?
“Kita akan menuju kemana ?” Dimas mencari tahu apa yang akan diperlihatkan Gandrung kepada mereka.
“Kita akan menuju tempat kesukaanku menghabiskan waktu, kalau tidak sedang pendidikan. Tempat itu seperti terhubung dengan semua tempat di Sunda Buana. Aku bisa mendengar pembicaraan siapapun di ruang manapun mereka sedang berada. Makanya tempat itu aku beri nama “Ruangan Tukang Mau Tahu”. Gandrung sesaat menghentikan langkah kemudian menunjuk-nunjuk seperti menghitung langkah di depannya.
“Ada apa ?” Tanya Pafi.
“Tidak tahu, tiba-tiba saja berhenti.” Kata Dimas. Gandrung seperti tidak mendengar pembicaraan di belakangnya. Kemudian dia berbalik.
“Nah sekarang ikuti langkahku. Di depan ada beberapa batu-batu pijakan yang menyebar. Untuk memasuki ruangan itu kita harus menginjak batu yang benar. Kalau tidak, siapa yang salah langkah maka dia sendiri yang tidak akan bisa masuk.” Gandrung melompat dan berdiri di atas sebuah batu kemudian secara beruntun melompat ke kiri dan ke kanan diikuti tanpa kesulitan oleh Dimas, Raji dan Pafi. Di samping mereka sebuah dinding batu bergeser perlahan membentuk pintu bundar menyingkap keberadaan sebuah ruangan di baliknya. Sebuah ruangan berbentuk bundar dengan dinding penuh figura-figura bundar menempel dari atas hingga bawah. Sesaat mereka semua telah masuk ke dalam ruangan, secara otomatis pintu itu tertutup. Segera setelah ruangan tertutup rapat, semua berubah total. Ruangan bundar itu menjadi sangat putih. Sofa bersandar mengelilingi dinding dan dari langit-langit ruangan turun sebuah benda seperti periskop menggantung di tengah ruangan. Gandrung memegang dua gagang berbentuk tanduk kerbau di kedua sisinya dan merapatkan wajahnya ke sebuah luang. Kemudian sekejap melepasnya lagi.
“Dengan alat ini kita bisa melihat dan mendengar apapun yang kita ingin lihat dan dengar di seluruh kota ini. Hanya satu tempat yang tidak bisa dilihat, kamar Raja. Sekali kau mencobanya cahaya yang sangat menyilaukan akan membutakan matamu sementara. Cukup dengan menyebutkannya saja, alat ini langsung menunjukannya.” Gandrung menjelaskan.
Dimas memperhatikan dengan lekat alat besar di hadapannya. Raji kelihatan sangat tertarik mencoba-coba mendekatkan wajahnya meniru apa yang tadi dilakukan oleh Gandrung. Tetapi tidak satu pun yang dapat dilihatnya. Hanya kekosongan gelap yang tampak di dua lubang di kedua sisi alat itu. Dimas mendekat dan memegang kedua gagangnya dan mendekatkan wajahnya hingga menempel.
“Puncak Cakravartin.” Kata Dimas spontan. Sebuah gambar terlihat berkilau keemasan. Api abadinya mempesona Dimas. Hatinya begitu membuncah seakan ada sebuah kebahagiaan di sana. Raji berusaha melihat pada sisi yang lain. Matanya berusaha mencari apa yang sedang dilihat Dimas. Tetapi tidak satupun bayangan muncul. Hanya kegelapan seperti yang tadi dilihat sebelumnya.
“Kau sedang melihat apa Dimas, aku tidak melihat apapun dalam teropong ini.” Raji bolak balik melihat ke dalam teropongnya. Tapi tak menemukan gambar apapun seperti yang dikatakan Dimas.
“Puncak Cakravartin.” Dimas begitu asyik. “Puncak kuil itu begitu indah, cahaya apinya yang keemasan seolah sedang membakar bulan purnama di atasnya.” Dimas masih terus asyik melihat pemandangan di teropongnya.
“Kau tidak akan melihat hal yang sama dengan apa yang sedang dilihat oleh Dimas sekarang. Walaupun kau melihatnya dari sisi teropong yang lain Raji. Kau harus mengucapkan apa yang ingin kau lihat.” Gandrung menjelaskan kenapa Raji tidak melihat hal yang sama dengan Dimas. Dan itu cukup menjelaskan mengapa sedari tadi yang dilihatnya hanya ruang gelap saja.
“Tapi aku tidak tahu apa yang ingin aku lihat, aku tidak mengenal apapun.” Raji berkata sedih. Gandrung baru tersadar kalau ketiga temannya tidak mengetahui apapun mengenai Sunda Buana. Kemudian Gandrung menceritakan semua hal yang diketahuinya tentang Sunda Buana dan apa yang selama ini diketahuinya melalui Ruang Mau Tahu. Dimas melepaskan pegangannya pada teropong. Cerita Gandrung lebih menarik dari apa yang sedang dilihatnya. Seakan dirinya ingin memastikan apa yang telah diketahuinya melalui buku cerita yang sudah dibacanya dan membandingkan dengan apa yang akan diceritakan oleh Gandrung.
“Kerajaan Narapati membentang dari ujung utara Khitai hingga laut di selatan Yavadvip. Dari Barat di Svarna hingga ke timur di Kanchana. Ibukota kerajaan Narapati bernama Sunda Buana. Masih terdapat 9 kota besar lainnya yang hampir semuanya berada di aliran sungai Sunda Besar Utara dan Sunda Besar Selatan. Sunda Buana menjadi pusat semua kehidupan politik di Narapati. Narapati membangun waduk yang menghubungkan Sunda Besar Utara dan Sunda Besar Selatan. Di kedua ujungnya terdapat gerbang bendungan yang sangat tinggi yang mengatur keluar masuknya air dari sungi Sunda Besar Utara dan Sunda Besar Selatan. Sunda Buana berada di tengahnya hingga bisa dijangkau oleh pelayar dari utara dan dari selatan. Kemakmuran dan kemegahan Sunda Buana kota emas sudah mahsyur ke seluruh penjuru bumi. Pedagang-pedagang dari berbagai tempat berlayar dan berniaga di kota-kota pelabuhan Narapati. Pedagang-pedagang dari Barat yang ingin berniaga di Sunda Buana harus melewati gerbang Gunung Batuwara. Sedangkan dari Utara harus melewati gerbang Nutana. Pada gerbang Gunung Batuwara terdapat dua buah patung besar penjaga muara sungai sunda besar selatan. Patung tersebut berada di kiri dan kanan muara berbentuk Garuda berwarna perak dimana di kepalanya terdapat api abadi yang selalu berkobar memberikan tanda bagi kapal-kapal yang ingin memasuki sungai sunda besar selatan. Sebuah kota pelabuhan dagang bernama Rajatapura menjadi pusat lalu lintas antar bangsa sebelum masuk lebih dalam ke kota Sunda Buana. Rempah-rempah, perak, dan barang-barang berharga lainnya diperdagangkan di kota yang terkenal indah dengan kuil-kuil peraknya. Para peziarah biasanya akan masuk lebih dalam melintasi kedalaman sungai sunda besar selatan menuju kota emas Sunda Buana. Menurut legenda Sunda Buana dibangun dengan bongkahan-bongkahan emas yang ditempa oleh para Bangsa Sinaravedi di Hoa-Binh. Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh terkenal sangat penyendiri dan menutup diri dari siapapun. Tidak pernah ada seorang pun yang pernah kembali setelah masuk ke dalam wilayah mereka. Hubungan Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh dengan Narapati sejak dulu tidak harmonis. Para Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh menyalahkan Narapati karena kerusakan hutan-hutan yang terjadi di wilayah mereka. Apalagi setelah para Naga-naga Jalatunda di Dong-Son terus mengganggu wilayah mereka dengan kebakaran-kebakaran yang disebabkan oleh semburan-semburan api secara sembarangan oleh naga-naga itu. Naga dan Bangsa Sinaravedi telah berseteru sejak lama dan tak ada yang bisa mendamaikan mereka. Sunda Buana dibangun dengan sihir-sihir para Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh ribuan tahun lalu. Dahulu para Bangsa Sinaravedi itu tinggal bersama para Narapati di Sunda Buana. Sebelumnya Narapati adalah orang-orang yang sangat agamis. Semua kehidupan diabdikan hanya untuk kebesaran sang pencipta. Tetapi kota kemudian makin dipenuhi oleh pendatang yang tertarik dengan kemakmuran kota, dan kehidupan kemudian bergeser menjadi lebih duniawi. Pada saat itu para Bangsa Sinaravedi kemudian memutuskan pindah ke tempat tinggal yang sekarang di Hoa-Binh. Sejak saat itu Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh tidak pernah kelihatan lagi dan menjadi legenda di kalangan Narapati. Sejak ditinggal oleh para Bangsa Sinaravedi, banyak tempat-tempat dan keajaiban-keajaiban yang kemudian dilupakan dan tidak pernah lagi ketahui oleh generasi Narapati berikutnya. Banyak rahasia-rahasia terpendam di bawah kota Sunda Buana. Ruang Mau Tahu adalah salah satu rahasia yang selama ini terpendam dan tidak diketahui. Walaupun Narapati telah mampu mengembangkan kemampuan membuat benda-benda menakjubkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Tetapi sebenarnya Narapati sedang mengalami kemunduran. Dahulu untuk terbang, Narapati tidak memerlukan bahan bakar seperti sekarang. Satu-satunya benda terbang yang masih menggunakan sihir-sihir Bangsa Sinaravedi hanyalah Pavaratha milik ayahku. Kerajaan Narapati sekarang dipimpin oleh seorang Raja bernama Prabu Narayala. Didampingi oleh adik kembarnya sebagai patih agung bernama Naraphala. Mereka berdua pemegang keputusan tertinggi di Narapati. Setelah itu ada ayahku Penasehat Agung Patih Nara Jalaseva. Menteri-menteri yang membantu menjalankan pemerintahan. Menteri Urusan Lintas Batas, Menteri Urusan Pangan dan Persediaan, Menteri Ilmu Pengetahuan, Menteri Urusan Harta dan Niaga Kerajaan, Menteri Urusan Hukum dan Keadilan, Menteri Urusan Penduduk dan Kesejahteraan. Biasanya kalau mereka rapat agung dilakukan di balairung utama. Aku sering mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Dari yang aku dengar melalui teropong mau tahu itu saat ini sedang terjadi ketegangan di perbatasan utara. Terjadi pembakaran hutan di wilayah utara. Penduduk yang tinggal di utara Angkor dan Pagan banyak yang mengungsi ke selatan. Sejak jaman dulu wilayah utara Pagan dan Angkor sering mendapat gangguan, tetapi kali ini adalah yang terbesar yang pernah terjadi. Narapati menduga ini perbuatan balasan dari Kerajaan Rama di sebelah barat yang menuduh Narapati telah membakar hutan mereka di wilayah Bangla.” Gandrung berhenti.
Raji dan Pafi masih duduk mendengarkan. Dimas berpikir sejenak mengambil kesempatan untuk membandingkan apa yang didengarnya. Hatinya mulai yakin kalau Kerajaan Narapati yang dimaksud dalam buku itu adalah sama dengan yang diceritakan oleh Gandrung. Dirinya juga yakin bahwa waktunya sama dengan waktu sekarang. Buku yang dibacanya menceritakan semua hal mengenai Narapati pada keadaan sekarang. Ada cerita tak selesai di ujungnya dan Dimas yakin cerita itu masih akan berlanjut.
“Aku rasa malam ini sudah cukup, kita harus istirahat untuk besok hari.” Dimas menyela. Tampaknya yang lain pun setuju dengan Dimas. Mereka pun kembali ke rumah.
Pagi mengembang dengan cerah. Kemilau mentari muda memantulkan kilau puncak emas kuil Cakravartin. Hamparan sawah yang sudah menguning keemasan membentang mengelilingi kota. Kota Emas memang layak diberikan sebagai julukan kepada Sunda Buana. Pilar-pilar tinggi berjejer di jalan utama menuju kuil Cakravartin. Patung Garuda Emas bertengger di atasnya menatap angkasa yang biru. Kicau burung di depan jendela membangunkan Dimas dari tidurnya. Raji masih tetap melingkar seperti anak kucing tak terganggu sedikitpun oleh bunyi cicit burung-burung yang kelihatan bergairah menyambut pagi. Tangannya malah makin menarik diri ke dalam selimut.
Pemandangan Sunda Buana pagi hari kelihatan berbeda dari pada yang dilihatnya semalam. Dimas masih saja berdecak kagum dengan apa yang disaksikannya. Walaupun buku yang dibacanya telah memberikan secara rinci mengenai keindahan Narapati, tetapi melihatnya dalam nyata di depan mata memberikan arti yang jauh lebih mendalam dari pada kiasan dalam kata-kata. Seolah tak ada satu katapun yang bisa mewakili apa yang sedang dikaguminya sekarang. Dimas seakan merasa begitu dekat dengan apa yang sekarang dilihatnya, begitu dikenalnya tetapi juga begitu asing pada saat yang bersamaan. Dari kejauhan tampak sebuah bayangan bergerak. Sebentuk dinding yang sangat panjang di ujung permukaan bumi tampak merambat lambat. Warnanya yang biru kehitaman makin lama makin jelas. Buih putih bergulung-gulung diatasnya menjungkirbalikan benda-benda yang dilaluinya. Matanya panik melihat ombak setinggi lima kali pohon kelapa menerjang ganas. Suaranya gagap tak bisa keluar, tetapi terlanjur gulungan air raksasa itu sudah menghantam kuil Cakravartin dan memadamkan apinya sekaligus. Mulutnya ternganga tak bersuara tak kuasa menahan apa yang akan menerjangnya.
“Dimas, hei….kau kenapa” Sebuah suara terasa seperti dari kejauhan dan pundaknya terasa diguncang-guncang sebuah tangan.
“Ahhhhhh……” Dimas seolah tersadar dari mimpi yang menakutkan. Pafi di belakangnya telah berdiri melihatnya penuh khawatir. Dimas melihat di kejauhan, semua tampak baik-baik saja. Ombak tinggi yang dilihatnya tidak ada sama sekali.
“Kau kenapa ?” Pafi memegang pundak Dimas.
“Ah…tidak, aku..aku mungkin tadi melamun” Dimas tampak seperti orang baru saja sadar dari pingsan. Pafi melihat jelas raut wajah yang ketakutan. Dimas dengan cepat mengusap wajahnya. Berharap wajahnya yang tadi segera hilang.
“Kita ditunggu di ruang makan. Segeralah mandi” Pafi yang sudah rapi dan lengkap dengan pakaian narapatinya. Dimas tak banyak tanya lagi bergegas menyiapkan diri.
---- **** ----
Ruang makan telah lengkap dengan berbagai macam makanan. Patih Nara Jalaseva dan istrinya sudah duduk siap di depan meja. Gandrung duduk di sebelah ibunya. Dimas duduk berhadap-hadapan dengan Gandrung. Raji duduk berhadapan dengan Pafi duduk bersebelahan dengan Dimas. Dimas ingin sekali membicarakan apa yang tadi dilihatnya kepada Raji dan Pafi tetapi kayakinannya berkurang banyak saat sudah berada di hadapannya.
“Hari ini, aku akan membawa kalian melihat istana Sunda Buana. Kalian mau lihat kan ?.” Patih Nara Jalaseva menatap bergantian kepada Dimas, Raji dan Pafi.
“Apakah aku boleh ikut ayah ?” Gandrung memohon.
“Tentu saja, bukankah sahabat tidak boleh terpisahkan ?” Patih Nara Jalaseva dengan penuh kasih sayang kepada anaknya. Gandrung gembira sekali. Gandrung tahu tidak mudah untuk bisa masuk melihat-lihat istana. Penjagaannya sangatlah ketat. Datang bersama ayahnya sajalah memungkinkan mereka menerobos penjagaan itu.
“Kalian belum pernah melihat istana kan ? tidak mudah masuk ke sana. Mengantar ayah ke pertemuan di balairung istana adalah cara termudah.” Gandrung tersenyum senang. Dimas begitu senang mendapatkan kesempatan ini. Sedangkan Raji dan Pafi begitu antusias akan melihat-lihat istana yang sejak semalam hanya dilihatnya dari kejauhan saja.
Menuju istana Patih Nara Jalaseva melakukannya dengan berjalan kaki. Saluran air terbuka mengalir di kiri dan kanan jalan memisahkan barisan rumah-rumah penduduk. Pohon-pohon kelapa berdiri tinggi di sepanjang jalan melambai-lambai tersapu angin pagi yang penuh cerah dengan suara burung di puncak-puncaknya. Suasana sudah mulai ramai dengan lalu lalang orang-orang. Senyum ramah menyapa memberikan hormat menunjukan betapa patih Nara Jalaseva begitu dihormati. Tak lama berjalan, akhirnya tiba di depan gerbang kompleks kuil Cakravartin. Barisan pilar-pilar batu yang tinggi dengan patung-patung garuda berwarna emas bertengger di atasnya membentang di kiri dan kanan jalan menuju kuil. Di kiri kuil terdapat bangunan kementerian tempat bekerja para menteri. Di bagian kanan terdapat bangunan Mahkamah Agung yang menjadi pusat penegakan hukum kerajaan. Di balik kuil terdapat keraton kerajaan yang menjadi tempat raja menerima semua tamunya termasuk balairung yang menjadi tempat pertemuan para pejabat kerajaan. Beberapa bangunan lain berada di belakang kementerian menjadi tempat bekerja para pembantu menteri dan pejabat kerajaan lain. Sedangkan di belakang mahkamah agung bangunan-bangunan dengan lebih banyak patung garuda menjadi tempat para prajurit dan pasukan khusus kerajaan Vairivaravira Vimardana.
Mereka berjalan langsung menuju keraton. Beberapa penjaga berdiri dengan berbaju lapis logam Ararakamra (sebuah logam campuran yang lebih kuat dari baja seringan alumunium) dengan pedang di pinggang dan sebuah senjata dari pipa logam sepanjang tangan disilangkan di dada. Prajurit penjaga yang berdiri sepanjang halaman kuil hingga menuju keraton memberikan salam hormat begitu mengenali siapa yang datang. Kemudian gerbang menuju pintu keraton yang tinggi melalui undakan anak tangga yang cukup tinggi. Di sepanjang undakan anak tangga yang bertingkat-tingkat di pagari pilar-pilar emas dengan puncak-puncak Garuda emas yang bertengger mengeluarkan api dari mulutnya yang menengadah ke atas dengan sayap mengembang ke atas pula. Di bawah setiap pilar prajurit penjaga dengan pakaian yang sama tetapi mengenakan jubah berwarna merah darah berbaris rapi. Hampir sangat mustahil menerobos keraton melalui penjaga-penjaga itu. Di halangi oleh parit yang besar antara bangunan keraton dengan kuil, tangga itu hanya dihubungkan oleh sebuah jembatan melengkung yang disangga oleh dua buah pilar berbentuk ular melingkar hingga ke dasar parit. Pintu keraton tampak diujung seberang, selalu tertutup dengan dua orang prajurit penjaga di depannya. Pintu segera membuka begitu patih Nara Jalaseva sudah berdiri di depannya.
“Ayah, aku akan mengajak Dimas, Raji dan Pafi keliling kota. Aku mau mengajak mereka melihat-lihat.” Gandrung meminta ijin kepada ayahnya.
“Berhati-hatilah, mintalah paman Jitaryo mengantar kalian.” Kata ayah Gandrung.
“Baiklah ayah, terima kasih. Kami pamit dulu.” Gandrung mencium tangan ayahnya. Bergantian Dimas, Raji dan Pafi mengucapkan pamit kepada patih Nara Jalaseva, sesaat sebelum lelaki itu masuk lebih ke dalam menuju balairung. Di dalam balairung Raja, tampak beberapa pejabat sedang duduk di kiri dan kanan. Di sebuah singgasana di tengahnya duduk seorang lelaki dengan pakaian kebesaran lengkap berwarna merah darah dengan mahkota emas di kepalanya. Di sebelahnya duduk seseorang dengan wajah yang sama hanya menggunakan jubah berwarna hijau tua. Jika diamati tidak ada perbedaan dari wajah kedua orang itu. Pastilah keduanya merupakan saudara kembar. Dimas menduga pastilah itu yang disebut Prabu Narayala dan adiknya Patih Naraphala. Ruangan balairung yang di sangga oleh pilar-pilar emas dengan ukiran-ukiran indah menambah kesan pertemuan itu sangat agung. Patih Nara Jalaseva berjalan langsung ke hadapan Raja. Puluhan pasang mata memandang dengan tajam kehadirannya.
“Mohon maaf tuanku Prabu Narayala, Patih Naraphala dan para Menteri. Saya datang terlambat. Saya sedang memastikan sesuatu yang saya kira sangat penting hingga tadi pagi. Saya telah melihat keyakinan yang cukup untuk menyampaikan hal yang sangat penting ini tetapi saya meminta untuk menyampaikannya kepada Prabu Narayala. Mohon maafkan kelancangan saya, bukan maksud saya tidak bersikap hormat pada semua yang hadir disini. Saya pertimbangkan masalah yang akan saya sampaikan hanyalah Prabu Narayala yang bisa memutuskan untuk dibagi atau tidak kepada semua yang hadir disini.” Patih Nara Jalaseva memberikan salam sembah. Tak ada satupun yang mengerti kalimat yang dikatakan olehnya kecuali Prabu Narayala. Kedua matanya menatap tajam kepada Patih Nara Jalaseva.
“Baiklah, terima kasih patih Nara Jalaseva, aku rasa kita bisa bicara nanti. Demi menghormati semua yang telah hadir, kita dahulukan pertemuan hari ini untuk membahas persiapan pesta panen raya. Silahkan ambil tempat.” Prabu Narayala mempersilahkan patih Nara Jalaseva menempati tempat duduknya. Pertemuan di balairung rupanya bukanlah pertemuan tertutup. Isinya mengenai persiapan perayaan besar menyambut panen raya dan pertemuan berjalan cepat.
---- *** ----
Berjalan dipinggiran dermaga besar tempat bersandar kapal-kapal dagang besar. Kapal-kapal kayu dengan bentuk indah berbeda satu sama lain dengan bendera-bendera warna warni menghiasi tiang-tiang kapal. Banyak bahasa-bahasa aneh yang tidak pernah didengar sebelumnya diantara para pelaut dari berbagai bangsa.
“Wah hebat sekali, kapal-kapal dagang seperti di Batavia saja.” Raji dengan semangat melihat-lihat kapal yang sedang bersandar. Buruh-buruh panggul hilir mudik menurunkan barang-barang yang akan dibongkar atau dimuat. Pafi menepuk tangannya dan mengedipkan mata. Mengingatkan Raji akan hal-hal yang tidak boleh disebutkan olehnya. Raji menutup mulutnya menyadari kesalahannya. Tapi terlambat, Gandrung sudah mengajukan pertanyaan.
“Batavia itu apa ?” tanya Gandrung.
“Eh…itu dermaga nelayan di tempat kami, hanya sebuah pelabuhan kecil” Dimas menjawab.
“Oh, Ini belum seberapa, kau belum lihat kapal pavaratha perang Narapati. Lebih besar dan hebat” Gandrung mengerling bangga dengan apa yang akan ditunjukannya.
“Tetapi kapal pavaratha perang Narapati tidak disandarkan disini, mereka semua ada di pelabuhan laut luar, dan yang paling hebat ada di pelabuhan Kota Perak Rajatapura.” Gandrung menambahkan.
“Wah jauh sekali, kota Rajatapura kan ada di pantai ujung barat daya.” Seolah tahu dimana letaknya, Dimas tidak yakin mereka akan bisa mendatangi tempat itu. Tapi tampaknya Gandrung tidak menunjukan wajah yang akan memberikan jawaban yang mengecewakan. Dia seperti tahu apa yang dibutuhkan untuk sampai kesana. “Ayo ikuti aku !” Kakinya yang lincah bergerak menerobos kerumunan kuli-kuli yang turun naik tangga dermaga. Dimas, Raji dan Pafi setengah berlari mengikuti Gandrung menuruni tangga dermaga kemudian berbelok ke sebuah gorong-gorong tempat keluarnya air dari dalam kota.
“Kau senang sekali dengan gorong-gorong rupanya” Raji agak mengeluh dengan bau yang tidak sedap dari air yang mengalir dari dalam gorong-gorong.
“Bukankah aku sudah ceritakan, kalau kota ini dulu dibangun oleh para Bangsa Sinaravedi dan banyak rahasia yang terlupakan di bawah kota ini. Para Bangsa Sinaravedi tahu bahwa manusia umumnya menyukai semua yang berada di atas permukaan. Karena itu mereka menyimpan semua rahasia-rahasia kota ini di tempat yang tidak mungkin disukai oleh para manusia.” Gandrung terus berjalan.
“Dari mana kau tahu semua ini ?” Tanya Pafi
“Ibuku sering menceritakan dongeng mengenai Bangsa Sinaravedi sebelum aku tidur sejak aku bayi, menceritakan rahasia-rahasia Bangsa Sinaravedi dan naga. Kemudian kira-kira satu tahun lalu secara tidak sengaja aku menjatuhkan benda berharga milikku ke dalam gorong-gorong. Aku mencarinya tapi tidak pernah ketemu, dan aku menjadi sering bermain disini dan berusaha mencari terus sampai aku menemukan Ruang Mau Tahu. Akhirnya aku menemukannya disana. Sejak saat itu aku sering mencari pustaka-pustaka mengenai Bangsa Sinaravedi yang banyak tersembunyi di Graha Pustaka kerajaan. Ibuku mengajarkanku bahasa Bangsa Sinaravedi dan dia yang memberitahuku mengenai keberadaan Graha Pustaka Bangsa Sinaravedi yang tersembunyi di dalam Graha Pustaka kerajaan. Berkat ayahku, aku bisa masuk ke Graha Pustaka kerajaan.” Gandrung berjalan terus berbelok ke kanan dan kekiri seperti sudah hafal benar apa seluruh peta gorong-gorong bawah tanah.
“Kita sudah sampai” sebuah dinding di hadapan Gandrung. Tangannya yang kecil memukul secara berurutan beberapa dinding batu. Tak lama kemudian dinding itu bergeser tak rata kemudian membentuk bentuk bundar sempurna. Pada bagian pinggir sekeliling lingkaran terdapat lapisan logam dengan simbol-simbol aneh. Dipinggir lingkaran itu lingkaran kecil serupa dengan symbol-simbol aneh itu. Gandrung menekan satu per satu symbol itu tidak berurutan. Kemudian sisi lingkaran besar di dinding itu menyembur sesuatu seperti air memenuhi seluruh lingkaran.
“Ini adalah Lubang Cacing, kita bisa pergi kemana saja yang kita mau di seluruh penjuru bumi dan tiba pada waktu yang sama. Hanya saja waktu kita hanya 24 jam sebelum gerbang di tempat kita mendarat akan menutup dan kalau sudah begitu kita terpaksa kembali dengan jalur biasa.” Kata Gandrung.
“Bagaimana kau menentukan tujuan ?” tanya Dimas
“Lambang-lambang di lingkaran itu lah yang sebenarnya adalah aksara-aksara kuno bahasa Bangsa Sinaravedi yang aku pelajari dari buku. Disanalah aku memasukan tujuan kita” Gandrung seperti sudah siap dengan semua jawaban untuk semua pertanyaan dari sahabat-sahabatnya. Setelah yakin tidak ada lagi yang bertanya, dengan yakin kakinya dilangkahkan masuk ke dalam lingkaran yang bentuknya seperti air kolam. Gandrung begitu saja lenyap seperti ditelah dinding air itu. Dimas dengan agak ragu mengikuti langkah Gandrung dan kemudian Pafi dan Raji mengikutinya. Sensasi seperti terlempar ke dalam lubang gelap dengan kecepatan tinggi menekan perut dan dada. Sesaat kemudian langkah kaki sudah menapak di sebuah dataran tinggi. Terik siang memantulkan cahaya kemilau dari dua buah benda di mulut sungai. Kerucut tinggi gunugn Batuwara menjulang ke angkasa berkerudung awan putih. Kapal-kapal besar sandar di ujung dermaga yang penuh ramai dengan orang. Sebuah. Perahu-perahu nelayan di ujung cakrawala mengembang berlayar. Diantara hilir mudiknya kapal-kapal dagang, sebuah kapal sangat besar kehitaman bersandar di ujung dermaga yang lain. Angin kencang mengibaskan rambut Pafi. Aromanya khas angin laut yang bercampur dengan garam.
“Lihat, itulah kapal Pavaratha Rudra Narapati, namanya Ki Salakanagara.” Gandrung menunjuk arah dermaga di sebelah kirinya. Mereka menghampiri wilayah dermaga yang dijaga ketat oleh banyak prajurit.
“Konon katanya kapal Pavaratha Rudra Ki Salakanagara ini bisa menyelam ke dalam laut juga terbang. Dindingnya terbuat dari logam Thamogarbha Loha yang bisa membuatnya tidak terlihat.” Kata Gandrung.
“Wah…andai saja aku bisa menaikinya, pasti bisa kubuat untuk mengusir belanda-belanda kurang ajar itu.” Raji menggumam sendiri. Yang lain seolah tak mendengarkan terus mengamati kapal pavaratha Ki Salakanagara. Beberapa saat Dimas terus mengagumi kemegahan Ki Salakanagara, kepalanya kemudian dipenuhi oleh suara-suara yang tidak diketahui asalnya.
“Serang saja Dravida congkak itu!”.
“Kita tidak boleh melakukan serangan secara langsung. Dravida akan tahu penyerangnya bukanlah Narapati.”.
“Tapi serangan di Pagan maupun Bangla tidak membuat keduanya mulai bergerak saling menyerang. Aku sudah tidak sabar melihat keduanya saling serang”.
”Usaha kita sudah sejauh ini, jangan sampai semuanya terbuka. Kita tahu apa yang akan terjadi pada Asvin jika Narapati dan Dravida tahu. Narapati saja kita tidak akan sanggup menahan mereka, apalagi kalau sampai Dravida ikut membantu. Tunggu saat terlemah mereka, dan kita sudah tahu kapan saatnya.” Kedua suara itu kemudian hilang begitu saja. Dimas menengok ke sana kemari mencari sumber suara.
“Kau sedang mencari apa ?” Pafi memandang heran pada tingkah Dimas. Ini yang kedua sejak semalam. Pafi terus mengamati setiap perubahan wajah Dimas. Menyadari Pafi sedang mengamatinya, Dimas berusaha mencari alasan.
“Kau pasti mencari bau enak ini yah, wuuiiiihhhh ikan bakar rasanya lezat sekali.” Raji mengangkat hidungnya tinggi-tinggi mengejar aroma ikan bakar yang diciumnya. Seolah seperti tertolong, Dimas mengangguk.
“Iya, aku sejak tadi mencium bau ikan bakar ini, rasanya membuat aku lapar saja.” Jawab Dimas berpura-pura menutupi hal yang sebenarnya.
“Betul, tidak terasa sudah lewat tengah hari, aku tahu tempat dimana kita bisa mendapatkan ikan bakar enak. Ayo kita ke warung Mang Jangkung.” Kata Gandrung.
Sebuah warung sederhana beratap alang-alang dengan tiang-tiang bambu berdiri di rimbunnya pohon-pohon di pinggir pantai. Kepulan asap beraroma sedap mengepul di sebelah gubuk. Seorang lelaki tua bertubuh tinggi menyapa ramah melihat kedatangan Gandrung.
“Eh…den Gandrung, sudah lama tidak pernah ke tempat Mang Jangkung.” Lelaki tua itu menyapa ramah.
“Maaf Mang Jangkung, aku kemarin-kemarin banyak kesibukan. Kenalkan Mang Jangkung, ini teman-temanku Dimas, Raji dan Pafi.” Gandrung memperkenalkan teman-temannya. Sapaan ramah juga diberikan kepada Dimas, Raji dan Pafi. Dimas kembali teringat apa yang tadi didengarnya. Pembicaraan itu adalah pembicaraan langsung artinya tidak menggunakan telepati. Mengapa hanya Dirinya yang mendengar pembicaraan itu ? Pikirannya mencoba mencari-cari jawaban yang mungkin diberikan oleh Pak Narso seandainya ada situasi seperti itu. Tetapi tetap tidak menemukan jawaban. Dimas yakin bahwa Gandrung, Pafi dan Raji tidak mendengar apa yang didengarnya, karena mereka bertiga pasti akan terkejut mendengar hal itu. Pastilah kemampuan telepatinya yang membuatnya bisa mendengar hal itu. Apa yang mungkin sedang berlaku. Dirinya merasakan ada sesuatu yang besar dan sangat besar akan terjadi. Gelombang air yang menyapu seluruh kota, perbincangan dua orang yang sedang melakukan persekongkolan, apa maksudnya ? Pikirannya kemudian tertepis oleh tepukan tangan Raji.
“Makanan sudah siap, ayo kita makan” kata Raji. Sebakul nasi dan beberapa ekor ikan laut bakar terhidang di atas meja. Anak lelaki Mang Jangkung sibuk memotong beberapa butir kelapa muda dan membawanya ke meja. Angin laut semilir menerpa. Warung Mang Jangkung memang tidak terlalu besar, tetapi suasananya sangat menyenangkan dan membuat orang mau betah berlama-lama di sana. Empat orang yang lain sudah duduk di sana. Tak lama kemudian seorang lelaki muda datang masuk memesan makanan yang sama. Dimas sudah asyik dengan kenikmatan makanan yang sedang disantapnya. Raji tetap dengan kebiasaannya mengeluarkan jurus sapu jagat. Kalau kalah cepat, bisa kehabisan disikat Raji. Tapi kali ini Raji menemui lawan yang seimbang. Gandrung tak kalah mengeluarkan jurus babat habis.
Lepas makan, Gandrung tak memberikan kesempatan ketiga kawannya tertahan kagum oleh keindahan kota pelabuhan Rajatapura.
“Kita harus segera kembali ke Sunda Buana.” Dimas mengingatkan semuanya. Raji tampak agak keberatan dengan ide itu, tetapi Pafi sudah mengangguk setuju. Gandrung pun tidak keberatan.
---- *** ----
Bayangan sudah lebih panjang dari bendanya, matahari barat mulai kemerahan. Dimas sudah kembali berada di kota Sunda Buana. Pafi yang sedari tadi tertarik dengan pustaka-pustaka mengenai Bangsa Sinaravedi menjadi yang paling memaksa menentukan tujuan. Dimas dan Raji terpaksa mengalah dengan keinginan Pafi. Tidak ada yang lebih menyeramkan dari pada menentang Pafi dalam hal membaca buku. Terkadang Dimas mengakui manfaat yang sering didapatnya dari kecanduan buku sahabatnya ini. Tetapi Raji adalah hal dari kebalikan Pafi. Raji sangat tidak menyukai menghabiskan waktunya di dalam ruangan membaca-baca pikiran orang lain di atas kertas.
Tanpa kesulitan Gandrung bisa meyakinkan penjaga Graha Pustaka kerajaan untuk memberinya ijin masuk.
“Apakah kita bisa pergi ke tempat dimana para Bangsa Sinaravedi tinggal ?” Dimas bertanya asal saja tanpa keyakinan ada jawaban yang bisa diharapkan.
“Bisa, tapi aku tidak tahu nama tempatnya. Aku pernah mencoba nama Hoa-Binh tapi yang aku temui hanya hutan saja. Seperti tempat tinggal para Bangsa Sinaravedi itu telah disembunyikan secara gaib dan hanya nama yang tepat yang akan membawa kita langsung ke sana. Lubang Cacing itu kan buatan para Bangsa Sinaravedi, sihirnya sama, pasti juga bisa digunakan untuk ke sana.” Kata Gandrung. Ruangan pustaka kerajaan sangat besar. Ruangan terbagi ke dalam kotak-kotak dibatasi oleh dinding rak-rak buku yang menjulang tinggi hingga ke langit-langit.
“Dimanakah tempat pustaka Bangsa Sinaravedi ?” Pafi mulai bersemangat.
“Tidak di sini, letaknya ada di balik dinding itu.” Gandrung mendekati dinding yang penuh dengan buku kemudian menekan-nekan secara acak beberapa buku di dinding itu.
“Bagaimana kau mengenali buku yang mana harus kau tekan ?” Tanya Raji keheranan.
“Ada tanda angka dari bahasa Bangsa Sinaravedi yang tertera halus di bawah kulit buku-buku itu. Seperti kau menyebutkan angka dari awal hingga akhir. Angka-angka Bangsa Sinaravedi ada 9 buah.” Kata Gandrung. Tak lama kemudian sebuah pintu berbentuk bundar membentuk di rak yang penuh dengan buku-buku itu. Gandrung dengan lembut menariknya.
“Mengapa pintu ruangannya selalu bundar. Apakah rumah-rumah para Bangsa Sinaravedi juga memiliki pintu bundar ?” Tanya Dimas.
“Dari cerita ayahku memang begitu, Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh sangat menyukai bentuk bundar. Mereka amat mengagumi matahari dan bulan. Katanya kulit mereka pun seterang matahari dan seindah bulan. Kita manusia tidak akan sanggup lama memandang mereka.” Gandrung menerobos masuk ke dalam ruangan.
“Apakah orang lain tidak melihat kita memasuki ruangan ini ?” Pafi menengok kesana kemari memastikan tidak ada yang melihat mereka.
“Entahlah, setiap kali aku masuk, sepertinya mereka tidak peduli. Mungkin karena daerah rak ini tidak menyimpan buku-buku yang paling dicari.” Gandrung menjelaskan. Secara otomatis pintu tertutup kembali begitu semuanya sudah masuk. Sebuah ruangan bundar persis seperti Ruang Mau Tahu dengan rak mengelilingi seluruh ruangan hingga ke langit-langit yang sangat tinggi. Rak-rak itu tidak menyimpan buku, tetapi gulungan-gulungan kertas yang disimpan didalam lubang kotak-kota kecil. Sebuah meja kayu bundar di tengah-tengah menjadi tempat membaca.
“Banyak sekali, bagaimana kau bisa mencari apa yang ingin dibaca ?” Dimas memandang sekeliling ruangan. Rak kayu yang sudah sangat tua begitu bersih tanpa ada debu sedikitpun.
“Yah aku ambil saja apa yang bisa aku jangkau. Kemudian aku membuka dan membacanya.” Gandrung menarik sebuah gulungan dari kotaknya. Gulungan kertas berwarna kuning kecoklatan itu dilepaskan dari ikatannya. Aksara-aksara yang tertulis diatasnya bergerak acak dan berpindah-pindah. Tak satupun kata maupun kalimat terbentuk. Gandrung melafalkan sesuatu yang terdengar aneh tapi begitu indah. Begitu selesai aksara-aksara itu bergerak lambat dan membentuk rapi kata demi kata hingga menjadi kalimat dan akhirnya sebuah tulisan lengkap dalam bahasa Bangsa Sinaravedi menjadi tetap dan dapat dibaca.
“Kenapa tulisan itu tadi semua bergerak. ?” Tanya Pafi
“Bangsa Sinaravedi mempunyai cara paling hebat dalam merahasiakan semua ilmu pengetahuannya. Kita harus mengucapkan mantra pembuka bahasa Bangsa Sinaravedi kalau mereka ingin membaca sebuah naskah” kata Gandrung sebelum selesai telah dipotong Dimas yang melafalkan sesuatu.
“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” kata Dimas pelan. Gandrung menengok agak terkejut. Dimas merasakan keterkejutan Gandrung. Dirinya pun tak tahu dari mana bisa mendapatkan kalimat itu.
“Kau, tahu dari mana kalimat itu ?” Gandrung bertanya penuh selidik.
“Eh…tadi aku mendengar ketika kau melafalkannya.” Kata Dimas berusaha meyakinkan Gandrung. Setelah melihat Gandrung tidak melanjutkan lagi, Dimas merasa lega sekali. Raji dan Pafi hanya berpikir bahwa itu karena Dimas telah membaca pikiran Gandrung. Tetapi Dimas sendiri merasa tidak melakukan apapun terhadap Gandrung. Dirinya tidak membaca apa yang dipikirkan Gandrung. Kalimat itu keluar begitu saja seolah dia sudah mengetahui semua bahasa Bangsa Sinaravedi. Bahkan baginya tulisan dalam naskah yang sedang dipegang oleh Gandrung pun seperti dapat dimengerti olehnya dengan mudah. Dimas teringat ketika membaca buku dongeng yang diberikan Pafi kepadanya di perpustakaan asrama. Semua tulisan dan kalimat dalam buku itupun sama persis dengan naskah yang sedang dibuka Gandrung. Mungkinkah buku dongeng yang dibacanya ditulis dengan bahasa Bangsa Sinaravedi ? Pikirannya tak mampu menjawabnya. Matanya kembali dialihkan kepada naskah yang sedang dibaca oleh Gandrung. Gandrung membacakan kalimat-kalimat itu dengan pelan-pelan dan kemudian menerjemahkannya untuk Raji dan Pafi. Sementara Dimas sudah mengerti begitu saja bahasa Bangsa Sinaravedi yang sedang dilafalkan oleh Gandrung.
“Thianransama avathairatum”.”Manfaatnya menitis padaku”.”Mathurai Nuvant”.”Terima kasih” Gandrung menyelesaikan bacanya.
“Jadi naskah tadi menceritakan kisah ketimun ajaib, ya?” kata Pafi.
“Iya, kisah ini sering kali diceritakan ayahku sebelum tidur” Gandrung menggulung kembali naskahnya.
Setelah selesai mendengarkan, Dimas melangkah mengambil sebuah gulungan naskah dari satu satu kota di dinding. Kemudian menggelarnya di atas meja. Setelah Gandrung mengembalikan gulungan naskah yang tadi dibacanya ke kotaknya semua. Aksara-aksara yang bergerak tak beraturan di atas kertas naskah itu. Kemudian Dimas melafalkan kalimat kuncinya.
“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” kata Dimas pelan. Aksara-aksara yang bergerak liar itu perlahan melambat membentuk kata-kata.
“Satuasra” Dimas memulai kalimat pertamanya. Gandrung terlihat heran Dimas yang langsung bisa membaca naskah dalam bahasa Bangsa Sinaravedi.
“Bagaimana kau bisa belajar bahasa Bangsa Sinaravedi secepat itu ?” Tanya Gandrung.
“Kau tidak akan percaya apa yang dia bisa hafal dari sebuah buku” kata Pafi memuji Dimas.
“Eh..mungkin karena aku mampu mengingat dengan cepat saat kau membaca dan aksara yang kau tunjuk.” Kata Dimas. Padahal dia tahu, dirinya sudah bisa membaca bahasa Bangsa Sinaravedi sejak diberikan buku cerita oleh Pafi sewaktu di ruang perpustakaan asrama. Kemudian Dimas kembali kepada naskah yang sedang dia pegang.
“Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang.
Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana.
Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh.
Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam.
Kegelapan hanya akan tenang bersama terang.”
Kalimat itu hanya berhenti sampai disitu.
“Naskah ini pendek sekali, tidak seperti yang tadi kau bacakan” Pafi menilik isi naskah yang sedang di pegang Dimas.
“Bisakah kita membawa naskah ini ?” Tanya Dimas kepada Gandrung.
“Entahlah, aku pernah mencobanya. Setiap aku mencoba membawanya keluar sebuah naskah, pasti dia akan terlepas dari tanganku saat melewati pintu dan langsung kembali ke kotaknya.” Gandrung tidak yakin kalau Dimas akan berhasil membawa naskah itu keluar.
“Sepertinya Graha Pustaka ini sudah dilindungi sihir-sihir Bangsa Sinaravedi, dan para Bangsa Sinaravedi rupanya tidak mau apapun yang berada di ruangan ini keluar dari tempatnya. Sepertinya para Bangsa Sinaravedi sudah menduga kalau mereka tidak akan selamanya di kota ini.” Kata Pafi menyimpulkan.
“Aku mau membaca ini” Tiba-tiba Raji menyela pembicaraan. Tangannya menyorongkan satu gulung naskah ke atas meja.
“Tadi apa kalimatnya ?” Raji melihat aksara-aksara di atas naskah bergerak liar.
“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” Gandrung menjawab. Raji segera menirukan. “Ingdorthium thor savantharau anglashiavtan” Tetapi aksara-aksara itu tetap bergerak liar.
Raji kebingungan “Kenapa tidak berubah, aksara-aksara ini masih bergerak”.
“Kau salah menyebutkannya, Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan bukan anglashiavtan” Pafi membetulkan kalimat Raji. Sekali lagi Raji melafalkan kata kunci itu. Tak lama kemudian aksara-aksara di naskah yang sedang dipegangnya bergerak lambat dan membentuk kata-kata.
“Gandrung, ayo bacakan naskah ini.” Dimas meminta Gandrung.
“Kau kan juga bisa membacanya.” Gandrung sedikit menolak.
“Aku kan baru belajar, untuk naskah sepanjang itu aku bisa juling.”Dimas nyengir. Gandrung maju meraih naskah yang sedang di pegang Raji. Raji pun menyerahkannya.
“Ki Salakanagara, Naskah ini menceritakan tentang pembuatan kapal pavaratha Ki Salakanagara yang tadi kita lihat.” Kata Gandrung menjelaskan judul naskah. Raji makin bersemangat ingin mendengarkannya. Sejak pertama melihat kapal itu. Gandrung kembali melanjutkan membaca naskah itu. Setelah selesai Pafi segera menyodorkan naskahnya yang ingin dibacakan. Gandrung tanpa ragu membacakannya.
“Sepertinya tiap naskah yang diambil oleh kita, sepertinya isinya menceritakan apa yang menjadi keinginan terdalam kita saat mengambilnya. Lihat saja, Gandrung mengambil cerita ketimun yang sering dibacakan ayahnya, Raji mengambil cerita kapal pavaratha Ki Salakanagara yang sejak tadi ingin diketahuinya, sedangkan aku mendapatkan cerita Cakravartin yang memang sejak tadi ingin aku tahu. Sedangkan kau Dimas, naskah yang kau ambil hanya serangkaian kalimat saja yang tidak kita mengerti maksudnya.” Kata Pafi selesai Gandrung membacakan naskahnya.
“Aku tidak sedang menginginkan mengetahui apapun sejak tadi ?” Dimas mengelak.
“Tidak harus sesuatu yang baru saja, tetapi mungkin yang selama ini menjadi pertanyaan dalam pikiranmu. Graha Pustaka ini bekerja dengan cara demikian.” Kata Gandrung. Dimas mulai merasa agak terpojok.
“Adakah sesuatu yang belum pernah kau ceritakan kepada kami, Dimas ?” Tanya Pafi. Pafi sepertinya sudah menduga. Dimas agak gugup, matanya beralih ke Raji berharap Raji membantunya dari situasi ini, tetapi Raji memberikan ekspresi wajah yang menunggu jawaban pula. Terpojok tidak dapat mengelak lagi, akhirnya Dimas menyerah.
“Eh…maafkan aku. Bukan aku tidak mau menceritakannya, tetapi aku sendiri belum yakin dengan apa yang sedang aku alami. Tapi baiklah.” Kemudian Dimas menceritakan semua hal yang dilihatnya saat di kamar dan percakapan yang didengarnya saat mengintai kapal pavaratha Ki Salakanagara.
“Apakah hubungannya antara penglihatan dan pendengaranmu itu dengan isi naskah yang kau pilih ?” Tanya Raji
“Aku sendiri tidak tahu, aku sendiri masih tidak mengerti.” Dimas menggelengkan kepalanya.
“Tapi yang kau dengar ada kaitannya dengan situasi Narapati sekarang. Pasti ada kaitannya dengan penglihatanmu juga dan isi naskah itu.” Gandrung mengingatkan semuanya dengan situasi yang pernah dijelaskannya.
“Kalau diantara kita tidak ada yang bisa menerangkan kaitan semua ini, siapa yang bisa ?” Tanya Pafi. Tidak ada yang menjawab ataupun memberikan alternatif.
“Mungkin kita tanyakan saja kepada ayahku.” Gandrung memberikan usul.
“Ya, betul bila hal ini begitu penting pasti ada seseorang yang tahu maksudnya.” Raji mendukung usulan Dimas.
“Jangan! Ini masih terlalu mentah. Aku tidak setuju kalau penglihatan dan pendengaranku disampaikan kepada Ayahmu. Aku yakin beliau punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan. Lagi pula ini kan Cuma sesuatu yang Cuma aku yang merasakannya. Kita tidak boleh melakukan sesuatu hanya berdasarkan dugaan saja. Lebih baik kita kembali ke rumah saja, kita pikirkan kembali nanti.” Menceritakan kepada teman-temannya saja cukup membuat Dimas berat, apalagi harus disampaikan kepada orang lain.
“Paling tidak kita bisa tanyakan mengenai arti dari tulisan itu saja” kata Pafi.
Tidak ada lagi yang dibicarakan, mereka kembali ke rumah. Sesuai janji tidak ada yang boleh menceritakan kepada siapapun tentang penglihatan dan pendengaran Dimas.
“Aku tidak bisa membukanya.” Dimas agak kecewa.
“Kemarin kau bagaimana membukanya ?” tanya Pafi.
“Pintu itu muncul setelah keluar aksara-aksara aneh dari telapak tanganku, tapi sekarang aku tidak bisa mengeluarkannya.” Jawab Dimas.
“Kau bawa buku itu tidak ?” Raji mengingatkan Dimas mengenai buku yang diberikan Pafi kepadanya.
“Aku sedang memegangnya.” Jawab Dimas.
“Mungkin sebaiknya kau ulangi semua dari awal, saat membuka halaman pertama buku.” Pafi memberikan saran. Dimas teringat lagi apa yang dilakukannya kemarin.
“Baiklah” Dimas membuka buku yang kemarin diberikan Pafi, kemudian membuka halaman berikutnya. Tapi tetap tidak terjadi apapun. Dimas kecewa sekali. Dimas kehabisan akal, tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
“Kau harus membacanya dari awal” Pafi mengingatkan lagi. Dimas pun kembali membuka bukunya dan membacanya.
“Menjadi yang pertama berjalan di atas permukaan bumi sang Manusia Utama …………….. NARAPATI”
Tangannya kemudian membuka halaman berikutnya, semua aksara di halaman itu berubah menjadi bentuk-bentuk aneh dan bersinar keemasan. Kemudian meredup seperti menyerap ke dalam telapak tangan Dimas. Dimas lalu mengarahkan tangannya ke lukisan gunung di dinding. Dengan perlahan aksara-aksara yang tadi menyerap ke telapak Dimas meluncur keluar berterbangan masuk ke dalam lukisan itu. Setelah itu sebuah pintu terbuka.
“Kau berhasil!” kata Raji dan Pafi bersamaan.
“Ayo kita masuk” Dimas melangkah memasuki pintu itu. Sebuah lorong gelap cukup panjang tapi ada cahaya diujungnya. Dimas terus melangkah perlahan diikuti oleh Raji dan Pafi. Mereka muncul di sebuah tempat di sebuah ruangan dalam sebuah rumah yang cukup nyaman.
“Dimana kita ?” Raji memandangi sekeliling ruangan putih dan terang. Tidak seperti yang diharapkannya.
“Entahlah, mungkin ada yang salah saat kita membuka pintunya.” Dimas sendiri juga kebingungan menemui tempat yang berbeda dari yang mereka temukan kemarin malam.
“Ayo kita periksa saja ruangan ini aja dulu.” Pafi melangkah menyusuri ruangan lain.
“Isinya sangat lengkap, sepertinya ruangan pertama yang kita masuki adalah ruang tengah. Ini adalah ruang tidur dan masih ada lagi di sana.” Pafi kemudian membuka pintu yang bersebrangan dengan pintu masuk. Sebuah lorong yang remang-remang dengan sedikit cahaya masuk dari ventilasi kecil di atasnya. Baunya sangat tidak nyaman.
“Sepertinya ini adalah gorong-gorong di bawah kota. Aneh sekali ada tempat tinggal sebagus ini di tempat yang bau seperti ini.” Dimas sesekali menyeka hidungnya mengusir bau yang tak sedap. Kakinya melangkah keluar pintu. Pafi lebih dulu keluar. Raji menyusul dibelakang. Pintu tertutup dengan sendirinya. Dengan ragu-ragu ketiganya melangkah meninggalkan pintu. Belum lebih dari tiga langkah Dimas membalikan badannya ke belakang pintu tempat mereka tadi keluar perlahan berubah menjadi dinding batu serupa dengan sekelilingnya. Dimas setengah berlari kembali, tetapi semuanya telah kembali menjadi batu. Raji dan Pafi menyusul dan melihat dengan kecewa tidak ada pintu yang mereka temui.
“Bagaimana kita bisa kembali, pintunya hilang” Pafi resah. Dimas meraba-raba dinding dimana pintu itu sebelumnya berada. Tidak ada yang berubah. Sesaat kemudian meraba bagian tengahnya tangan memegang sesuatu seperti gagang pintu. Tangannya langsung memutar gagang tersebut dan mendorongnya. Pintu itu terbuka kembali. Dimas gembira sekali.
“Raji, Pafi aku menemukan pintunya lagi” kata Dimas girang. Raji dan Pafi nyaris berteriak kegirangan melihat pintu yang tadinya hilang kini terbuka kembali.
“Bagaimana kau menemukannya ?” Pafi mendorong pintu itu seolah tidak mau lagi terjebak.
“Tidak sengaja, sepertinya pintu itu tetap berada di tempatnya, hanya saja tersamar dan membuatnya terlihat sama dengan dinding di sekitarnya. Rupanya ada yang menginginkan pintu itu tidak ditemukan.” Dimas menjelaskan.
“Berarti kita sudah tahu rahasianya dan kita bisa meninggalkannya. Yang kita perlu hanyalah mengingat tempatnya” Raji meraba-raba dimana letak gagang pintunya.
“Kita perlu menandai tempat ini, tapi kelihatannya akan sangat sulit karena bentuk gorong-gorong ini sama semua.” Dimas mengamati kedua ujung lorong. Pintu itu kemudian ditutup kembali. Pafi mundur selangkah tapi tangannya tetap memegang dinding pintu. Dimas melepaskan pegangannya dari gagang pintu. Perlahan bentuk pintu itu kabur dan berubah serupa dengan bentuk dinding di sekitarnya. Apa yang Pafi pegangpun berubah. Masih kurang yakin Pafi meraba dinding itu ke tempat dimana tadi Dimas melepaskan gagang pintunya. Tangannya merasakan sebuah gagang pintu walaupun tidak terlihat. Setelah yakin pegangannya dilepaskan.
“Ke atas saja” Raji menunjukan jarinya ke atas. Dimas dan Pafi menengadah ke atas.
“Kau jenius Raji.” Puji Dimas. Raji hanya nyengir sambil garuk-garuk kepalanya. Dimas melangkah mendekati lubang-lubang kecil dimana cahaya masuk dari atas. Tangannya meraih udara kosong di bawahnya. Cahaya matahari menyinari wajahnya. Rasa panasnya dapat ditebak kalau hari sudah lewat tengah hari. Setelah meraba udara kosong beberapa saat lubang di atasnya bergerak. Lubang berbentuk persegi empat terbuka sesaat setelah Dimas menggesernya.
“Pafi, naiklah lebih dulu.” Dimas meminta Pafi melompat lebih dulu. Dengan pengendaliannya terhadap angin, Pafi mengangkat dirinya melayang melewati lubang di atas. Setelah di atas Pafi membantu mengangkat Dimas dan Raji bergantian. Setelah semua berada di atas tutup lubang itu dipasangkan kembali ke tempatnya yang tepat berada di atas sebuah jalan yang sepi tepat di pinggir sebuah sungai besar. Sebuah tembok tinggi sepanjang mata memandang dengan anak tangga di sampingnya menuju ke atas. Tampaknya jalan itu sebuah sandaran dermaga kecil yang jarang dipakai. Sawah-sawah yang sudah menguning keemasan terhampar luas hingga garis cakrawala. Beberapa gapura tampak berdiri di beberapa bagian di tengah jalur-jalur air yang cukup besar untuk perahu-perahu berlalu lalang. Tidak pernah Dimas melihat hamparan sawah yang begitu luas dan tertata rapi dengan saluran-saluran airnya.
“Ayo kita ke atas, mungkin pusat kota Sunda Buana berada di balik dinding ini.” Raji melangkah lebih dulu meninggalkan Dimas dan Pafi yang masih terpana oleh pemandangan persawahan yang begitu indah.
Mereka kemudian menyusul Raji melangkah menapaki tangga. Apa yang terlihat di balik dinding sungguh mencengangkan. Sebuah kota dengan bangunan-bangunan tinggi dan tepat di tengahnya sebuah bangunan piramida paling tinggi dengan puncak api yang menyala di angkasa. Wahana-wahana terbang melintas di langit kota.
“Apakah ini yang disebut kota Sunda Buana ?” Raji tertegung dengan mulut menganga. Pafi tak sanggup bicara apa-apa lagi.
“Sepertinya begitu dan kita berdiri di atas bentengnya” Dimas merasakan darahnya berhenti mengalir. Bulu romanya bergidik melihatnya. Bahkan apa yang dilihatnya lebih indah dan lebih hebat dari Batavia. Kata-kata apapun tak sanggup menggambarkan kilau emas yang memantul dari seluruh kota. Pafi hanya diam membeku di sebelah Dimas. Seolah semua kata terjebak di kepalanya tak mampu keluar dari mulutnya.
“Gambarannya persis seperti yang diceritakan oleh pak Narso.” Pafi seperti baru menemukan kata-katanya.
Pohon-pohon kelapa berdiri tinggi di kiri kanan jalan yang dibatasi oleh parit-parit cukup besar. Di seberangnya bangunan-bangunan rumah dengan atap-atap mirip campuran antara rumah gadang dan toraja berdiri indah di antara taman-taman yang ditata apik. Dorongan naluri membawa Dimas berjalan terus menyusuri jalan masuk menuju pusat kota. Kota Sunda Buana sangat besar. Bahkan terasa jauh lebih besar dari pada kota Jogjakarta. Kota peninggalan kerajaan Mataram itu terasa begitu kecil dengan kemegahan Sunda Buana. Sepanjang jalan di antara pohon-pohon kelapa selalu berdiri pilar-pilar dengan patung-patung garuda. Garuda yang menjadi lambang paling dihormati di seluruh Sunda Buana. Makin masuk ke dalam kota, suasana makin ramai oleh kegiatan penduduk kota. Perahu-perahu hilir mudik diantara saluran-saluran air. Sepertinya saluran air yang membelah kota menjadi bagian-bagian menjadi transportasi yang sama pentingnya dengan jalan-jalan darat. Sesekali melintas di udara sebuah wahana dengan bentuk lonjong. Kendaraan darat mengangkut orang-orang dan hasil bumi berlalu lalang.
“Sepertinya kita berada di jalur pasar, lihat banyak sekali wahana yang mengangkut hasil-hasil pertanian.” Dimas menunjuk sebuah wahana beroda empat seperti mobil para pejabat Hindia Belanda di Jogjakarta. Warnanya yang abu-abu kehitaman dengan bentuk permukaan yang agak kasar kelihatan kokoh sekali. Sebuah bangunan panggung campuran dari batu dan kayu dengan bentuk atap meruncing seperti tanduk kerbau menjadi tempat berkumpulnya semua kegiatan jual beli. Tumpukan hasil-hasil pertanian tertata rapi dibawahnya. Diantara hilir mudiknya orang, tampak seorang anak kecil yang berlari-lari menyelip kesana kemari di bawah orang-orang dewasa tidak lagi menyadari kalau Dimas, Raji dan Pafi sedang berjalan ke arahnya. Tak terelakan tubrukan terjadi. Dimas terjengkang ke belakang sementara anak kecil itu tersungkur ke depan.
“Ah…maafkan aku. Aku tidak sengaja…..” katanya menghampiri Dimas yang masih terduduk di atas tanah.
“Tidak apa-apa….” Dimas berusaha bangkit dengan bantuan tangan anak itu.
“Gandrung, apakah kau Gandrung ?” Pafi mengamati wajah anak itu yang basah oleh keringat. Anak itu meringis tapi belum menjawab. Wajahnya seperti kebingungan sejenak.
“Ya aku Gandrung, oh…Pafi, Raji…..Dimas” Gandrung seperti tidak percaya melihat kehadiran mereka bertiga di hadapannya.
“Gandrung, apa kabarmu ?” Dimas menyapanya.
“Baik…baik…hehehe senang sekali bertemu kalian lagi. Sudah satu purnama kita berpisah, aku terus berharap bisa bertemu lagi dan akhirnya harapanku terkabul.” Kata Gandrung.
“Satu purnama ? kita cuma berpisah satu hari saja” kata Raji keheranan.
Pafi menepuk tangan Raji sambil mengedipkan matanya “Sudah satu purnama yah, wah lama juga yah tidak terasa kita berpisah sudah selama itu” Pafi menyela pembicaran. Raji bisa saja berkata begitu saja mengenai bahwa bagi mereka sebenarnya baru satu hari. Tetapi Raji segera menyadari keadaan.
“Iya, kemana saja kalian selama ini?” Gandrung menepiskan tangannya ke seluruh badan membersihkan kotoran yang melekat di bajunya.
“Kami hanya sedang jalan-jalan saja, dan akhirnya sampai di kota ini” jawab Dimas tanpa mau menyebutkan nama kotanya. Dimas mengharapkan Gandrung menyebutkan nama kota dimana sekarang mereka berada. Untuk memastikan kalau kalau perkiraannya benar.
“Akhirnya kalian ke Sunda Buana juga. Bagaimana kalau kalian ke rumahku. Aku yakin pasti ayah dan ibuku sangat senang dengan kedatangan kalian” pinta Gandrung. Dimas begitu senang mendengarnya. Dimas, Raji dan Pafi saling pandang memberikan isyarat setuju.
“Baiklah, lagi pula kami tidak terlalu paham mengenai kota ini, kami harap kau bersedia mengajak kami keliling kota ini.” Dimas mengajukan syarat. Dimas tahu Gandrung akan dengan senang hati mengantar mereka walaupun tidak diminta.
“Dengan senang hati, aku akan bawa kalian keliling kota sepuas kalian dan yang pasti aku akan membawa kalian ke tempat-tempat yang hebat. Kebetulan aku sedang libur tahunan sekolah.” Gandrung senang sekali.
Mereka berempat akhirnya berjalan bersama-sama mengunjungi sudut-sudut kota hingga sore. Saat matahari mulai bergantung di barat, Gandrung mengajak mereka ke rumahnya yang tidak jauh dari pusat kota.
Kemudian mereka memasuki sebuah rumah yang terbuat dari batu merah beratap melengkung seperti tanduk kerbau. Dimas sudah bisa menebak rumah siapa yang sekarang sedang mereka masuki. Seorang wanita cantik sudah berdiri menyambut di depan pintu rumah.
“Gandrung…..” perempuan itu membuka tangannya..
“Ibu….” Gandrung berlari menghampiri perempuan itu dan mencium tangannya. Dari dalam rumah muncul juga seorang lelaki yang sudah dikenal Dimas sebelumnya. Gandrung bergantian mencium tangan ayahnya. Lelaki itu tersenyum ramah melihat Dimas, Raji dan Pafi.
“Selamat datang nak Dimas, Raji, Pafi.” Patih Nara Jalaseva memberikan salam.
“Terima kasih paman, apa kabar paman ?” Dimas menghaturkan salam kedua tangannya.
“Baik nak. Dinda, ini adalah Dimas, Raji dan Pafi. Mereka bertiga telah berjasa menolong anak kita dari lodaya.” Patih Nara Jalaseva tersenyum kepada ketiganya.
“Terima kasih atas pertolongan kalian, Selamat datang di kediaman kami.” Istri Nara Jalaseva memberikan salam.
“Dinda, siapkanlah ruang tidur untuk mereka bertiga dan siapkanlah makanan yang paling enak. Kalian akan menginap disini bukan ?” Patih Nara Jalaseva menatap Dimas. Dimas hanya mengangguk setuju.
“Baiklah kakang” Perempuan cantik itu segera mengerjakan permintaan suaminya.
“Ayo masuk, aku tunjukan kamarku” Gandrung mengajak Dimas, Raji dan Pafi.
“Kamar tidurmu bagus sekali.” Raji mengagumi kamar tidur Gandrung.
“Ini belum seberapa, nanti aku akan tunjukan tempat-tempat lain yang tidak pernah didatangi orang. Aku sering mengunjungi tempat-tempat yang tidak boleh didatangi oleh siapapun karena dilarang oleh kerajaan atau tersembunyi oleh rahasia-rahasia sihir Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh.” Gandrung mengecilkan suaranya.
“Tempat-tempat terlarang dan rahasia ? apa kau tidak takut dihukum kalau sampai ketahuan ?” Pafi juga mengecilkan suaranya.
“Ya kalau ketahuan pasti kena hukuman ayah. Tapi tempat-tempat itu sudah seperti tidak pernah diingat lagi dan terlupakan. Tapi aku tahu jalan-jalan yang aman untuk kesana.” Gandrung makin bersemangat. Petualangannya kini tak harus dilakukannya sendiri.
“Wah menyenangkan sekali.” Raji seperti mendapat air jeruk dingin di siang hari. Matanya berbinar senang.
“Kau berani sekali Gandrung.” Dimas memuji Gandrung. Anak itu senang sekali mendengarnya.
“Banyak sekali rahasia terpendam di bawah kota ini. Nanti akan aku ajak kalian ke sana.” Kata Gandrung penuh semangat. Sedang asyiknya mereka mengobrol, kemudian terdengar suara panggilan dari luar kamar.
“Gandrung, ayo ajak teman-temanmu ke kamar mereka, setelah itu bersiaplah untuk makan malam.” Ibu Gandrung hanya sedikit melongok di pintu kamar.
“Baik Ibu. Ayo kita menuju kamar kalian.” Gandrung bangkit dari tempat tidurnya. Gandrung menunjukan dengan senang hati semua hal yang ada di rumahnya. Para abdi dalem hilir mudik membawa berbagai macam keperluan. Meletakan begitu banyak makanan ke dalam kamar-kamar yang akan ditempati oleh Dimas, Raji dan Pafi. Tak lama kemudian makan malam telah siap dan penuh di atas meja, seakan menjawab doa perutnya Raji yang sudah kembali merintih kelaparan. Tak ada kecanggungan sedikitpun tampak, Gandrung begitu pandai membuat teman-taman barunya merasa betah dan nyaman.
---- *** ----
Malam bergerak sangat cepat, tak lagi memberikan senja cukup lama untuk bersantai di ujung cakrawala. Dimas tak sempat lagi melihat gerai jingga di balik awan-awan kumulus yang menggantung di ujung bumi. Dirinya sedang asyik dengan kebiasaanya memandang dunia melalui jendela. Matanya menatap jauh ke puncak piramida yang menjulang tinggi yang diujungnya berkobar api abadi yang tidak pernah mati. Begitu terangnya cahayanya memendar luas ke seluruh langit kota menandingi candra yang sedang tersenyum indah di bingkai malam. Hatinya menclos teringat hidupnya di asrama. Pikirnya menerawang apakah dia akan menemukan sesuatu yang lebih baik dari pada yang dialaminya di asrama. Tidak perlu ada Aryo dan gengnya ataupun Nyai Janis yang selalu saja banyak Tanya dan kadang-kadang rada ketus. Dunia baru yang ditemuinya seakan memberikan begitu banyak harapan dan kebahagiaan. Rasanya dia ingin tetap tinggal di dunia itu selamanya. Tetapi ketika teringat pak Narso dan istrinya hatinya menjadi ragu. Mungkinkah justru disana lebih baik dari apa yang sekarang dilihatnya. Bukankah dirinya menjadi apa yang ada sekarang karena dunianya di asrama. Kerinduan mencekat hatinya seolah sudah sekian tahun lamanya dirinya meninggalkan asrama. Kangen singkong rebus buatan Mbok Sinten dan wedang jahenya Mbok Sinem. Rindu ladang-ladang jagungnya pak Narso. Matanya mengedip mencoba menepiskan semua yang dirasakannya.
Tangannya terus saja memegang buku legenda Narapati yang sudah dibacanya. Perhatiannya mulai diarahkan kepada cerita yang didapatnya dari buku itu. Rasanya seperti tak percaya, buku itu terus kembali dibaca berulang kali seakan Dimas ingin menyelami semua isinya kemudian membandingkannya dengan apa yang sekarang sedang disaksikannya. Tetapi rasa sangsi menyelimuti hatinya, cerita dalam buku ini terlalu besar dan tidak jelas kerangka waktunya. Tetapi juga Dimas yakin tidak mungkin buku itu ditulis dengan cara-cara yang begitu rahasia jika isinya tidak mengandung kebenaran.
“Kau sedang berpikir apa ?” Tiba-tiba Raji menyapanya. Ruangan tidur untuk mereka berdua cukup besar sehingga Dimas tak merasakan langkah Raji mendekat.
“Eh…aku pikir kau sudah tidur Raji. Aku sedang memikirkan kesamaan kisah dalam buku ini dengan alam yang sekarang kita jelajahi ini. Sepertinya begitu banyak hal yang sama, hanya saja aku tidak yakin apakah buku ini benar menceritakan tentang negeri ini.” Dimas beranjak dari jendela berjalan membuka pintu di sebelahnya. Raji berjalan mengikutinya keluar ruangan. Di luar ruangan pemandangan malam makin jelas dan indah terlihat. Barulah terlihat ternyata kamar sekarang mereka tinggali berada di sebuah bangunan bertingkat. Mereka berada di lantai paling atas.
“Ceritakanlah padaku mengenai negeri ini seperti yang kau baca dari buku itu.” Raji memandang kagum pemandangan kota yang terbentang di bawahnya.
Dimas menunjuk jauh kearah kobaran api di puncak kuil. “Lihatlah Raji, itu adalah kuil Cakravartin seperti yang digambarkan dalam cerita di buku ini. Disanalah pusat kerajaan Narapati. Kita sekarang berada di ibukota Narapati Sunda Buana. Masih ada sembilan kota lainnya yang berukuran lebih kecil dari Sunda Buana. Luasnya negeri ini dari utara di perbatasan dengan Negeri Cina dan India hingga ke lautan di selatan Jawa. Tanah di negeri ini yang sekarang kita saksikan pada jaman kita adalah sebuah lautan luas yang memisahkan pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa dengan daratan Asia.”
“Berarti kita benar-benar kembali ke masa lalu, maksudmu ?” Raji masih agak enggan mempercayainya. Dia berharap dunia yang sekarang dilihatnya benar-benar dapat dikunjunginya setiap saat atau bahkan bisa tinggal selamanya.
“Sepertinya begitu. Kita sedang berada di nusantara kira-kira limabelas ribu tahun lalu. Itu pun kalau apa yang diceritakan dalam buku ini benar-benar pada waktu yang sama dengan keadaan sekarang.” Dimas kembali membolak-balik buku tua yang dipegangnya.
“Lalu kenapa sekarang tenggelam menjadi lautan ?” Tanya Raji.
“Entahlah, buku ini tidak memberikan cerita apapun mengenai tenggelamnya kerajaan Narapati.” Dimas berhenti saat sebuah ketukan terdengar di depan pintu. Raji berbalik mendekati pintu dan membukanya perlahan. Pafi sudah berada di depan pintu.
“Gandrung sudah datang ?” Pafi masuk melewati Raji yang masih memegang pintu dan melongokan sedikit kepalanya keluar.
“Belum, sejak tadi hanya aku dan Dimas saja.” Jawab Raji. Belum sempat pintu di tutup rapat, sebuah ketukan kembali terdengar dan Raji langsung membukanya. Kali ini Gandrung sudah berdiri di depan pintu dan langsung masuk saat pintu dibuka lebar-lebar oleh Raji.
“Maafkan aku membuat kalian menunggu.” Gandrung sudah begitu siap dan lengkap dengan beberapa perlengkapan yang dibawanya. “Aku menyiapkan ini dulu.” Tambahnya sambil menyodorkan tiga bungkus kain kepada Dimas, Raji dan Pafi. Ketiganya menerima saja bungkusan itu.
“Pakailah, kalian tidak mungkin terus menerus menggunakan pakaian yang kalian pakai sekarang.” Kata Gandrung yang tidak menjelaskan kenapa mereka harus mengganti pakaiannya.
“Bukankah malam ini ….” Belum sempat Dimas menyelesaikan kata-katanya Gandrung langsung menyela.
“Cerita akan lebih menyenangkan kalau langsung ke tempatnya kan ?” Raji mengangguk cengar-cengir setuju. Dimas dan Pafi hanya saling pandang tetapi tidak membantahnya. Dalam hati mereka justru hal seperti ini yang lebih menyenangkan.Tanpa ragu lagi ketiganya segera mengganti pakaian mereka. Raji harus membuatkan dinding es untuk member ruang ganti untuk Pafi. Tak lama kemudian mereka telah siap dan berpakaian lengkap.
“Nah, kalian sekarang sudah tampak seperti seorang Narapati.” Gandrung tersenyum puas. “Ayo kita berangkat!” Gandrung berjalan membuka pintu kamar. Langkahnya diikuti oleh Dimas, Raji dan Pafi. Tepat di depan sebuah lubang di dalam dapur Gandrung berhenti.
“Kita akan turun melalui lubang ini.” Wajahnya tersenyum sumringah sekali. Tangan dan kakinya masuk ke dalam lubah, setelah duduk persis diujungnya Gandrung mendorong ke depan. Dimas, Pafi dan Raji saling pandang. Tanpa ragu Pafi menyusul menjadi yang kedua, kemudian disusul Dimas. Di dalam lubang Dimas merasakan gerakan melingkar meluncur deras ke bawah seperti gulungan. Rasa mual dan menghentak di dadanya memberikan sensasi yang tidak menyenangkan. Hingga tak lama kemudian jatuh di sebuah tumpukan sampah yang bau menyengat. Selang beberapa lama Raji menyusul di belakang.
“Uh bau sekali, jadi lubang itu adalah tempat membuang sampah !” mata Raji mendelik sambil menutup hidungnya. Pafi mengibas-ngibaskan tangannya mengusir bau yang berputar-putar di depan hidungnya. Dimas hanya menjepit ringan hidungnya dengan dua jari kanannya.
“Ini hanya latihan saja, ada yang lebih bau nanti” Gandrung hanya cengar-cengir menunjuk sebuah lubang kecil di bawah kakinya kemudian dengan jari-jarinya yang kecil memindahkan sebuah batu berbentuk segi empat yang berlubang tepat di tengahnya. Di bawah batu tersebut terlihat sebuah lubang gorong-gorong yang cukup dalam dan tanpa ragu-ragu melompat masuk ke dalamnya. Gorong-gorong itu cukup untuk berjalan dua orang dewasa bersamaan. Keadaan gorong-gorong cukup gelap. Sesekali terlihat sinar dari lubang-lubang di atas. Beberapa kali mereka menemui persimpangan. Gandrung dengan langkah yang sangat yakin tahu kemana harus kakinya melangkah. ? Dimas, Raji dan Pafi sesekali saling pandang satu sama lain. Dalam kebisuan mereka seperti ada sebuah pertanyaan, apakah Raji juga tahu mengenai gerbang menuju asrama ?
“Kita akan menuju kemana ?” Dimas mencari tahu apa yang akan diperlihatkan Gandrung kepada mereka.
“Kita akan menuju tempat kesukaanku menghabiskan waktu, kalau tidak sedang pendidikan. Tempat itu seperti terhubung dengan semua tempat di Sunda Buana. Aku bisa mendengar pembicaraan siapapun di ruang manapun mereka sedang berada. Makanya tempat itu aku beri nama “Ruangan Tukang Mau Tahu”. Gandrung sesaat menghentikan langkah kemudian menunjuk-nunjuk seperti menghitung langkah di depannya.
“Ada apa ?” Tanya Pafi.
“Tidak tahu, tiba-tiba saja berhenti.” Kata Dimas. Gandrung seperti tidak mendengar pembicaraan di belakangnya. Kemudian dia berbalik.
“Nah sekarang ikuti langkahku. Di depan ada beberapa batu-batu pijakan yang menyebar. Untuk memasuki ruangan itu kita harus menginjak batu yang benar. Kalau tidak, siapa yang salah langkah maka dia sendiri yang tidak akan bisa masuk.” Gandrung melompat dan berdiri di atas sebuah batu kemudian secara beruntun melompat ke kiri dan ke kanan diikuti tanpa kesulitan oleh Dimas, Raji dan Pafi. Di samping mereka sebuah dinding batu bergeser perlahan membentuk pintu bundar menyingkap keberadaan sebuah ruangan di baliknya. Sebuah ruangan berbentuk bundar dengan dinding penuh figura-figura bundar menempel dari atas hingga bawah. Sesaat mereka semua telah masuk ke dalam ruangan, secara otomatis pintu itu tertutup. Segera setelah ruangan tertutup rapat, semua berubah total. Ruangan bundar itu menjadi sangat putih. Sofa bersandar mengelilingi dinding dan dari langit-langit ruangan turun sebuah benda seperti periskop menggantung di tengah ruangan. Gandrung memegang dua gagang berbentuk tanduk kerbau di kedua sisinya dan merapatkan wajahnya ke sebuah luang. Kemudian sekejap melepasnya lagi.
“Dengan alat ini kita bisa melihat dan mendengar apapun yang kita ingin lihat dan dengar di seluruh kota ini. Hanya satu tempat yang tidak bisa dilihat, kamar Raja. Sekali kau mencobanya cahaya yang sangat menyilaukan akan membutakan matamu sementara. Cukup dengan menyebutkannya saja, alat ini langsung menunjukannya.” Gandrung menjelaskan.
Dimas memperhatikan dengan lekat alat besar di hadapannya. Raji kelihatan sangat tertarik mencoba-coba mendekatkan wajahnya meniru apa yang tadi dilakukan oleh Gandrung. Tetapi tidak satu pun yang dapat dilihatnya. Hanya kekosongan gelap yang tampak di dua lubang di kedua sisi alat itu. Dimas mendekat dan memegang kedua gagangnya dan mendekatkan wajahnya hingga menempel.
“Puncak Cakravartin.” Kata Dimas spontan. Sebuah gambar terlihat berkilau keemasan. Api abadinya mempesona Dimas. Hatinya begitu membuncah seakan ada sebuah kebahagiaan di sana. Raji berusaha melihat pada sisi yang lain. Matanya berusaha mencari apa yang sedang dilihat Dimas. Tetapi tidak satupun bayangan muncul. Hanya kegelapan seperti yang tadi dilihat sebelumnya.
“Kau sedang melihat apa Dimas, aku tidak melihat apapun dalam teropong ini.” Raji bolak balik melihat ke dalam teropongnya. Tapi tak menemukan gambar apapun seperti yang dikatakan Dimas.
“Puncak Cakravartin.” Dimas begitu asyik. “Puncak kuil itu begitu indah, cahaya apinya yang keemasan seolah sedang membakar bulan purnama di atasnya.” Dimas masih terus asyik melihat pemandangan di teropongnya.
“Kau tidak akan melihat hal yang sama dengan apa yang sedang dilihat oleh Dimas sekarang. Walaupun kau melihatnya dari sisi teropong yang lain Raji. Kau harus mengucapkan apa yang ingin kau lihat.” Gandrung menjelaskan kenapa Raji tidak melihat hal yang sama dengan Dimas. Dan itu cukup menjelaskan mengapa sedari tadi yang dilihatnya hanya ruang gelap saja.
“Tapi aku tidak tahu apa yang ingin aku lihat, aku tidak mengenal apapun.” Raji berkata sedih. Gandrung baru tersadar kalau ketiga temannya tidak mengetahui apapun mengenai Sunda Buana. Kemudian Gandrung menceritakan semua hal yang diketahuinya tentang Sunda Buana dan apa yang selama ini diketahuinya melalui Ruang Mau Tahu. Dimas melepaskan pegangannya pada teropong. Cerita Gandrung lebih menarik dari apa yang sedang dilihatnya. Seakan dirinya ingin memastikan apa yang telah diketahuinya melalui buku cerita yang sudah dibacanya dan membandingkan dengan apa yang akan diceritakan oleh Gandrung.
“Kerajaan Narapati membentang dari ujung utara Khitai hingga laut di selatan Yavadvip. Dari Barat di Svarna hingga ke timur di Kanchana. Ibukota kerajaan Narapati bernama Sunda Buana. Masih terdapat 9 kota besar lainnya yang hampir semuanya berada di aliran sungai Sunda Besar Utara dan Sunda Besar Selatan. Sunda Buana menjadi pusat semua kehidupan politik di Narapati. Narapati membangun waduk yang menghubungkan Sunda Besar Utara dan Sunda Besar Selatan. Di kedua ujungnya terdapat gerbang bendungan yang sangat tinggi yang mengatur keluar masuknya air dari sungi Sunda Besar Utara dan Sunda Besar Selatan. Sunda Buana berada di tengahnya hingga bisa dijangkau oleh pelayar dari utara dan dari selatan. Kemakmuran dan kemegahan Sunda Buana kota emas sudah mahsyur ke seluruh penjuru bumi. Pedagang-pedagang dari berbagai tempat berlayar dan berniaga di kota-kota pelabuhan Narapati. Pedagang-pedagang dari Barat yang ingin berniaga di Sunda Buana harus melewati gerbang Gunung Batuwara. Sedangkan dari Utara harus melewati gerbang Nutana. Pada gerbang Gunung Batuwara terdapat dua buah patung besar penjaga muara sungai sunda besar selatan. Patung tersebut berada di kiri dan kanan muara berbentuk Garuda berwarna perak dimana di kepalanya terdapat api abadi yang selalu berkobar memberikan tanda bagi kapal-kapal yang ingin memasuki sungai sunda besar selatan. Sebuah kota pelabuhan dagang bernama Rajatapura menjadi pusat lalu lintas antar bangsa sebelum masuk lebih dalam ke kota Sunda Buana. Rempah-rempah, perak, dan barang-barang berharga lainnya diperdagangkan di kota yang terkenal indah dengan kuil-kuil peraknya. Para peziarah biasanya akan masuk lebih dalam melintasi kedalaman sungai sunda besar selatan menuju kota emas Sunda Buana. Menurut legenda Sunda Buana dibangun dengan bongkahan-bongkahan emas yang ditempa oleh para Bangsa Sinaravedi di Hoa-Binh. Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh terkenal sangat penyendiri dan menutup diri dari siapapun. Tidak pernah ada seorang pun yang pernah kembali setelah masuk ke dalam wilayah mereka. Hubungan Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh dengan Narapati sejak dulu tidak harmonis. Para Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh menyalahkan Narapati karena kerusakan hutan-hutan yang terjadi di wilayah mereka. Apalagi setelah para Naga-naga Jalatunda di Dong-Son terus mengganggu wilayah mereka dengan kebakaran-kebakaran yang disebabkan oleh semburan-semburan api secara sembarangan oleh naga-naga itu. Naga dan Bangsa Sinaravedi telah berseteru sejak lama dan tak ada yang bisa mendamaikan mereka. Sunda Buana dibangun dengan sihir-sihir para Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh ribuan tahun lalu. Dahulu para Bangsa Sinaravedi itu tinggal bersama para Narapati di Sunda Buana. Sebelumnya Narapati adalah orang-orang yang sangat agamis. Semua kehidupan diabdikan hanya untuk kebesaran sang pencipta. Tetapi kota kemudian makin dipenuhi oleh pendatang yang tertarik dengan kemakmuran kota, dan kehidupan kemudian bergeser menjadi lebih duniawi. Pada saat itu para Bangsa Sinaravedi kemudian memutuskan pindah ke tempat tinggal yang sekarang di Hoa-Binh. Sejak saat itu Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh tidak pernah kelihatan lagi dan menjadi legenda di kalangan Narapati. Sejak ditinggal oleh para Bangsa Sinaravedi, banyak tempat-tempat dan keajaiban-keajaiban yang kemudian dilupakan dan tidak pernah lagi ketahui oleh generasi Narapati berikutnya. Banyak rahasia-rahasia terpendam di bawah kota Sunda Buana. Ruang Mau Tahu adalah salah satu rahasia yang selama ini terpendam dan tidak diketahui. Walaupun Narapati telah mampu mengembangkan kemampuan membuat benda-benda menakjubkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Tetapi sebenarnya Narapati sedang mengalami kemunduran. Dahulu untuk terbang, Narapati tidak memerlukan bahan bakar seperti sekarang. Satu-satunya benda terbang yang masih menggunakan sihir-sihir Bangsa Sinaravedi hanyalah Pavaratha milik ayahku. Kerajaan Narapati sekarang dipimpin oleh seorang Raja bernama Prabu Narayala. Didampingi oleh adik kembarnya sebagai patih agung bernama Naraphala. Mereka berdua pemegang keputusan tertinggi di Narapati. Setelah itu ada ayahku Penasehat Agung Patih Nara Jalaseva. Menteri-menteri yang membantu menjalankan pemerintahan. Menteri Urusan Lintas Batas, Menteri Urusan Pangan dan Persediaan, Menteri Ilmu Pengetahuan, Menteri Urusan Harta dan Niaga Kerajaan, Menteri Urusan Hukum dan Keadilan, Menteri Urusan Penduduk dan Kesejahteraan. Biasanya kalau mereka rapat agung dilakukan di balairung utama. Aku sering mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Dari yang aku dengar melalui teropong mau tahu itu saat ini sedang terjadi ketegangan di perbatasan utara. Terjadi pembakaran hutan di wilayah utara. Penduduk yang tinggal di utara Angkor dan Pagan banyak yang mengungsi ke selatan. Sejak jaman dulu wilayah utara Pagan dan Angkor sering mendapat gangguan, tetapi kali ini adalah yang terbesar yang pernah terjadi. Narapati menduga ini perbuatan balasan dari Kerajaan Rama di sebelah barat yang menuduh Narapati telah membakar hutan mereka di wilayah Bangla.” Gandrung berhenti.
Raji dan Pafi masih duduk mendengarkan. Dimas berpikir sejenak mengambil kesempatan untuk membandingkan apa yang didengarnya. Hatinya mulai yakin kalau Kerajaan Narapati yang dimaksud dalam buku itu adalah sama dengan yang diceritakan oleh Gandrung. Dirinya juga yakin bahwa waktunya sama dengan waktu sekarang. Buku yang dibacanya menceritakan semua hal mengenai Narapati pada keadaan sekarang. Ada cerita tak selesai di ujungnya dan Dimas yakin cerita itu masih akan berlanjut.
“Aku rasa malam ini sudah cukup, kita harus istirahat untuk besok hari.” Dimas menyela. Tampaknya yang lain pun setuju dengan Dimas. Mereka pun kembali ke rumah.
Pagi mengembang dengan cerah. Kemilau mentari muda memantulkan kilau puncak emas kuil Cakravartin. Hamparan sawah yang sudah menguning keemasan membentang mengelilingi kota. Kota Emas memang layak diberikan sebagai julukan kepada Sunda Buana. Pilar-pilar tinggi berjejer di jalan utama menuju kuil Cakravartin. Patung Garuda Emas bertengger di atasnya menatap angkasa yang biru. Kicau burung di depan jendela membangunkan Dimas dari tidurnya. Raji masih tetap melingkar seperti anak kucing tak terganggu sedikitpun oleh bunyi cicit burung-burung yang kelihatan bergairah menyambut pagi. Tangannya malah makin menarik diri ke dalam selimut.
Pemandangan Sunda Buana pagi hari kelihatan berbeda dari pada yang dilihatnya semalam. Dimas masih saja berdecak kagum dengan apa yang disaksikannya. Walaupun buku yang dibacanya telah memberikan secara rinci mengenai keindahan Narapati, tetapi melihatnya dalam nyata di depan mata memberikan arti yang jauh lebih mendalam dari pada kiasan dalam kata-kata. Seolah tak ada satu katapun yang bisa mewakili apa yang sedang dikaguminya sekarang. Dimas seakan merasa begitu dekat dengan apa yang sekarang dilihatnya, begitu dikenalnya tetapi juga begitu asing pada saat yang bersamaan. Dari kejauhan tampak sebuah bayangan bergerak. Sebentuk dinding yang sangat panjang di ujung permukaan bumi tampak merambat lambat. Warnanya yang biru kehitaman makin lama makin jelas. Buih putih bergulung-gulung diatasnya menjungkirbalikan benda-benda yang dilaluinya. Matanya panik melihat ombak setinggi lima kali pohon kelapa menerjang ganas. Suaranya gagap tak bisa keluar, tetapi terlanjur gulungan air raksasa itu sudah menghantam kuil Cakravartin dan memadamkan apinya sekaligus. Mulutnya ternganga tak bersuara tak kuasa menahan apa yang akan menerjangnya.
“Dimas, hei….kau kenapa” Sebuah suara terasa seperti dari kejauhan dan pundaknya terasa diguncang-guncang sebuah tangan.
“Ahhhhhh……” Dimas seolah tersadar dari mimpi yang menakutkan. Pafi di belakangnya telah berdiri melihatnya penuh khawatir. Dimas melihat di kejauhan, semua tampak baik-baik saja. Ombak tinggi yang dilihatnya tidak ada sama sekali.
“Kau kenapa ?” Pafi memegang pundak Dimas.
“Ah…tidak, aku..aku mungkin tadi melamun” Dimas tampak seperti orang baru saja sadar dari pingsan. Pafi melihat jelas raut wajah yang ketakutan. Dimas dengan cepat mengusap wajahnya. Berharap wajahnya yang tadi segera hilang.
“Kita ditunggu di ruang makan. Segeralah mandi” Pafi yang sudah rapi dan lengkap dengan pakaian narapatinya. Dimas tak banyak tanya lagi bergegas menyiapkan diri.
---- **** ----
Ruang makan telah lengkap dengan berbagai macam makanan. Patih Nara Jalaseva dan istrinya sudah duduk siap di depan meja. Gandrung duduk di sebelah ibunya. Dimas duduk berhadap-hadapan dengan Gandrung. Raji duduk berhadapan dengan Pafi duduk bersebelahan dengan Dimas. Dimas ingin sekali membicarakan apa yang tadi dilihatnya kepada Raji dan Pafi tetapi kayakinannya berkurang banyak saat sudah berada di hadapannya.
“Hari ini, aku akan membawa kalian melihat istana Sunda Buana. Kalian mau lihat kan ?.” Patih Nara Jalaseva menatap bergantian kepada Dimas, Raji dan Pafi.
“Apakah aku boleh ikut ayah ?” Gandrung memohon.
“Tentu saja, bukankah sahabat tidak boleh terpisahkan ?” Patih Nara Jalaseva dengan penuh kasih sayang kepada anaknya. Gandrung gembira sekali. Gandrung tahu tidak mudah untuk bisa masuk melihat-lihat istana. Penjagaannya sangatlah ketat. Datang bersama ayahnya sajalah memungkinkan mereka menerobos penjagaan itu.
“Kalian belum pernah melihat istana kan ? tidak mudah masuk ke sana. Mengantar ayah ke pertemuan di balairung istana adalah cara termudah.” Gandrung tersenyum senang. Dimas begitu senang mendapatkan kesempatan ini. Sedangkan Raji dan Pafi begitu antusias akan melihat-lihat istana yang sejak semalam hanya dilihatnya dari kejauhan saja.
Menuju istana Patih Nara Jalaseva melakukannya dengan berjalan kaki. Saluran air terbuka mengalir di kiri dan kanan jalan memisahkan barisan rumah-rumah penduduk. Pohon-pohon kelapa berdiri tinggi di sepanjang jalan melambai-lambai tersapu angin pagi yang penuh cerah dengan suara burung di puncak-puncaknya. Suasana sudah mulai ramai dengan lalu lalang orang-orang. Senyum ramah menyapa memberikan hormat menunjukan betapa patih Nara Jalaseva begitu dihormati. Tak lama berjalan, akhirnya tiba di depan gerbang kompleks kuil Cakravartin. Barisan pilar-pilar batu yang tinggi dengan patung-patung garuda berwarna emas bertengger di atasnya membentang di kiri dan kanan jalan menuju kuil. Di kiri kuil terdapat bangunan kementerian tempat bekerja para menteri. Di bagian kanan terdapat bangunan Mahkamah Agung yang menjadi pusat penegakan hukum kerajaan. Di balik kuil terdapat keraton kerajaan yang menjadi tempat raja menerima semua tamunya termasuk balairung yang menjadi tempat pertemuan para pejabat kerajaan. Beberapa bangunan lain berada di belakang kementerian menjadi tempat bekerja para pembantu menteri dan pejabat kerajaan lain. Sedangkan di belakang mahkamah agung bangunan-bangunan dengan lebih banyak patung garuda menjadi tempat para prajurit dan pasukan khusus kerajaan Vairivaravira Vimardana.
Mereka berjalan langsung menuju keraton. Beberapa penjaga berdiri dengan berbaju lapis logam Ararakamra (sebuah logam campuran yang lebih kuat dari baja seringan alumunium) dengan pedang di pinggang dan sebuah senjata dari pipa logam sepanjang tangan disilangkan di dada. Prajurit penjaga yang berdiri sepanjang halaman kuil hingga menuju keraton memberikan salam hormat begitu mengenali siapa yang datang. Kemudian gerbang menuju pintu keraton yang tinggi melalui undakan anak tangga yang cukup tinggi. Di sepanjang undakan anak tangga yang bertingkat-tingkat di pagari pilar-pilar emas dengan puncak-puncak Garuda emas yang bertengger mengeluarkan api dari mulutnya yang menengadah ke atas dengan sayap mengembang ke atas pula. Di bawah setiap pilar prajurit penjaga dengan pakaian yang sama tetapi mengenakan jubah berwarna merah darah berbaris rapi. Hampir sangat mustahil menerobos keraton melalui penjaga-penjaga itu. Di halangi oleh parit yang besar antara bangunan keraton dengan kuil, tangga itu hanya dihubungkan oleh sebuah jembatan melengkung yang disangga oleh dua buah pilar berbentuk ular melingkar hingga ke dasar parit. Pintu keraton tampak diujung seberang, selalu tertutup dengan dua orang prajurit penjaga di depannya. Pintu segera membuka begitu patih Nara Jalaseva sudah berdiri di depannya.
“Ayah, aku akan mengajak Dimas, Raji dan Pafi keliling kota. Aku mau mengajak mereka melihat-lihat.” Gandrung meminta ijin kepada ayahnya.
“Berhati-hatilah, mintalah paman Jitaryo mengantar kalian.” Kata ayah Gandrung.
“Baiklah ayah, terima kasih. Kami pamit dulu.” Gandrung mencium tangan ayahnya. Bergantian Dimas, Raji dan Pafi mengucapkan pamit kepada patih Nara Jalaseva, sesaat sebelum lelaki itu masuk lebih ke dalam menuju balairung. Di dalam balairung Raja, tampak beberapa pejabat sedang duduk di kiri dan kanan. Di sebuah singgasana di tengahnya duduk seorang lelaki dengan pakaian kebesaran lengkap berwarna merah darah dengan mahkota emas di kepalanya. Di sebelahnya duduk seseorang dengan wajah yang sama hanya menggunakan jubah berwarna hijau tua. Jika diamati tidak ada perbedaan dari wajah kedua orang itu. Pastilah keduanya merupakan saudara kembar. Dimas menduga pastilah itu yang disebut Prabu Narayala dan adiknya Patih Naraphala. Ruangan balairung yang di sangga oleh pilar-pilar emas dengan ukiran-ukiran indah menambah kesan pertemuan itu sangat agung. Patih Nara Jalaseva berjalan langsung ke hadapan Raja. Puluhan pasang mata memandang dengan tajam kehadirannya.
“Mohon maaf tuanku Prabu Narayala, Patih Naraphala dan para Menteri. Saya datang terlambat. Saya sedang memastikan sesuatu yang saya kira sangat penting hingga tadi pagi. Saya telah melihat keyakinan yang cukup untuk menyampaikan hal yang sangat penting ini tetapi saya meminta untuk menyampaikannya kepada Prabu Narayala. Mohon maafkan kelancangan saya, bukan maksud saya tidak bersikap hormat pada semua yang hadir disini. Saya pertimbangkan masalah yang akan saya sampaikan hanyalah Prabu Narayala yang bisa memutuskan untuk dibagi atau tidak kepada semua yang hadir disini.” Patih Nara Jalaseva memberikan salam sembah. Tak ada satupun yang mengerti kalimat yang dikatakan olehnya kecuali Prabu Narayala. Kedua matanya menatap tajam kepada Patih Nara Jalaseva.
“Baiklah, terima kasih patih Nara Jalaseva, aku rasa kita bisa bicara nanti. Demi menghormati semua yang telah hadir, kita dahulukan pertemuan hari ini untuk membahas persiapan pesta panen raya. Silahkan ambil tempat.” Prabu Narayala mempersilahkan patih Nara Jalaseva menempati tempat duduknya. Pertemuan di balairung rupanya bukanlah pertemuan tertutup. Isinya mengenai persiapan perayaan besar menyambut panen raya dan pertemuan berjalan cepat.
---- *** ----
Berjalan dipinggiran dermaga besar tempat bersandar kapal-kapal dagang besar. Kapal-kapal kayu dengan bentuk indah berbeda satu sama lain dengan bendera-bendera warna warni menghiasi tiang-tiang kapal. Banyak bahasa-bahasa aneh yang tidak pernah didengar sebelumnya diantara para pelaut dari berbagai bangsa.
“Wah hebat sekali, kapal-kapal dagang seperti di Batavia saja.” Raji dengan semangat melihat-lihat kapal yang sedang bersandar. Buruh-buruh panggul hilir mudik menurunkan barang-barang yang akan dibongkar atau dimuat. Pafi menepuk tangannya dan mengedipkan mata. Mengingatkan Raji akan hal-hal yang tidak boleh disebutkan olehnya. Raji menutup mulutnya menyadari kesalahannya. Tapi terlambat, Gandrung sudah mengajukan pertanyaan.
“Batavia itu apa ?” tanya Gandrung.
“Eh…itu dermaga nelayan di tempat kami, hanya sebuah pelabuhan kecil” Dimas menjawab.
“Oh, Ini belum seberapa, kau belum lihat kapal pavaratha perang Narapati. Lebih besar dan hebat” Gandrung mengerling bangga dengan apa yang akan ditunjukannya.
“Tetapi kapal pavaratha perang Narapati tidak disandarkan disini, mereka semua ada di pelabuhan laut luar, dan yang paling hebat ada di pelabuhan Kota Perak Rajatapura.” Gandrung menambahkan.
“Wah jauh sekali, kota Rajatapura kan ada di pantai ujung barat daya.” Seolah tahu dimana letaknya, Dimas tidak yakin mereka akan bisa mendatangi tempat itu. Tapi tampaknya Gandrung tidak menunjukan wajah yang akan memberikan jawaban yang mengecewakan. Dia seperti tahu apa yang dibutuhkan untuk sampai kesana. “Ayo ikuti aku !” Kakinya yang lincah bergerak menerobos kerumunan kuli-kuli yang turun naik tangga dermaga. Dimas, Raji dan Pafi setengah berlari mengikuti Gandrung menuruni tangga dermaga kemudian berbelok ke sebuah gorong-gorong tempat keluarnya air dari dalam kota.
“Kau senang sekali dengan gorong-gorong rupanya” Raji agak mengeluh dengan bau yang tidak sedap dari air yang mengalir dari dalam gorong-gorong.
“Bukankah aku sudah ceritakan, kalau kota ini dulu dibangun oleh para Bangsa Sinaravedi dan banyak rahasia yang terlupakan di bawah kota ini. Para Bangsa Sinaravedi tahu bahwa manusia umumnya menyukai semua yang berada di atas permukaan. Karena itu mereka menyimpan semua rahasia-rahasia kota ini di tempat yang tidak mungkin disukai oleh para manusia.” Gandrung terus berjalan.
“Dari mana kau tahu semua ini ?” Tanya Pafi
“Ibuku sering menceritakan dongeng mengenai Bangsa Sinaravedi sebelum aku tidur sejak aku bayi, menceritakan rahasia-rahasia Bangsa Sinaravedi dan naga. Kemudian kira-kira satu tahun lalu secara tidak sengaja aku menjatuhkan benda berharga milikku ke dalam gorong-gorong. Aku mencarinya tapi tidak pernah ketemu, dan aku menjadi sering bermain disini dan berusaha mencari terus sampai aku menemukan Ruang Mau Tahu. Akhirnya aku menemukannya disana. Sejak saat itu aku sering mencari pustaka-pustaka mengenai Bangsa Sinaravedi yang banyak tersembunyi di Graha Pustaka kerajaan. Ibuku mengajarkanku bahasa Bangsa Sinaravedi dan dia yang memberitahuku mengenai keberadaan Graha Pustaka Bangsa Sinaravedi yang tersembunyi di dalam Graha Pustaka kerajaan. Berkat ayahku, aku bisa masuk ke Graha Pustaka kerajaan.” Gandrung berjalan terus berbelok ke kanan dan kekiri seperti sudah hafal benar apa seluruh peta gorong-gorong bawah tanah.
“Kita sudah sampai” sebuah dinding di hadapan Gandrung. Tangannya yang kecil memukul secara berurutan beberapa dinding batu. Tak lama kemudian dinding itu bergeser tak rata kemudian membentuk bentuk bundar sempurna. Pada bagian pinggir sekeliling lingkaran terdapat lapisan logam dengan simbol-simbol aneh. Dipinggir lingkaran itu lingkaran kecil serupa dengan symbol-simbol aneh itu. Gandrung menekan satu per satu symbol itu tidak berurutan. Kemudian sisi lingkaran besar di dinding itu menyembur sesuatu seperti air memenuhi seluruh lingkaran.
“Ini adalah Lubang Cacing, kita bisa pergi kemana saja yang kita mau di seluruh penjuru bumi dan tiba pada waktu yang sama. Hanya saja waktu kita hanya 24 jam sebelum gerbang di tempat kita mendarat akan menutup dan kalau sudah begitu kita terpaksa kembali dengan jalur biasa.” Kata Gandrung.
“Bagaimana kau menentukan tujuan ?” tanya Dimas
“Lambang-lambang di lingkaran itu lah yang sebenarnya adalah aksara-aksara kuno bahasa Bangsa Sinaravedi yang aku pelajari dari buku. Disanalah aku memasukan tujuan kita” Gandrung seperti sudah siap dengan semua jawaban untuk semua pertanyaan dari sahabat-sahabatnya. Setelah yakin tidak ada lagi yang bertanya, dengan yakin kakinya dilangkahkan masuk ke dalam lingkaran yang bentuknya seperti air kolam. Gandrung begitu saja lenyap seperti ditelah dinding air itu. Dimas dengan agak ragu mengikuti langkah Gandrung dan kemudian Pafi dan Raji mengikutinya. Sensasi seperti terlempar ke dalam lubang gelap dengan kecepatan tinggi menekan perut dan dada. Sesaat kemudian langkah kaki sudah menapak di sebuah dataran tinggi. Terik siang memantulkan cahaya kemilau dari dua buah benda di mulut sungai. Kerucut tinggi gunugn Batuwara menjulang ke angkasa berkerudung awan putih. Kapal-kapal besar sandar di ujung dermaga yang penuh ramai dengan orang. Sebuah. Perahu-perahu nelayan di ujung cakrawala mengembang berlayar. Diantara hilir mudiknya kapal-kapal dagang, sebuah kapal sangat besar kehitaman bersandar di ujung dermaga yang lain. Angin kencang mengibaskan rambut Pafi. Aromanya khas angin laut yang bercampur dengan garam.
“Lihat, itulah kapal Pavaratha Rudra Narapati, namanya Ki Salakanagara.” Gandrung menunjuk arah dermaga di sebelah kirinya. Mereka menghampiri wilayah dermaga yang dijaga ketat oleh banyak prajurit.
“Konon katanya kapal Pavaratha Rudra Ki Salakanagara ini bisa menyelam ke dalam laut juga terbang. Dindingnya terbuat dari logam Thamogarbha Loha yang bisa membuatnya tidak terlihat.” Kata Gandrung.
“Wah…andai saja aku bisa menaikinya, pasti bisa kubuat untuk mengusir belanda-belanda kurang ajar itu.” Raji menggumam sendiri. Yang lain seolah tak mendengarkan terus mengamati kapal pavaratha Ki Salakanagara. Beberapa saat Dimas terus mengagumi kemegahan Ki Salakanagara, kepalanya kemudian dipenuhi oleh suara-suara yang tidak diketahui asalnya.
“Serang saja Dravida congkak itu!”.
“Kita tidak boleh melakukan serangan secara langsung. Dravida akan tahu penyerangnya bukanlah Narapati.”.
“Tapi serangan di Pagan maupun Bangla tidak membuat keduanya mulai bergerak saling menyerang. Aku sudah tidak sabar melihat keduanya saling serang”.
”Usaha kita sudah sejauh ini, jangan sampai semuanya terbuka. Kita tahu apa yang akan terjadi pada Asvin jika Narapati dan Dravida tahu. Narapati saja kita tidak akan sanggup menahan mereka, apalagi kalau sampai Dravida ikut membantu. Tunggu saat terlemah mereka, dan kita sudah tahu kapan saatnya.” Kedua suara itu kemudian hilang begitu saja. Dimas menengok ke sana kemari mencari sumber suara.
“Kau sedang mencari apa ?” Pafi memandang heran pada tingkah Dimas. Ini yang kedua sejak semalam. Pafi terus mengamati setiap perubahan wajah Dimas. Menyadari Pafi sedang mengamatinya, Dimas berusaha mencari alasan.
“Kau pasti mencari bau enak ini yah, wuuiiiihhhh ikan bakar rasanya lezat sekali.” Raji mengangkat hidungnya tinggi-tinggi mengejar aroma ikan bakar yang diciumnya. Seolah seperti tertolong, Dimas mengangguk.
“Iya, aku sejak tadi mencium bau ikan bakar ini, rasanya membuat aku lapar saja.” Jawab Dimas berpura-pura menutupi hal yang sebenarnya.
“Betul, tidak terasa sudah lewat tengah hari, aku tahu tempat dimana kita bisa mendapatkan ikan bakar enak. Ayo kita ke warung Mang Jangkung.” Kata Gandrung.
Sebuah warung sederhana beratap alang-alang dengan tiang-tiang bambu berdiri di rimbunnya pohon-pohon di pinggir pantai. Kepulan asap beraroma sedap mengepul di sebelah gubuk. Seorang lelaki tua bertubuh tinggi menyapa ramah melihat kedatangan Gandrung.
“Eh…den Gandrung, sudah lama tidak pernah ke tempat Mang Jangkung.” Lelaki tua itu menyapa ramah.
“Maaf Mang Jangkung, aku kemarin-kemarin banyak kesibukan. Kenalkan Mang Jangkung, ini teman-temanku Dimas, Raji dan Pafi.” Gandrung memperkenalkan teman-temannya. Sapaan ramah juga diberikan kepada Dimas, Raji dan Pafi. Dimas kembali teringat apa yang tadi didengarnya. Pembicaraan itu adalah pembicaraan langsung artinya tidak menggunakan telepati. Mengapa hanya Dirinya yang mendengar pembicaraan itu ? Pikirannya mencoba mencari-cari jawaban yang mungkin diberikan oleh Pak Narso seandainya ada situasi seperti itu. Tetapi tetap tidak menemukan jawaban. Dimas yakin bahwa Gandrung, Pafi dan Raji tidak mendengar apa yang didengarnya, karena mereka bertiga pasti akan terkejut mendengar hal itu. Pastilah kemampuan telepatinya yang membuatnya bisa mendengar hal itu. Apa yang mungkin sedang berlaku. Dirinya merasakan ada sesuatu yang besar dan sangat besar akan terjadi. Gelombang air yang menyapu seluruh kota, perbincangan dua orang yang sedang melakukan persekongkolan, apa maksudnya ? Pikirannya kemudian tertepis oleh tepukan tangan Raji.
“Makanan sudah siap, ayo kita makan” kata Raji. Sebakul nasi dan beberapa ekor ikan laut bakar terhidang di atas meja. Anak lelaki Mang Jangkung sibuk memotong beberapa butir kelapa muda dan membawanya ke meja. Angin laut semilir menerpa. Warung Mang Jangkung memang tidak terlalu besar, tetapi suasananya sangat menyenangkan dan membuat orang mau betah berlama-lama di sana. Empat orang yang lain sudah duduk di sana. Tak lama kemudian seorang lelaki muda datang masuk memesan makanan yang sama. Dimas sudah asyik dengan kenikmatan makanan yang sedang disantapnya. Raji tetap dengan kebiasaannya mengeluarkan jurus sapu jagat. Kalau kalah cepat, bisa kehabisan disikat Raji. Tapi kali ini Raji menemui lawan yang seimbang. Gandrung tak kalah mengeluarkan jurus babat habis.
Lepas makan, Gandrung tak memberikan kesempatan ketiga kawannya tertahan kagum oleh keindahan kota pelabuhan Rajatapura.
“Kita harus segera kembali ke Sunda Buana.” Dimas mengingatkan semuanya. Raji tampak agak keberatan dengan ide itu, tetapi Pafi sudah mengangguk setuju. Gandrung pun tidak keberatan.
---- *** ----
Bayangan sudah lebih panjang dari bendanya, matahari barat mulai kemerahan. Dimas sudah kembali berada di kota Sunda Buana. Pafi yang sedari tadi tertarik dengan pustaka-pustaka mengenai Bangsa Sinaravedi menjadi yang paling memaksa menentukan tujuan. Dimas dan Raji terpaksa mengalah dengan keinginan Pafi. Tidak ada yang lebih menyeramkan dari pada menentang Pafi dalam hal membaca buku. Terkadang Dimas mengakui manfaat yang sering didapatnya dari kecanduan buku sahabatnya ini. Tetapi Raji adalah hal dari kebalikan Pafi. Raji sangat tidak menyukai menghabiskan waktunya di dalam ruangan membaca-baca pikiran orang lain di atas kertas.
Tanpa kesulitan Gandrung bisa meyakinkan penjaga Graha Pustaka kerajaan untuk memberinya ijin masuk.
“Apakah kita bisa pergi ke tempat dimana para Bangsa Sinaravedi tinggal ?” Dimas bertanya asal saja tanpa keyakinan ada jawaban yang bisa diharapkan.
“Bisa, tapi aku tidak tahu nama tempatnya. Aku pernah mencoba nama Hoa-Binh tapi yang aku temui hanya hutan saja. Seperti tempat tinggal para Bangsa Sinaravedi itu telah disembunyikan secara gaib dan hanya nama yang tepat yang akan membawa kita langsung ke sana. Lubang Cacing itu kan buatan para Bangsa Sinaravedi, sihirnya sama, pasti juga bisa digunakan untuk ke sana.” Kata Gandrung. Ruangan pustaka kerajaan sangat besar. Ruangan terbagi ke dalam kotak-kotak dibatasi oleh dinding rak-rak buku yang menjulang tinggi hingga ke langit-langit.
“Dimanakah tempat pustaka Bangsa Sinaravedi ?” Pafi mulai bersemangat.
“Tidak di sini, letaknya ada di balik dinding itu.” Gandrung mendekati dinding yang penuh dengan buku kemudian menekan-nekan secara acak beberapa buku di dinding itu.
“Bagaimana kau mengenali buku yang mana harus kau tekan ?” Tanya Raji keheranan.
“Ada tanda angka dari bahasa Bangsa Sinaravedi yang tertera halus di bawah kulit buku-buku itu. Seperti kau menyebutkan angka dari awal hingga akhir. Angka-angka Bangsa Sinaravedi ada 9 buah.” Kata Gandrung. Tak lama kemudian sebuah pintu berbentuk bundar membentuk di rak yang penuh dengan buku-buku itu. Gandrung dengan lembut menariknya.
“Mengapa pintu ruangannya selalu bundar. Apakah rumah-rumah para Bangsa Sinaravedi juga memiliki pintu bundar ?” Tanya Dimas.
“Dari cerita ayahku memang begitu, Bangsa Sinaravedi Hoa-Binh sangat menyukai bentuk bundar. Mereka amat mengagumi matahari dan bulan. Katanya kulit mereka pun seterang matahari dan seindah bulan. Kita manusia tidak akan sanggup lama memandang mereka.” Gandrung menerobos masuk ke dalam ruangan.
“Apakah orang lain tidak melihat kita memasuki ruangan ini ?” Pafi menengok kesana kemari memastikan tidak ada yang melihat mereka.
“Entahlah, setiap kali aku masuk, sepertinya mereka tidak peduli. Mungkin karena daerah rak ini tidak menyimpan buku-buku yang paling dicari.” Gandrung menjelaskan. Secara otomatis pintu tertutup kembali begitu semuanya sudah masuk. Sebuah ruangan bundar persis seperti Ruang Mau Tahu dengan rak mengelilingi seluruh ruangan hingga ke langit-langit yang sangat tinggi. Rak-rak itu tidak menyimpan buku, tetapi gulungan-gulungan kertas yang disimpan didalam lubang kotak-kota kecil. Sebuah meja kayu bundar di tengah-tengah menjadi tempat membaca.
“Banyak sekali, bagaimana kau bisa mencari apa yang ingin dibaca ?” Dimas memandang sekeliling ruangan. Rak kayu yang sudah sangat tua begitu bersih tanpa ada debu sedikitpun.
“Yah aku ambil saja apa yang bisa aku jangkau. Kemudian aku membuka dan membacanya.” Gandrung menarik sebuah gulungan dari kotaknya. Gulungan kertas berwarna kuning kecoklatan itu dilepaskan dari ikatannya. Aksara-aksara yang tertulis diatasnya bergerak acak dan berpindah-pindah. Tak satupun kata maupun kalimat terbentuk. Gandrung melafalkan sesuatu yang terdengar aneh tapi begitu indah. Begitu selesai aksara-aksara itu bergerak lambat dan membentuk rapi kata demi kata hingga menjadi kalimat dan akhirnya sebuah tulisan lengkap dalam bahasa Bangsa Sinaravedi menjadi tetap dan dapat dibaca.
“Kenapa tulisan itu tadi semua bergerak. ?” Tanya Pafi
“Bangsa Sinaravedi mempunyai cara paling hebat dalam merahasiakan semua ilmu pengetahuannya. Kita harus mengucapkan mantra pembuka bahasa Bangsa Sinaravedi kalau mereka ingin membaca sebuah naskah” kata Gandrung sebelum selesai telah dipotong Dimas yang melafalkan sesuatu.
“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” kata Dimas pelan. Gandrung menengok agak terkejut. Dimas merasakan keterkejutan Gandrung. Dirinya pun tak tahu dari mana bisa mendapatkan kalimat itu.
“Kau, tahu dari mana kalimat itu ?” Gandrung bertanya penuh selidik.
“Eh…tadi aku mendengar ketika kau melafalkannya.” Kata Dimas berusaha meyakinkan Gandrung. Setelah melihat Gandrung tidak melanjutkan lagi, Dimas merasa lega sekali. Raji dan Pafi hanya berpikir bahwa itu karena Dimas telah membaca pikiran Gandrung. Tetapi Dimas sendiri merasa tidak melakukan apapun terhadap Gandrung. Dirinya tidak membaca apa yang dipikirkan Gandrung. Kalimat itu keluar begitu saja seolah dia sudah mengetahui semua bahasa Bangsa Sinaravedi. Bahkan baginya tulisan dalam naskah yang sedang dipegang oleh Gandrung pun seperti dapat dimengerti olehnya dengan mudah. Dimas teringat ketika membaca buku dongeng yang diberikan Pafi kepadanya di perpustakaan asrama. Semua tulisan dan kalimat dalam buku itupun sama persis dengan naskah yang sedang dibuka Gandrung. Mungkinkah buku dongeng yang dibacanya ditulis dengan bahasa Bangsa Sinaravedi ? Pikirannya tak mampu menjawabnya. Matanya kembali dialihkan kepada naskah yang sedang dibaca oleh Gandrung. Gandrung membacakan kalimat-kalimat itu dengan pelan-pelan dan kemudian menerjemahkannya untuk Raji dan Pafi. Sementara Dimas sudah mengerti begitu saja bahasa Bangsa Sinaravedi yang sedang dilafalkan oleh Gandrung.
“Thianransama avathairatum”.”Manfaatnya menitis padaku”.”Mathurai Nuvant”.”Terima kasih” Gandrung menyelesaikan bacanya.
“Jadi naskah tadi menceritakan kisah ketimun ajaib, ya?” kata Pafi.
“Iya, kisah ini sering kali diceritakan ayahku sebelum tidur” Gandrung menggulung kembali naskahnya.
Setelah selesai mendengarkan, Dimas melangkah mengambil sebuah gulungan naskah dari satu satu kota di dinding. Kemudian menggelarnya di atas meja. Setelah Gandrung mengembalikan gulungan naskah yang tadi dibacanya ke kotaknya semua. Aksara-aksara yang bergerak tak beraturan di atas kertas naskah itu. Kemudian Dimas melafalkan kalimat kuncinya.
“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” kata Dimas pelan. Aksara-aksara yang bergerak liar itu perlahan melambat membentuk kata-kata.
“Satuasra” Dimas memulai kalimat pertamanya. Gandrung terlihat heran Dimas yang langsung bisa membaca naskah dalam bahasa Bangsa Sinaravedi.
“Bagaimana kau bisa belajar bahasa Bangsa Sinaravedi secepat itu ?” Tanya Gandrung.
“Kau tidak akan percaya apa yang dia bisa hafal dari sebuah buku” kata Pafi memuji Dimas.
“Eh..mungkin karena aku mampu mengingat dengan cepat saat kau membaca dan aksara yang kau tunjuk.” Kata Dimas. Padahal dia tahu, dirinya sudah bisa membaca bahasa Bangsa Sinaravedi sejak diberikan buku cerita oleh Pafi sewaktu di ruang perpustakaan asrama. Kemudian Dimas kembali kepada naskah yang sedang dia pegang.
“Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang.
Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana.
Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh.
Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam.
Kegelapan hanya akan tenang bersama terang.”
Kalimat itu hanya berhenti sampai disitu.
“Naskah ini pendek sekali, tidak seperti yang tadi kau bacakan” Pafi menilik isi naskah yang sedang di pegang Dimas.
“Bisakah kita membawa naskah ini ?” Tanya Dimas kepada Gandrung.
“Entahlah, aku pernah mencobanya. Setiap aku mencoba membawanya keluar sebuah naskah, pasti dia akan terlepas dari tanganku saat melewati pintu dan langsung kembali ke kotaknya.” Gandrung tidak yakin kalau Dimas akan berhasil membawa naskah itu keluar.
“Sepertinya Graha Pustaka ini sudah dilindungi sihir-sihir Bangsa Sinaravedi, dan para Bangsa Sinaravedi rupanya tidak mau apapun yang berada di ruangan ini keluar dari tempatnya. Sepertinya para Bangsa Sinaravedi sudah menduga kalau mereka tidak akan selamanya di kota ini.” Kata Pafi menyimpulkan.
“Aku mau membaca ini” Tiba-tiba Raji menyela pembicaraan. Tangannya menyorongkan satu gulung naskah ke atas meja.
“Tadi apa kalimatnya ?” Raji melihat aksara-aksara di atas naskah bergerak liar.
“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” Gandrung menjawab. Raji segera menirukan. “Ingdorthium thor savantharau anglashiavtan” Tetapi aksara-aksara itu tetap bergerak liar.
Raji kebingungan “Kenapa tidak berubah, aksara-aksara ini masih bergerak”.
“Kau salah menyebutkannya, Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan bukan anglashiavtan” Pafi membetulkan kalimat Raji. Sekali lagi Raji melafalkan kata kunci itu. Tak lama kemudian aksara-aksara di naskah yang sedang dipegangnya bergerak lambat dan membentuk kata-kata.
“Gandrung, ayo bacakan naskah ini.” Dimas meminta Gandrung.
“Kau kan juga bisa membacanya.” Gandrung sedikit menolak.
“Aku kan baru belajar, untuk naskah sepanjang itu aku bisa juling.”Dimas nyengir. Gandrung maju meraih naskah yang sedang di pegang Raji. Raji pun menyerahkannya.
“Ki Salakanagara, Naskah ini menceritakan tentang pembuatan kapal pavaratha Ki Salakanagara yang tadi kita lihat.” Kata Gandrung menjelaskan judul naskah. Raji makin bersemangat ingin mendengarkannya. Sejak pertama melihat kapal itu. Gandrung kembali melanjutkan membaca naskah itu. Setelah selesai Pafi segera menyodorkan naskahnya yang ingin dibacakan. Gandrung tanpa ragu membacakannya.
“Sepertinya tiap naskah yang diambil oleh kita, sepertinya isinya menceritakan apa yang menjadi keinginan terdalam kita saat mengambilnya. Lihat saja, Gandrung mengambil cerita ketimun yang sering dibacakan ayahnya, Raji mengambil cerita kapal pavaratha Ki Salakanagara yang sejak tadi ingin diketahuinya, sedangkan aku mendapatkan cerita Cakravartin yang memang sejak tadi ingin aku tahu. Sedangkan kau Dimas, naskah yang kau ambil hanya serangkaian kalimat saja yang tidak kita mengerti maksudnya.” Kata Pafi selesai Gandrung membacakan naskahnya.
“Aku tidak sedang menginginkan mengetahui apapun sejak tadi ?” Dimas mengelak.
“Tidak harus sesuatu yang baru saja, tetapi mungkin yang selama ini menjadi pertanyaan dalam pikiranmu. Graha Pustaka ini bekerja dengan cara demikian.” Kata Gandrung. Dimas mulai merasa agak terpojok.
“Adakah sesuatu yang belum pernah kau ceritakan kepada kami, Dimas ?” Tanya Pafi. Pafi sepertinya sudah menduga. Dimas agak gugup, matanya beralih ke Raji berharap Raji membantunya dari situasi ini, tetapi Raji memberikan ekspresi wajah yang menunggu jawaban pula. Terpojok tidak dapat mengelak lagi, akhirnya Dimas menyerah.
“Eh…maafkan aku. Bukan aku tidak mau menceritakannya, tetapi aku sendiri belum yakin dengan apa yang sedang aku alami. Tapi baiklah.” Kemudian Dimas menceritakan semua hal yang dilihatnya saat di kamar dan percakapan yang didengarnya saat mengintai kapal pavaratha Ki Salakanagara.
“Apakah hubungannya antara penglihatan dan pendengaranmu itu dengan isi naskah yang kau pilih ?” Tanya Raji
“Aku sendiri tidak tahu, aku sendiri masih tidak mengerti.” Dimas menggelengkan kepalanya.
“Tapi yang kau dengar ada kaitannya dengan situasi Narapati sekarang. Pasti ada kaitannya dengan penglihatanmu juga dan isi naskah itu.” Gandrung mengingatkan semuanya dengan situasi yang pernah dijelaskannya.
“Kalau diantara kita tidak ada yang bisa menerangkan kaitan semua ini, siapa yang bisa ?” Tanya Pafi. Tidak ada yang menjawab ataupun memberikan alternatif.
“Mungkin kita tanyakan saja kepada ayahku.” Gandrung memberikan usul.
“Ya, betul bila hal ini begitu penting pasti ada seseorang yang tahu maksudnya.” Raji mendukung usulan Dimas.
“Jangan! Ini masih terlalu mentah. Aku tidak setuju kalau penglihatan dan pendengaranku disampaikan kepada Ayahmu. Aku yakin beliau punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan. Lagi pula ini kan Cuma sesuatu yang Cuma aku yang merasakannya. Kita tidak boleh melakukan sesuatu hanya berdasarkan dugaan saja. Lebih baik kita kembali ke rumah saja, kita pikirkan kembali nanti.” Menceritakan kepada teman-temannya saja cukup membuat Dimas berat, apalagi harus disampaikan kepada orang lain.
“Paling tidak kita bisa tanyakan mengenai arti dari tulisan itu saja” kata Pafi.
Tidak ada lagi yang dibicarakan, mereka kembali ke rumah. Sesuai janji tidak ada yang boleh menceritakan kepada siapapun tentang penglihatan dan pendengaran Dimas.
1 comment:
Hmmm.. Gw yakin Ruangan Tukang Mau Tahu itu cikal bakal nya Infotaiment yang sekarang menjamur hehehe... jadi bisa tau urusan orang sampai ke hal2 yang terkecil yang tidak seharusnya orang lain tau :) atau tabloid?
Post a Comment